Sungguh sebuah mimpi yang aneh. Sebagai
seorang berbakat, Jeffrey Lang tidak habis pikir dengan mimpi itu. Namun
hati kecilnya mengakui, mimpi itu membawa kedamaian di tengah kehidupan
“ilmiah”-nya yang gersang.
Dalam mimpi itu, Jeffrey bersimpuh
menghadap Tuhan. Caranya, ia berdiri, kemudian membungkuk, berdiri lagi,
kepala menyentuh lantai, hingga duduk di atas tumit. Ia melakukannya di
sebuah ruang yang hening, tanpa meja tanpa kursi. Hanya ada karpet dan
dinding yang berwarna putih keabuan. Selain Jeffrey, di ruangan itu juga
banyak laki-laki membentuk beberapa barisan. Jeffrey berada di barisan
ketiga. Sedangkan di depan mereka, ada seorang laki-laki yang duduk
sendiri, tak ada orang lain di sampingnya. Ia tampak memimpin ‘ritual’
itu. Jeffrey tak bisa melihat wajahnya, tapi Jeffrey ingat betul di atas
kepala pria itu ada kain putih dengan motif berwarna merah.
Tidak sekali itu saja Jeffrey bermimpi
begitu. Berkali-kali, selama 10 tahun menjadi atheis, Jeffrey bermimpi
yang sama. Namun, ia mengabaikannya begitu saja dan memenangkan nalar
‘ilmiah’-nya.
Jeffrey Lang lahir dan besar dalam
keluarga Katolik. Namun sejak kecil, ia telah menjadi anak yang kritis.
“Ayah, apakah surga itu benar-benar ada?” tanyanya saat masih menjadi
bocah.
Saat ia memasuki usia remaja,
pertanyaannya semakin banyak dan kritis. Namun pendeta dan orang-orang
seagama yang ditemuinya tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan.
Ketia ia berusia 18 tahun, Jeffrey merasa logika mengenai Tuhan menemui
jalan buntu. Karenanya ia kemudian memilih menjadi atheis menjelang
kelulusannya dari sekolah Notre Dam Boys High.
Dua puluh tahun berlalu sejak mimpi
pertamanya bersimpun menghadap Tuhan. Jeffrey menjadi dosen di
University of San Fransisco. Di Universitas itu, Jeffery bertemu dengan
Ghassan, pemuda muslim yang menjadi mahasiswanya. Keduanya menjadi
sering berdiskusi. Semula tentang pelajaran, kemudian Jeffrey juga
mengenal keluarga mahasiswanya tersebut.
Suatu hari, Jeffrey diberi hadiah sebuah
mushaf Al Qur’an terjemah. Di situlah titik hidayah itu dimulai.
Jeffrey akhirnya membaca Al Qur’an itu. Halaman demi halaman. Ia merasa
tertantang.
“Sejak awal, buku ini menantang diriku,”
kata Jeffrey mengenang saat-saat itu. Agaknya ia membaca ayat kedua
surat Al Baqarah: “Inilah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya,
petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.”
Jeffrey terus membaca Al Qur’an. Ia
merasa setiap kali ia membantah ayat-ayat yang dibacanya, ayat
berikutnya menjadi jawaban atas bantahannya tersebut. “Seolah Penulis
kitab itu membaca pikiranku,” kenangnya.
Jeffrey mulai sadar bahwa kitab di
depannya itu melampaui pikirannya. Ia sadar kitab di depannya itu telah
mengisi kekosongan jiwa yang selama ini ia rasakan. Kitab itu bukan
hanya menjawab pertanyaan-pertanyaannya tentang Tuhan dan alam semesta,
tetapi juga membawa kedamaian bagi jiwanya. Hidayah mulai masuk ke dalam
hatinya.
Dan hidayah itu semakin terang, tatkala
ia melihat sebuah pemandangan di basement gereja Universitas. Sejumlah
kecil mahasiswa muslim sedang beribadah. Karena kesulitan tempat, mereka
menggunakan basement itu.
Jeffrey melihat mereka berbaris rapi.
Berdiri bersama, menunduk bersama, lalu berdiri lagi, kemudian bersujud,
dan duduk bersimpuh di atas tumit. Jeffrey ingat sesuatu. Terlebih
setelah ia melihat di depan mereka ada seseorang yang memimpin mereka
beribadah, memakai penutup kepala putih dengan motif berwarna merah.
Rupanya itu Ghassan. “Ini mimpiku!” teriak Jeffrey dalam hati. Ya,
pemandangan itu persis seperti mimpinya yang berulang beberapa kali
beberapa tahun silam.
Jeffrey tak kuasa menahan tangis haru. Hatinya penuh damai. Ia tersungkur bersujud.
Singkat cerita, profesor Matematika ini
kemudian masuk Islam. Ia lalu berdakwah melalui mimbar ilmiah dan
menulis sejumlah buku. Diantaranya Struggling to Surrender (1994), Even Angels Ask (1997) dan Losing My Religion: A Call for Help (2004). [Tim Redaksi Kisahikmah.com]
Sumber: http://kisahikmah.com/kisah-mimpi-aneh-yang-mengantarkan-profesor-matematika-masuk-islam/