Daftar isi Bab 11 ini diantaranya: |
Sekelumit sejarah dinasti Bani Umayyah dan dinasti Bani Abbasiyyah
Dalil-dalil tentang kewajiban untuk mencintai Ahlul-Bait/Keturunan Rasulallah saw.
Tafsir Surat Al-Kautsar
Ramalan akan datangnya Rasul dalam catatan kitab Hindu, kristen, yahudi dan persi
Pendapat Syekh Ali Tantawi dan saudara Segaf Ali Alkaff/Jeddah
Hadits yang diriwayatkan cucu Nabi saw. yang keenam
Pendapat Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pendapat Prof.Dr.HAMKA
Hadits-hadits tentang akan munculnya Imam Al-Mahdi
Pendapat para ulama tentang "Siapakah yang dimaksud Ahlul-Bait" ?
Pengertian mengenai kata dzurriyyat atau keturunan
Keturunan yang dijuluki Syarif/Sayyid
Kalimat hadits Al-Kisa’
Keterangan mengenai hadits Tsaqalain dan hadits Kitabullah wa sunnati
Kalimat hadits Tsaqalain (dua bekal berat)
Membantah Syubhat golongan pengingkar terhadap Lafaz “Bihi” dalam kalimat hadits tsaqalain
Hadits tentang kemuliaan dan kedudukan keturunan Rasul saw.
Kalimat hadits Safinah (Perahu)
Pendapat Imam Turmudzi tentang makna hadits Tsaqalain, Safinah
Sanggahan/Jawaban para ulama terhadap pendapat Imam Turmudzi
Peranan keturunan Nabi saw (‘Alawiyyin) termasuk Wali Songo dalam penyebaran agama Islam
Ajaran-ajaran pokok Wali Songo dan cara dakwah mereka pada masa lalu
Nasab/silsilah ,selain wali songo, para pelopor Da’i(wali-wali) golongan pertama
Kerajaan-kerajaan Islam yang didirikan di pulau Jawa, keturunannya dan tokoh-tokoh Islam yang ternama
Daftar Nama-Nama Bangsa (Suku) Alawiyin –di Indonesia
|
{{INFO: Buku baru yang berjudul Kamus Syirik (Edisi Revisi Telaah Kritis atas doktrin faham Wahabi/Salafi) ,sekitar 502 halaman, Alhamdulillah sudah terbit bulan agustus 2009.. Buku ini belum beredar merata di Indonesia, bagi peminat mungkin bisa datang pada toko-toko buku di jalan Sasak, Surabaya, toko Gramedia atau bisa hubungi pengedar buku tersebut, telefon nr. (62) 031 60604235 }}.
Daftar Isi kitab kamus syirik ,mengingat jumlah halaman buku, tidak selengkap isi website kami ini, tetapi cukup untuk menjelaskan dalil-dalil amalan yang dikerjakan oleh golongan ahlus Sunnah wal jamaah dan amalan yang sering diteror oleh golongan pengingkar, misalnya tawassul/tabarruk, taklid imam madzhab, ziarah kubur, peringatan2 keagamaan, majlis dzikir dan lain sebagainya.
Didalam bab ini kami ingin mengutip dan mengumpulkan riwayat-riwayat mengenai kemuliaan Ahlul-Bait nasab atau keturunan Rasulallah saw. di dalam pandangan Islam, yang ditulis oleh para ulama. Didalam bab ini kami mengutip juga makalah-makalah diantaranya:
Ramalan seorang Nabi dalam catatan kitab Hindu akan datangnya seorang Rasul dan keturunannya; Sebagian isi makalah yang ditulis oleh Syeikh Segaf Ali Alkaff, Jeddah sebagai sanggahan makalah yang ditulis oleh Syeikh Ali Tantawi; Jawaban Syeikh Abdul Aziz bin Baz, Saudi Arabia pada seorang Iraq mengenai nasab keturunan Rasulallah saw.; Makalah Prof. Dr. HAMKA mengenai gelar Sayid atau Habib. Pada terakhir bab ini kami menulis peranan keturunan Rasulallah saw (Kaum Alawiyyin) dalam penyebaran agama Islam yang pertama di Indonesia, termasuk para Wali Songo dan ajaran-ajaran mereka. Dengan adanya semua keterangan ini, insya Allah para pembaca khususnya bisa mengetahui bahwa keturunan Rasulallah saw. itu belum punah dan akan wujud sampai akhir zaman.
Pembahasan mengenai keturunan Rasulallah saw. ini sama sekali tidak bermaksud hendak membuka perdebatan atau polemik, tidak lain bermaksud menyampaikan wasiat Rasulallah saw. kepada kaum muslimin yang belum pernah mendengar atau mengenalnya. Karena semua yang diwasiatkan serta dianjurkan oleh Rasulallah saw. harus kita terima dan amalkan, sebagaimana firman Allah swt.:
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
Artinya: “Apa yang diberikan Rasul (Muhammad) kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (QS Al-Hasyr : 7)
Semua ucapan Rasulallah saw. adalah kebenaran yang diwahyukan Allah swt. pada beliau saw. sebagaimana firman-Nya :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الهَـوَى إنْ هُوَ إلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى
Artinya: ‘Dan dia (Muhammad saw.) tidak mengucapkan sesuatu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya bukan lain adalah wahyu yang diwahyukan Allah kepadanya’. ( Surat An-Najm : 3-4)
Memberi pengertian mengenai soal yang belum banyak dimengerti atau belum jelas merupakan hal yang perlu diupayakan, apalagi soal-soal yang berkaitan dengan agama Islam hukumnya adalah wajib. Soal-soal yang kita maksudkan disini ialah masalah dzurriyyatu (keturunan) Rasulallah saw. atau keturunan Ahlul-Bait Rasulallah saw.
Sejak masa kelahiran dan pertumbuhan Islam hingga zaman terakhir tidak ada orang muslim yang mempermasalahkan soal keturunan Nabi saw. ini, karena memang merupakan kenyataan yang sangat jelas. Kenyataan ini disaksikan oleh semua sahabat Nabi saw, oleh semua kaum Salaf, kaum Tabi’in, Tabi’it-Tabi’in dan oleh kaum muslimin yang hidup dalam zaman-zaman berikutnya hingga zaman kita dewasa ini. Selama lebih dari 1400 tahun hingga sekarang kaum muslimin dimana-mana dimuka bumi ini selalu mengucapkan Selawat kepada Nabi saw. dan keluarganya sekurang-kurangnya lima kali sehari semalam Allahumma sholli ‘ala (sayyidinaa) Muhammad wa ‘ala aali (sayyidina) Muhammad.
Namun dalam zaman belakangan ini terdengar bisikan berbisa yang berusaha menanamkan kepercayaan bahwa Rasulallah saw. tidak mempunyai dzurriyat atau keturunan yang masih hidup hingga sekarang. Mereka (golongan pengingkar) ini secara terselubung menyebarkan riwayat, bahwa Al-Husain ra cucu Rasulallah saw. yang diharap menjadi cikal-bakal keturunan beliau saw. semuanya telah tewas dimedan perang Karbala.
Golongan pengingkar menanamkan keraguan tentang kenyataan adanya putera Al-Husain ra, bernama ‘Ali Zainal ‘Abidin, yang luput dari pembantaian pasukan Bani Umayyah di Karbala, berkat ketabahan dan kegigihan bibinya Zainab ra. dalam menentang kebengisan penguasa Kufah, ‘Ubaidillah bin Ziyad. Ketika itu ‘Ali Zainal ‘Abidin masih kanak-kanak berusia kurang dari 13 tahun. ‘Ali Zainal-‘Abidin bin Al-Husain cikal bakal keturunan Rasulallah saw. itulah yang mereka sembunyikan riwayat hidupnya, dengan maksud hendak memenggal tunas-tunas keturunan beliau saw.
Lebih jauh lagi golongan pengingkar ini sesungguhnya orang-orang yang mengerti, tetapi atas dorongan maksud tertentu mereka tidak mau mengerti. Secara terus-terang mereka berkeinginan agar jangan ada orang didunia ini khususnya di Indonesia yang menyebut nama orang-orang keturunan Ahlul-Bait dengan kata Habib, Sayyid atau Syarif. Akan tetapi mereka merasa sangat kecewa karena hingga sekarang kaum muslimin masih tetap menyebut keturunan Ahlul-Bait dengan kata kehormatan tersebut.
Julukan/panggilan kehormatan Habib dan lain sebagainya itu diberikan oleh kaum muslimin bukan permintaan dari keturunan Nabi saw. sebagai penghargaan kepada orang-orang keturunan Rasulallah saw.. Kita sering bertanya-tanya mengapa justru keturunan Nabi saw. fihak yang diberi julukan yang menjadi sasaran golongan pengingkar ini, bukan terhadap kaum muslimin yang sebagai pihak pemberi julukan? Sayang sekali golongan pengingkar ini belum mau berterus terang, apakah perbuatan mereka ini karena dengki ataukah iri hati terhadap golongan Ahlul-Bait ?!
Sekelumit sejarah dinasti Bani Umayyah dan dinasti Bani Abbasiyyah
Dengan adanya kebencian dan kedengkian sebagian orang terhadap keturunan Ahlul-Bait Rasulallah saw., mengingatkan kita kembali kepada sejarah Islam yaitu zaman dinasti Bani Umayyah dan dinasti Bani Abbasiyyah.
Menurut riwayat, kaum muslimin mulai dilanda perselisihan, pertengkaran dan perpecahan sejak masa-masa terakhir kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan ra.’ yakni kurang lebih dalam periode terakhir dasawarsa ke empat Hijriah, perang-perang saudara berkecamuk diantaranya:
Antara kekuatan trio Aisyah, Thalhah, Zubair [radhiyallahu ‘anhum] dan kekuatan Amirul-Mu’minin Imam ‘Ali bin Abi Thalib ra. Perang saudara ini ber kobar di Bashrah, yang dalam sejarah Islam terkenal dengan nama ‘Waq’atul-Jamal’, disusul kemudian oleh perang saudara yang tidak kalah hebatnya, yaitu perang ‘Shiffin’, antara kekuatan Amriul-Mu’minin Imam ‘Ali ra, dan kekuatan pemberontak dibawah pimpinan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Kemudian disusul dengan perang yang berkobar dikawasan yang terkenal dengan sebutan ‘Bainan-Nahrain’ (Diantara dua Bengawan), yakni daerah antara dua bengawan Tigris dan Eferat (Dajlah dan Al-Furat).
Pertengkaran dan perpecahan yang diakibatkan oleh perang saudara Bainan-Nahrain’ ini jauh lebih parah daripada yang diakibatkan perang saudara yang sebelumnya. Dalam perang saudara ini kekuatan Imam Ali ra, terpecah dan sempal menjadi dua. Sebagian tetap setia kepada Amirul Mu’minin ‘Ali dan yang sebagian lainnya memberontak dan memerangi Imam Ali ra. Sempalan atau pecahan inilah yang dalam sejarah Islam terkenal dengan kaum ‘Khawarij’, dibawah pimpinan ‘Abdullah bin Wahb Ar-Rasiby.
Kemudian disusul perang saudara yang berkobar dalam rangka kebijakan Imam ‘Ali ra. menumpas pemberontakan kaum Khawarij, di Nahrawand. Perang saudara ini lebih memperparah lagi perpecahan kaum muslimin. Dalam perang saudara di Nahrawand ini, kekuatan Imam Ali ra. unggul dan berhasil menghancurkan kekuatan bersenjata kaum Khawarij, yang sejak terjadinya pembangkangan sudah mengkafir-kafirkan Imam ‘Ali ra. (silahkan baca kitab ‘Imamul-Muhtadin Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib ra’ penerbit Yayasan Al-Hamidiy, Jakarta dan ‘Al-Fithatul-Kubra’ penerbit Pustaka Jaya, Jakarta).
Kekuatan-kekuatan anti Bani Hasyim yang sudah ada sebelum Islam, dengan kemenangan Imam ‘Ali itu mereka makin bertambah dendam. Sedangkan dalam perang ‘Shiffin’ kekuatan Imam ‘Ali ra. mundur teratur akibat pertengkaran dan pertikaian intern mengenai masalah ‘Tahkim bi Kitabillah ‘ (Penyelesaian secara damai berdasarkan Kitabullah). Setelah kekuatan Imam ‘Ali ra mundur dan kembali ke Kufah, disana Amirul-Mu’minin menjadi sasaran pembunuhan gelap yang dilakukan oleh komplotan Khawarij. Beliau tewas di tangan Abdurrahman Muljam. Kekhalifahannya diteruskan oleh puteranya, Al-Hasan ra., tetapi sisa-sisa kekuatan pendukung ayahnya sudah banyak mengalami kemerosotan mental dan patah semangat. Bahkan terjadi penyeberangan ke pihak Mu'awiyah untuk mengejar kepentingan-kepentingan materi, termasuk Ubaidillah bin Al-‘Abbas (saudara misan Imam ‘Ali ra.), yang oleh Al-Hasan ra. diangkat sebagai panglima perangnya !
Hilanglah sudah imbangan kekuatan antara pasukan Al-Hasan ra dan pasukan Mu’awiyah, dan pada akhirnya diadakanlah perundingan secara damai antara kedua belah pihak. Dalam perundingan itu Al-Hasan ra. menyerahkan kekhalifan kepada Mu’awiyah atas dasar syarat-syarat tertentu, berakhirlah sudah kekhalifahan Ahlu-Bait Rasulallah saw. Seluruh kekuasaan atas dunia Islam jatuh ketangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Dengan hilangnya kekhalifahan dari tangan Ahlul-Bait, mulailah masa pembasmian, pengejaran dan pembunuhan terhadap anak-cucu keturunan Ahlul-Bait dan pendukung-pendukungnya, yang dilancarkan oleh Daulat Bani Umayyah. Untuk mempertahankan kekuasaan Daulat Bani Umayyah, Mu’awiyah mengerahkan segala dana dan tenaga untuk mengobarkan semangat kebencian, terhadap Imam ‘Ali ra khususnya dan anak cucu keturunannya. Semua orang dari ahlul-bait Rasulallah saw. direnggut hak-hak asasinya, direndahkan martabatnya, dilumpuhkan perniagaannya dan diancam keselamatannya jika mereka berani menyanjung atau memuji Imam ‘Ali ra. dan tidak bersedia tunduk kepada kekuasaan Bani Umayyah.
Perintah dari para penguasa untuk mencaci maki, melaknat Imam ‘Ali ra itu sudah suatu perbuatan yang biasa-biasa saja, misalnya sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Turmudzi dari Sa’ad Ibnu Waqqash yang mengatakan:
“Ketika Mu’awiyah menyuruh aku untuk mencaci maki Abu Thurab (julukan untuk Imam ‘Ali ra), maka aku katakan kepadanya (kepada Mu’awiyah); Ada pun jika aku sebutkan padamu Tiga perkara yang pernah diucapkan oleh Rasulallah saw. untuknya (untuk Imam ‘Ali ra), maka sekali-kali aku tidak akan mencacinya. Jika salah satu dari tiga perkara itu aku miliki, maka hal itu lebih aku senangi dari pada unta yang bagus. (Yang pertama) Ketika Rasulallah saw. meninggalkannya (meninggalkan ‘Ali ra) didalam salah satu peperangannya, maka ia (‘Ali ra) berkata; ‘Wahai Rasulallah, mengapa engkau tinggalkan aku bersama kaum wanita dan anak-anak kecil ?’.
Pada waktu itu aku (Sa’ad Ibnu Abi Waqqash) mendengar Rasulallah saw. bersabda; ‘ Apakah engkau tidak cukup puas jika engkau disisiku seperti Harun disisi Musa?, hanya saja tidak ada kenabian sepeninggalku.’ [HR.Bukhori, Muslim, Turmduzi --pen]. (Yang kedua) Dan aku pun mendengar beliau bersabda pada hari Khoibar; ‘Aku akan berikan panji-panji ini pada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan ia pun dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya’. Pada waktu itu kami sama-sama penuh berharap (agar dipilih oleh Nabi saw.), tetapi beliau saw. bersabda ; ‘Panggilkan ‘Ali kepadaku’ ! ‘Ali ra dihadapkan pada beliau saw. sedang ia sakit kedua matanya. Nabi saw. meludah pada mata ‘Ali kemudian beliau saw. memberikan panji-panji perang padanya sehingga Allah swt. memberi kemenangan kepadanya [Sahih Bukhari jilid 4 hal. 30/207,dll.]. (Yang ketiga) Ketika Allah swt. menurunkan ayat Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu….. sampai akhir ayat Mubahalah Aal-Imran:6--pen. maka Rasulallah saw. memanggil ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, kemudian beliau saw. berdoa: ‘Ya Allah, mereka adalah keluargaku’ “. (dikutip dari kitab At-Taaj Al-Jaami’ Lil Ushuuli Fii Ahaadiitsir Rasuuli jilid 3 hal.709 cet. pertama th.1994 oleh Syeikh Manshur Ali Nashif Al-Husaini diterbitkan oleh CV Asy-Syifa’ Semarang)
Dalam kitab yang sama diatas, pada halaman 708, dikemukakan sebuah hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim dari Sahal Ibnu Sa’ad ra yang mengatakan:
“Ketika kota Madinah dipimpin oleh seorang dari keluarga Marwan (baca: Marwan Ibnu Hakam), maka sang penguasa memanggil Sahal Ibnu Sa’ad dan menyuruhnya untuk mencaci maki ‘Ali. Ketika Sahal tidak mau melakukannya, maka sang penguasa berkata kepadanya; ‘Jika engkau tidak mau mencaci-maki ‘Ali, maka katakan semoga Allah swt mengutuk Abu Thurab’. Kata Sahal; ‘Bagi ‘Ali tidak ada suatu nama yang disenangi lebih dari pada nama Abu Thurab (panggilan Rasulallah saw. kepada Imam ‘Ali ra—pen.), dan ia amat bergembira jika dipanggil dengan nama itu’…sampai akhir hadits’ “.
Dan masih banyak lagi riwayat tentang pelaknatan, pencacian terhadap Imam ‘Ali ra dan penyiksaan kepada para pendukung dan pencinta ahlul-Bait yang tidak kami cantumkan disini.
Keadaan seperti itu berlangsung selama masa kekuasaan Daulat Bani Umayyah, kurang lebih satu abad, kecuali beberapa tahun saja selama kekuasaan berada ditangan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz ra. Kehancuran daulat Bani Umayyah diujung pedang kekuatan orang-orang Bani ‘Abbas, ternyata tidak menghentikan gerakan kampanye ‘anti Ali dan anak-cucu keturunannya’. Demikianlah yang terjadi hampir selama kejayaan Daulat ‘Abassiyyah, lebih dari empat abad !
Dengan adanya perpecahan politik, peperangan-peperangan diantara sesama kaum muslimin yang tersebut diatas hingga runtuhnya daulat ‘Abbasiyyah, tidak hanya memporak-porandakan kesatuan dan persatuan ummat Islam, tetapi juga tidak sedikit merusak ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya. Berbagai macam pandangan, pemikiran dan aliran serta faham bermunculan. Hampir semuanya tak ada yang bebas dari pengaruh politik yang menguasai penciptanya. Yang satu menciptakan ajaran-ajaran tambahan dalam agama untuk lebih memantapkan tekad para pengikutnya dalam menghadapi lawan. Yang lain pun demikian pula, menafsirkan dan mentakwilkan nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. sampai sesuai dengan prinsip pandangan mereka untuk membakar semangat para pengikutnya dalam menghadapi pihak lain yang dipandang sebagai musuh. Belum lagi persaingan dikalangan intern masing-masing, sehingga bukan hanya golongan-golongan, paham dan aliran saja yang bermunculan, melainkan bermunculan juga berbagai macam sekte atau sempalan dari masing-masing golongan (baca “Sejarah Islam Dari Andalus Sampai Indus”, hal.114-149, penerbit Pustaka Jaya, Jakarta)
Permusuhan tiga pihak yang tersebut diatas itulah yang secara pokok mewarnai sikap kaum muslimin terhadap ahlul-bait Rasulallah saw.. Selama kurun waktu kekuasaan daulat Bani Umayyah dan daulat Bani ‘Abasiyyah khususnya selama kekuasaan daulat bani Umayyah sukar sekali dibayangkan adanya kebebasaan dan keleluasaan menuturkan hadits-hadits Rasulallah saw. tentang ahlul-bait beliau saw, apalagi berbicara tentang kebijakan adil yang dilakukan oleh Amirul Mu’minin ‘Ali bin Abi Thalib ra. dimasa lalu. Itu merupakan hal yang tabu.
Banyak tokoh-tokoh masyarakat yang pada masa itu sengaja menyembunyikan hadits-hadits Nabi yang berkaitan dengan ahlul-bait beliau saw., atau tidak meriwayatkan hadits-hadits dari ahlul-bait beliau saw. (yakni Imam ‘Ali, Al-Hasan, Al-Husain [ra] dan anak cucu keturunan mereka). Ada sebagian dari mereka yang sengaja melakukan dengan maksud politik untuk ‘mengubur’ nama-nama keturunan Rasulallah saw., tetapi banyak juga yang menyembunyikan hadits-hadits demikian itu hanya dengan maksud membatasi pembicaraannya secara diam-diam, demi keselamatan dirinya masing-masing.
Disamping tiga cara tersebut, ada juga yang menempuh cara lain dan tidak kurang buruknya, yaitu mengubah dan mengganti kalimat hadits dari sumber aslinya (yaitu ucapan Rasulallah saw. atau ucapan keluarga beliau saw.). Kita ambil contoh sebuah hadits yaitu Hadits Al-Kisa. Sumber pertama/aslinya hadits ini diriwayatkan oleh isteri beliau sendiri yang bernama Ummu Salamah ra.. Ia menuturkan peristiwanya atas dasar kesaksiannya sendiri sebagai berikut:
“Pada suatu hari Rasulallah saw. berada ditempat kediamanku bersama ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Bagi mereka kubuatkan khuzairah (makanan terbuat dari tepung gandum dan daging). Usai makan mereka tidur, kemudian Rasulallah menyelimutkan diatas mereka Kisa (jenis pakaian yang lebar) atau qathifah (semacam kain halus). Beliau lalu berdo’a: ‘Ya Allah, mereka itulah ahlu-baitku, hilangkanlah kotoran dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya”. (HR. At-Thabari didalam ‘Tafsir-nya’).
Penuturan Ummu Salamah ra diatas ini diriwayatkan juga oleh sumber-sumber lain dengan beberapa perubahan kalimat dan tambahan pada bagian terakhir kalimat (yaitu setelah akhir kalimat ‘mereka sesuci-sucinya’), contohnya berikut ini:
- Ketika itu Ummu Salamah bertanya:‘Apakah aku tidak termasuk mereka’? Rasulallah saw. menjawab: ‘Engkau berada dalam kebajikan’ .
- Ada pula hadits semakna dengan tambahan pada bagian akhir kalimat sebagai berikut: Ummu Salamah ra bertanya: ‘Aku, ya Rasulallah, apakah aku tidak termasuk ahlul-bait’? Rasulallah saw. menjawab: ‘Engkau beroleh kebajikan, engkau termasuk isteri-isteri Nabi’.
- Hadits semakna yang lain lagi dengan tambahan kalimat terakhir: Ummu Salamah berkata: ‘Ya Rasulallah, masukkan aku bersama mereka’. Rasulallah saw. menjawab: ‘ Engkau termasuk ahliku (ahlu-baitku)’.
- Hadits semakna juga dengan tambahan kalimat terakhir sebagai berikut:
Ummu Salamah bertanya : ‘Apakah aku bersama mereka?’ Rasulallah saw. menjawab: ‘Engkau berada ditempatmu, engkau berada dalam kebajikan’.
- Hadits semakna juga yang agak panjang, dengan tambahan kalimat terakhir sebagai berikut: Ummu Salamah bertanya: ‘ya Rasulallah, dan aku’?...Demi Allah, beliau saw. tidak menjawab; ’Ya’. Beliau saw. menjawab: ‘Engkau beroleh kebajikan’”.
Demikianlah kita mengetahui dengan jelas, hadits-hadits tersebut diatas ada kesamaan dalam menyebutkan Imam ‘Ali, Fathimah Az-Zahra, Al-Hasan dan Al-Husain [ra] sebagai ahlu-bait Rasulallah saw.. Akan tetapi dalam “apakah Ummu Salamah (isteri Nabi saw) termasuk ahlu-bait Rasulallah saw”. tidak terdapat kesamaan! Ada yang akhir kalimatnya menegaskan, ‘Engkau berada dalam kebajikan’ ; ada yang menegaskan, ‘Engkau dalam kebajikan, engkau termasuk isteri-isteri Nabi saw.’ ; ada lagi yang menegaskan ‘Engkau termasuk ahliku (ahlu-baitku)’ ; ada lagi yang menegaskan ‘Engkau berada di tempatmu, engkau berada dalam kebajikan’ ; dan masih ada yang menegaskan ‘ Engkau beroleh kebajikan’. (lihat Tafsir At-Thabari jilid XXII ; 5,6,7,8 ; Tuhfatul-Ahwadzi jilid IX ;66 dan Keutamaan Keluarga Rasulallah saw. oleh K.H.Abdullah bin Nuh).
Perbedaan kedudukan isteri Nabi saw. Ummu Salamah ra yang diriwayatkan oleh hadits-hadits diatas masih tidak seberapa menyolok. Sebab bagaimana pun, juga isteri Nabi saw. adalah termasuk keluarga beliau saw., kendati tidak disebut ‘ahlul-bait’. Yang sangat menyolok dan mengejutkan ialah hadits semakna yang memasukkan orang lain kedalam ahlu-bait Rasulallah saw.!! Marilah kita teliti hadits berikut ini:
“Abu ‘Ammar berkata: ‘Aku duduk dirumah Watsilah bin Al-Asqa bersama beberapa orang lain yang sedang membicarakan ‘Ali ra dan mengecamnya. Ketika mereka berdiri (hendak meninggalkan tempat) Watsilah segera berkata: ‘Duduklah, kalian hendak kuberitahu tentang orang yang kalian kecam itu’ (Imam ‘Ali ra). Disaat aku sedang berada di kediaman Rasulallah saw. datanglah ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Beliau kemudian melemparkan Kisa’nya (jenis pakaian yang lebar) kepada mereka seraya bersabda: ‘Ya Allah, mereka ini ahlu-baitku. Ya Allah, hapuskanlah kotoran dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya’. Aku (Watsilah) bertanya: ‘Ya Rasulallah, bagaimanakah diriku’? Beliau menjawab: ‘Dan engkau’! Watsilah bin Al-Asqa’ melanjutkan kata-katanya: ‘Demi Allah, bagiku peristiwa itu merupakan kejadian yang sangat meyakinkan’ “. (Hadits ini tercantum dalam Tafsir At-Thabari jilid XXII : 6, yaitu hadits dari Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dakkain. Ia menerimanya dari ‘Abdussalam bin Harb. ‘Abdussalam menerimanya dari Kaltsum Al-Muharibi yang menerimanya dari Abu ‘Ammar).
Dari semua hadits tersebut diatas yang semakna tapi berbeda kalimatnya pada akhir hadits itu, dapat ditarik pengertian adanya tiga maksud yang hendak dicapai oleh para perawinya:
Pertama: Para perawi semua sepakat bahwa Imam ‘Ali, Siti Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain [ra] adalah ahlu-bait Rasulallah saw.
Kedua: Diantara para perawi tersebut ada yang memasukkan isteri Nabi saw. kedalam ahlu-bait Rasulallah saw. dan ada yang tidak.
Ketiga: Ada pula diantara para perawi yang hendak memasukkan orang lain (pengikut Nabi saw.) kedalam pengertian ‘ahlul-bait’. (mengenai makna ahlul-bait silahkan baca halaman selanjutnya)
Periwayatan para perawi yang berbeda-beda dari peristiwa/kejadian yang sama itu menunjukkan dengan jelas, bahwa “kelainan tidak terletak pada peristiwanya, melainkan pada orang-orang yang meriwayatkannya (para perawi)”. Sadar atau tidak sadar masing-masing terpengaruh oleh suasana persilangan sikap dan pendapat akibat pertikaian politik masa lalu dan permusuhan antar golongan diantara sesama ummat Islam. Kenyataan yang memprihatinkan itu mudah dimengerti, karena ,menurut riwayat, pencatatan atau pengkodikasian hadits-hadits baru dimulai orang kurang lebih pada tahun 160 Hijriah, yakni setelah keruntuhan kekuasaan daulat Bani Umayyah dan pada masa pertumbuhan kekuasaan daulat ‘Abbasiyyah.
Masalah hadits merupakan masalah yang sangat pelik dan rumit. Kepelikan dan kerumitannya bukan pada hadits itu sendiri, melainkan pada penelitian tentang kebenarannya. Identitas para perawi sangat menentukan, apakah hadits yang diberitakan itu dapat dipandang benar atau tidak. Untuk meyakini kebenaran hadits-hadits Rasulallah saw., ada sebagian orang-orang dari keturunan ahlul-bait Nabi saw., dan para pengikutnya menempuh jalan yang dipandang termudah yaitu menerima dan meyakini kebenaran hadits-hadits yang diberitakan oleh orang-orang dari kalangan ahlul-bait sendiri.
Cara demikian ini dapat dimengerti, karena bagaimana pun juga orang-orang dari kalangan ahlul-bait pasti lebih mengetahui peri kehidupan Rasulallah saw., mereka ini lebih menyadari kewajiban menjaga kemuliaan martabat dan kedudukannya ditengah kaum muslimin. Mereka ini tinggal seatap dengan beliau saw., sejak kecil hingga dewasa. Mereka ini adalah orang-orang yang langsung berada dibawah asuhan Rasulallah saw., langsung ber oleh pendidikan dan pengajaran dari beliau saw. Kita tidak sukar membayangkan bagaimana hasil asuhan, pendidikan dan pengajaran yang di berikan oleh seorang Sayyidul-Anbiya wal Mursalin Muhammad saw.. Mereka adalah orang-orang yang besar ketakwaannya kepada Allah swt., membentang tangan untuk beramal kebajikan sebanyak-banyaknya dan menjaga keluhuran akhlak dan budi pekerti. Ini bukan sebagai pengkultusan dan bukan pula pendewa-dewaan jika orang mengatakan, bahwa diantara para ahlu-bait Rasulallah saw. -sesudah Rasulallah saw- Imam 'Ali bin Abi Thalib ra yang paling terkemuka pengetahuan tentang agama Islam. Ini tidak aneh, karena beliau berada dalam jajaran pertama diantara para ahlul-bait beliau saw.. Beliau saudara misan Rasulallah saw, putera asuhan dan anak didik Rasulallah saw. dan sebagai mantu beliau saw..
Beliau tidak pernah absen (kecuali dalam perang Tabuk, dan itu atas permintaan Rasulallah saw.) dalam semua peperangan membela agama Allah dan Rasul-Nya. Beliau tidak hanya seorang yang terluas dan terdalam pengetahuan agamanya dan pengetahuan mengenai bahasa Arab, tetapi beliau juga seorang pendekar dan panglima perang yang paling disegani dan ditakuti lawan. Wajarlah jika mereka itu dipandang sebagai sumber berita-berita hadits yang benar dan dapat dipercaya! Demikianlah pandangan para pengikut dan pencinta ahlul-bait Rasulallah saw. pada mulanya.
Dalam perkembangan zaman-zaman berikutnya, karena para pengikut dan pencinta ahlul-bait teus-menerus dimusuhi oleh hampir semua kekuatan pendukung Bani Umayyah dan Bani ‘Abbas, mereka merasa perlu menyusun kekuatan untuk mempertahankan kelestarian hidupnya. Makin keras pengejaran dan penindasan yang dialami para pengikut dan pencinta ahlu-bait Nabi saw., mereka makin keras berusaha mengkonsolidasi kekuatan, baik mental maupun fisik. Untuk mengimbangi ekstremitas pihak-pihak yang membenci dan mengejar-ngejar mereka, pada akhirnya ada sebagian para pengikut dan pencinta ahlu-bait Nabi saw. yang terperosok pula kedalam ekstremitas yang sama, khususnya dalam hal mengkultuskan pemimpin-pemimpin mereka dari kalangan Ahlul-Bait Rasulallah saw.. Mereka menciptakan teori ajaran tambahan dalam agama Islam untuk membajakan semangat dan kesetiaan kepada ahlul-bait, diluar pengetahuan Imam-imam mereka (dari ahlul-bait) yang telah wafat.
Lebih jauh lagi para pengikut dan pencinta ahlul-bait Rasulallah saw. yang ekstremitas sama sekali tidak mau menerima penafsiran apa pun atau hadits apa pun yang diriwayatkan oleh pihak selain pihak ahlul-bait Rasulallah saw.. Demikianlah pula sebaliknya, pihak lawan pun yang ekstremitas tidak mau menerima penafsiran dan hadits apa pun yang diberitakan oleh pencinta dan pengikut ahlul bait itu. Hadits yang bersumber dari Imam ‘Ali bin Thalib ra pun kadangkala masih mereka tolak, kecuali yang diberitakan oleh ‘Abdullah bin Mas’ud ra. dan rekan-rekannya. Demikianlah sekelumit sejarah Islam mengenai ahlul-bait pada zaman Bani Umayyah dan Bani Abbassyiyah.
Lepas dari itu semua, yang sudah pasti Bani Umayyah dan Bani ‘Abbas itu sudah punah, tapi rupa-rupanya pengaruh politiknya masih berpengaruh sampai zaman kita sekarang, karena sampai detik ini jarang sekali di kumandangkan atau dikenal merata oleh kaum muslimin hadits-hadits mengenai keturunan/nasab (Ahlul-Bait) Rasulallah saw. ini, walaupun sudah banyak dalil-dalil yang gamblang dan jelas baik dari firman Allah swt. atau hadits shohih Nabi saw. mengenai ahlul-bait dan keturunan beliau saw.
Ada sebagian dari golongan ulama yang memutar balik atau menggeser (mentakwil) makna hadits-hadits mengenai ahlul-bait beliau saw. hadits tsaqalain, Safinah dll. hanya berdasarkan pemikiran mereka sendiri dari segi dan istilah bahasa atau dari bidang ilmu atau ketaqwaan, bukan berdasarkan hujjah/dalil dari sunnah Rasul saw.. Ada lagi yang tidak mau menerangkan atau sengaja menyembunyikan riwayat-riwayat mengenai keutamaan ahlul-bait dan keturunannya. Yang lebih jauh dan aneh, ada orang yang masih meragukan dan mengatakan seenaknya sendiri tanpa berdalil sunnah Rasulallah saw. bahwa keturunan Nabi saw. atau cucu Rasulallah saw. semuanya tidak ada, sudah punah dan telah terbantai semuanya pada waktu peperangan antara Sayidina Husain bin Ali bin Abi Thalib dan pengikutnya [ra] dengan golongan Yazid bin Muawiyyah di Kerbala. (Mengenai peperangan di Kerbala bagi orang yang ingin membaca sejarahnya lebih mudahnya silahkan baca buku dalam bahasa Indonesia yang berjudul Husain bin Ali r.a. Pahlawan Besar dan kehidupan islam pada zamannya oleh H.M.H ALHAMID AL-HUSAINI dan tulisan beliau mengenai pribadi-pribadi ahlul-bait Rasulallah saw [imam Ali, Sayidah Fathimah, Imam Ali Zainal Abidin dan lain sebagainya] ).
Begitu juga ada golongan pengingkar ini mengatakan bahwa kita semua keturunan Nabi Adam as., jadi tidak ada perbedaan antara keturunan Rasulallah saw. dengan keturunan lainnya, kecuali orang yang paling bertakwa dan sebagainya. Padahal masalah kemuliaan nasab keturunan keluarga Rasulallah saw. banyak dikemukakan dalam hadits shohih. Kalau memang benar omongan golongan pengingkar ini, kita ingin bertanya; Apa kekhususan atau keistemewaan ayat Ilahi dan hadits-hadits yang akan kami kutip berikut ini dan masih banyak hadits yang tidak tercantum dihalaman ini yang diakui juga oleh para pakar hadits tentang kemuliaan, keutamaan Rasulallah saw, Ahlul-Bait dan keturunannya, kalau semuanya ini sama?! Kami berlindung pada Allah swt. atas kebohongan golongan ini.
Ada lagi karena tidak senang atau dengki kepada keturunan Nabi saw. berani mengatakan dengan konkrit bahwa keturunan ini telah putus dan tidak ada sama sekali atau masih belum konkrit adanya nasab tersebut. Omongan mereka ini menjiplak omongan orang kafir Quraisy kepada Rasulallah saw. waktu putra beliau saw. yang terakhir wafat dan belum sempat memiliki keturunan. Mendengar bisikan-bisikan golongan pengingkar ini kita teringat akan peristiwa nyata pada masa-masa kelahiran agama Islam. Kisah ringkasnya seperti berikut:
“Ketika putera Rasulallah saw. yang bernama Qasim wafat dalam usia kecil, salah seorang tokoh musyrikin Quraisy bernama ‘Ash bin Wa’il bersorak-sorak gembira. Ia bersorak bahwa Rasulallah saw. tidak akan mempunyai keturunan lebih lanjut. Ulah-tingkah dan ucapan ‘Ash bin Wa’il inilah yang menjadi sebab turunnya wahyu Ilahi Surah Al-Kautsar kepada Rasulallah saw. Ayat terakhir surat Al-Kautsar (uraian singkat ayat ini dihalaman berikutnya) telah menegaskan: ‘Sungguhlah, orang yang membencimu itulah yang abtar (putus keturunan)’. Firman Allah swt. terbukti dalam kenyataan yaitu: Keturunan Rasulallah saw. berkembang-biak dimana-mana, sedangkan keturunan ‘Ash bin Wa’il putus dan hilang ditelan sejarah” ! ‘Ash bin Wa’il sudah tiada bersisa, tetapi teriakannya masih mengiang-ngiang ditelinga golongan pengingkar pembenci keturunan Rasulallah saw. tersebut.
Bila Rasulallah saw. tidak mempunyai keturunan, tentu beliau saw. tidak menantang kaum Nasrani, Najran bermubahalah. Kisah peristiwanya terabadikan dalam Al-Qur’an surat Aali ‘Imran : 61 (baca keterangan singkat selanjutnya). Kecuali ini pun, Rasulallah saw. tidak akan diperintah Allah swt. supaya berkata kepada kaum musyrikin Quraisy: “Katakanlah (hai Muhammad) Aku tidak minta upah apa pun dari kalian kecuali kasih sayang dalam (hubungan) kekeluargaan (yakni keluarga/ahlul-bait Muhammad saw.)”. (Asy-Syura : 23). Ayat Asy-Syura ini turun untuk keluarga Rasulallah saw. yakni Imam ‘Ali, Siti Fathimah Az-Zahra, Al-Hasan dan Al-Husain [ra]. Kita bisa rujuk dalam:
Syawahidut Tanzil, oleh Al-Hakim Al-Haskani Al-Hanafi jilid 2, hal.130, hadits ke 822 s/d 828 dan hadits ke 832, 833, 834 dan 838 ; Ash-Shawa’iqul Muhriqah, oleh Ibnu Hajar Asy-Syafi’i cet.Al-Maimaniyah, Mesir hal. 101,135 dan 136, dalam cet.Al-Muhammadiyah, Mesir hal. 168 dan 225 ; Tafsir Ath-Thabari jilid 25, hal.25 cet.ke 2 Mushthafa Al-Halabi, Mesir, hal.14 dan 15 cet.Al-Maimaniyah, Mesir ; Manaqib Ali bin Abi Thalib oleh Ibnu Al-Maghazili Asy-Syafi’i hal.307 hadits ke 352 ; Dzhakhairul ‘Uqba oleh Ath-Thabari Asy-Syafi’i hal.25 dan 138 ; Kifayah Ath-Thalib oleh Al-Kanji Asy-Syafi’i hal.91,93,313 cet.Al-Haidariyah, hal.31,32,175,178 cet.Al-Ghira ; Al-Fushul Al-Muhimmah oleh Ibnu Shabagh Al-Maliki hal.11 ; Ad-Durrul Mantsur oleh As-Suyuthi jilid 6 hal.7; Al-Mustadrak Al-Hakim jilid 3 hal.172 ; Ihyaul Mayt oleh As-Suyuthi Asy-Syafi’i (catatan pinggir) Al-Ittihaf hal.110 ; Tafsir Al-Qurthubi jilid 16 hal.22 ; Tafsir Ibnu Kathir jilid 4 hal.112 ; Tafsir Fakhrur Razi jilid 27 hal.166 cet.Abdurrahman Muhammad, Mesir jilid 7 hal.405-406 ; Tafsir Al-Baidhawi jilid 4 hal.123, cet.Mushthafa Muhammad, Mesir, jilid 5 hal.53 cet.Darul Kutub, hal. 642 cet.Al’Utsmaniyah ; Tafsir An-Nasafi jilid 4, hal. 105 ; Majma’uz Zawaid jilid 7, hal.103 dan jilid 9 hal. 168 ; Fathul Bayan fi Maqashidil Qur’an oleh Shiddiq Al-Hasan Khan jilid 8 hal.372 ; Yanabi’ul Mawaddah oleh Al-Qundusi hal.106,194,261 cet.Istanbul, hal.123,229,311 cet.Al-Haidariyah ; Fathul Qadir oleh Asy-Syaukani jilid 4 hal.537 cet.kedua, jilid 4 hal.22 cet.pertama, Mesir…Dan masih banyak lagi yang tidak saya cantumkan disini.
Memandang ahlulbait dan keturunan Rasulallah saw. sebagai orang-orang yang mulia sama sekali tidak mengurangi makna atau arti firman Allah swt. dalam surat Al-Hujurat : 13 berikut ini:
يَآ اَيُّهَا النَّـاسُ إنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَّ أنْثىَ وَجَعَلنَاكُمْ شُعُوبًا وَّ قَبَآئِل َلِـتَعَارَفُوْا, إنَّ أكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أتقَاكُم
Artinya: “Wahai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian terhadap Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu “.
Dan tidak pula mengurangi makna sabda Rasulallah saw. yang mengatakan : “Tiada kelebihan bagi orang Arab atas orang bukan Arab (‘ajam), dan tiada kelebihan bagi orang bukan Arab atas orang Arab kecuali karena taqwa”.
Begitu juga firman Allah Al-Hujurat : 13 dan hadits Rasulallah saw. diatas ini tidak bertentangan dengan surat Al-Ahzab : 33 yang menegaskan :
إنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah hendak menghapuskan noda dan kotoran (ar-rijsa) dari kalian, ahlul-bait, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya”
Kemuliaan yang diperoleh seorang beriman dari kebesaran taqwanya kepada Allah dan Rasul-Nya adalah kemuliaan yang bersifat umum, yakni hal ini dapat diperoleh setiap orang yang beriman dengan jalan taqwa. Lain halnya dengan kemuliaan ahlul-bait dan keturunan Rasulallah saw. Mereka memperoleh kemuliaan berdasarkan kesucian yang dilimpahkan dan dikaruniakan Allah swt. kepada mereka sebagai keluarga dan keturunan Rasulallah saw. Jadi kemuliaan yang ada pada mereka ini bersifat khusus, dan tidak mungkin dapat diperoleh orang lain yang bukan ahlul-bait dan bukan keturunan Rasulallah saw..
Akan tetapi itu bukan berarti bahwa keturunan Rasulallah saw. tidak diharuskan bertaqwa kepada Allah dan Rasul-Nya. Malah sebaliknya, Allah swt. berfirman dalam surat Al-Ahzab:30-31 bahwa bila mereka (ahlul-bait) berbuat maksiat akan dilipatkan dua kali dosanya dan bila mereka berbuat kebaikan akan dilipatkan dua kali pahalanya. Dengan memperbesar ketaqwaan pada Allah dan Rasul-Nya mereka ini memperoleh dua kemuliaan yaitu kemuliaan khusus dan kemuliaan umum. Sedangkan orang-orang selain mereka ini dengan ketaqwaan kepada Allah dan Rasul-Nya hanya memperoleh kemuliaan umum. Itulah yang membedakan martabat kemuliaan ahlul-bait dan keturunan Rasulallah saw. dengan martabat kemuliaan orang-orang selain ahlul-bait dan keturunan Rasulallah saw.. Ketinggian martabat yang di berikan Allah swt. kepada mereka (ahlul-bait) ini merupakan penghargaan Allah swt. kepada Rasul-Nya junjugan kita Muhammad saw..
Begitu pun juga kemuliaan para sahabat yang setia dan patuh pada Nabi saw. Allah swt. telah menyatakan pujian dan penghargaan-Nya atas kesetiaan mereka kepada Allah swt. dan Rasul-Nya serta keikhlasan mereka dalam perjuangan menegakkan kebenaran Allah swt. dimuka bumi. Hal ini diungkapkan dalam firman-firman Allah swt. (Aali Imran ; 110 ; Al-Baqarah ; 143 ; At Tahrim ; 8 ; Al-Fath ; 18 ; At-Taubah ; 100 ; Al-Anfal : 64 dan lain-lain).
Keturunan nabi saw. merupakan orang-orang yang memiliki fadhilah dzatiyyah (keutamaan dzat) yang dikaruniakan Allah swt. kepada mereka melalui hubungan darah/pertalian nasab dengan manusia pilihan Allah swt. dan paling termulia Rasulallah saw. Jadi bukan pilihan atau maunya mereka sendiri untuk menjadi keturunan nabi saw. dan bukan berdasarkan fadhilah pengamalan baik mereka melainkan telah menjadi qudrat dan kehendak Ilahi sejak mula. Karena itu tidak ada alasan apapun untuk merasa iri hati,dengki terhadap keutamaan mereka. Hal inilah justru yang dipertanyakan Allah swt. dalam firman-Nya:
اَمْ يَحْسُدُوْنَ النَّاسَ عَلَى مَا آتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ
Artinya: “..Ataukah (apakah) mereka (orang-orang yang dengki) merasa irihati (hasut) terhadap orang-orang yang telah diberi karunia oleh Allah “ (An-Nisa’ : 54)
Orang-orang yang dihasuti dan yang diberi karunia dalam ayat tersebut adalah Keturunan/Ahlul Bait Rasulallah saw. silahkan rujuk:
Syawahidut Tanzil, oleh Al-Hakim Al-Haskani Al-Hanafi, jilid 1, hal.143 hadits ke 195, 196,197,198; Manaqib Al-Imam Ali bin Abi Thalib, oleh Al-Maghazili Asy-Safi’I, hal.467 hadits ke 314 ; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, hal.142, 328 dan 357 cet, Al-Haidariyah hal.121, 274 dan 298, cet.Istanbul ; Ash-Shawa’iqul Muhriqah, oleh Ibnu Hajar Asy-Syafi’i, hal.150 cet.Al- Muhammadiyah, hal. 91 cet. Al-Maimaniyah, Mesir ; Nurul Abshar oleh Asy-Syablanji hal.101, cet.Al-'Utsmaniyah, hal.102 cet.As- Sa’idiyah ; Al-Ittihaf Bihubbil Asyraf, oleh Asy-Syibrawi Asy-Syafi’i, hal. 76 ; Rasyafah Ash-Shadi, oleh Abu Bakar Al-Hadrami, hal. 37 ; Al-Ghadir, oleh Al-Amini jilid 3, hal. 61 dan masih banyak lagi lainnya.
Juga fadhilah dzatiyyah yang dikaruniakan Allah swt. kepada para keturunan Rasulallah saw. sama sekali tidak lepas dari rasa tanggung jawab mereka yang lebih berat dan lebih besar daripada yang harus dipikul orang lain. Mereka ini harus selalu menyadari kedudukannya ditengah-tengah ummat Islam. Mereka wajib menjaga diri dari ucapan-ucapan, perbuatan dan sikap yang dapat mencemarkan kemuliaan keturunan Muhammad Rasulallah saw. Mereka wajib pula menyadari tanggung jawabnya yang lebih besar atas citra Islam dan ummatnya.
Dengan demikian maka kewajiban menghormati mereka yang dibebankan oleh syari’at kepada kaum muslimin dapat diwujudkan dengan sebaik-baiknya. Tidak akan ada kesan bahwa para keturunan Rasulallah saw. menonjol-nonjol diri menuntut penghormatan dari orang lain, karena kaum muslimin yang menghayati syari’at Islam pasti menempatkan mereka pada kedudukan sebagaimana yang telah menjadi ketentuan syari’at. Kami rasa kemuliaan dan kedudukan mereka perlu dipahami oleh kaum muslimin, terutama oleh orang-orang keturunan Ahlul Bait sendiri sebagai pihak yang paling berkewajiban menjaga kemuliaan martabat Rasulallah saw. dan Ahlul Bait beliau saw.
Begitu juga suatu kesalahan atau kekeliruan tidak akan disorot oleh masyarakat setajam kesalahan atau kekeliruan yang diperbuat oleh orang-orang keturunan Ahlul-Bait. Apalagi pandangan masyarakat yang dengki atau tidak senang dengan Ahlul-Bait, mereka ini akan lebih memperuncing dan mempertajam kesalahan dan kekeliruan yang diperbuat oleh orang keturunan Ahlul-Bait serta menyembunyikan hadits-hadits yang berkaitan dengan kemuliaan mereka ini.
Al-Ustadz (gelar yang diberikan penduduk hadlramaut/yaman selatan untuk As-Sayid Al-’Allamah Abdullah bin Alwi Al-haddad ra., beliau ini adalah keturunan dari Rasulallah saw) mengatakan dalam kitab An-Nashoih, antara lain sebagai berikut:
"Memuji dan menyanjung diri sendiri, membanggakan leluhur dari ahli agama dan orang-orang utama dan juga menyombongkan nasab, semua itu merupakan perbuatan tercela dan sangat buruk sekali. Banyak sekali keturunan orang mulia yang tidak punya bashiroh dan tidak tahu hakikat agama, mendapat cobaan seperti ini. Barangsiapa membanggakan nasab dan leluhurnya, seraya memandang rendah kepada orang lain, maka dia akan kehilangan berkahnya para leluhur...." (Is’adur-Rofiq juz II, hal.85). Dalam kitab beliau al-Fushuul al-’Ilmiyyah wal Ushul al-Hikamiyyah dalam bab ke-25 halaman 88 – 91, beliau rahimahullah antara lain menulis:
- …Dan telah berkata sebagian orang; apabila dikatakan kepadanya,’seseorang dari kalangan Ahlil Baitin Nabawi telah melakukan perbuatan-perbuatan yang menyalahi ajaran agama dan bercampur baur perbuatannya antara makrifat dan maksiat’, maka mereka menjawabnya dengan kata-kata: “Mereka itu Ahlul Bait Rasulillah saw. Rasulallah adalah pemberi syafaat bagi mereka dan barangkali dosa-dosa mereka tidak mencelakakan mereka”. Ini adalah ucapan yang amat buruk, yang mencelakakan diri orang yang berkata dan juga mencelakakan diri orang jahil yang dimaksud itu. Bagaimana seseorang boleh berkata demikian, sedangkan kitab Allah yang mulia telah menunjukkan bahwasanya Ahlul-Bait dilipatkan bagi mereka pahala atas segala kebajikan mereka dan demikian juga dilipatkan hukuman terhadap dosa kesalahan mereka. Sebagaimana firman Allah swt dalam surah al-Ahzab:30-31 yang artinya: Wahai isteri-isteri Nabi, siapa-siapa diantaramu yang melakukan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipat gandakan siksaan kepada mereka.dua kali lipat. Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah. Dan barangsiapa diantara kamu semua sekalian (isteri-isteri Nabi saw) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang sholeh, niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat, dan Kami sediakan baginya rizki yang mulia”.
Dan para isteri junjungan Nabi saw adalah dari kalangan Ahlil Bait baginda saw. Maka barangsiapa yang berkata atau menyangka bahwa meninggalkan ketaatan dan melakukan maksiat tidak akan mencelakakan seseorang dikarenakan kemuliaan nasabnya dan karena kesholehan datuknya, maka dia telah mendustai Allah swt dan menyalahi ijmak kaum muslimin.
…Dan barangsiapa dari kalangan Ahlul-Bait yang tidak menjalani jalan para salaf mereka yang suci, dimana telah masuk pada mereka sesuatu percampuran antara taat dan maksiat karena kejahilan, maka sewajarnya juga mereka ini dimuliakan dan dihormati karena hubungan kekerabatan mereka dengan junjungan Nabi saw. Dan barangsiapa yang mampu memberi nasihat (kepada mereka) maka hendaklah dia tidak meninggalkan menasihati mereka dan mendorong mereka untuk mengikuti perjalanan shalafus-sholeh mereka yang terdahulu dari segi ilmu, amal-amal sholeh, akhlak yang baik, sirah perjalanan hiudp yang diridhai. Kabarkanlah kepada mereka bahwasanya mereka paling utama dan lebih berhak untuk berbuat sedemikian dibandingkan manusia lain. Dan maklumkan juga bahwa nasab semata-mata tidak bermanfaat dan tidak menjadikan derajat seseorang itu tinggi, selagi mana dia mengabaikan ketakwaan, mencintai dunia, meninggalkan ketaatan dan mencemarkan diri dengan berbagai perbuatan yang menyalahi ajaran agama. Para penyair dari kalangan para Imam dan Ulama telah memberi penekanan mengenai masalah ini dalam syair-syair mereka, sehingga sebagian dari mereka mengatakan:
Sungguh tidaklah manusia melainkan anak agamanya
Maka jangan kau tinggal takwa demi mengunggulkan nasab
DenganIslam telah ditinggikan derajat Salman orang Farsi
Manakala syirik merendahkan orang berbangsa si Abu Lahab.
Demikianlah antara lain kalam dari As-Sayid Al-’Allamah Abdullah bin Alwi Al-haddad.
Al-’Allamah Ibnu Hajar dalam kitabnya Ash-Shawaiqul-Muhriqah menerangkan sebagai berikut: “Barangsiapa mengganggu salah seorang putera (Siti) Fathimah, ia akan menghadapi bahaya karena perbuatannya itu membuat marah (Siti) Fathimah ra. Sebaliknya, barang siapa mencintai putera-putera (termasuk keturunannya), ia akan memperoleh keridhoannya. Para ulama Khawash (para ulama yang mempunyai keistemewaan khusus) merasa didalam hatinya terdapat keistemewaan yang sempurna karena kecintaan mereka kepada Rasulallah saw, ahlul-bait serta keturunannya atas dasar pengertian, bahwa ahlul-bait dan keturunan beliau saw adalah orang-orang yang dimulia kan oleh Allah swt. Selain itu mereka (para ulama khawash) juga mencintai anak-anak (keturunan) sepuluh orang sahabat Nabi saw yang telah dijanjikan masuk surga, disamping itu mereka (para ulama khawash) juga mencintai anak-anak keturunan para sahabat Nabi yang lain. Mereka memandang semua keturunan sahabat Nabi sebagaimana mereka memandang para orang tua mereka.
Selanjutnya Ibnu Hajar mengatakan: ‘Orang harus menahan diri jangan sampai mengecam mereka (ahlul-bait dan keturunan Rasulallah saw). Jika ada seorang diantara mereka yang berbuat fasik berupa bid’ah atau lainnya, yang harus dikecam hanyalah perbuatannya, bukan dzatnya, karena dzatnya itu merupakan bagian dari Rasulallah saw, sekali pun antara dzat beliau dan dzat orang itu terdapat perantara (wasa’ith)”.
Dalil dan fatwa para ulama agar mencintai, memuliakan ahlul-bait/keturunan Rasulallah saw.
Ayat Asy-Syura:23 yang telah kami kemukakan, lazim dikenal dengan nama ayat mawaddah, memberi peringatan kepada kaum muslimin, bahwa cinta kasih kepada ahlu-bait Rasulallah saw. adalah diminta oleh beliau saw. Sesuatu yang diminta oleh beliau saw, hukumnya wajib, sebab permintaan dalam hal seperti itu sama artinya dengan perintah yang diajukan dengan rendah hati, kata-kata sopan dan halus. Selain itu berarti pula, permintaan beliau mengenai itu mempunyai kedudukan hukum kuat, karena telah menjadi ketetapan yang di firmankan Allah swt.
Para imam ahli tafsir banyak membicarakan ayat tersebut, terutama mengenai kata al-qurba (orang-orang terdekat), yakni keluarga, ahlul-bait, aal dan kerabat. Sebagaimana telah kita ketahui makna umum dari kata tersebut adalah para isteri Rasulallah saw., anak cucu beliau saw. dan kerabat beliau (orang-orang Bani Hasyim) yakni mereka yang diharamkan menerima shodaqah. Sedangkan makna khususnya dalam hal itu ialah sebagaimana yang dikatakan oleh Imam As-Suyuthi dan lain-lain ialah Imam ‘Ali bin Abi Thalib ra, Siti Fathimah Az-Zahra ra. dan dua orang puteranya, Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma.
Atas pertanyaan Thawus, Ibnu ‘Abbas ra, menjawab bahwa yang dimaksud Al-qurba dalam ayat tersebut ialah ahlul-bait Muhammad saw.
Al-Muqrizy menafsirkan ayat al-mawaddah itu sebagai berikut: “Aku tidak minta imbalan apa pun kepada kalian atas agama yang kubawakan kepada kalian itu, kecuali agar kalian berkasih-sayang kepada keluargaku (keluarga Rasulallah saw.)”.
Abul-‘Aliyah mengatakan bahwa Sa’id bin Jubair ra. menafsirkan kata al-qurba dalam ayat tersebut ialah Kerabat Rasulallah saw..
Abu Ishaq mengatakan, ketika ia menanyakan makna al-qurba dalam ayat itu kepada ‘Amr bin Syu’aib ia beroleh jawaban, bahwa yang dimaksud ialah kerabat Rasulallah saw.
Imam Zamakhsyari didalam Al-Kasy-syaf sekaitan dengan penafsirannya mengenai ayat al-mawaddah itu, ia mengetengahkan sebuah hadits panjang, yang kemudian dikutip oleh Imam Al-Fakhrur-Razi didalam Al-Kabir. Hadits itu menuturkan bahwasanya Rasulallah saw. mengingatkan ummatnya agar mencintai keluaga (aal) Muhammad saw.: “Barangsiapa wafat dalam keadaan mencintai keluarga (aal) Muhammad ia mati syahid. Sungguhlah, siapa yang wafat dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad, orang itu beroleh ampunan atas dosa-dosanya.. …dan seterusnya” .
Minta imbalan atas da’wah Risalah memang suatu hal yang tidak pada tempatnya, karena itu Allah swt. menegaskan lagi dalam firman-Nya yang lain: “Katakanlah hai Muhammad Aku tidak minta imbalan apa pun atas hal itu dakwah Risalah dan aku bukan orang mengada-ada” (As-Shad:86)
Menurut penafsiran Al-Khatib dan Al-Khazin makna kata minta dalam ayat Asy-Syura:23 tersebut harus ditafsirkan seruan, yakni seruan Rasulallah saw. kepada ummatnya agar menjunjung tinggi dan melaksanakan prinsip kekeluargaan dan kasih sayang diantara sesama kaum muslimin, khususnya kasih sayang terhadap ahlu-bait beliau saw.. Ath-Thabrani dan lain-lain juga mengetengahkan beberapa hadits Nabi saw. mengenai kecintaan kepada ahlu-bait Rasulallah saw. antara lain:
“Seorang hamba Allah belum sempurna keimanannya sebelum kecintaannya kepadaku melebihi kecintaannya kepada diri sendiri, sebelum kecintaannya kepada keturunanku melebihi kecintaannya kepada keturunannya sendiri, sebelum kecintaannya kepada ahlu-baitku (keluargaku) melebihi kecintaan kepada keluarganya sendiri dan sebelum kecintaannya kepada dzat-ku melebihi kecintaan kepada dzat-nya sendiri”.
“Ahlu-baitku dan para pencintanya dikalangan ummatku akan bersama-sama masuk surga seperti dua jari telunjuk ini”.
“Hendaklah kalian tetap memelihara kasih-sayang dengan kami ahlu-bait sebab (pada hari kiamat kelak) orang yang bertemu dengan Allah dalam keadaan mencintai kami akan masuk surga dengan syafa’at kami. Demi Allah yang nyawaku berada ditangan-Nya, amal seorang hamba Allah tidak bermanfaat baginya tanpa mengenal hak-hak kami”.
Ath-Tabrani dalam Al-Ausath mengetengahkan hadits dari Ibnu ‘Umar ra. mengatakan: “Perkataan terakhir yang diucapkan Rasulallah saw. adalah; ’Teruskanlah perlaku- an yang telah kuberikan kepada ahlu-baitku’ ”.
Dari sumber yang sama, Ath-Thabrani mengetengahkan hadits berikut:
“Allah swt.menetapkan tiga hurumat (hal-hal yang wajib dihormati dan tidak boleh dilanggar). Barangsiapa menjaga baik-baik tiga hurumat itu, Allah akan menjaga urusan agamanya dan keduniannya. Dan barang siapa tidak mengindahkannya, Allah tidak akan mengindahkan sesuatu baginya. Para sahabat bertanya: ‘Apa tiga hurumat itu, ya Rasulallah’?. Beliau saw. menjawab: ‘Hurumatul -Islam, hurumatku dan hurumat kerabatku’ ”.
Ath-Thabrani dalam Al-Ausath juga meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Jabir bin Abdullah yang mengatakan, ia mendengar sendiri dari Rasulallah saw. dalam suatu khutbah bersabda: “Hai manusia, barangsiapa membenci kami, ahlu-bait, pada hari kiamat Allah akan menggiringnya sebagai orang Yahudi”.
Abu Sa’id Al-Khudri ra meriwayatkan bahwasanya ia mendengar Rasulallah saw. tegas berkata: “Orang yang membenci kami ahlul-bait pasti akan di masukkan Allah kedalam neraka”.
Ad-Dailami mengetengahkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulallah saw. memberitahu ummatnya: “Barangsiapa yang hendak bertawassul (berwasilah) dan ingin mendapat syafa’atku pada hari kiamat kelak, hendaklah ia menjaga hubungan silatur-rahmi dengan ahlu-baitku dan berbuat menggembirakan mereka”.
Dalam hadits lainnya Ad-Dailami mengetengahkan berasal dari Imam ‘Ali kw. yang menuturkan: “Diantara kalian yang paling mantap berjalan diatas sirath ialah yang paling besar kecintaannya kepada ahlu-baitku dan para sahabatku ”.
Imam Ahmad bin Hanbal mengetengahkan sebuah hadits bahwa Rasulallah saw. menuturkan: “Empat golongan yang akan memperoleh syafa’atku pada hari kiamat: Orang yang menghormati keturunanku, orang yang memenuhi kebutuhan mereka, orang yang berusaha membantu urusan mereka pada saat diperlukan dan orang yang mencintai mereka dengan hati dan lidahnya”. Dua buah hadits lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal yaitu:
“Barangsiapa mencintaiku dan mencintai keduanya itu yakni Al-Hasan dan Al-Husain serta mencintai ibu dan bapak mereka yakni Siti Fathimah Az-Zahra dan Imam ‘Ali bin Abi Thalib [ra] kemudian ia meninggal dunia sebagai pengikut sunnahku, ia bersamaku didalam surga yang sederajat”.
“Pada hari kiamat aku akan menjadi syafi’ (penolong) bagi empat golongan Yang menghormati keturunanku; yang memenuhi kebutuhan mereka; yang berupaya membantu urusan mereka pada waktu diperlukan dan yang mencintai mereka sepenuh hati”.
Imam Ahmad bin Hanbal mengetengahkan lagi hadits marfu’, bahwasanya Rasulallah saw. telah menegaskan: “Siapa yang membenci ahlul-bait ia adalah orang munafik”. Sekaitan dengan hadits ini Imam Ahmad bin Hanbal mengetengahkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulallah saw. telah menyatakan juga: “Surga diharamkan bagi orang yang berlaku dzalim terhadap ahlu-baitku dan menggangguku melalui keturunanku”.
Sebuah hadits yang diketengahkan oleh Al-Hakim dari Zaid bin Arqam ra. Rasulallah saw. menegaskan antara lain:
“…Mereka (Ahlu-Bait beliau) adalah keturunanku, diciptakan dari darah-dagingku dan dikarunia pengertian serta pengetahuanku. Celakalah orang dari ummatku yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan hubungan denganku melalui (pemutusan hubungan dengan) mereka. Kepada orang-orang seperti itu Allah tidak akan menurunkan syafa’atku (pertolonganku)”.
Abu Sa’id didalam kitab Syarafuddin Nubuwwah mengetengahkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulallah saw. berkata kepada Siti Fathimah ra: “Hai Fathimah, engkau marah Allah marah, dan engkau ridho (puas) Allah ridho”.
Al-‘allamah Ibnu Hajar dalam kitabnya Ash-Shawaiqul-Muhriqah menerangkan sebagai berikut: “Barangsiapa mengganggu salah seorang putera (Siti) Fathimah, ia akan menghadapi bahaya karena perbuatannya itu membuat marah (Siti) Fathimah ra. Sebaliknya, barang siapa mencintai putera-putera (termasuk keturunannya), ia akan memperoleh keridhoannya. Para ulama Khawash (para ulama yang mempunyai keistemewaan khusus) merasa didalam hatinya terdapat keistemewaan yang sempurna karena kecintaan mereka kepada Rasulallah saw., dan ahlul-bait serta keturunannya atas dasar pengertian, bahwa ahlul-bait dan keturunan beliau saw. adalah orang-orang suci (dimuliakan oleh Allah swt.). Selain itu mereka (para ulama khawash) juga mencintai anak-anak (keturunan) sepuluh orang (sahabat Nabi saw.) yang telah dijanjikan masuk surga, disamping itu mereka (para ulama khawash) juga mencintai anak-anak keturunan para sahabat Nabi yang lain. Mereka memandang semua keturunan sahabat Nabi sebagaimana mereka memandang para orang tua mereka.
Selanjutnya Ibnu Hajar mengatakan: “Orang harus menahan diri jangan sampai mengecam mereka (ahlul-bait dan keturunan Rasulallah saw.). Jika ada seorang diantara mereka yang berbuat fasik berupa bid’ah (baca keterangan apa yang dimaksud Bid’ah diwebsite ini) atau lainnya, yang harus di kecam hanyalah perbuatannya, bukan dzatnya, karena dzatnya itu merupakan bagian dari Rasulallah saw., sekali pun antara dzat beliau dan dzat orang itu terdapat perantara (wasa’ith)”.
Semua pemimpin dan para ulama kaum Salaf (generasi terdahulu) dan Khalaf (generasi belakangan/berikutnya) memupuk kecintaan masing-masing kepada ahlu-bait Rasulallah saw.. Imam Bukhori didalam Shohihnya mengetengahkan ucapan khalifah Abubakar ra.: “Jagalah baik-baik wasiat Muhammad saw. mengenai ahlu-bait beliau”.
Khalifah Abubakar sendiri dengan tegas pernah berkata: “Kerabat Rasulallah saw. lebih kucintai daripada kerabatku sendiri”.
Al-Mala dalam kitab Sirah-nya mengetengahkan sebuah hadits bahwasanya Rasulallah saw mewanti-wanti: “Wasiatkanlah kebajikan bagi ahlu-baitku. Pada hari kiamat besok kalian akan kugugat mengenai ahlu-baitku. Orang yang kelak menjadi lawanku ia menjadi lawan Allah dan siapa yang menjadi lawan Allah ia akan dimasukkan kedalam neraka”.
Ibnu Taimiyyah seorang ulama yang diandalkan juga oleh golongan pengingkar didalam kitabnya Risholatul-Furqan halaman 163 mengetengahkan pembahasan mengenai aal (ahlul-bait) Muhammad Rasulallah saw. Banyak hadits shohih yang dikemukakan sebagai dasar dan sekaligus juga sebagai dalil. Salah satu diantaranya ialah Hadits Tsaqalain (baca hadits Tsaqalain—pada kajian berikutnya—pen) yang diriwayatkan oleh Zaid bin Arqam ra. Hadits ini oleh Ibnu Taimiyyah disebut dalam pembahasannya mengenai ta’rif (definisi) aal Muhammad saw. Hadits tersebut ialah:
“..Dan kutinggalkan kepada kalian dua bekal (berat). Yang pertama adalah Kitabullah, didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang. Ambillah (terimalah) Kitabullah itu dan berpeganglah teguh padanya… dan (yang kedua) ahlu-baitku. Kalian kuingatkan kepada Allah mengenai ahlu-baitku...kalian kuingatkan kepada Allah mengenai ahlu-baitku ! Kalian ku ingatkan kepada Allah mengenai ahlu-baitku”.
Dalam pembicaraannya mengenai hak-hak ahlu-bait Rasulallah saw. dalam kitabnya yang berjudul Al-Washiyyatul-Kubra halaman 297, Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Demikianlah, para anggota keluarga (ahlu-bait) Rasulallah saw. mempunyai beberapa hak yang harus dipelihara dengan baik oleh umat Muhammad. Kepada mereka Allah swt. telah memberi hak menerima bagian dari seperlima ghanimah (harta rampasan perang), yang ketentuannya telah ditetapkan Allah swt. dalam Al-Qur’anul Karim (S.Al-Anfal:41). Selain hak tersebut mereka juga mempunyai hak lain lagi, yaitu hak beroleh ucapan shalawat dari ummat Muhammad saw., sebagaimana yang telah diajarkan oleh beliau saw. kepada ummatnya, agar senantiasa berdo’a sebagai berikut:
“Ya Allah limpahkanlah sholawat kepada Muhammad dan kepada aal (ahlu-bait, keluarga) Muhammad, sebagaimana yang telah Engkau limpahkan kepada Ibrahim dan aal Ibrahim. Sesungguhnyalah Engkau Maha Terpuji lagi maha Agung. Berkatilah Muhammad dan aal Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberkati Ibrahim dan aal Ibrahim”.
Sekaitan dengan hak atas ucapan sholawat yang diperoleh aal atau ahlu-bait Rasulallah saw., Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya yang sama ini mengetengahkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ka’ah bin Syajarah beberapa saat setelah surat Al-Ahzab : 56 turun. Kata Ka’ah: “Kami para sahabat bertanya: ‘Ya Rasulallah, kami telah mengetahui bagaimana cara mengucapkan salam kepada anda, tetapi bagaimanakah cara kami mengucapkan sholawat kepada anda’? Rasulallah saw. menjawab: ‘Ucapkanlah: Ya Allah, limpahkan lah sholawat kepada Muhammad dan kepada aal Muhammad’ ”.
Ibnu Taimiyyah mengemukakan juga hadits lain yang berasal dari para sahabat Nabi saw, bahwasanya Rasulallah saw. mengingatkan para sahabat nya: “Janganlah kalian bersholawat untukku dengan sholawat batra, (yakni sholawat terputus tanpa lanjutan). Para sahabat bertanya: ‘Ya Rasulallah, apakah yang dimaksud sholawat batra’?. Beliau saw. menjawab: ‘Kalian mengucapkan: ‘Ya Allah limpahkanlah sholawat kepada Muhammad, lalu kalian berhenti disitu’ ! Ucapkanlah: ‘Ya Allah limpahkanlah sholawat kepada Muhammad dan kepada aal Muhammad’ “. (Lihat Mahmud Syarqawi ‘Sayyidatu Zainab ra :21).
Ibnu Taimiyyah ini tidak berbeda pendapat dengan Ibnul-Qayyim mengenai pengertian yang dimaksud aal Muhammad yaitu semua orang yang di haramkan menerima shodaqah dan mempunyai hak atas bagian dari seperlima ghanimah. Mereka ini adalah keturunan Rasulallah saw, semua orang Bani Hasyim dan para isteri Rasulallah saw. (Ummahatul-Mu’minin).
Didalam kitabnya yang lain yaitu Risalah Al-‘Aqidah Al-Washithiyyah, Ibnu Taimiyyah dalam menerangkan keyakinan kaum Ahlus-Sunnah dan mengecam kaum Rawafidh (kelompok sesat yang mendewa-dewakan dan menuhankan Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw.) dan kaum Nawashib (kelompok sesat yang memusuhi keluarga dan kerabat Rasulallah saw.), berkata antara lain: “Mereka (kaum Ahlus-Sunnah) mencintai aal (ahlu-bait, keluarga) Rasulallah saw. Mereka memandang aal beliau sebagai para pemimpin agama yang wajib dihormati dan dijaga baik-baik kedudukan dan martabatnya. Itu sesuai dengan wasiat yang diucapkan Rasulallah saw. di Ghadir Khum: ‘…Kalian kuingatkan kepada Allah mengenai ahlu-baitku !’ (baca hadits Tsaqalain—pada halaman lain--pen). Mengenai cinta kasih kepada aal Muhammad saw. yang wajib diberikan oleh kaum muslimin, Ibnu Taimiyyah menyebut dua bait sya’ir dari Imam Syafi’i rahimahullah:
“Hai ahlu-bait Rasulallah, bahwa kecintaan kepada kalian
Kewajiban dari Allah yang diturunkan dalam Al-Qur’an
Cukuplah bukti betapa tinggi nilai martabat kalian
Tiada sempurna shalat tanpa sholawat bagi kalian “
Setelah menunjuk beberapa kitab sebagai rujukan dan menyebut juga be berapa hadits, Ibnu Taimiyyah menyebut jawaban Rasulallah saw. kepada pamannya, Al-‘Abbas, ketika ia mengadu kepada beliau adanya perlakuan kasar dari sementara orang terhadap dirinya. Dalam jawabannya itu Rasulallah saw. menegaskan: “Demi Allah yang nyawaku berada ditangan-Nya, mereka tidak akan masuk surga selama mereka belum mencintai kalian karena aku”.
Hadits semakna disebut juga oleh Ibnu Taimiyyah, yaitu hadits yang diketengahkan oleh Turmudzi, tercantum didalam Musnad Imam Ahmad bin Hanbal berasal dari Mutthalib bin Rabi’ah yang menuturkan bahwa jawaban Rasulallah saw. kepada ‘Abbas ra. ialah: “Demi Allah iman tidak akan masuk kedalam hati seseorang selama ia belum mencintai kalian karena Allah dan karena kalian itu kerabatku”! Konon beliau saw. mengucapkan jawaban tersebut dalam keadaan wajah beliau tampak agak gusar.
Didalam kitabnya yang berjudul Darajatul-Yaqin halaman 149, Ibnu Taimiyyah menyatakan: “Dalam kehidupan ummat manusia tidak ada kecintaan yang lebih besar, lebih sempurna dan lebih lengkap daripada kecintaan orang-orang beriman kepada Allah, Tuhan mereka. Di alam wujud ini tidak ada apa pun yang berhak dicintai tanpa karena Allah. Kecintaan kepada apa saja harus dilandasi kecintaan kepada Allah swt.. Muhammad saw. dicintai ummatnya demi karena Allah, ditaati karena Allah dan di ikuti pun karena Allah. Yakni sebagaimana yang difirmankan Allah swt. dalam Al-Qur’anul-Karim (S.Aali ‘Imran : 31): ‘(Katakanlah hai Muhammad): Jika kalian benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian’ “!
Begitu juga sebagai bukti tentang betapa hormat dan betapa besar kecintaan para sahabat Nabi kepada ahlu-bait beliau saw, Ibnu Taimiyyah dalam Al-Iqtidha halaman 79 berkata: “Lihatlah ketika khalifah Umar ra. menetapkan daftar urutan pembagian jatah tunjangan dari harta Allah (Baitul-Mal) bagi kaum muslimin. Banyak orang yang mengusulkan agar nama Umar bin Al-Khattab ditempatkan pada urutan pertama. Umar tegas menolak; ‘Tidak! Tempatkanlah Umar sebagaimana Allah menempatkannya!’. Umar kemudian memulai dengan para anggota ahlu-bait Rasulallah saw. Kemudian menyusul orang-orang lain hingga tiba urutan orang-orang Bani ‘Adiy kabilah Umar ra sendiri. Mereka itu (para penerima tunjangan) adalah orang-orang Quraisy yang sudah jauh terpisah hubungan silsilahnya. Namun urutan seperti itu tetap dipertahankan oleh Khalifah Umar dalam memberikan hak-hak tertentu kepada mereka. Pada umumnya ia lebih mendahulukan orang-orang Bani Hasyim daripada orang-orang Quraisy yang lain. Mengapa demikian?
Ibnu Taimiyyah selanjutnya menjelaskan: Karena orang-orang Bani Hasyim adalah kerabat Rasulallah saw., mereka diharamkan menerima shadaqah atau zakat, dan hanya diberi hak menerima bagian dari seperlima jatah pembagian ghanimah. Mereka adalah orang-orang yang termasuk dalam lingkungan ahlu-bait Rasulallah saw. Dan ahlu-bait beliau adalah orang-orang yang dimaksud dalam firman Allah swt. (Al-Ahzab : 33): “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak melenyapkan kotoran (rijs) dari kalian, hai ahlul-bait, dan hendak mensucikan kalian sesuci-sucinya”.
Karena shadaqah atau zakat itu merupakan kotoran (dari harta orang lain), mereka diharamkan menerimanya, dan sebagai gantinya mereka dihalalkan menerima bagian dari seperlima pembagian ghanimah. Ibnu Taimiyyah mengetahui, bahwa dikalangan ummat Islam terdapat dua pandangan terhadap cucu Rasulallah saw. Al-Husain ra.. Ada yang mencintainya sebagai ahlu-bait Rasulallah saw. dan ada pula yang karena kepentingan kekuasaan mereka membencinya, bahkan memeranginya turun-temurun.
Dalam sebuah Risalah khusus yang disusun Ibnu Taimiyyah mengenai tragedi pembantaian Al-Husain ra. di Karbala oleh pasukan daulat Bani Umayyah, ia (Ibnu Taimiyyah) berkata:
“Allah memuliakan Al-Husain bersama anggota-anggota keluarganya dengan jalan memperoleh kesempatan gugur dalam pertempuran membela diri, sebagai pahlawan syahid. Allah telah melimpahkan keridhoan-Nya kepada mereka karena mereka itu orang-orang yang ridho bersembah sujud kepada-Nya. Allah merendahkan derajat mereka yang menghina Al-Husain ra. beserta kaum keluarganya. Allah menimpakan murka-Nya kepada mereka dengan menjerumuskan mereka kedalam tingkah laku durhaka, perbuatan-perbuatan dzalim dan memperkosa kehormatan martabat Al-Husain ra dan kaum keluarganya, dengan jalan menumpahkan darah mereka. Peristiwa tragis yang menimpa Al-Husain ra pada hakikatnya bukan lain adalah nikmat Allah yang terlimpah kepadanya, agar ia beroleh martabat dan kedudukan tinggi sebagai pahlawan syahid. Suatu cobaan yang Allah tidak memperkenankan terjadi atas dirinya pada masa pertumbuhan Islam (yakni masa generasi pertama kaum muslimin). Cobaan berat pun sebelum Al-Husain ra telah dialami langsung oleh datuknya, ayahnya dan paman-pamannya (yakni Rasulallah saw., Imam Ali bin Abi Thalib ra., Ja’far bin Abi Thalib ra dan Hamzah bin ‘Abdul Mutthalib ra)”.
Didalam kitabnya Al-Iqtidha halaman 144 Ibnu Taimiyyah tersebut lebih menekankan: “Allah melimpahkan kemuliaan besar kepada cucu Rasulallah saw., Al-Husain ra, dan pemuda penghuni sorga bersama keluarganya, melalui tangan-tangan durhaka. (Itu merupakan pelajaran) musibah apa pun yang menimpa ummat ini (kaum muslimin) wajib mereka hadapi dengan sikap seperti yang diambil oleh Al-Husain ra dalam menghadapi musibah”.
Ibnu Taimiyyah menyebut pula sebuah hadits yang menerangkan bahwasanya Rasulallah saw. pernah berkata kepada para sahabat: “Cintailah Allah, karena Allah mengaruniai kalian berbagai nikmat, maka hendaknyalah kalian mencintaiku karena kecintaan kalian kepada Allah, dan cintailah anggota-anggota keluargaku (ahlu-bait dan keturunanku) demi kecintaan kalian kepadaku ”. Demikianlah Ibnu Taimiyyah dalam kitab-kitabnya yang tersebut diatas ini.
Syeikh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitabnya Jala’ul-Afham membicarakan ahlubaitun-nubuwwah (keluarga para Nabi) secara menyeluruh. Mengingat halaman dibuku ini, kami tidak menulis seluruhnya kutipan dari Syeikh Ibnu Qayyim hanya sebagian saja yang berkaitan dengan kemuliaan keturunan Rasulallah saw.. Ibnu Qayyim menulis dikitab tersebut diatas:
“Dari mulai nabi Ibrahim as. hingga ahlu-bait Muhammad saw., keluarga silsilah keturunan Nabi Ibrahim as. adalah keluarga-keluarga yang diberkati dan disucikan Allah swt. karena itu mereka adalah silsilah keluarga yang paling mulia diantara semua ummat manusia. Allah swt. berkenan menganugerahkan berbagai keistimewaan dan keutamaan kepada mereka ini. Allah swt. telah menjadikan Nabi Ibrahim as. dan keturunannya sebagai Imam (pemimpin) bagi seluruh ummat manusia sebagaimana firman Allah swt. dalam surat Al-Baqarah:125. ‘Nabi Ibrahim dan putranya Ismail membangun baitullah (rumah Allah) Ka’bah yang kemudian oleh Allah ditetapkan sebagai kiblat kaum mu’minin dan untuk menunaikan ibadah haji’.
Begitu juga Allah swt. telah memerintahkan semua orang yang beriman agar bersholawat pada Nabi Muhammad saw. dan keluarga (aal) beliau seperti sholawat yang diucapkan bagi Nabi Ibrahim dan keluarga (aal) beliau. Allah swt. telah menjadikan baitun nubuwwah (keluarga Nabi Ibrahim as dan keturunannya hingga Nabi Muhammad saw. dan keturunannya) sebagai ‘furqan’ (batas pemisah kebenaran dan kebatilan). Bahagialah manusia yang mengikuti seruan dan jejak mereka dan celakalah mereka yang memusuhi dan menentangnya.
Allah swt. telah menciptakan dua ummat manusia terbesar didunia yaitu umat Musa as dan ummat Muhammad saw. sebagai ummat-ummat terbaik dalam pandangan Allah, guna melengkapi jumlah 70 ummat yang diciptakan-Nya. Allah swt. melestarikan kemuliaan baitun nubuwwah sepanjang zaman dengan melalui disebut-sebutnya keagungan mereka dan keluarga serta keturunan mereka, sebagaimana firman-Nya dalam surah Ash-Shaffat :108-110.
Kesemuanya itu merupakan berkah dan rahmat Allah swt. yang telah di limpahkan kepada baitun-nubuwwah. Diantara mereka itu ada yang memperoleh martabat tinggi dan keutamaan-keutamaan lain, seperti Nabi Ibrahim sebagai Khalilullah ; Nabi Isma’il diberi gelar Dzabihullah , Nabi Musa didekatkan kepada-Nya dan dianugerahi gelar Kalimullah, Nabi Yusuf dianugerahi kehormatan dan paras indah yang luar biasa, Nabi Sulaiman dianugerahi kerajaan dan kekuasaan yang tiada bandingnya dikalangan ummat manusia, Nabi Isa diangkat kedudukannya ke martabat yang setinggi-tingginya dan Nabi Muhammad saw. diangkat sebagai penghulu semua Nabi dan Rasul serta sebagai Nabi terakhir pembawa agama Allah, Islam.
Mengingat kemuliaan martabat baitun-nubuwwah yang dimulai sejak nabi Ibrahim a.s. secara turun-temurun hingga Nabi Muhammad saw., maka tidak lah mengherankan jika beliau saw. mewanti-wanti ummatnya supaya menghormati, mengakui kemuliaan terhadap ahlubait dan keturunannya. Ini bukan semata-mata hanya karena keagungan martabat beliau saw. sendiri sebagai Nabi dan Rasul, melainkan juga karena kemuliaan baitun-nubuwwah yang telah ditetapkan Allah swt. sejak Nabi Ibrahim a.s. Itulah rahasia besar yang terselip didalam Hadits Tqalain dan hadits-hadits lainnya yang berkaitan dengan kedudukan ahlubait keturunan Rasulallah saw.". Demikianlah sebagian keterangan Syeikh Ibnu Qayyim dalam kitabnya Jala’ul-Afham mengenai keutamaan baitun-nubuwwah.
Masih banyak lagi hadits yang memberitakan pesan (wasiat) beliau saw. kepada ummatnya mengenai keluarga dan keturunan beliau saw. setelah beliau saw. wafat. Tidak diragukan lagi, cukup banyak hadits Nabi saw. membuktikan bahwa mencintai ahlu-bait (keluarga atau aal) beliau saw. adalah wajib hukumnya. Menolak seruan beliau berarti membangkang dan orang yang membangkang dalam hal agama ialah orang durhaka, fasik dan fajir. Kita semua tahu bahwa dalam syari’at Rasulallah saw. mewajibkan secara umum untuk mencintai sesama muslimin, menjaga hak-haknya dan saling do’a mendo’akan. Bila ada orang yang melanggarnya maka dia akan mendapat dosa.
“Mencintai sesama muslimin itu sudah merupakan kebajikan yang harus ditaati apalagi mencintai keturunan Rasulallah saw. malah lebih ditekankan lagi oleh syari’at!! Bagaimanakah sekarang orang yang bersikap membenci, mendengki atau mencerca Ahlu-bait Rasulallah saw.? Bagaimana pula jika orang yang bersikap demikian itu mengaku dirinya beriman kepada Allah swt. dan Rasul-Nya, Muhammad saw.?, jika dalam kenyataannya ia menusuk dan menyakiti hati beliau saw. karena mencerca dan membenci keluarga dan keturunan beliau saw. Mengingkari keutamaan mereka saja sudah merupakan kesalahan besar, apalagi membenci dan melecehkan mereka !
Pernah juga di Indonesia berita yang dimuat dikoran-koran beberapa silang waktu yang lalu pernyataan saudara Hasan Basri bahwa Hasan bin Ali bin Abi Thalib tidak punya keturunan dan semua keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib sudah dibantai di Karbala, pernyataan seperti ini sering diutarakan pada hari ulang tahun Al-Irsyad. Pernyataan Hasan Basri ini pernah ditanyakan oleh YAPI sumber dalil pernyataannya tersebut tapi tidak pernah terjawab. Pernyataan seperti itu sudah tentu tidak ada dalilnya sama sekali baik secara aqli (akal) maupun naqli (nash), tidak lain karena ketidak senangannya atau kedengkian pada golongan ‘Alawiyyun (salah satu julukan keturunan Nabi yang dari Hadramaut/Yaman Selatan), dan orang-orang semacam ini sangat bahaya sekali karena bisa mengelabui atau menghancurkan kebenaran sejarah Islam.
Bila Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. dianggap tidak ada dalam sejarah maka akan fiktif pula lah teman-teman beliau seperti Az-Zuhri dan Sa’id bin Musayyab yang kedua tokoh ini merupakan sumber banyak hadits sunni. Begitu juga kitab-kitab hadits dan kitab-kitab fiqih serta sejarah Islam yang memuat banyak nama-nama cucu dari sayyidina Hasan dan sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib, semuanya ini harus dihapus atau dibuang !
Begitu juga cucu keempat Rasulallah saw. –Imam Ja’far Ash-Shodiq ra.– yang terkenal dalam sejarah dan dikenal oleh empat Imam juga (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal [ra.] ) dan pengikutnya, serta dikenal juga oleh semua madzhab baik itu Ahlus-sunnah Wal jama’ah, Syiah, Zaidiyyah, Salafi/Wahabi dan lainnya. Cucu beliau yang keempat ini banyak juga melahirkan tokoh-tokoh ulama besar Islam. Nama dan nasabnya ialah Imam Ja’far Ash-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib kw. Beliau lahir tahun 80 H/699 M dan wafat tahun 150 H/765M. Ibu beliau ialah cucu dari khalifah Abu Bakar ra. yang bernama Ummu Farwah binti Al-Qasin bin Muhammad bin Abu Bakar As-Siddiq. Menurut riwayat yang pernah berguru juga dengan Imam Ja’far ini yaitu Imam Abu Hanifah (80-150 H/699-767M) dan Imam Malik bin Anas (93-179H/712-795M).
Kalau kita ziarah ke kuburan Baqi’ di Madinah maka disana akan kita dapati kuburan secara berurutan yang telah dikenal baik dikalangan ulama-ulama pakar seluruh dunia maupun dikalangan ummat muslimin yaitu kuburan Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib, Imam Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, Imam Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib kw. dan kuburan Imam Ja’far As Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Segala sesuatu baik Al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah saw. serta sejarah disampaikan melalui riwayat yang ditulis oleh para perawi dan diteruskan serta dikembangkan oleh ulama-ulama pakar baik dari zaman dahulu sampai akhir zaman nanti. Begitupun juga mengenai nasab keturunan manusia banyak kita ketahui dengan melalui riwayat yang ditulis dari zaman dahulu sampai akhir zaman. Karena semua itu anjuran agama agar manusia selalu menulis hal-hal yang dianggap penting. Dengan adanya riwayat-riwayat ini kita bisa mengenal sejarah Islam, datuk-datuk dan keturunan Rasulallah saw., para Nabi dan Rasul lainnya, para sahabat dan para tabi’in dan para ulama-ulama atau suku-suku lainnya !! Wallahu a’lam.
Marilah kita rujuk lagi ayat Ilahi dan hadits Rasulallah saw. ,berikut ini, yang berkaitan dengan keturunan:
Firman Allah swt. itu “Surga ‘Adn mereka masuk kedalamnya dan juga orang yang baik-baik dari bapak-bapak mereka dan isteri-isteri mereka dan keturunan mereka”..
Juga firman-Nya lagi: ‘Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan. Kami hubungkan/kumpulkan anak cucu mereka dengan mereka…sampai akhir ayat‘. (Ath-Thuur : 21). Dan masih ada lagi ayat yang menyebutkan mengenai keturunan para Nabi.
Hadits Rasulallah saw. dari Abu Sa’id Al-Khudri ra katanya: “Mengapa masih ada beberapa kaum yang mengatakan bahwa tali kekeluargaan Rasulallah saw. tidak menguntungkan kaumnya pada hari kiamat. Sungguh demi Allah bahwasanya tali kekeluargaan akan tetap tersambung didunia mau pun di akhirat. Wahai, sekalian manusia! Sesungguhnya aku akan mendahului kamu sampai di Telaga Haudh” (HR Ahmad dan Al-Hakim dalam shohihnya, Al-Baihaqi dan Thabrani dalam kitab Al-Kabir).
Al-Bazzar meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas ra. katanya: “Telah wafat seorang putri Safiah binti Abdul Muttalib ra., kemudian beliau berceritera yang kesudahannya beliau katakan: Kemudian Rasulallah saw. berdiri, setelah mengucapkan hamdalah dan memuji kepada Allah lalu bersabda: ‘Mengapa masih ada beberapa kaum yang menuduh bahwa hubungan kerabatku tidak akan memberi manfaat, ketahuilah bahwa semua kemuliaan dan keturunan akan terputus pada hari kiamat kecuali kemuliaan dan keturunanku dan sesungguhnya tali kekeluargaanku akan tetap bersambung didunia mau pun akhirat’ ”. (Hadits ini dishohihkan oleh Al-hafidh As-Sakhawi dan Ibnu Hajar dan disebutkan oleh Imam Ahmad dalam musnad-nya dari tiga jalur).
Allah swt. sendiri dalam Al-Qur’an telah menetapkan suatu hukum kepada keturunan-keturunan yang beriman yang mana mereka akan menyertai datuk-datuknya begitu juga yang diungkapkan dalam hadits-hadits diatas. Rasulallah saw. membantah keras bagi orang yang beranggapan bahwa hubungan kerabat dan tali kekeluargaan beliau saw. akan putus dan tidak memberi manfaat bahkan beliau menguatkan perkataannya itu dengan bersumpah Demi Allah.....
Lalu bagaimana dapat dipastikan keturunan tersebut itu kalau tanpa adanya ketetapan nasab silsilahnya?
Begitu juga hadits Nabi saw. yang termasyhur dan sebagai bukti-bukti lagi tidak terputusnya keturunan beliau saw. yaitu akan munculnya Imam Al-Mahdi ra pada akhir zaman dan Imam ini dari keturunan Rasulallah saw. Hadits-hadits ini kita bicarakan pada halaman selanjutnya.
Kami sering bertanya-tanya mengapa yang hanya sering dicela dan diganggu keturunan/cucu Nabi saw. yang riwayatnya banyak dalam hadits serta ditulis oleh ulama pakar ahli sejarah. Ada gerangan apakah dibalik celaan atau tuduhan ini ? Kami berlindung pada Allah swt. atas kebohongan golongan pencela atau pengingkar ini dan penolakan mereka terhadap adanya keturunan Nabi saw.
Tafsir singkat surat Al-Kautsar
Mari sekarang kita merujuk tafsir dan penjelasan singkat para ulama mengenai surat Al-Kautsar ini dan sebab-sebab turunnya ini ayat. Bunyi Surat Al-Kautsar [108] sebagai berikut:
إنَّا أعْطَيْنَاكَ الكَوْثرَْ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إنَّ شَانِئَكَ هُوَالأبْتـَرْ
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu dan berkorban lah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus ”.
Surat ini diturunkan sebagai jawaban terhadap tuduhan bahwa keturunan Rasulallah saw. terputus. Jadi, yang dimaksud kalimat "Nikmat yang banyak" dalam ayat itu adalah Rasulallah saw. memiliki keturunan yang banyak dan baik, melalui pernikahan antara Siti Fathimah Az-Zahra' dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw.. Kebanyakan dari keturunan Siti Fathimah ini menjadi para Imam yang memberi petunjuk masalah-masalah yang berkaitan dengan ketaatan kepada Allah swt. dan keridhaan-Nya. Adapun yang dimaksud kalimat "Orang yang membencimu dialah yang terputus" dalam ayat itu adalah orang yang beranggapan bahwa Rasulallah saw. tidak memiliki keturunan! Tafsir seperti ini dapat anda baca diantaranya dalam kitab-kitab berikut:
Tafsir Fathul Qadir, oleh Asy-Syaukani, jilid 30, halaman 504 ; Tafsir Gharaibul Qur'an (catatan pinggir) Majma'ul Bayan, jilid 30, halaman 175 ; Tafsir Majma'ul Bayan, oleh Ath-Thabrasi, jilid 30, halaman 206, cet. Darul Fikr, Beirut ; Nurul Abshar, oleh Asy-Syablanji, halaman 52, cet. Darul Fikr, tahun 1979 Miladiyah ; Al-Manaqib, oleh Syahraasyub, jilid 3, halaman 127.
Menurut Ustadz Quraish Shihab seorang ulama di Indonesia dalam bukunya yang berjudul Tafsir Al-Qur’an Tafsir atas surat-surat pendek berdasarkan urutan wahyu terbitan Pustaka Hidayah mengatakan: Bahwa surat Al-Kautsar ini diturunkan di Makkah dan merupakan surat ke-14 dalam turunnya wahyu serta surat ke-108 dalam urutan mushaf. 'Al-Kautsar’ menurut arti kata berasal dari akar kata yang sama dengan ‘Katsir’ yang berarti ’Banyak’. Jadi Al-Kautsar berarti sesuatu nikmat yang banyak. Ustadz Quraish Shihab mengemukakan bahwa Ulama berbeda pen dapat dalam mengartikan "Al-Kautsar" pada surat ini:
Pendapat pertama: Sebagian berpegang pada hadits nabi dari Anas bin Malik (HR Muslim dan Ahmad) yang menceritakan ‘Al-Kautsar’ sebagai sebuah nama telaga yang ada disurga yang dianugerahkan oleh Allah kepada Nabi.
Menurut Ustadz Quraish Shihab, hadits ini, ditolak oleh Muhammad Abduh sebagai penjelasan terhadap surat Al-Kautsar.
Pendapat kedua: Sebagian lagi berpegang sejarah pada hadits lainnya mengenai ejekan ‘Abtar’ yang berarti ‘terputus keturunan’. Sehingga Al-Kautsar berarti Allah menganugerahkan keturunan yang banyak kepada Rasulallah saw. Pendapat kedua ini dikutip juga oleh Imam Suyuthi dalam bukunya Asbab Annuzul serta Addur Al-Mantsur serta ulama pakar tafsir lainnya seperti Al-Alusy, Al-Qasimy, Al-Jamal, Abu Hayyan, Muhammad Abduh, Thabathabai dan lain lain. Pendapat kedua ini merupakan pendapat yang paling banyak dipercaya oleh para ulama ahli tafsir.
Pendapat ketiga: Sebagian lagi menganggap bahwa Al-Kautsar berarti keduanya yaitu nikmat Allah yang banyak yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw.. Salah satunya berupa keturunan yang banyak serta telaga di surga serta nikmat-nikmat lainnya.
Sejarah meriwayatkan juga waktu putra beliau saw. yang terakhir wafat dan belum sempat memiliki keturunan, sedangkan saat itu nabi saw. serta Khadijah ra. dalam usia yang telah cukup tua. Waktu Khadijah sedang hamil, semua orang menunggu apakah Khadijah akan memberikan seorang anak lelaki atau perempuan. Ketika ternyata Khadijah melahirkan seorang puteri (yang kemudian diberi nama Fatimah Az-Zahra), maka orang-orang Quraisy bersorak dan mengatakan bahwa Muhammad "Abtar". Kata-kata Abtar ini adalah ejekan yang diberikan kepada orang yang terputus keturunannya.
Pendapat terbanyak dari ahli tafsir mengenai sebab-sebab turunnya surat Al-Kautsar ialah bahwa Allah swt. memberikan nikmat kepada Nabi saw. berupa keturunan yang sangat banyak. Dikatakan dalam bukunya Ustadz Quraish tersebut; "Jika riwayat dari berbagai pakar tafsir ini diterima maka itu berarti Al-Qur’an telah menggaris bawahi sejak dini tentang akan berlanjutnya keturunan Nabi Muhammad saw., dan bakal banyak dan tersebarnya mereka itu".
Allah menurunkan wahyu kepada nabi Muhammad saw. berupa surat Al-Kautsar ini menunjukkan bahwa Allah swt. sesungguhnya telah memberikan nikmat yang banyak dengan kelahiran sayyidah Fatimah ra. tersebut. Bahwa Rasulallah saw. tidaklah "Abtar" bahkan dari rahim Siti Fatimah ra. akan lahir keturunan yang banyak. Selanjutnya dalam ayat tersebut Rasulallah diperintahkan untuk bersholat dan berkurban (aqiqah sebagai wujud rasa syukurnya). Dan pada ayat yang ketiga disebutkan bahwa musuh-musuh Rasulallah yang mengejek itulah yang kemudian diejek oleh Al-Qur’an sebagai "Abtar" (terputus).
Surat ini dimulai dengan kata "Inna/Sesungguhnya" yang menunjukkan bahwa berita yang akan diungkapkan selanjutnya adalah sebuah berita yang besar yang boleh jadi lawan bicara atau pendengarnya meragukan kebenarannya. Ustadz Quraish Shihab juga mengutip pendapat lainnya bahwa penggunaan kata "kepadamu" pada ayat ketiga menunjukkan bahwa anugerah Allah tersebut (berupa keturunan yang banyak) tidak terkait dengan kenabian melainkan merupakan pemberian Allah kepada pribadi Nabi Muhammad saw. yang dikasihi-Nya.
Dalam buku tersebut juga dikemukakan beberapa argumen yang mendukung bahwa dzurriyah/keturunan Rasulallah saw memang dilanjutkan melalui rahim Fatimah ra. dan bukan melalui anak lelakinya. Diantaranya dalam surat Al-An'am 84-85 bahwa Al-Qur’an menganggap nabi Isa as. sebagai dzurriyah Ibrahim meski pun beliau as. lahir dari Maryam (seorang perempuan keturunan Ibrahim as). Juga banyak hadits yang mengutarakan bahwa Rasulallah memanggil Al-Hasan dan Al-Husain sebagai "anakku".
Sejarah juga membuktikan bahwa dari rahim Siti Fatimah, Rasulallah saw. memperoleh dua orang cucu (putera) yang sangat dicintai beliau yaitu Al-Hasan dan Al-Husain ra. Kemudian setelah peristiwa Karbala maka satu-satunya anak lelaki yang tersisa dari keturunan Al-Husain yaitu Ali Awsath yang bergelar "Zainal Abidin" atau "Assajad" (ahli sujud) kemudian beliau ini meneruskan keturunan Nabi saw. dari Imam Husain. Demikian juga keturunan dari Imam Hasan.
Imam Husain sendiri memiliki enam anak lelaki, dan hanya satu yang selamat setelah peristiwa Karbala . Sedangkan Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib kw. memiliki sebelas anak lelaki, beberapa diantaranya meneruskan keturunan. Hingga saat ini Alhamdulillah ada banyak sekali dzurriyah (keturunan) Nabi saw. dari Siti Fatimah ra terutama via Ali Zainal Abidin Assajjad bin Husein bin Ali bin Abi Thalib [ra] dan kemudian menyebar di seluruh muka Bumi. Bahkan menurut Ustadz Quraish Shihab, dzurriyah (keturunan) Nabi saw. ini begitu banyaknya dibandingkan keturunan manusia lainnya. Demikianlah sedikit keterangan dari bukunya Ustadz Quraish Shihab.
Sebagaimana kami kemukakan tadi bahwa kita sering baca dikitab-kitab sejarah atau sunnah Rasulallah saw. biografi para Nabi, nama-nama mereka serta nama datuk-datuknya, nama-nama keturunan mereka dan lain sebagainya, tidak lain semuanya ini disampaikan melalui riwayat serta tersimpan dengan rapi sampai sekarang. Tidak ada para sahabat atau tabi’in yang mencela atau menuduh semuanya itu! Apalagi pada zaman modern sekarang ini dengan adanya computer dan internet lebih mudah untuk menemukan kembali sejarah dan riwayat-riwayat para Rasul, Nabi dan nasab keturunan Rasulallah saw. yang telah ditulis oleh para ulama pakar.
Mari kita teruskan dengan kajian berikut ini, yang berkaitan dengan masih wujudnya keturunan Nabi saw.:
Ramalan tentang akan datangnya Rasulallah dari agama Islam dalam catatan kitab Hindu, Kristen, Yahudi dan Persi:
Ramalan ini pertama-tama dibukukan tahun 1970 dengan judul Ke-Rasul-an/Ke-Nabi-an oleh Bilal Muslim Missie dari Tanzania Daressalam. Setelah itu buku ini berkali-kali di print di Daressalam dan Mombasa. Kemudian W.I.N. (The World Islamic Network) dari Bombai menerbitkannya sebagai buku kecil yang berjudul: ‘Ramalan-ramalan tentang Rasul yang suci dari Islam dalam catatan Hindu, Kristen dan Yahudi’.
Ketika mereka ingin mengeprint ulang buku kecil itu, maka Ustadz Sayid Saeed Akhtar Rizvi tanggal 04 september 2001 memeriksa kembali isi buku itu dengan teliti dan menambahkan (ramalan) menurut catatan Persi kedalamnya. Dengan demikian Ramalan akan datangnya Rasul yang suci (Muhammad saw.) sudah tercantum dalam catatan Hindu, Kristen, Yahudi dan Persi.
Penulis tidak mencantumkan isi semuanya diwebsite ini, tapi hanya yang kami anggap penting saja, yang berkaitan dengan Keturunan Nabi saw. yaitu ramalan tertulis dalam catatan kitab Hindu saja yang bernama Barm Uttar Khand tentang akan datangnya Rasul yang suci dan anak keturunannya (ahlul baitnya), yang telah diterjemahkan oleh Ustadz Abdurrahman Christi dari India pada abad kesebelas Hijriyyah (1631-1632 Masehi) dalam bukunya ‘Mir’atul Makhluqat’.
Dalam catatan kitab Hindu ini menceriterakan ada seorang Nabi yang terkenal bernama Mahadevij. Mahadevij ini berceritera pada istrinya Parbati sewaktu berada digunung Kailash Parbat yang ditulis oleh muridnya Bishit Muni. Bagian-bagian yang terpenting diatas telah diterjemahkan dari buku Muqaddamah Anwarul Qur’an oleh Sayid Raha Husain Gopalpuri halaman 40-43. Dalam kitab Hindu Barm Uttar Khand ini Mahadevij berkata:
“Setelah enam ribu tahun, Tuhan yang Maha Kuasa akan menciptakan seorang manusia yang indah dari keturunan Adam di Mundane yaitu tempat antara lautan-lautan (yang dimaksud Negara Arab yang diliputi oleh tiga lautan).
..Oh Parbati, dia akan dilahirkan dari Kant Bunjih (pengabdi/hamba Tuhan, yang dalam bahasa arabnya Abdullah). Dan dia (Abdullah) akan lurus dan memiliki pengetahuan tentang Tuhan sebagai sungai (luas). (Dari sungai –Abdullah– ini) akan muncul/lahir mutiara. Dan nama isterinya (istri Abdullah) Sank Rakhiya (yang berarti kedamaian atau keamanan yang dalam bahasa arabnya Aminah). Dan dia (Abdullah) akan sudah membaca tiga kitab, dan dia akan mengenyampingkan kitab keempat setelah membaca Alif Laam Miim.
Oh Parbati dia (Abdullah) akan menjadi kepala dari sukunya, orang-orang dari semua desa akan datang kepintunya dan akan mengikutinya. (anak lelaki Abdullah) akan tidak mengenal takut kepada makhluk, dia akan sangat gigih, berani dan akan memiliki pengetahuan tentang Tuhan dan namanya Mahamat. Orang-orang akan keheran-heranan bila melihat dia (Mahamat) dan dia tidak akan menyembah apa yang disembah oleh sukunya dan dia akan menerangkan pada orang-orang: ‘Telah turun pada saya wahyu dari yang Esa (Tuhan) agar kamu tidak selalu menyembah yang tidak ada manfaatnya dan saya tidak bertujuan apa-apa hanya kecuali karena Tuhan maka dari itu ikutilah aku’. (kata-kata yang serupa juga tercantum di Al-Qur’an 13:36).
Oh Parbati, Mahamat akan mengajarkan syari’atnya (hukum Islam) pada seluruh makhluk dengan menghapus cara yang dahulu (jahiliyyah) serta semua syari’at yang sebelumnya. Dan dia akan mencoba setiap manusia untuk mengikutinya (mengikuti agamanya). Lama kelamaan agamanya akan di-ikuti oleh manusia yang tidak terhitung jumlahnya dan banyak dari mereka akan sampai pada Tuhan. Dan seperti halnya sekarang yang kita kenal yaitu waktu/zaman Sakh, begitu juga orang-orang pada akhir Kaljg akan menggunakan waktu/zaman yang menunjukkan zamannya Mahamat ( yaitu tahun Hijriyyah).
Oh Parbati, setelah dia (setelah wafat anak lelaki Muhammad saw.--pen) Sang Kuasa yang tidak ada bandingannya akan mengarunia seorang putri pada Mahamat, dia (putri ini) akan lebih baik dari 1000 anak lelaki dan dia (Siti Fathimah ra--pen) sangat cantik sekali, sangat hebat dan sangat sempurna amal ibadahnya pada Tuhan. Dia (Siti Fathimah ra) tidak mengucapkan kata-kata yang salah dan dia akan dilindungi (oleh Tuhan) dari segala dosa baik kecil mau pun besar. Dan dari ayahnya dia akan selalu dekat pada Tuhan. Yang Kuasa akan mengarunianya dua anak lelaki (Al-Hasan dan Al-Husain--pen) dari putri Mahamat ini. Kedua anak ini bagus/ganteng, kuat dan dicintai oleh Tuhan, mempunyai ilmu pengetahuan luas tentang Tuhan (pandai dalam ilmu agama), berani, gigih dan sangat sempurna dalam mengerjakan kebaikan. Dan yang Maha Kuasa setelah (penciptaan) mereka ini, tidak akan menciptakan manusia yang sempurna seperti mereka, baik secara bathin maupun lahir dalam kebaikan.
Dua anak lelaki Mahamat ini akan mempunyai penerus (penggantinya) dan mereka akan dikarunia keturunan yang tidak terhitung jumlahnya. Mereka akan membimbing pada agama Mahamat hari kehari dengan argumentasi yang benar dan mereka akan membuat agama mudah (sesuai dengan hadits bahwa agama itu mudah--pen), dan Mahamat akan mencintai mereka melebihi dari ummatnya sampai-sampai melebihi dari putrinya sendiri. Dan dua anak lelaki ini (Al-Hasan dan Al-Husain) akan sempurna sekali menjalankan agama Mahamat. Mereka tidak mau berbuat hanya untuk memenuhi hawa nafsu dan setiap yang mereka bicarakan dan perbuat semata-mata karena Tuhan yang Maha Kuasa.
Oh Parbati, beberapa tahun setelah wafat Mahamat akan ada orang yang buruk membunuh anak cucu Mahamat ini tanpa alasan yang benar. Tidak lain perbuatan (pembunuh) hanya untuk meraih kepentingan urusan duniawi. Seluruh dunia akan merasa kehilangan pimpinan karena kewafatan mereka. Pembunuh-pembunuh itu adalah Maliksh, ateis dan dilaknat dalam dua alam (makhluk didunia dan dilangit--pen). Mereka tidak akan dicintai oleh Mahamat dan mereka ini tidak pernah keluar dari Narkh (neraka). Tetapi mereka (pembunuh-pembunuh) berpura-pura/seakan-akan tetap memegang agama Mahamat dan lambat laun lain-lainnya akan mengikuti mereka. Mereka akan menjalankan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Mahamat dan kedua cucunya (Al-Hasan & Al-Husain). Hanya beberapa saja yang masih taat mengikuti ajaran Mahamat. Kebanyakan mereka mengikuti perjalanan pembunuh-pembunuh anak-anak Mahamat. Tapi mereka ini dalam samaran saja menjuluki diri mereka sebagai pengikut Mahamat dan pada akhirnya Kaljug banyak dari mereka Hypocriet (Munafiq) dan mereka akan membuat kekacauan/keonaran didunia “.
Setelah ceritera semua diatas ini, Mahadevij juga ceritera mengenai akan munculnya Imam Mahdi, datangnya hari kiamat, masuknya surga Bibi Siti Fathimah dan pengikut-pengikutnya. Demikianlah sebagian isi terjemahan ramalan mengenai akan datangnya seorang Rasulallah dalam catatan kitab Hindu Barm Uttar Khand.
Bantahan Syeikh Segaf Ali Alkaff terhadap Syeikh Ali Tantawi:
Makalah yang kami baca pada website, yang ditulis oleh Syeikh Segaf Ali Alkaff dari Jeddah/Saudi Arabia, menjawab makalah yang ditulis oleh seorang ulama bernama Syeikh Ali Tantawi, yang dimuat disurat kabar As-Syarqul Awsat tanggal 20/12/1406 H bertepatan dengan tanggal 05 september 1985 nomer edisi 2483 dengan judul Peringatan-peringatan Syeikh At-Tantawi antara lain sebagai berikut:
“Dan orang-orang Hadramaut berperingkat-peringkat diantara mereka terdapat Alawiyyun yang menamakan dirinya sebagai Sadah yang mulia dan ada pula yang tidak mengaku demikian, padahal nilai seseorang dalam agama Islam diukur dengan ilmu dan takwanya bukan dengan sebab ayah atau datuk-datuknya. Sedangkan orang yang mulia itu adalah orang yang bertakwa dan orang yang agung itu adalah orang yang baik dalam perbuatan dan perilakunya, kemudian kebanyakan nasab-nasab yang dikatakan bersambung dengan Rasulallah saw. tidak dapat dibuktikan dan dipertanggung-jawabkan melainkan semata-mata adalah anggapan orang-orang yang mempunyai nasab itu dan saya tidak menuduh nasab seseroang tapi saya ingin menerangkan suatu kenyataan yang konkrit…”
(Sebagian isi) jawaban dari Syeikh Segaf Ali Alkaff
“Syeikh Tantawi ini tidak hanya mengemukakannya dalam surat kabar bahkan mengulangi perkataan yang sama dalam suatu siaran radio ketika ditanya tentang syarat-syarat kafaah dalam nasab dan hukum nikah dengan tujuan hendak menyebarluaskan pandangannya yang kontroversial/ menimbulkan fitnah. Alangkah baiknya kalau Syeikh ini menjawab pertanyaan yang diajukan padanya –mengenai kafaah (sederajad atau sepadan) nasab– tersebut dengan merujuk pendapat para ulama yang sudah dikenal di dunia yaitu Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal [ra.], yang menjadikan kafaah nasab sebagai syarat dalam pernikahan, sementara Imam Malik tidak mensyaratkannya. Dalam kegigihan beliau (Tantawi) menyebarluaskan makalahnya itu, Syeikh Ali Tantawi mengulangi kata-kata yang sama lagi dalam peringatannya pada bagian keenam halaman 133 baris ke 18.
Syeikh ini mengatakan bahwa; “orang-orang hadramaut (Yaman selatan) mempunyai tingkat-tingkat, diantara mereka terdapat golongan Alawiyyun yang mengaku sebagai bangsawan dan diantara mereka ada yang tidak mengaku demikian”. Juga beliau berkata, “nilai seseorang dalam agama Islam diukur dengan ilmu dan takwanya serta orang yang mulia bukan karena ayah atau datuknya…” dan katanya lagi “saya tidak menuduh nasab seseorang akan tetapi saya menerangkan suatu kenyataan yang konkrit”.
Kata-kata yang keluar dari mulut orang alim biasanya akan diterima dan ditelan oleh orang-orang awam atau jahil tanpa dikaji lagi, sehingga dosanya akan ditanggung oleh si alim itu. Dengan perkataan diatas ini beliau tidak mengetahui tentang susunan masyarakat hadramaut. Orang-orang hadramaut mempunyai silsilah dan nasab bagi kabilah-kabilahnya, disana terdapat golongan Masyaikh dari keluarga Al-Amudi yang terkenal nasabnya, Bafadal, Baabad, Al-Khatib, Al-Kathiri, Tamim, Syaiban, Nahd dan lainnya dari kabilah -kabilah Hadramaut yang terpelihara nasabnya dan dihormati seperti kabilah-kabilah yang terdapat di jazirah Arab dan lainnya.
Dan tingkat-tingkat masyarakat yang beliau maksudkan, bukan pada tempatnya, karena pengertian tingkatan ialah suatu perbedaan antara tingkatan masyarakat dalam segi kemasyarakatan, umpamanya terdapat diantara mereka: a) masyarakat tingkatan buruh, b) tingkatan kapitalis/majikan atau c) tingkatan lainnya.
Adapun yang ada pada orang-orang Hadramaut adalah tingkatan dalam segi kesukuan atau marga. Dengan demikian seorang bangsa ‘Alawi dapat tergolong dalam tiga kelompok tingkatan diatas (a,b,c ) ini, tapi bangsa ‘Alawi ini tidak dapat digolongkan kepada kabilah selain dari kabilahnya dan tidak pula digolongkan pada marga selain marganya.
Sebenarnya Syekh Tantawi sendiri tahu bahwa orang-orang Arab sejak permulaan Islam sangat fanatik dengan nasab keturunan mereka, sehingga Rasulallah saw. pernah menyebutkan nasab dirinya dan khalifah Abu Bakar ra. dikenal sebagai orang yang memiliki pengetahuan tentang nasab, hingga digelari sebagai pakar nasab Arab. Kemudian terdapat puluhan kitab yang di karang mengenai ilmu nasab dan ratusan kitab mengenai nasab dan silsilah keluarga Rasulallah saw.. Semua orang tahu bahwa nasab keturunan keluarga Rasulallah saw. terutama ‘Alawiyyun telah terbukti beritanya dengan luas dan mutawatir, tersusun dari ayah hingga kedatuk mereka dari zaman kita hingga kezaman Rasulallah saw., sedangkan orang yang mengingkari berita mutawatir jelas hukumnya dalam Islam.
Benar kata Syeikh ini bahwa nilai seseorang itu dalam agama Islam terletak pada ilmu dan takwanya dan bukan dengan sebab ayah atau datuk-datuknya, tapi ini adalah pengertian secara umum. Adapun orang yang mulia yang dimaksudkan Syeikh disini bukanlah orang mulia yang termasuk dalam pengertian umum diatas. Karena yang dimaksud orang-orang mulia adalah orang yang mempunyai pertalian nasab dengan keluarga Muhammad saw., yang kecintaannya adalah sebagian dari agama dan kebenciannya adalah keluar dari agama. Agama tidak pernah melarang seseorang menasabkan kepada ayah dan datuk bahkan diakuinya. Rujuklah kitab Thabaqat yang menyebut nasab bagi setiap biografi seseorang, demikian juga kitab-kitab sejarah dan kitab-kitab para perawi lainnya dan tidak ada orang yang mencelanya. Kalau begitu mengapa golongan pengingkar ini selalu menuntut keturunan Rasulallah saw. agar tidak menasabkan dirinya kepada ayah-ayah dan datuk mereka? Padahal banyak kaum ‘Alawiyyun yang berilmu, bertakwa, mempunyai kemuliaan serta memberi petunjuk dan mempunyai kelebihan yang diberikan Allah swt. pada mereka. Demi Allah ini suatu ke tidak-adilan.
Islam juga tidak menafikan pertaliannya dengan seseorang, bahkan Islam menetapkan beberapa hukum yang diterangkan dalam kitab-kitab fikih para ulama diantaranya Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad yang berkenaan dengan orang yang mempunyai pertalian nasab dengan Rasulallah saw. Sejak permulaan abad hingga ke abad ini kitab-kitab fikih mereka diabadikan oleh para imam kenamaan lainnya dan mereka tidak pernah menafikan atau mencelanya bahkan mereka menyediakan bab-bab khusus dalam kitab mereka ini. Begitu juga para pakar ini belum pernah menulis dan menyatakan ketiadaan keturunan Rasulallah saw. didalam kitab-kitabnya, tidak lain karena wujudnya keturunan tersebut.
Syeikh ini mengatakan bahwa kebanyakan nasab-nasab ini yang dikatakan berhubungan dengan Rasulallah saw. tidak ada yang membuktikan dan menguatkannya selain dari kata-kata mereka sendiri. Bagaimana beliau bisa mengatakan seperti ini, padahal banyak para ahli hadits dan fikih serta ahli sejarah dan biografi telah menerangkan nasab keluarga Bani Alawi dengan sejarah kewafatan mereka sekali, yang penulisnya bukan dari golongan Bani Alawi seperti Imam As-Sakhawi, Ibnu Hajar Al-Haithami dan lain-lainnya.
Mari kita rujuk salah satu hadits Rasulallah saw. tentang kemuliaan bangsa Quraisy saja yang diriwayatkan oleh Tabarani dalam kitabnya Al-Kabir dari Abu Hurairah yang Rasulallah saw. bersabda: ‘Utamakanlah orang-orang Quraisy dan jangan kamu mendahului mereka, belajarlah kamu dari orang-orang Quraisy dan jangan mengajari mereka, kalau tidak karena aku khawatir kelak orang Quraisy menjadi sombong, pasti telah kuberitahukan kedudukan mereka dan orang-orang yang baik dikalangan mereka disisi Allah Ta’ala’ .
{{ Kami --pen.-- tambahkan lagi sabda Rasulallah saw.lainnya: “Dahulukanlah orang Quraisy dan jangan kamu mendahuluinya, belajarlah darinya dan jangan kamu saling mengajarinya”. Ibnu Fudhaik perawi hadits ini ragu apakah sabda Rasulallah saw. tersebut berbunyi: Ta’aalimuuha [saling mengajarinya] atau Tu’allimuuha [mengajari- nya].” (Tartib Musnad Imam Syafi’i, pembahasan tentang manaqib, hadits ket 691, juz 2, hal.194).
Dalam kitab dan halaman yang sama diatas hadits ke 690, mengemukakan sabda Rasulallah saw.: “Wahai manusia, sesungguhnya orang Quraisy adalah yang berhak menjadi pemimpin. Barangsiapa mendurhakainya dengan menggali lubang [membuat maker—penerjemah], maka Allah akan menelungkupkannya dengan kedua lubang hidungnya (yakni membinasakannya—penerj..Rasulallah mengucapkannya sebanyak tiga kali “). }}
Selanjutnya Syeikh Segaf mengatakan: Syeikh Tantawi ini mengatakan juga dia ini tidak menuduh nasab tapi hanya menerangkan sesuatu yang konkrit. Apa yang dimaksud dengan hakikat konkrit ini? Padahal masalah nasab Alawi ini sudah banyak ditulis para perawi dan terbukti dengan bukti-bukti dalil yang pasti. Bagaimana Syeikh ini bisa menerangkan sesuatu yang konkrit ini, sedangkan beliau sendiri tidak mengemukakan alasan (dalil) yang kuat dan hakikat yang beliau katakan ini, dan darimana datangnya hakikat yang konkrit itu ?
Segala sesuatu ajaran dalam Islam disampaikan dengan jalan riwayat misalnya Al-Qur’an dan sunnah Rasulallah saw. disampaikan kepada kita melalui pertalian riwayat dan begitu juga sejarah, tempat-tempat peperangan serta nasab keturunan. Kalau kita biarkan setiap orang dengan seenaknya melepaskan kata-katanya karena tidak sepaham dengan orang ini atau karena tidak dia senangi tentang perkara-perkara yang sudah terbukti kebenarannya, maka akan timbul banyak tuduhan-tuduhan bohong terhadap peristiwa-peristiwa sejarah atau hukum syar’i.
Dalam hukum Islam barangsiapa terbukti kebenaran nasabnya kemudian ada orang lain yang menuduh sebaliknya, maka penuduh ini harus mengemukakan bukti dalam hal itu. Bila penuduh ini tidak bisa mengemukakan bukti maka dia harus dijatuhi hukum Had sebagai Qazif karena menuduh tanpa bukti (seperti halnya si Syeikh ini). Padahal Syeikh ini juga mengetahui hukum syar’i karena beliau pernah menjabat sebagai hakim/qadi selama beberapa tahun.
Ulama Hadramaut, Yaman dan Al-Haramain Asy-Syarifain telah bersepakat mengenai kebenaran nasab Bani ‘Alawi yang bersambung kepada keturunan Rasulallah saw. Mereka semuanya menyebutkan dalam tulisan-tulisan mereka tentang Bani ‘Alawi dan memberikan catatan tentang biografinya sekali dengan sempurna, bahkan sebagian mereka menulis secara khusus tentang pribadi-pribadi mereka. Tidak seorang pun mengatakan ketidakbenaran nasab mereka, bahkan semuanya menerima nasab keluarga ini dengan penerimaan yang mutlak karena hal ini sudah termasyhur dan mutawatir. Sehingga orang yang mencela kepada keturunan Nabi saw. ini tidak akan mencela pada nasab mereka, tapi mencela (yang tidak mereka senangi) kedudukan yang mereka (Bani ‘Alawi) peroleh ditengah-tengah masyarakat Hadramaut.
Barangsiapa ingin meneliti kitab-kitab yang tersebut berikut ini bisa didapati di perpustakaan umum atau khusus di Hadramaut, Yaman, Al-Haramain As-Syarifain, Kuwait, Darul Kutub di Mesir atau diperpustakaan manuskrip-manuskrip Arab. Nama-nama (sebagian) penulis dari kalangan ulama Hadramaut, Yaman dan Al-Haramain As-Syarafain dan Sejarah wafat mereka sebagai berikut:
Tabaqat Fugahail Yaman oleh Bahauddin Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf Bin Ya’kub Al-Jundi Wafat tahun 732 H; At-Tuhfatun Nuraniyyah oleh Abdullah bin Abdurrahman Bawazir wafat tahun 850 H ; At-Tarfatu Gharbiyah Bi Akhbar Hadramaut Alajibah oleh Al-Maqrizi wafat tahun 845 H ; Manaqib Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’Alawi dan Wafayat A’yanil Yaman oleh Abdurrahman bin Ali Hasan tinggal di Raidah Almasyqa Hadramaut wafat tahun 818 H ; Al-Jauharus Sayafaf Fi Fadhail Wa Manaqibis Sadah Al-Asyraf oleh Abdurrahman Sohibul Wa’al Al-Khatib Al-Ansari Al-Hadrami wafat 855 H ; Tabaqatul Khawas Ahlis-Sidqi Wal Ikhlas oleh Ahmad bin Ahmad Abdul Latif As-Syarji Az-Zubaidi Al-Yamani wafat tahun 893 H ; Al-Barqatul Masyiqah oleh Ali bin Abu Bakar As-Sakran bin Abdurrahman Assegaf wafat tahun 895 H ; Mawahibul Qudrus Fi Manaqib Abu Bakar bin Abdullah Alaydrus oleh Muhamad bin Omar bin Mubarak Al-Hadrami terkenal dengan sebutan Bahriq wafat tahun 930 H ; Tarikh Syambal oleh Ahmad bin Abdullah bin Alwi dikenal dengan Ibnu Syambal Al-Hadrami wafat tahun 945 H ; Tarikh Thaghri And Wa-Qalaidin Nahr oleh Muhammad At-Tayyib Ba-Makhramah wafat tahun 947 H ; Tuhfatul Muhibbin Wal Ashab Fi Makrifati Ma Lil-Madaniyyina Minal Ansab oleh Abdurrahman Al-Ansari wafat tahun 1195 H ; Nasyrun Nuri Wazzahr Fi Tarajim Al-Qarnil Asyir Ilal Qarni Rabi’ Asyar oleh As-Syeikh Abdullah Murad Abul Khair wafat tahun 1343 H ; Siyar Wa Tarajim Ba’dhi-Ulamana Fil Qarnir Rabi’ Asyar oleh Omar Abdul Jabbar wafat tahun 1391 H.
Demikianlah sebagian jawaban saudara Segaf Ali Alkaff terhadap Syeikh Tantawi.!! (Sebenarnya saudara Segaf Ali Alkaff mencatat nama-nama kitab dan penulis yang tercantum diatas ini jumlah semuanya adalah 26, tapi kami hanya mengutip sebagian saja karena takut sipembaca jenuh jadinya—pen.).
Disamping dalil-dalil yang telah kami kemukakan, Syeikh Segaf ini telah membuktikan terhadap Syekh Tantawi dan para pembaca lainnya adanya nasab keturunan Rasulallah saw. sambil merujuk juga puluhan kitab sejarah, kitab para ulama pakar ahli fiqih mengenai wujudnya keturunan Rasulallah saw. tersebut. Sedangkan Syekh Tantawi ini dan orang-orang pengingkar lainnya hanya bisa berkata seenaknya saja tanpa menyebutkan walau pun satu dalil tentang terputusnya keturunan Nabi saw..!
Hadits yang diriwayatkan oleh cucu Rasulallah saw. yang ke enam
Mari kita rujuk sebuah hadits yang diriwayatkan dari keturunan Rasulallah saw. yang keenam ,Ali Ridho ra, sehingga bagi pembaca lebih jelas bahwa fitnahan atau tuduhan mengenai terputusnya keturunan Rasulallah saw. yang dikeluarkan oleh golongan anti ‘Alawiyyun itu, adalah tuduhan yang tidak berdasarkan dalil hanya berdasarkan kedengkian atau emosi belaka.
“Dua orang ahli hadits yaitu Abu Zar’ah AR-Rozi dan Muhammad bin Aslam At-Thusi bersama para penuntut ilmu dan ahli hadits yang tidak terhitung jumlahnya menemui salah satu cucu Ali bin Husin bin Ali bin Abi Thalib yaitu Imam Ali Ridho bin Musa Al-Kadhim bin Jakfar As-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal ‘Abidin bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib kw. (keturunan keenam dari Rasulallah saw.) yang sedang memasuki Naisabur melewati sebuah pasar. Kedua tokoh hadits ini menghadang beliau dan minta padanya untuk meriwayatkan hadits yang beliau dengar dari ayah atau kakeknya. Imam Ali Ridho ra. menghentikan kereta tunggangannya baghal peranakan antara keledai dan kuda serta berkata:
‘Ayahku Musa Al-Kadhim memberiku sebuah hadits dari ayahnya Jakfar As-Shodiq, dari ayahnya Muhammad Al-Baqir, dari ayahnya Ali Zainal Abidin dari ayahnya, Al-Husain dari ayahnya Ali bin Abi Thalib ra.. Ali bin Abi Thalib berkata; Kekasihku dan penyejuk hatiku Rasulallah saw. memberiku sebuah hadits. Beliau saw. bersabda: Jibril berkata kepadaku, Aku mendengar Allah yang Maha Agung berfirman; Lailaha illallah adalah benteng-Ku. Barangsiapa mengucapkannya, ia masuk kedalam benteng-Ku. Dan barangsiapa memasuki benteng-Ku, selamat dari siksa-Ku’ “.
Setelah itu Imam Ali Ridho ra. pergi meneruskan perjalanannya dan waktu itu ,menurut riwayat, lebih dari 20.000 orang yang menulis hadits diatas ini. (Dinukil dan disusun secara bebas dari buku bahasa Indonesia yang berjudul sekilas tentang Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi muallif Simtud Duror karya saudara Novel Muhammad Alaydrus).
Riwayat yang semakna diatas ini hanya berbeda versinya diketengahkan juga oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya “as-Showa’iq al-Muhriqoh” halaman: 310 pasal ketiga meriwayatkan tentang keturunan yang keenam dari Rasulallah saw. tersebut (yakni Imam Ali Ridho ini). Didalam kitabnya ini Ibnu Hajar menulis: “Ketika ar-Ridho (Ali Ridho bin Musa Al-Kadhim) sampai di kota Naisabur, orang-orang berkumpul disekitar kereta tunggangannya. Ia (Ar-Ridho) mengeluarkan kepalanya dari jendela kereta sehingga dapat dilihat oleh khalayak. Kemudian (sambil memandanginya) mereka berteriak-teriak, menangis, menyobek-nyobek baju dan melumuri dengan tanah, juga menciumi tanah bekas jalannya kendaraannya…”. (Hal ini juga dinukil oleh as-Sablanji dalam kitab “Nur al-Abshar” Halaman: 168, pasal Manaqib Sayid Ali ar-Ridho bin Musa al-Kadzim).
Pendapat Syeikh Abdul ‘Aziz Bin Baz
Seorang Mufti resmi kerajaan Saudi Arabia salah satu ulama dari golongan Wahabi ,Syeikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz, pernah ditanya oleh saudara kita dari Iraq mengenai anak cucu Rasulallah saw. yang memperlakukan orang lain dengan perlakuan yang tidak semestinya mereka lakukan. Jawaban Syeikh terhadap pertanyaan saudara dari Iraq ini dimuat dalam majalah ‘AL-MADINAH’ halaman 9 nomer 5692 tanggal 07- Muharram 1402 H bertepatan tanggal 24 oktober 1982 sebagai berikut:
“Orang-orang seperti mereka (cucu Nabi saw.) itu terdapat diberbagai tempat dan negeri. Mereka terkenal juga dengan gelar ‘Syarif ’. Sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang yang mengetahui, mereka itu berasal dari keturunan ahlulbait Rasulallah saw. Diantara mereka itu ada yang silsilahnya berasal dari Al-Hasan ra. dan ada pula yang berasal dari Al-Husain ra. Ada yang dikenal dengan gelar ‘Sayyid’ dan ada juga yang dikenal dengan gelar ‘Syarif’. Itu merupakan kenyataan yang diketahui umum di Yaman dan di negeri-negeri lain. Mereka itu sesungguhnya wajib bertaqwa kepada Allah dan harus menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan Allah bagi mereka. Semestinya mereka itu harus menjadi orang-orang yang paling menjauhi segala macam keburukan.
Kemuliaan silsilah mereka wajib dihormati dan tidak boleh disalah gunakan oleh orang yang bersangkutan. Jika mereka diberi sesuatu dari Baitul-Mal itu memang telah menjadi hak yang dikaruniakan Allah kepada mereka. Pem- berian halal lainnya yang bukan zakat, tidak ada salahnya kalau mereka itu mau menerimanya. Akan tetapi kalau silsilah yang mulia itu disalahgunakan, lalu ia beranggapan bahwa orang yang mempunyai silsilah itu dapat mewajibkan orang lain supaya memberi ini dan itu, sungguh itu merupakan per buatan yang tidak patut. Keturunan Rasulallah saw. adalah keturunan yang termulia dan Bani Hasyim adalah yang paling afdhal/utama dikalangan orang-orang Arab. Karenanya tidak patut kalau mereka melakukan sesuatu yang mencemarkan kemuliaan martabat mereka sendiri, baik berupa perbuatan, ucapan ataupun perilaku yang rendah.
Adapun soal menghormati mereka, mengakui keutamaan mereka dan memberikan kepada mereka apa yang telah menjadi hak mereka, atau memberi maaf atas kesalahan mereka terhadap orang lain dan tidak mempersoalkan kekeliruan mereka yang tidak menyentuh soal agama, semuanya itu adalah kebajikan. Dalam sebuah hadits Rasulallah saw. berulang-ulang mewanti-wanti: ‘Kalian kuingatkan kepada Allah akan ahlulbaitku…kalian kuingatkan kepada Allah akan ahlulbaitku’. Jadi, berbuat baik terhadap mereka, memaafkan kekeliruan mereka yang bersifat pribadi, menghargai mereka sesuai dengan derajatnya, dan membantu mereka pada saat-saat membutuhkan, semuanya itu merupakan perbuatan baik dan kebajikan kepada mereka”. Demikianlah pengakuan Syeikh Abdul Aziz bin Baz tentang masih wujudnya cucu/ keturunan Nabi saw.
Pendapat Prof.Dr.H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)
H.Rifai, seorang Indonesia Islam yang tinggal di Florijn 211, Amsterdam Bijlmermeer, Belanda pada tanggal 30 desember 1974 telah mengirim surat kepada Menteri Agama H.A. Mukti Ali dimana ia mengajukan pertanyaan, ‘Benarkah habib Ali Kwitang dan habib Tanggul keturunan Rasulallah saw. ?, dan mohon penjelasan secukupnya mengenai beberapa hal '.
Oleh Menteri Agama hal ini diserahkan kepada Prof.Dr.H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) untuk menjawabnya melalui Panji Masyarakat, dengan pertimbangan agar masalahnya dapat diketahui umum dan manfaatnya lebih merata. Sebagian isi yang kami kutip mengenai penjelasan Prof.Dr.H. HAMKA tentang gelar Sayyid yang dimuat dalam majalah tengah bulanan “Panji Masyarakat” No.169/ tahun ke XV11 15 februari 1975 (4 Shafar 1395 H) halaman 37-38 sebagai berikut:
“Rasulallah saw. mempunyai empat anak-anak lelaki yang semuanya wafat waktu kecil dan mempunyai empat anak wanita. Dari empat anak wanita ini hanya satu saja yaitu (Siti) Fathimah yang memberikan beliau saw. dua cucu lelaki dari perkawinannya dengan Ali bin Abi Thalib. Dua anak ini bernama Al-Hasan dan Al-Husain dan keturunan dari dua anak ini disebut orang Sayyid jamaknya ialah Sadat. Sebab Nabi sendiri mengatakan, ‘kedua anakku ini menjadi Sayyid (Tuan) dari pemuda-pemuda di Syurga’. Dan sebagian negeri lainnya memanggil keturunan Al-Hasan dan Al-Husain Syarif yang berarti orang mulia dan jamaknya adalah Asyraf. Sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan Al-Hasan dan Al-Husain itu datang ketanah air kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, kepulauan Indonesia dan Pilipina.
Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam diseluruh Nusantara ini. Diantaranya Penyebar Islam dan pembangunan kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanao dan Sulu. Yang pernah jadi raja di Aceh adalah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail, di Pontianak pernah diperintah bangsa Sayyid Al-Qadri. Di Siak oleh keluaga Sayyid bin Syahab, Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa Sayyid Jamalullail. Yang dipertuan Agung 111 Malaysia Sayyid Putera adalah Raja Perlis. Gubernur Serawak yang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang dari keluarga Alaydrus.
Kedudukan mereka dinegeri ini yang turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri dimana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi Ulama. Mereka datang dari hadramaut dari keturunan Isa Al-Muhajir dan Fagih Al-Muqaddam. Yang banyak kita kenal dinegeri kita yaitu keluarga Alatas, Assegaf, Alkaff, Bafaqih, Balfaqih, Alaydrus, bin Syekh Abubakar, Alhabsyi, Alhaddad, Al Jufri, Albar, Almusawa, bin Smith, bin Syahab, bin Yahya …..dan seterusnya.
Yang terbanyak dari mereka adalah keturunan dari Al-Husain dari Hadra- maut (Yaman selatan), ada juga yang keturunan Al-Hasan yang datang dari Hejaz, keturunan syarif-syarif Makkah Abi Numay, tetapi tidak sebanyak dari Hadramaut. Selain dipanggil Tuan Sayid mereka juga dipanggil Habib. Mereka ini telah tersebar didunia. Di negeri-negeri besar seperti Mesir, Baqdad, Syam dan lain-lain mereka adakan NAQIB, yaitu yang bertugas mencatat dan mendaftarkan keturunan-keturunan Sadat tersebut. Disaat sekarang umum- nya mencapai 36-37-38 silsilah sampai kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidati Fathimah Az-Zahra ra.
Dalam pergolakan aliran lama dan aliran baru di Indonesia , pihak Al-Irsyad yang menantang dominasi kaum Ba’alwi (Alawiyyun), menganjurkan agar yang bukan keturunan Al-Hasan dan Al-Husain memakai juga titel Sayyid dimuka namanya. Gerakan ini sampai menjadi panas. Tetapi setelah keturunan Arab Indonesia bersatu, dengan pimpinan A.R.Baswedan, mereka anjurkan menghilangkan perselisihan dan masing-masing memanggil temannya dengan ‘Al-Akh’ artinya Saudara.
Selanjutnya kesimpulan dari makalah Prof.Dr.HAMKA: Baik Habib Tanggul di Jawa Timur dan Almarhum Habib Ali di Kwitang, Jakarta, memanglah mereka keturunan dari Ahmad bin Isa Al-Muhajir yang berpindah dari Bashrah/Iraq ke Hadramaut, dan Ahmad bin Isa ini cucu yang ke tujuh dari cucu Rasulallah saw. Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib.”. Demikianlah nukilan dan susunan secara bebas mengenai penjelasan Prof.Dr.HAMKA tentang gelar Sayid atau Habib.
Imam Al-Mahdi
Mari kita sekarang teliti hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai cucu/keturunan beliau saw. Imam Al-Mahdi yang akan lahir di akhir zaman, dengan demikian insya Allah lebih jelas buat para pembaca bahwa keturunan beliau ini masih wujud sampai akhir zaman/ kiamat.
Al-Mahdi menurut bahasa artinya petunjuk jalan, pemimpin. Imam Muhammad Al-Mahdi adalah pemimpin yang akan lahir atau datang di dunia apabila hari kiamat hampir tiba (kamus besar bahasa Indonesia 1990, hal.543). Mahdi dari bahasa Arab (Al-Mahdiyy) artinya orang yang dipimpin Allah kepada kebenaran.
Banyak dikitab-kitab para perawi dan ulama pakar yang mengutip hadits Rasulallah saw. baik dari golongan madzhab Ahlus-Sunnah, madzhab Syiah mau pun madzhab lainnya yang meriwayatkan Al-Mahdi ini, umpama; tentang namanya, gelarannya, nasabnya dan sifat-sifatnya. Begitu juga tentang apa yang akan dilakukannya, imamah dan khilafahnya serta kemunculannya dan sebagainya. Sedangkan pengertian/makna ‘Siapa yang dimaksud Ahlul-Bait’ kita bicarakan pada halaman berikutnya.
Hadits-hadits mengenai Imam Mahdi
Hadits yang menjelaskan secara implisit bahwa Nabi Isa a.s. akan turun setelah Imam Mahdi ra. muncul dan beliau a.s. sholat dibelakang Imam Mahdi, bisa dirujuk dalam shohih Bukhori 2 : 256 cet. Dar Al-Fikr.
Didalam Musnad Imam Ahmad bin Hanbal 3:345 telah di riwayatkan dengan sanadnya dari Jabir bahwa dia telah mendengar Nabi saw. bersabda: “Senantiasa segolongan dari ummatku berperang diatas kebenaran mereka menang hingga hari kiamat tiba, lalu turunlah Isa putra Maryam, kemudian berkatalah pemimpin mereka (Imam Mahdi); ‘Mari Sholat (sebagai Imam) bagi kami’. Dia (Nabi Isa as.) bersabda; ‘Tidak, sesungguhnya engkau (Imam Mahdi) pemimpin bagi mereka, sungguh Allah telah memuliakan ummat ini ‘ “.
Didalam Al-Shawaiq Al-Mughirah hal.98, Ibnu Hajar telah berkata At-Thabrani telah mengeluarkan hadits secara marfu’. Rasulallah saw. bersabda: “Al-Mahdi akan memperhatikan ketika Isa bin Maryam telah turun seolah air menetes dari rambutnya, kemudian Al-Mahdi akan berkata; ‘Silahkan kedepan sholat (sebagai imam) bagi manusia’. Isa as.berkata; ‘Sholat telah di iqamahkan untukmu’. Kemudian dia (Isa as.) sholat di belakang seorang lelaki (Imam Al-Mahdi) dari keturunanku’ ”.
Hadits yang sanadnya dari Ashim bin Bahdalah dari Abdullah yang berkata bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Dunia tidak akan lenyap sampai seorang lelaki dari Ahli-baitku yang namanya sama denganku menguasai bangsa Arab”. (HR. Tirmidzi 2:36 cet.Bulaq).
Juga hadits Rasulallah saw.: “Tidak akan terjadi saat (kiamat) hingga berkuasa seorang lelaki dari Ahli Baitku yang namanya sama dengan namaku”. (HR. Ahmad bin Hanbal 1: 376)
Hadits dari Ummu Salamah bahwa Rasulallah saw. bersabda:
“Al-Mahdi berasal dari ummatku dari keturunan anak cucuku” (HR.Abu Daud, Ibnu Majah dan Al-Hakim). Imam Suyuthi menunjukkan akan keshahihannya dalam kitab Al’Jami’, begitu juga Al-Albani mengakui keshohihan hadits ini.
Hadits dari Ibnu Mas’ud sabda Rasulallah saw.; ‘Akan tampil seorang lelaki dari Ahli Baitku yang namanya sama dengan namaku dan perawakannya menyerupai perawakanku lalu ia akan memenuhi bumi dengan keadilan dan kebenaran sebagaimana sebelumnya bumi ini telah diliputi kedzaliman dan kesesatan’. (HR.At-Thabrani, Kanzal Ummal 7 : 188)
Hadits dari Hudzaifah sesungguhnya Nabi saw telah bersabda: “Seandai- nya usia dunia tinggal satu hari lagi, niscaya Allah akan memperpanjang hari itu sampai Dia membangkitkan seorang lelaki dari (keturunan) anakku yang namanya seperti namaku’, Salman berkata: ‘Dari anakmu yang mana ya Rasulallah’? beliau bersabda: ‘Dari keturunan anakku ini’ sambil beliau saw. menepukkan tangan- nya kepada Al-Husain ra.’ ”. (Dakhair Al-‘Uqba)
Abu Daud dalam Sunan-nya mengatakan: “Telah memberitahu saya Ahmad bin Ibrahim dari Abdullah bin Ja’far Ar-Rugi, dari Abul Malij Hasan bin Omar dari Ziyad bin Bayan dari Ali bin Nufail dari Said bin Al-Musayyib dari Ummu Salamah katanya: Aku mendengar Rasulallah saw. bersabda: ‘Al-Mahdi adalah dari keturunanku dan dari cucu Fathimah’ “.
Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dari Said bin Musayyib katanya: ‘Kami pernah berada di rumah Ummu Salamah ra dan kami menyebut-nyebut Al-Mahdi, maka katanya; Aku mendengar Rasulallah saw. bersabda: ‘Al-Mahdi dari keturunan Fathimah’. Hadits ini juga dishohihkan oleh As-Suyuti dalam kitab Al-Jami’ As-Saqhir.
Juga Abu Daud dalam Sunan-nya dari jalur Asim Bin Ibnun Nujud dari Zar bin Abdullah bin Mas’ud ra. dari Rasulallah saw. sabdanya: “Sekiranya tidak tinggal melainkan sehari umur dunia, niscaya Allah akan memanjangkan hari itu sehingga dibangkitkan padanya seorang dariku atau dari keluargaku yang namanya sama dengan namaku dan nama ayahnya sama dengan nama ayahku, ia akan memenuhi bumi dengan keseksamaan dan keadilan setelah dipenuhi dengan kedzaliman dan penganiayaan”. Hadits ini dishohihkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Minhajus Sunnah an-Nabawiyyah.
Begitu juga Abu Daud meriwayatkan lagi dalam Sunan-nya; “Telah memberitahu aku Suhail bin Tamam bin Badi’ dari Imaran Al-Qattan dari Abi Nadrah dari Abi Said Al-Khudri katanya, telah bersabda Rasulallah saw.: ‘Al-Mahdi dari keturunanku, lebar dahinya dan mancung hidungnya, ia memenuhi bumi dengan keseksamaan dan keadilan setelah dipenuhi dengan kedzaliman dan penganiayaan dan akan berkuasa selama 7 tahun“. Hadits ini dishohihkan juga oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Al-Manar dan As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Jami’ As Saghir.
Selain riwayat-riwayat diatas masih banyak lagi riwayat mengenai akan munculnya Imam Al-Mahdi dari keturunan Rasulallah saw. pada akhir zaman. Silahkan rujuk kitab-kitab berikut ini: Sunan Abu Dawud didalam kitabnya Al-Mahdi ; Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 1 : 99, 376-377, 430, 448; jilid 2 : 336 ; jilid 3 : 17, 28, 98-99, 317, 345, 367, 384 ; Shahih Ibnu Majah dalam Abwab Al-Jihad dan Abwab Al-Fitan ; Lihat Al-Mustadrak 4 : 460, 463, 502, 514, 554, 557-558 ; Majma’ Al-Zawaid 7 : 314-317 ; Kanzal Ummal 7 : 189, 260-261 ; Shahih Muslim dalam kitabnya Al-Fitan ; Qashash Al-Anbiya hal. 554 ; Hilyah Al-Auliya 3 : 184 ; Usud Al-Ghabah 1: 259 dan lain lain.
Insya Allah buat pembaca sudah jelas dengan adanya firman Allah swt., hadits-hadits dan wejangan para ulama yang telah dikemukakan diatas, membuktikan bahwa keturunan Nabi saw. itu masih tetap ada sampai akhir zaman. Akan sia-sialah golongan pengingkar atau penuduh yang mengatakan bahwa nasab keturunan Nabi saw. sudah punah/putus dan belum konkrit, omongan mereka ini sama sekali tidak didasari oleh dalil walaupun hanya satu dalil tidak lain hanya berdasarkan kedengkian dan kehasutan terhadap keturunan yang mulia tersebut yang dikaruniakan oleh Allah swt. Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah swt,amin.
Siapakah sebenarnya yang dimaksud Ahlul-Bait ?
Perbedaan faham, pengertian atau pendapat mengenai kata Aal (Ahlul-bait atau keluarga) Muhammad saw. bukan masalah baru. Kelainan mengartikan kata tersebut telah berlangsung sejak masa lampau. Karena itu adanya perbedaan pendapat dalam mengartikan kata tersebut pada zaman kita sekarang ini, tidak mengejutkan. Tidak lain ini hanya merupakan kelanjutan dari perbedaan yang pernah terjadi zaman dahulu. Hingga kapan perbedaan itu akan berakhir sepenuhnya ditangan Allah swt.. Dalam kaitannya masalah tersebut, yang penting bagi kita ialah mengetahui benar duduk persoalannya, dan untuk itu sangat diperlukan penjelasan.
Para ahli figih tidak semuanya sepakat dalam memberikan makna Aali. Dengan adanya perbedaan tersebut mereka juga berbeda dalam menentukan hukum.
Imam Hanafi, Maliki dan Ahmad telah mengatakan bahwa Aali dan Ahli adalah sama arti atau maknanya, namun masing-masing diantara mereka memberi ketentuan yang berlainan.
Imam Hanafi berpendapat bahwa Ahli Bait seseorang, Aali dan jenisnya adalah satu yaitu setiap orang yang mempunyai pertalian nasab, sekali pun kepada nenek moyangnya baik yang muslim maupun yang tidak muslim. Ada pula yang mensyaratkan Islamnya ayah atau datuk yang paling tinggi. Maka semua anak yang dinasabkan kepada ayah ini termasuk lelaki, wanita dan anak-anak adalah ahli keluarganya.
Imam Malik berpendapat lain lagi bahwa kata Aali adalah orang yang mendapat asobah dan setiap orang yang mendapat asobah dan setiap wanita jika ia bergabung dengan lelaki maka ia menjadi asobah. Imam Hanbali berpendapat bahwa Aali seseorang dan Ahli Baitnya, kaumnya, keturunan dan kerabatnya adalah sama maknanya. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa Aali seseorang adalah kerabat dan keluarga yang ditanggung nafkahnya, sedangkan Ahli Baitnya adalah kerabat dan isteri nya.
Sedangkan arti Aali dalam kalimat selawat kepada Nabi saw. dan arti kata ‘Ahlul-Bait’ dalam firman Allah swt. surat Al-Ahzab : 33, ini mempunyai pengertian khusus yang bermakna: ‘keluarga/kerabat Rasulallah saw.’. Pendapat terbanyak dari ulama mengatakan bahwa yang dimaksud disini ialah kerabat beliau saw. yang diharamkan kepada mereka menerima sedekah.
Ada lagi yang mengatakan Aali Muhammad berarti semua umat Muhammad saw. yang menerima perintah beliau saw. atau orang yang bertakwa, termasuk Imam Malik dan Al-Azhari cenderung dengan pendapat ini, sedangkan Baihaqi dan lain-lain menolak pendapat ini.
Seandainya arti Aali Muhammad itu setiap mukmin yang bertakwa seperti pendapat Imam Malik diatas niscaya sedekah tidak dibolehkan dan diharamkan kepada mereka, sebagaimana diharamkan kepada keluarga Rasulallah saw., Bani Hasyim dan Bani Abdul Muttalib, tetapi tidak ada yang berpendapat demikian! Pendapat ini sangat jauh dari penafsiran yang sebenarnya!!. (baca keterangan selanjutnya).
Pendapat yang terbanyak mengenai Aali Muhammad saw. dalam kalimat selawat ialah Rasulallah saw. dan keturunannya termasuk disini Bani Hasyim dan Bani Abdul Muttalib, begitu juga yang ditegaskan oleh Imam Syafi’i dalam Harmalah yang dikutip dari Al-Azhari, Baihaqi dan lain-lain, serta di kemukakan juga oleh mayoritas sahabat-sahabat baginda Rasulallah saw. Mereka berdalil pada hadits Rasulallah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa beliau saw. bersabda: ‘Sesungguhnya sedekah diharamkan kepada Muhammad dan juga kepada Aali Muhammad’.
Dalam kaitannya masalah tersebut, yang penting bagi kita ialah mengetahui benar duduk persoalannya, dan untuk itu sangat diperlukan penjelasan. Sebagai bahan pemikiran baiklah kita ketengahkan ,berikut ini, pengertian/paham para ulama diantaranya Ibnul Qayyim dikitabnya Jala’ul-Afham dan para ulama lainnya. Uraian/ penjelasan makna Aal (Ahlul-bait atau keluarga) Muhammad Rasulallah saw. dan Ahlul-Bait dalam surat Al-Ahzab:33, para ahli tafsir mempunyai beberapa pendapat diantaranya, sebagai berikut:
Pengertian (paham) pertama:
Yang dimaksud dengan Aal Muhammad saw. ialah mereka yang oleh Rasulallah saw. diharamkan menerima sedekah/shodaqah. Mengenai siapa mereka ini terdapat tiga macam pendapat di kalangan ulama:
a). Mereka itu adalah anak-cucu keturunan Bani Hasyim dan Bani Al-Mutthalib. Pendapat ini sesuai dengan madzhab Syafi’i dan madzhab Hanbali. Demikian juga menurut Ibnul-Qayyim, Ibnu Taimiyyah dan lain-lain..
b). Yang dimaksud Aal Muhammad saw. ialah khusus anak cucu keturunan Bani Hasyim, pendapat ini termasuk dalam madzhab Hanafi. Sebenarnya pendapat ini berasal dari Imam Ahmad bin Hanbal berdasarkan ta’rif (kesimpulan) Abul Qasim, sahabat Imam Malik bin Anas.
c). Aal Muhammad ialah mereka anak cucu keturunan Bani Hasyim dan kaum kerabat dekat mereka, baik menurut garis silsilah keatas mau pun kebawah hingga anak cucu keturunan Ghalib. Kesimpulan seperti ini dikemukakan oleh Asyhab, seorang sahabat Imam Malik. Demikian juga menurut penulis kitab Al-Jawahir dan menurut Al-Lakhmiy dalam kitab At-Tabasshur. Riwayat ini sesungguhnya berasal dari Al-Ashba’, tetapi tidak disebut nama Al-Ashba’ sebagai salah satu sumbernya.
Pihak yang berpegang pada tiga macam pengertian (a,b,c) tersebut sepakat menetapkan, bahwa Aal Muhammad saw. diharamkan menerima shodaqah. Mengenai ini tidak ada perbedaan pendapat antara mereka, sebab nash mengenai itu berasal dari Rasulallah saw. sendiri.
Dalil-dalil yang digunakan pengertian/paham pertama ini ialah:
1). Yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori didalam Shohih-nya dari Abu Hurairah ra. sebagai berikut: “Pada musim panen kurma datanglah beberapa orang kepada Rasulallah saw. membawa buah kurma hingga terkumpul banyak di rumah beliau saw.. Tidak lama kemudian datanglah Al-Hasan dan Al-Husain ketika itu masih kanak-kanak lalu bermain-main dengan beberapa buah kurma. Al-Hasan ra memasukkan kedalam mulut buah kurma yang diambilnya hendak dimakan. Melihat itu Rasulallah saw.cepat-cepat mengeluarkan buah kurma itu dari mulut cucunya sambil berkata: ‘Apakah engkau tidak mengerti bahwa keluarga (aal) Muhammad tidak makan shadaqah’ “? Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dengan susunan kalimat ‘Shadaqah tidak dihalalkan bagi kami’.
2a). Hadits shohih berasal dari Zaid bin Al-Arqam yang menuturkan sebagai berikut: “Pada suatu hari Rasulallah saw. berkhutbah didepan kami, dekat sumber air bernama Khuma, terletak diantara Makkah dan Madinah. Setelah memanjatkan puji syukur kehadirat Allah, mengingatkan dan memberi nasihat-nasihat kepada kami, beliau saw. lalu menyatakan: “Amma ba’du, sesungguhnya aku adalah manusia. Tidak lama lagi akan datang kepadaku utusan Allah (malaikat jibril) dan akan kuterima. Kutinggalkan kepada kalian dua bekal. Yang pertama ialah Kitabullah, didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang. Ambillah Kitabullah itu dan berpeganglah teguh padanya. Kemudian beliau saw. melanjutkan setelah berhenti sejenak; dan ahlu-baitku…Kuingatkan kalian kepada Allah mengenai ahlu-baitku –beliau mengulangi tiga kali”.
Mendengar hadits dari Zaid tersebut Hashin bin Sarbah bertanya: “Hai Zaid, siapakah ahlu-bait (keluarga) beliau saw.? Bukankah para ummul mu’minin (isteri-isteri beliau) ahlu-bait beliau? Zaid menjawab: ‘Para isteri beliau termasuk ahlubaitnya, tetapi orang-orang selain beliau saw. yang diharamkan menerima shadaqah juga termasuk ahlubait beliau'. Hashin bertanya; ‘Siapakah mereka itu’ ? Zaid menjawab: ‘Mereka ialah keluarga ‘Ali (bin Abi Thalib), keluarga ‘Aqil (bin Abi Thalib), keluarga Jakfar (bin Abi Thalib) dan keluarga Al-‘Abbas (bin ‘Abdul Mutthalib)’. Hashin bertanya; ’Apakah mereka semua diharamkan menerima shodaqah’? Zaid menjawab; ‘Ya, itu telah menjadi ketentuan Rasulallah, karena beliau telah menyatakan bahwa shadaqah tidak dihalalkan bagi aal (ahlu-bait, keluarga) Muhammad’ “.
b). Tetapi Imam Muslim meriwayatkan nash yang serupa diatas ini yang ber- asal dari sumber lain mengandung makna berlainan yaitu sebagai berikut: “…Kami bertanya (kepada Zaid): ‘Apakah para isteri beliau saw. termasuk ahlubait Rasulallah saw.’? Zaid menjawab: ‘Tidak, demi Allah! Sebab isteri mungkin hanya untuk sementara waktu saja hidup bersama suami. Bila terjadi perceraian, isteri akan kembali kepada orang tua atau sanak familinya. Ahlubait beliau ialah orang-orang dari mana beliau berasal, dan kaum kerabat beliau yang diharamkan menerima shodaqah, seperti beliau saw. sendiri ‘ “!
Imam Nawawi dalam uraiannya mengatakan, bahwa dua buah riwayat hadits diatas tersebut (2a/b) tampak berlawanan. Yang jelas diketahui ialah bahwa dalam kebanyakan riwayat yang diketengahkan oleh (Imam) Muslim mengenai soal itu, Zaid bin Arqam mengatakan: para isteri Rasulallah saw. bukan ahlubait beliau. Karena itu riwayat hadits yang pertama diatas harus ditakwilkan, bahwa dimasukkannya para isteri Rasulallah saw. kedalam lingkungan ahlulbait, karena mereka itu tinggal bersama Rasulallah saw., dan diperlakukan oleh beliau sebagai keluarga. Beliau saw. memerintahkan supaya mereka itu dihormati dan dimuliakan serta disebut sebagai ‘tsaqal’. Beliau juga mengingatkan juga supaya hak-hak mereka dipelihara dan dipenuhi. Atas dasar penta’wilan itu maka para isteri Rasulallah saw. memang termasuk dalam lingkungan ahlulbait, tetapi mereka tidak termasuk orang-orang yang diharamkan menerima shodaqah. Dengan demikian hilanglah sifat berlawanan antara dua riwayat hadits yang diketengahkan oleh Imam Muslim.
3). Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Az-Zuhri yang menerimanya dari ‘Urwah dan ‘Urwah menerimanya dari ‘Aisyah ra. yang menuturkan bahwa: “Pada suatu hari Fathimah ra mengirim utusan kepada Abubakar Ash-Shiddiq ra.untuk menanyakan warisan yang dapat diterima dari ayahandanya (Rasulallah saw.). Abubakar menjawab bahwa ia mendengar sendiri Rasulallah saw.pernah menyatakan: ‘Kami tidak mewariskan. Apa yang kami tinggal adalah shadaqah. Keluarga Muhammad diharamkan menerima shadaqah’ “. Dengan demikian jelaslah bahwa ahlu-bait Muhammad saw. mempunyai kekhususan-kekhususan tertentu, antara lain: Diharamkan menerima shadaqah, tidak mewarisi harta Nabi (jika ada), mereka berhak menerima seperlima bagian dari harta ghanimah (rampasan perang), dan berhak menerima ucapan shalawat.
4). Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Syahab memberitakan atas anjuran beberapa orang sahabat, al-Fadhl bin Al-‘Abbas pernah datang menghadap Nabi saw., minta kepada beliau agar dirinya diangkat sebagai petugas pengumpul zakat. Nabi menjawab; ‘shadaqah bukan lain adalah kotoran, karenanya tidak halal bagi Muhammad (saw).dan ahlu-bait Muhammad (saw.)’.
5). Hadits riwayat Muslim dalam Shohih-nya berasal dari ‘Aisyah ra yang menuturkan: “Pada suatu hari ketika Rasulallah saw. siap menyembelih seekor kambing, beliau bersabda: ‘Ya Allah, terimalah dari Muhammad, dari keluarga (ahlu-bait) Muhammad dan dari Ummat Muhammad’, setelah itu barulah kambing disembelih”. Hadits ini menunjukkan kedudukan yang berlainan antara ahlu-bait Muhammad saw. dan umat Muhammad saw. Ummat beliau adalah umum, sedangkan ahlu-bait beliau adalah khusus. Penafsiran kata aal (ahlu-bait atau keluarga) Muhammad saw. yang diucapkan sendiri oleh Rasulallah saw pasti lebih benar dan lebih utama dari- pada penafsiran orang lain.
Pengertian/paham kedua:
Paham pihak kedua ini mengatakan yang dimaksud Ahlul-Bait hanya untuk lima orang saja. Mereka ini dengan berdasarkan riwayat dari Aisyah, Ummu Salamah, Abu Said Al-Khudri dan Anas bin Malik [ra] bahwa surat Al-Ahzab : 33, ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan noda dan kotoran (dosa) dari kalian, ahlul bait , dan mensucikan kalian sesuci-sucinya’ ini turun hanya untuk lima orang saja yaitu: Rasulallah saw., Amirul mukminin Ali kw., Siti Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain (ra). Rasulallah saw. juga telah bersabda seraya menunjuk kepada Ali, Siti Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain: ‘Ya Allah mereka ini Ahli Baitku, maka hilangkanlah noda kotoran (ar-rijsa) dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya’.
Hadits-hadits yang semakna diatas, silahkan rujuk:
Shahih Muslim, kitab Fadhail Ash-Shahabah, bab Fadhail Ahlul Bait Nabi, jilid 2, hal.368, cet.Isa Al-Halabi; jilid 15 hal.194, syarah An-Nawawi, cet.Mesir ; Shahih At-Tirmidzi, jilid 5, hal. 30, hadits ke 3258; hal. 328 hadits ke 3875, cet. Darul Fikr.; Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 5, hal.25, cet. Darul Ma’arif, Mesir; Musnad Ahmad jilid 3, hal.259 dan 285; jilid 4, hal.107; jilid 6 hal.292, 296, 298, 304 dan 306 , cet. Mesir.; Al-Mustadrak Al-hakim, jilid 3, hal.133, 146, 147, 158 ; jilid 2, hal. 416 ; Tafsir Ath-Thabari jilid 22 hal. 6, 7 dan 8, cet.Al-Halabi Mesir ; Tafsir Al-Qurtubhi jilid 14, hal. 182, cet. Kairo ; Tafsir Ibnu Katsir jilid 3, hal. 483, 494 dan 495, cet. Mesir ; Tafsir Al-munir Lima’alim At-Tanzil, oleh Al-jawi, jilid 2 hal. 183 ; Al-Mu’jam Ash-Shaghir, oleh At-Thabarani jilid 1, hal. 65 dan 135 ; Khashaish Amirul Mu’minin, oleh An-Nasa’i Asy-Syafi’i hal.4, cet. At- Taqaddum Al-‘Ilmiyah, Mesir ; Cet.Beirut hal. 8 ; cet.Al-Haidariyah hal.49 ; Tarjamah Al-Imam Ali bin Abi Thalib, dalam tarikh Damsyiq, oleh Ibnu Asakir Asy-Syafi’i jilid 1, hal. 185 ; Kifayah Ath-Thalib, oleh Al-Kanji Asy-Syafi’i , hal.45, 373-375 ; Usdul Ghabah fi Ma’rifati Ash-Shahabah, oleh Ibnu Atsir Asy-Syafi’i, jilid 2, hal. 12, 20 ; jilid 3 hal.413 ; jilid 5 hal. 521, 589 ; Ad-Durrul Mantsur, oleh As-Suyuthi jilid 5, hal. 198, 199;Al-Itqan fi ‘ulumil Qur’an jilid 4 hal. 240, cet.Mathba’ Al-Masyhad Al-Husaini, Mesir ; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi, hal. 107, 108, 228, 229, 230, 244, 260 dan 294, cet.Istanbul ; cet.Al-Haidariyah hal. 124, 125, 135, 196, 229, 269, 271, 272, 352 dan 353. Dan masih banyak lagi yang tidak kami cantumkan disini.
Jawad Mughniyyah didalam kitabnya Al-Husain Wal Qur’an mengatakan:
“Sebagian besar para ahli tafsir berpegang pada sebuah hadits shohih yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri ra yang menuturkan bahwasanya Rasulallah saw. telah menegaskan:’Ayat itu turun mengenai lima orang; Aku sendiri, ‘Ali (bin Abi Thalib ra), (Siti) Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain’. Atas dasar penegasan beliau itu maka yang dimaksud ahlul-bait adalah lima orang keluarga Nubuwwah tersebut. Kebenaran tersebut diperkuat oleh sebuah hadits shohih lainnya yang diketengahkan oleh banyak ulama hadits, yaitu Haditsul-Kisa “.
Dengan demikian jelas menurut paham kedua ini yang dimaksud Ahlu-Bait Rasulallah saw. adalah hanya lima orang yang tersebut diatas ini (dan keturunan mereka), hal ini diperkuat lagi dengan adanya hadits Al-Kisa dan hadits Tsaqalain. (baca keterangan selanjutnya tentang hadits al-Kisa’ dan hadits Tsaqalain)
Menurut ulama, pendapat kedua ini adalah adalah pendapat yang terbanyak diriwayatkan dalam hadits-hadits dibandingkan pendapat-pendapat lainnya serta penafsiran yang paling tepat dan benar yang banyak diterangkan oleh ulama-ulama pakar ahli tafsir dan hadits.
Pengertian/paham ketiga:
Aal Muhammad saw. adalah anak cucu keturunan beliau saw. dan khususnya para isteri beliau saw. Hal itu dikemukakan oleh Ibnu ‘Abdul Bir dalam At-Tamhid. Dalam kitab ini ia menguraikan sebuah hadits berasal dari Hamid As-Sa’idiy yang menuturkan: “Ada sementara golongan yang menggunakan hadits sebagai hujjah/dalil, bahwa Aal Muhammad saw. ialah para isteri dan anak cucu keturunan (dzurriyyah) beliau saw. Hal ini didasarkan pada pernyataan Rasulallah saw. didalam hadits Malik yang berasal dari Nu’aim Al-Mujmar, dan dalam hadits lain yang tidak dikemukakan oleh Imam Malik. Yaitu sebuah hadits yang nashnya berbunyi: ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad, kepada para isteri dan anak cucu keturunan beliau’ “.
Pihak paham ketiga ini mengatakan bahwa hadits tersebut menegaskan bahwa Aal Muhammad saw. ialah para isteri dan anak cucu keturunan Rasulallah saw. Lebih jauh lagi mereka ini mengatakan: “Orang yang bertemu dengan salah satu dari isteri Nabi saw. atau dengan salah satu dari anak cucu keturunan beliau, boleh mengucapkan: ‘Allah telah melimpahkan shalawat kepada anda (shollallahu ‘alaika)’. Bila tidak bertemu langsung, bolehlah orang mengucapkan: ‘Allah telah melimpahkan shalawat kepadanya (shollallahu ‘alaihi)’. Akan tetapi kepada selain mereka ini tidak di perbolehkan”.
Selanjutnya mereka berpendapat, bahwa kata aal, ahlul-bait dan ahl mempunyai arti yang sama. Keluarga dan anak cucu keturunan seseorang adalah sama artinya, yaitu para isteri dan anak cucu keturunannya. Persamaan arti kata-kata ini mereka dasarkan pada hadits yang telah kami kemukakan tadi.
Dalil-dalil pengertian atau paham ketiga ialah:
a). Ibnu ‘Abdul-Bir menunjuk kepada hadits Ibnu Hamid As-Sa’idi sebagai berikut: ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad, kepada isteri-isterinya dan kepada anak-cucu keturunannya’. Sedangkan dalam hadits yang lain terdapat susunan kalimat: ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan kepada aal (ahlu-bait) Muhammad’. Maksud hadits yang terakhir ini menyimpulkan makna hadits yang pertama.
b). Selain itu mereka ini berdalil dengan hadits Abu Hurairah ra. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim. Abu Hurairah ra menuturkan bahwa Rasulallah saw. pernah menyatakan dalam do’anya; “Ya Allah, anugerahilah aal (keluarga) Muhammad rizki berupa makanan sehari-hari’ (yakni rizki untuk makan sehari-hari)”. Do’a beliau saw. ini benar-benar terkabul dan ternyata tidak meliputi semua anak cucu keturunan Bani Hasyim dan anak cucu keturunan Bani ‘Abdul Mutthalib. Diantara mereka itu hingga sekarang banyak yang menjadi hartawan dan mendapat rizki lebih dari sekedar cukup untuk makan sehari-hari. Lain halnya para isteri Nabi dan anak-cucu keturunan Nabi saw. yang hanya beroleh rizki sekedar cukup untuk makan sehari-hari.
c). Terdapat sebuah riwayat yang menuturkan bahwa isteri Rasulallah saw., ‘Aisyah ra., pernah menerima hadiah kekayaan cukup besar dari seorang penduduk. Akan tetapi begitu menerimanya seketika itu juga dibagikan kepada kaum fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan, hingga habis semuanya. Melihat kenyataan itu jariyahnya (pelayannya) tercengang, lalu berkata: ‘Seumpama ibu tinggalkan barang satu dirham, tentu kita dapat membeli daging’. ‘Aisyah ra menjawab; ‘Seumpama engkau tadi mengingatkan, itu tentu kulakukan’.
d). Sebuah hadits shohih dari ‘Aisyah ra. yang pernah terus terang mengatakan:”‘Aal (keluarga) Muhammad saw. tidak pernah kenyang makan roti gandum berturut-turut selama tiga hari”. Demikianlah keadaannya hingga saat beliau pulang keharibaan Allah swt. Dari hadits ini golongan paham ketiga menarik suatu pengertian, bahwa anak cucu keturunan Al-‘Abbas dan anak-cucu keturunan ‘Abdul-Mutthalib tidak termasuk didalam makna ucapan ‘Aisyah ra. yakni tidak termasuk aal (keluarga) Rasulallah saw.
Mereka ini menegaskan bahwa isteri seseorang adalah keluarganya dan tidak diragukan lagi bahwa para Ummul Mu’minin (para isteri Rasulallah ) adalah keluarga beliau saw.. Kedudukan mereka ini disamakan dengan keturunan beliau saw. karena mereka ini juga tidak mempunyai silsilah (langsung) keatas dengan beliau saw., sebagaimana halnya dengan anak cucu keturunan Nabi saw. kecuali putera-puteri beliau saw. tidak mem punyai hubungan silsilah langsung dengan Nabi saw. yakni melalui Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw. dan Siti Fathimah Az-Zahra ra.
Para isteri Nabi saw.adalah termasuk mereka-mereka yang diharamkan nikah dengan pria lain sepeninggal Rasulallah saw. Mereka adalah isteri-isteri beliau didunia dan akhirat. Karena hubungan khusus mereka dengan Nabi saw. inilah mereka disamakan kedudukannya dengan keturunan beliau dengan kata lain mereka ini termasuk juga aal (ahlu-bait, keluarga) Nabi saw.. Mereka memandang para isteri Nabi saw. termasuk juga orang-orang yang diharamkan menerima sedekah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal karena sedekah adalah kotoran dari orang lain. Allah swt. telah memelihara kemuliaan dan keagungan Nabi dan Rasul-Nya beserta segenap anggota keluarga beliau dari setiap kotoran yang diberikan kepada mereka sebagai sedekah. Hadits-hadits tersebut diatas ,menurut paham ketiga, menunjukkan bahwa para isteri Nabi saw. berhak menerima sholawat.
Alangkah anehnya jika Rasulallah saw. sendiri telah berdo’a: ‘Ya Allah anugerahilah keluarga Muhammad rizki berupa makanan sehari-hari’; ‘Ya Allah terimalah (sembelihan) ini dari Muhammad, dari keluarga Muhammad dan dari ummat Muhammad’; ’Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad, kepada isteri-isteri Muhammad dan kepada anak cucu keturunan Muhammad… dan ‘Aisyah ra. sendiri terus terang mengatakan: ‘Keluarga Rasulallah tidak pernah kenyang makan roti gandum selama tiga hari berturut-turut’, tetapi bersamaan dengan semuanya itu lalu orang mengatakan bahwa para isteri Nabi saw. tidak termasuk dalam ucapan beliau saw. ‘Bahwa sedekah tidak halal bagi Muhammad dan bagi aal (keluarga) Muhammad’. Padahal jelaslah bahwa sedekah itu merupakan kotoran!! Demikianlah argumentasi pengertian (paham) ketiga ini.
Ada pihak lain yang menyanggah paham ketiga ini dengan mengatakan sebagai berikut: “Jika para isteri Nabi diharamkan menerima sedekah, tentu mawali (budak-budak asuhan) mereka diharamkan juga menerima sedekah”.
Sanggahan ini sangat lemah, sebab jauh untuk disamakan antara para isteri Nabi saw. dan mawali mereka! Pengharaman menerima sedekah yang berlaku bagi para isteri Nabi saw. sama sekali bukan menurut dzatnya (esensi pribadinya masing-masing), melainkan semata-mata karena terbawa oleh pengharaman sedekah bagi Rasulallah saw.. Mereka sebelum menjadi isteri Nabi saw, mereka halal menerima sedekah, yakni sebelum mempunyai hubungan dan ikatan khusus dengan Nabi saw.. Dengan demikian pengharaman yang berlaku bagi mereka ini merupakan cabang (sempalan) dari pengharaman yang berlaku bagi suami mereka, yakni Rasulallah saw.. Dengan demikian sangat jelas bahwa budak-budak asuhan (mawali) tidak bisa disamakan kedudukannya dengan para isteri Rasulallah saw.!
Pengertian/paham keempat:
Pihak ini berkata yang dimaksud Ahlul-Bait pada ayat Al-Ahzab tersebut adalah para isteri Rasulallah saw. saja, karena mulai dari ayat 28 sampai akhir ayat 34 dalam surat ini berkaitan dengan para isteri Nabi saw. Jadi bagaimana mungkin ditengah-tengah terselip persoalan lain? Tidaklah pada tempatnya jika para Ummul Mu’minin hendak dikeluarkan dari pengertian aal atau ahlu-bait Rasulallah saw.
Penafsiran paham keempat ini dibantah oleh para ulama tafsir lainnya yaitu yang mengartikan makna ahlul-bait dengan ahlul-aba atau ahlul-Kisa’ berdasarkan dalil-dalil secara nash (baca hadits Al-Kisa’ dihalaman berikutnya). Juga para ahli tafsir yang menyanggah paham keempat ini mengatakan: Kalau yang dimaksud ahlul-bait hanya para isteri Nabi saw. saja, tentu dalam ayat itu tidak menggunakan dhamir (kata ganti nama) ’Kum’ (kalian lelaki dan wanita) melainkan menggunakan dhamir ‘Kunna’ (kalian wanita)!!
Pihak paham keempat ini menjawab: Digunakannya dhamir ‘Kum’ karena ayat itu menunjuk kepada ‘Ahlu’. Menurut tata bahasa Arab kata ahlu adalah mudzakkar (menunjukkan lelaki), bukan muannats (menunjukkan wanita). Karena itulah Al-Qur’an menggunakan dhamir Kum tidak menggunakan dhamir Kunna.
Mari kita teruskan kajian berikut ini.
Jumhurul-ulama (para ulama tafsir pada umumnya) berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan kata ahlul-bait dalam surat Al-Ahzab:33 ialah dua pihak sekaligus yaitu Lima orang (yang tersebut diatas) dan para isteri Rasulallah saw. Para ulama tafsir ini yakin bahwa pengertian kata ahlul-bait yang mencakup dua belah pihak itu lebih sesuai dengan semua dalil yang ada. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Athiyyah: “Para Ummahatul-Mu’minin (para isteri Nabi saw) tidak berada diluar pengertian ahlul-bait. Sebab, kata ahlul-bait lazim berarti semua anggota keluarga, dan isteri-isteri adalah termasuk anggota keluarga”. An-Nafsiy menegaskan; firman Allah yang menggunakan dhamir Kum mengandung petunjuk, bahwa para Ummahatul-Mu’minin termasuk dalam pengertian kata ahlul-bait. Sebab dhamir Kum berlaku bagi lelaki dan wanita bersama-sama. Demikianlah pula pendapat Zamakhsyariy, Al-Baidhawiy dan Abus-Sa’ud.
Imam Fakhrur-Raziy pun dalam pernyataannya mengatakan:
”Dikalangan para ahli tafsir memang terjadi perbedaan pendapat mengenai arti kata ahlul-bait. Karena itu lebih baik dikatakan, mereka itu terdiri dari para Ummahatul-Mu’minin, putri beliau saw. (Siti Fathimah ra) bersama suaminya (Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw.) dan dua orang cucu beliau saw. (Al-Hasan dan Al-Husain-radhiyallahu ‘anhuma). ‘Ali bin Abi Thalib termasuk ahlul-bait karena ia menjadi suami putri Rasulallah saw. dan selalu bersama beliau “.
Dengan keterangan diatas bisa kita simpulkan ,pada pihak paham keempat, bahwa pendapat yang terbanyak dan penafsiran yang paling tepat yang dimaksud Ahlu-Bait Rasulallah saw. ialah lima orang yang tersebut diatas dan para isteri Rasulallah saw.
Pengertian/paham kelima:
Aal Muhammad saw. ialah semua pengikut Muhammad saw. hingga hari terakhir kelak (hari kiamat). Hal ini dikemukakan oleh Ibnu ‘Abdul-Bir dan sebagian ulama. Orang yang pertama-tama mengemukakan pendapat tersebut ialah Jabir bin ‘Abdullah ra. Dialah yang disebut oleh Al-Baihaqi dan diriwayatkan pula oleh Sufyan Ats-Tsauri. Beberapa ulama sahabat Imam Syafi’i pun menetapkan penafsiran seperti itu, sebagaimana dikemukakan oleh At-Thabari dalam salah satu tulisannya, kemudian dibenarkan oleh Syeikh Muyiddin An-Nawawi di dalam Syarh Muslim dan dibenarkan oleh Al-Azhari.
Golongan paham kelima ini mengatakan: “Keluarga Nabi dan Rasulallah yang diagungkan dan ditaati ialah semua orang yang mengikuti dan mentaati agama beliau saw. asalkan mereka mematuhi perintah, larangan, petunjuk dan tuntunan beliau, mereka itulah keluarga (aal) beliau, tidak pandang apakah mereka itu mempunyai hubungan kekerabatan dengan beliau atau tidak”. Mereka mengatakan juga; “bahwa kata aal dapat berarti pengikut, kata kerja ya-uu-lu (fi’il mudhari’) yang berasal dari kata kerja aa-la (fi’il madhi) dapat bermakna kembali (yakni kembali kepada yang di-ikutinya sebagai pemimpin). Para pengikut tentu kembali kepada yang di-ikuti, sebab yang di-ikuti itu dipandang sebagai pemimpin dan tempat bernaung”.
Kata mereka selanjutnyna: Dengan pengertian itulah Allah swt. berfirman “…kecuali aal (keluarga) Luth, mereka Kami selamatkan sebelum fajar menyingsing”. Yang dimaksud aal Luth ialah para pengikut Nabi Luth as. dan yang beriman kepada beliau, baik dari kaum kerabat Luth sendiri mau pun dari kaumnya yang lain. Demikian pula firman Allah swt.: “…Masukkanlah aal (keluarga) Fir’aun ke dalam siksa yang berat”. Yang dimaksud dengan aal Fir’aun adalah para pengikut Fir’aun.
Mereka ini juga berdalil sebuah hadits riwayat Al-Baihaqy (telah kami kemukakan sebelumnya) dari Watsilah bin Al-Ashqa’ sebagaimana diketahui oleh para ahli hadits, Watsilah adalah seorang dari kabilah Bani Laits bin Bakr bin ‘Abdimanaf, ia bukan kerabat dekat Nabi, melainkan hanya pengikut beliau saw. yang menuturkan sebagai berikut:
“Bahwasanya Rasulallah saw. pada suatu hari memanggil dua orang cucunya, Al-Hasan dan Al-Husain –radhiyallahu ‘anhuma-. Dua-duanya beliau dudukkan diatas pangkuan beliau, kemudian minta agar Fathimah Az-Zahra ra. bersama suaminya (Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw.) mendekat. Setelah semuanya berkumpul beliau lalu menyelimutkan sehelai kain lebar pada mereka berempat seraya bersabda: ‘Ya Allah, mereka inilah keluargaku (ahlii)’. Watsilah kemudian bertanya: Ya Rasulallah, apakah aku termasuk keluarga anda? Rasulallah saw. menjawab: ‘Engkau termasuk keluargaku (ahlii)’ “.
Demikianlah argumentasi pihak yang berpegang pada pengertian/ paham kelima ini.
Menurut para ulama, dalil pengertian pihak kelima ini sangat lemah, alasan-alasan kelemahannya, antara lain sebagai berikut:
Pertama ialah: ‘Apakah benar Watsilah yang meriwayatkan atau yang menjadi sumber riwayat hadits tersebut’? Sebab terdapat sumber riwayat yang lebih dapat dipercayai kebenarannya, yaitu hadits Al-Kisa yang bunyi kalimatnya (nash haditsnya) sama dengan hadits dari Watsilah diatas ini hanya nama Ummu Salamah ra berubah menjadi Watsilah. Begitu juga hadits yang di tuturkan oleh isteri Rasulallah saw. Ummu Salamah ra. ini kejadiannya (waktu Nabi saw. menyelimuti dirinya dan keluarganya) berada dirumah Ummu Salamah ra.sendiri.
Kedua: Golongan yang berpegang pada paham kelima ini bertentangan dengan hadits-hadits shohih yang menuturkan bahwa keluarga (aal) Muhammad saw. haram untuk menerima sedekah. Bila yang dimaksud aal Muhammad ialah semua pengikut Muhammad saw. niscaya sedekah atau zakat tidak dibolehkan dan diharamkan kepada mereka padahal banyak para sahabat yang menerima zakat sebagaimana di haramkan kepada keluarga Rasulallah saw., Bani Hasyim dan Bani Abdul Muttalib, tetapi tidak ada yang berpendapat demikian! Pendapat ini sangat jauh dari penafsiran yang sebenarnya!!.
Ketiga adalah: Hadits riwayat Imam Muslim, waktu Rasulallah menyembelih seekor kambing, beliau saw berdoa: ‘ Ya Allah, terimalah (korban) dari Muhammad, dari keluarga (ahlu-bait) Muhammad dan dari ummat Muhammad’ setelah itu barulah kambing itu disembelih. Hadits riwayat Imam Muslim ini menunjukkan kedudukan yang jelas berlainan antara ahlu-bait/keluarga Muhammad saw. dan ummat Muhammad saw. Kalau ummat Muhammad saw. sama artinya dengan aal Muhammad, maka Rasulallah saw. cukup berdoa: ‘ Ya Allah, terimalah dari Muhammad, dari keluarga (ahlu-bait) Muhammad’ tanpa menambah kalimat ‘dan dari ummat Muhammad ‘.
Ummat beliau saw. adalah umum, sedangkan ahlu-bait beliau saw. adalah mempunyai makna yang khusus. Penafsiran kata aal Muhammad saw. yang diucapkan sendiri oleh Rasulallah saw. pasti lebih benar dan lebih utama daripada penafsiran orang lain. Lebih tidak pada tempatnya lagi, bahkan sama sekali tidak semestinya kata aal Muhammad dalam sholawat saat membaca tasyahhud (tahiyyat) dalam sholat, diartikan ummat Muhammad saw.! Masih banyak lagi riwayat yang berlawanan dengan pendapat pihak kelima ini. Jadi golongan pihak kelima ini tidak bisa diterima dan di pertanggung jawabkan kebenarannya.
Pengertian paham keenam:
Pengertian golongan ini ,mengenai Aal Muhammad saw, hampir sama dengan pengertian golongan kelima diatas, hanya golongan ini menambahkan adalah ummat Muhammad yang bertakwa. Pendapat demikian itu diketengahkan oleh Al-Qadhi Husain dan Ar-Raghib bersama jama’ahnya. Mereka ini berdalil kepada sebuah hadits yang dituturkan Jakfar bin Ilyas dan dikatakan berasal dari Anas bin Malik sebagai berikut:
“Rasulallah saw. pernah ditanya oleh seseorang tentang siapakah sebenarnya yang dimaksud dengan kata aal Muhammad saw.? Beliau saw. menjawab: ‘Semua orang yang bertakwa’. Beliau lalu mengucapkan firman Allah swt.: ‘Sesungguhnya para waliyullah itu tidak mengkhawatirkan sesuatu dan tidak pula mereka itu merasa sedih. Mereka adalah orang-orang yang beriman dan ber takwa’ . (QS.Yunus:62-63).
Akan tetapi Imam Thabrani yang menyebut hadits tersebut sangat meragukan kebenarannya. Sebab menurut Jakfar, hadits itu didapatnya dari Nu’aim bin Hammad, didengar oleh seorang bernama Nuh bin Abi Maryam yang menurut dia berasal dari Yahya bin Sa’id Al-Anshari, yang mendengarnya dari Anas bin Malik.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Thabrani, tidak ada yang meriwayatkan hadits seperti itu selain Nuh bin Abi Maryam. Hadits semakna berasal dari Nu’aim. Imam Baihaqi mengetengahkan hadits ini dari ‘Abdullah bin Ahmad bin Yunus, dari Nafi’ bin Hurmuz, oleh para ulama ahli hadits dipandang sebagai hadits yang tidak dapat diterima sebagai dalil, karena dua orang tersebut terkenal sebagai pembohong.
Pihak keenam ini juga menggunakan hadits Watsilah bin Al-Ashqa’ (telah kami kemukakan pada kolom paham pihak ke lima) sebagai dalil. Alasan lain yang dikemukakan oleh pihak penganut paham keenam ini ialah: Firman Allah swt. didalam Al-Qur’an ,berikut ini, yang tertuju kepada Nabi Nuh as. mengenai nasib anak lelakinya disaat banjir melanda bumi; “Hai Nuh, sesungguhnya dia (anak lelakimu itu) tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan keselamatannya). Perbuatan (dan sikap tingkah lakunya) bukanlah perbuatan baik” (QS Hud : 46).
Selanjutnya golongan ini berkata: Karena anak lelaki Nabi Nuh as.itu menyekutukan Allah (berbuat syirik) dia dikeluarkan dari lingkungan keluarga (aal) Nabi Nuh as.. Dengan demikian maka jelaslah kata pihak keenam ini aal Muhammad saw. adalah para pengikut beliau saw. yang bertakwa.
Dengan menghadapi masalah tersebut, Imam Syafi’i membantah dalil diatas ini, dengan jawaban yang tepat. Imam Syafi'i mengatakan: “Yang dimaksud dengan kalimat ‘sesungguhnya dia tidak termasuk keluargamu (ahlimu)’ dalam ayat tersebut ialah, bahwa anak lelaki Nabi Nuh as. itu tidak termasuk orang-orang yang harus diangkut dalam bahtera, yakni orang-orang yang hendak diselamatkan dari bencana banjir besar. Karena sebelum ayat itu Allah swt. telah memerintahkan Nabi Nuh as. sebagai berikut: ‘Angkutlah didalamnya (bahtera) dua dari tiap pasang (jodoh) hewan dan (angkutlah juga) keluargamu kecuali yang terkena keputusan Allah (untuk dibinasa- kan)’ [QS.Hud:40]. Dengan demikian maka anak lelaki Nuh as. termasuk orang-orang yang tidak dijamin keselamatannya “.
Ibnul-Qayyim mengatakan: “Kalimat ayat itu sendiri telah menunjukkan kebenaran jawaban Imam Syafi’i, karena ayat tersebut menyatakan lebih lanjut ‘dan barangsiapa yang beriman’ (QS Hud:40). Kalimat ini menunjuk kepada orang-orang beriman diluar keluarga Nabi Nuh as. Kalimat tersebut (dan yang beriman) berdiri sendiri disamping kalimat keluargamu (ahlaka) dan dua dari tiap pasang hewan. Dengan demikian maka kata ahlaka dalam ayat tersebut tidak mencakup pengertian pengikut yang beriman dan bertakwa”.
Demikianlah sebagian pengertian/paham dan uraian para ulama ahli tafsir mengenai makna Aal Muhammad dan kalimat Ahlul-Bait dalam ayat Al-Ahzab : 33. Sudah tentu masih banyak lagi pandangan para ulama lainnya yang tidak tercantum diwebsite ini.
Setelah adanya keterangan diatas, kita bisa menarik garis besar bahwa golongan yang berpegang pada paham kelima dan keenam yang tersebut diatas ini sangat lemah sekali dan tidak perlu kita permasalahkan. Karena pendapat ini bertentangan dengan hadits-hadits shohih yang riwayatnya lebih banyak dan bisa lebih dipercaya bahwa aal Muhammad adalah lima orang saja atau lima orang dan para isteri-isteri beliau saw. serta amat jauh dari permasalahan yang sebenarnya, begitu juga bertentangan dengan pendapat jumhur ulama!!
Lepas dari berbagai pendapat dan penafsiran semua yang tersebut diatas, yang sudah pasti dan tidak dapat disangkal menurut para ulama tafsir pada umumnya, yang lebih dekat dan sesuai dengan dalil-dalil yang ada yang dimaksud ahlul-bait dalam ayat Al-Ahzab: 33 ialah mencakup dua pihak sekaligus yaitu lima orang yang disebut dalam hadits-hadits shohih Nabi saw. dan para Ummahatul-Mu’minin (para isteri Nabi saw). Karena mereka ini tidak lain adalah hubungan keluarga Nabi saw. secara hakiki/sebenarnya.
Begitu juga lepas dari perbedaan pendapat mengenai masuk atau tidaknya para isteri Rasulallah saw. dalam pengertian Ahlu-Bait beliau saw., yang sudah pasti lima orang ialah Imam ‘Ali bin Abi Thalib dan Siti Fathimah Az-Zahra beserta kedua puteranya Al-Hasan dan Al-Husain –radhiyallahu ‘anhum– adalah ahlul–bait Rasulallah saw.. Hal ini telah dengan bulat di benarkan oleh semua ulama Salaf dan Khalaf, dan dibenarkan pula oleh semua pakar sejarah Islam sejak zaman dahulu hingga zaman akhir ini serta diakui keabsahannya oleh segenap kaum muslimin. Dengan demikian maka dzurriyatu (keturunan) Rasulallah saw. bukan lain adalah keturun- an Ahlu-Bait beliau saw.!!
Begitu juga kedudukan dan martabat Siti Fathimah dan Imam ‘Ali serta dua orang puteranya sebagai Ahlu-Bait Rasulallah lebih diperkuat lagi dengan turunnya ayat Mubahalah (Aali-Imran:61) kepada beliau saw. sekaitan dengan bantahan kaum Nasrani Najran yang menolak kebenaran Al-Qur’an mengenai kedudukan Nabi ‘Isa as.(keterangan singkatnya pada kajian selanjutnya).
Sedangkan orang-orang Bani Hasyim dan keturunannya termasuk dalam pengertian ahlul-bait atau tidak, jawabannya jelas; Mereka bukan ahlu-bait Rasulallah saw, tapi hanya dapat dimasukkan kedalam pengertian kata aal dengan tekanan pada arti kerabat. Wallahu a’lam .
Pengertian mengenai kata dzurriyyat atau keturunan:
Ibnul-Qayyim menjelaskan sebagai berikut: Di kalangan para ahli bahasa (Arab) tidak ada perbedaan pendapat mengenai makna kata dzurriyyat. Yang dimaksud dengan kata itu ialah anak-cucu keturunan, besar mau pun kecil. Kata tersebut dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat, antara lain pada Surat Al-Baqarah:124: “....Sesunguhnya Aku hendak menjadikan dirimu sebagai Imam bagi ummat manusia, (Ibrahim) bertanya; Dan anak-cucu keturunanku’ (apakah mereka juga akan menjadi Imam?)... sampai akhir ayat.
Dari pengertian ayat tersebut pastilah sudah bahwa kata dzurriyyat tidak bermakna lain kecuali anak-cucu keturunan. Akan tetapi apakah keturunan dari anak perempuan termasuk dalam pengertian dzurriyyat? Mengenai ini ada dua pendapat kalangan para ulama. Pendapat pertama, yaitu seperti yang dikatakan Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa keturunan dari anak perempuan adalah termasuk dalam pengertian dzurriyyat. Demikian pula menurut madzhab Imam Syafi’i.
Pendapat pertama ini sepakat bahwa semua anak cucu keturunan Siti Fathimah Az-Zahra ra binti Muhammad saw. termasuk dalam pengertian dzurriyyat yakni dzurriyatun-Nabiy (Keturunan Rasulallah saw.). Sebab tidak ada puteri Nabi saw. selain Siti Fathimah ra yang dikarunia keturunan yang hidup hingga dewasa. Oleh sebab itu wajarlah jika Rasulallah saw. menyebut Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma sebagai putera-putera beliau. Banyak hadits yang memberitakan pernyataan beliau, antara lain ‘Al-Hasan ini adalah anak lelaki-ku, ia seorang sayyid’ (kelak akan jadi pemimpin). Juga ayat Mubahalah. dalam surat Aali ‘Imran:61 ’....maka katakanlah marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu....’ sampai akhir ayat. Setelah itu Rasulallah saw. segera memanggil ‘Ali bin Abi Thalib, Siti Fathimah Az-Zahrah, Al-Hasan dan Al-Husain kemudian mereka berangkat untuk bermubahalah dengan kaum musyrikin.
Ibnul Qayyim berkata lebih jauh, Allah swt. telah berfirman mengenai keturunan Ibrahim as. dalam surat Al-An’am:84: ‘...Dan dari keturunannya (Ibrahim), Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami beri balas kebajikan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan (dari keturunan Ibrahim juga), Zakariya, Yahya, ‘Isa dan Ilyas.. .sampai akhir ayat'.
Sebagaimana diketahui, Nabi Isa putera Maryam as. tidak mempunyai hubungan silsilah dengan Nabi Ibrahim a.s. selain dari bundanya., Maryam. Jelaslah bahwa keturunan dari seorang perempuan termasuk dalam pengertian dzurriyat.
Sedangkan pendapat kedua, yang mengatakan bahwa keturunan dari anak perempuan tidak termasuk dalam pengertian dzurriyyat berdalil: Keturunan dari seorang perempuan pada hakikatnya adalah keturunan dari suaminya. Karena itu jika ada seorang wanita keturunan Bani Hasyim melahirkan anak dari suami bukan dari Bani Hasyim, maka keturunannya itu bukan keturunan Bani Hasyim. Pihak pendapat kedua ini mengatakan juga bahwa orang merdeka (bukan budak) keturunannya adalah mengikuti silsilah ayah, sedangkan budak keturunannya mengikuti silsilah ibu. Namun dalam pandangan agama, yang terbaik diantara keduanya ialah yang terbesar ketakwaannya.
Mereka ini juga mengatakan bahwa dimasukkannya anak-anak Fathimah Az-Zahra ra. dalam dzurriyyat Nabi saw semata-mata karena kemuliaan dan keagungan martabat ayahnya (Muhammad saw), yang tiada tolok bandingnya didunia. Jadi dzurriyyat (keturunan) Nabi dari putri beliau itu merupakan kelanjutan dari keagungan martabat beliau saw.. Kita mengetahui bahwa keagungan seperti itu tidak ada pada orang-orang besar, raja-raja dan lain sebagainya. Karena itu mereka tidak memandang keturunan dari anak-anak perempuan mereka sebagai dzurriyyat yang berhak mewarisi kebesaran atau kemuliaan mereka. Yang dipandang benar-benar sebagai dzurriyyat oleh mereka adalah keturunan dari anak-anak lelaki mereka. Kalau keturunan dari anak perempuan dipandang sebagai dzurriyyat, itu hanyalah disebabkan oleh faktor kemuliaan dan ketinggian martabat ayah anak perempuan itu. Demikianlah pendapat pihak kedua.
Menanggapi dalil yang dikemukakan pendapat pihak kedua diatas ini, Ibnul-Qayyim berkata; bahwa pandangan seperti itu mengenai dzurriyyat Rasulallah saw. tidaklah pada tempatnya dan tidak dapat dibenarkan, sebab itu merupakan penyamaan antara soal-soal keduniaan dan soal-soal keagamaan. Tanggapan beliau lebih jauh dapat diteliti dalam kitabnya yang berjudul Jala’ul-Afham halaman 177.
Keturunan yang dijuluki Syarif/Sayyid atau Syarifah/Sayyidah:
Sehubungan dengan masalah-masalah mengenai siapakah ahlul-bait dan nasab keturunan Rasulallah saw. yang telah dikemukakan tadi pada dasarnya semua keturunan Ahlul Bait Rasulallah saw. ialah yang diharamkan terima sedekah/zakat. Mereka itu khususnya adalah yang dari keturunan Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallah-‘anhuma ,bukan orang yang berasal dari keturunan dua orang saudara perempuan mereka berdua, walaupun semuanya ini adalah putri-putri Siti Fathimah binti Rasulallah saw..
Ketentuan seperti ini juga berdasarkan pada hadits berasal dari Jabir ra. yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam Mustadraknya dan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya. Menurut hadits tersebut Siti Fathimah ra. menuturkan bahwa ayahndanya (Rasulallah saw.) pernah berkata: “Setiap orang dari anak Adam (yang dilahirkan oleh seorang ibu) termasuk didalam suatu ‘ashbah (kelompok dari satu keturunan), kecuali dua orang putra (Siti) Fathimah. Akulah wali dan ‘ashbah mereka berdua’. Yang dimaksud dua orang putra Siti Fathimah disini yaitu Al-Hasan dan Al-Husain.
Juga dalam hadits Rasulallah saw. pernah bersabda: “Semua anak Adam bernasab kepada orangtua lelaki (ayah mereka), kecuali anak-anak Fathimah (Al-Hasan dan Al-Husain). Akulah ayah mereka dan akulah yang menurunkan mereka”.
Dua hadits diatas itu diperkuat dengan sabda Rasulallah saw. yang diriwayat kan oleh Imam Bukhori dalam kitabnya Al-Ahkam dan Imam Muslim dalam kitabnya Al-Imarah yang mana beliau saw. menyatakan dengan tegas bahwa Al-Hasan dan Al-Husain sebagai putra beliau, bunyi hadits sebagai berikut: “Dua orang puteraku ini (beliau sambil menunjuk pada Al-Hasan dan Al-Husain) adalah Imam-Imam, baik disaat mereka sedang duduk atau pun sedang berdiri ”.
Begitu juga Allah swt. sendiri berfirman dalam surat Aal-Imran ayat 61: “Maka katakanlah (Hai Muhammad kepada mereka), Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, wanita kami dan wanita kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta”.
Peristiwa singkat ayat Mubahalah (Aal-Imran :61) diatas ini turun pada tahun ke 10 Hijriyyah berkenaan dengan adanya tantangan dan pendustaan dari beberapa orang utusan kaum Nasrani dari daerah Najran yang datang menghadap Rasulallah saw. untuk mempersoalkan agama Islam. Maksud mereka menghadap beliau saw. ini untuk menyanggah kebenaran berita-berita Al-Qur’an mengenai Nabi Isa as. Pembicaraan itu tidak menghasilkan persetujuan apa pun selain kesepakatan bersama untuk bermohon kepada Allah swt. untuk menurunkan kutukan dan siksa kepada pihak yang berdusta. Dalam hal itu kedua belah pihak menentukan tempat dan waktu yang telah disetujui oleh kedua belah pihak.
Ketika waktu yang ditentukan tersebut tiba, Rasulallah saw. mengajak orang-orang yang terdekat yaitu kerabat beliau saw. yang dipandang paling mulia dan terhormat. Rasulallah saw. berjalan menuju tempat tersebut dengan menggendong Al-Husain ra. yang masih kanak-kanak dan menggandeng Al-Hasan ra. yang sudah agak besar. Dibelakang beliau saw. berjalan Siti Fathimah ra. dengan kain kerudung, sedangkan Imam ‘Ali kw. berjalan di belakangnya.
Beliau saw. bertemu dengan Kaum Nasrani tersebut sambil bersabda: “Mereka ini adalah anak-anak kami, diri kami, dan wanita kami, maka panggil lah anak-anak kamu (kaum kafir), diri kamu dan wanita-wanita kamu, kemudian mari kita bermubahalah kepada Allah dan minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta”.
Menurut ahli tafsir dan hadits yang dimaksud kata-kata anak-anak kami dalam ayat itu ialah Al-Hasan dan Al-Husain [ra] ; yang di maksud wanita-wanita kami adalah Siti Fathimah ra. dan yang dimaksud diri-diri kami dalam ayat tersebut yaitu Rasulallah saw. dan Imam Ali kw.
Umat Islam sepakat bahwa ayat Mubahalah diatas ini turun untuk Nabi saw. , Imam Ali kw., Siti Fathimah ra., Al-Hasan dan Al-Husain (ra). Kita bisa rujuk hal ini diantaranya dalam:
Shahih Muslim, kitab Al-Fadhail, bab Fadhail Ali bin Abi Thalib, jilid 2 hal.360 cet. Isa Al-Halabi; Syarah An-Nawawi jilid 15 hal. 176 cet.Mesir ; Shahih At- Tirmidzi, jilid 4 hal. 293, hadits ke 3085 ; jilid 5 hal.301 hadits ke 3808 ; Al-Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, hal. 150 ; Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1 hal.185 cet.Al-Maimaniyah, jilid 3 hal. 97 hadits ke 1608, cet.Darul Ma’arif ; Tafsir Ath-Thabari jilid 3, hal. 299, 330, 301 ; jilid 3 hal.192 cet.Al-Maimaniyah Mesir ; Tafsir Ibnu Kathir jilid 1, hal. 370-371 ; Tafsir Al-Qurthubi jilid 4 hal. 104 ; Kifayah Ath-Thalib oleh Al-kanji Asy-Syafi’i hal. 54, 85, 142 cet. Al-Haidariyah ; hal.13, 28, 29, 55, 56 cet. Al-Ghira ; Ahkamul Qur’an oleh Ibnu Al-‘Arabi jilid 1 hal. 275 cet.kedua Al-Halabi; jilid 1 hal.115, cet. As-Sa’adah Mesir ; Jami’ul Ushul oleh Ibnu Atsir, jilid 9 hal. 470. Dan masih banyak lagi lainnya.
Dengan memperhatikan ayat dan kalimat hadits-hadits diatas, kita dapat mengetahui bagaimana Rasulallah saw. sendiri telah mengkhususkan pengelompokan Al-Hasan dan Al-Husain sebagai keturunan beliau sendiri, meski pun keduanya adalah putra-putra pasangan Imam ‘Ali bin Abi Thalib dan Siti Fathimah binti Muhammad saw. Sedangkan dua orang saudara perempuan Al-Hasan dan Al-Husain yaitu Siti Zainab dan Siti Ummu Kaltsum -radhiyallahuma- anak-anak mereka berdua ini, dikecualikan dari pengelompokan nasab dengan Rasulallah saw., karena anak-anak dari dua orang putri Siti Fathimah ra ini akan bernasab kepada ayahnya (suami dua orang putri Siti Fathimah) masing-masing yang bukan dari keluarga Ahlul-Bait.
Itulah sebabnya kaum salaf (kaum dahulu) dan khalaf (kaum belakangan) memandang anak lelaki seseorang syarifah (wanita dari keturunan Rasulallah saw.) tidak dapat disebut syarif atau sayyid jika ayahnya bukan dari golongan Ahlul-Bait (keturunan) Rasulallah saw.. Karena itulah Rasulallah saw. menetapkan kekhususan tersebut hanya berlaku bagi dua orang putra Siti Fathimah ra dan tidak berlaku bagi anak-anak yang dilahirkan oleh putri-putri Rasulallah saw. selain Siti Fathimah ra.
Seperti Siti Zainab binti Muhammad saw., ia tidak mempunyai anak lelaki hanya mempunyai anak perempuan dari seorang ayah yang bukan Ahlul Bait ,Abul-‘Ash bin Rabi’, sehingga dengan sendirinya anak tersebut tidak termasuk kelompok Ahlul-Bait. Ketentuan Rasulallah saw. itu ditetapkan oleh beliau semasa hidupnya. Atas dasar itu maka anak-anak Amamah binti Abul-‘Ash binar-Rabi’ tidak dinasabkan kepada Rasulallah saw, karena ayah Amamah bukan lelaki dari kalangan Ahlul Bait. Seandainya Zainab binti Muhammad saw. melahirkan anak lelaki dari seorang suami dari kalangan Ahlul Bait, tentu bagi anak lelakinya itu berlaku ketentuan yang berlaku juga pada Al-Hasan dan Al-Husain ra yaitu dinasabkan kepada Muhammad saw. Wallahua'lam.
Bolehkah (zaman sekarang) keturunan Nabi saw. menerima zakat ?
Kami ingin mengutip sedikit lagi pendapat ulama tentang kalimat hadits yang berbunyi semua (ahlul-bait) diharamkan menerima sedekah atau zakat. Memang pada dasarnya –menurut hadits– semua keturunan ahlul-bait Rasul Allah saw. termasuk disini orang-orang Bani Hasyim dan Bani ‘Abdul Mutthalib ( yang lazim disebut kaum sayid atau kaum syarif) diharamkan menerima sedekah atau zakat dalam bentuk apa pun juga, tapi mereka diberi hak untuk memperoleh bagian dari harta ghanimah atau dari harta kekayaan umum (Baitul-Mal). Mereka boleh menerima bagian dari harta warisan atau harta wakaf dengan syarat bunyi kalimat wasiat atau wakaf tersebut jelas dan tegas sebagai hak mereka ini.
Akan tetapi dalam zaman kita sekarang ini tidak ada lagi ghanimah dan tidak ada pula atau jarang sekali dana Baitul-Mal sebagaimana yang dahulu pernah terjadi pada zaman pertumbuhan Islam. Dengan terjadinya perkembangan ini maka sebagai akibatnya para keturunan Ahlulbait Rasulallah saw. yang hidup kekurangan tidak dapat menerima tunjangan yang oleh syari’at telah ditetapkan sebagai hak mereka. Dalam keadaan seperti itu apakah oleh syari’at mereka sekarang ini diperkenankan menerima zakat dari orang-orang kaya untuk meringankan beban penghidupan sehari-hari?
Menurut Imam Syafi’i, dalam keadaan bagaimana pun juga mereka tidak boleh atau haram menerima sedekah atau zakat. Akan tetapi menurut Imam Al-Qady Abu Sa’id Al-Hurawi, para keturunan ahlul bait yang dalam keadaan seperti diatas itu diperbolehkan menerima sedekah atau zakat asal benar-benar mereka itu tidak mungkin lagi dapat memperoleh haknya dari bagian harta ghanimah (rampasan perang) atau Baitul Mal. Demikian pula fatwa yang dikeluarkan oleh Imam Muhammad bin Muhammad bin Yahya dan Imam Fakruddin Ar-Razi dan dibenarkan juga oleh Abu Syakil. Dalam kitabnya yang berjudul “Al-Khadim’ , Abu Syakil setelah mengutarakan pendapat Ar-Rafi’i masalah tersebut, ia pun mengemukakan pendapat Imam Al-Ashthakhri, Al-Hurawi dan Ibn Yahya, yang semuanya memperbolehkan keturunan ahlulbait menerima shadaqah atau zakat, jika mereka benar-benar tidak mungkin lagi memperoleh hak-haknya dari harta ghanimah atau jarahan perang.
Abu Hafsh An-Narsami mengatakan, shadaqah atau zakat boleh diberikan kepada orang-orang yang menurut syari’at berhak memperoleh bagian dari harta ghanimah. Dan masih banyak lagi pendapat para ulama yang semakna, diantaranya Syarif Abul ‘Abbas Al-Fara dalam kitabnya Mu’tamadut Tanbih; Ibnun-Nahwi dalam kitabnya Al-‘Ajaalah dan lain-lain. Demikianlah keterangan singkat dari para ulama mengapa sekarang keturunan Rasulallah saw. mau menerima zakat dan sedekah. Wallahua'lam.
Kalimat Hadits Al-Kisa’
Allah swt. berfirman yang aritnya; "Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya." (QS. al-Ahzab: 33).
Menurut para ulama bahwa argumentasi terdekat dan terjelas yang berkenaan dengan penafsiran ayat diatas ini ialah sebuah hadits yang dikenal dikalangan para ahli hadits dengan sebutan hadits Al-Kisa`, yang tingkat keshohihan dan kemutawatirannya tidak kalah dengan hadits Tsaqalain. Ayat diatas ini menurut mayoritas ulama turun kepada Imam Ali bin Abi Thalib, Siti Fathimah, al-Hasan dan al-Husain [ra] adalah termasuk perkara yang amat jelas bagi mereka yang mengkaji kitab-kitab hadits dan tafsir. Dalam hal ini Ibnu Hajar berkata: "Sesungguhnya mayoritas para mufassir mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ali, Fathimah, Hasan dan Husain". (Ash-Shawa'iq, hal 143).
Hadits ini terkenal dengan julukan Al-Kisa’ artinya selendang atau selimut, karena Nabi saw. menutupi dirinya beserta empat orang keluarganya dengan selimut tersebut. Nash-nash hadits ini banyak diriwayatkan oleh berbagai sumber dan oleh banyak perawi dengan tekts yang berbeda-beda tapi mempunyai makna yang sama.
Sebagian para mufassirin (ahli tafsir) telah kami kemukakan pada pengertian/paham kedua mengatakan yang dimaksud Ahlul-Bait dalam surat Al-Ahzab:33 hanyalah: Rasulallah saw., Imam Ali bin Abi Thalib kw., Siti Fathimah Az-Zahra ra, Al-Hasan dan Al-Husain [ra]. Mereka berdalil dengan hadits-hadits Al-Kisa’ berikut ini:
Al-Hakim telah meriwayatkan didalam kitabnya al-Mustadrak 'ala ash-Shahihain fi al-Hadits:
"Dari Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib yang berkata: “Ketika Rasulullah saw. memandang kearah rahmat yang turun, Rasulullah saw. berkata, 'Panggilkan untukku, panggilkan untukku.' Shafiyyah bertanya; 'Siapa, ya Rasulullah’? Rasulullah menjawab; 'Ahlul Baitku, yaitu Ali, Fathimah, Hasan dan Husain’. Maka mereka pun dihadirkan kehadapan Rasulullah, lalu Rasulullah saw. meletakkan pakaiannya keatas mereka, kemudian Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya dan berkata, 'Ya Allah, mereka inilah keluargaku (maka sampaikanlah shalawat kepada Muhamad dan keluarga Muhamad).' Lalu Allah swt. menurunkan ayat 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya' ". (Mustadrak al-Hakim, jilid 3, hal 197–198, dan beliau berkata; ‘Hadits ini shohih sanadnya’.)
Al-Hakim meriwayatkan hadits serupa dari Ummu Salamah yang berkata; "Dirumah saya turun ayat yang berbunyi, 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilang- kan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya'. Lalu Rasulullah saw mengirim Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, dan kemudian berkata, 'Mereka inilah Ahlul Baitku' ". (Mustadrak al-Hakim, jilid 3, hal 197-198, kemudian, al-Hakim berkata, ‘Hadits ini shohih menurut syarat Bukhari’).
Dihalaman lain al-Hakim juga meriwayatkan hadits ini dari Watsilah, dan kemudian berkata, "Hadits ini shohih menurut syarat mereka berdua".
Imam Muslim meriwayatkan hadits ini di dalam kitab shohih-nya dari Aisyah yang berkata; “Rasulullah saw. pergi keluar rumah pagi-pagi sekali dengan mengenakan pakaian (yang tidak dijahit dan) bergambar. Hasan bin Ali datang, dan Rasulullah saw. memasukkannya kedalam pakaiannya, lalu Husain datang, dan Rasulullah saw. memasukkannya kedalam pakaiannya; lalu datang Fathimah, dan Rasulullah saw. pun memasukkannya ke dalam pakaiannya; berikutnya Ali juga datang, dan Rasulullah saw memasukkannya kedalam pakaiannya; kemudian Rasulullah saw berkata; ’Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya." (Shohih Muslim, bab keutamaan-keutamaan Ahlul Bait.)
Berita ini dapat ditemukan di dalam banyak riwayat yang terdapat di dalam kitab-kitab shohih, kitab-kitab hadits dan kitab-kitab tafsir (Baihaqi di dalam Sunan al-Kubra, bab keterangan Ahlul-Baitnya (Rasulullah saw); tafsir ath-Thabari, jilid 22, hal 5; tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, hal 485; tafsir ad-Durr al-Mantsur, jilid 5, hal 198 - 199; Shohih Turmudzi, bab keutamaan-keutamaan Fathimah; Musnad Ahmad, jilid 6, hal 292 - 323.)
Imam Muslim dalam shohih-nya (1V:1883 nr.2424) dari Umar bin Abu Salamah anak tiri Rasulallah saw. sebagaimana dicantumkan dalam At-Turmudzi (V:663). Redaksinya dari beliau dan lain-lainnya dengan isnad shohih. Dia berkata; “Ayat berikut ini turun kepada Nabi Muhammad saw., ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan, dosa dari kamu hai ahlul-bait dan membersihkan sebersih-bersihnya’ (QS Al-Ahzab:33). Ayat tersebut turun kepada Nabi Muhammad saw. dirumah Ummu Salamah ra. Lalu Nabi Muhammad saw. memanggil Siti Fathimah ra, Hasan dan Husain. Lalu Rasulallah saw. menutupi mereka dengan kiswah (baju,kain) sedang Imam Ali kw. ada dibelakang punggungnya (Nabi). Beliau saw. pun menutupinya dengan pakaian (kiswah). Kemudian beliau saw. bersabda; ‘Allahumma (Ya Allah), mereka itu ahli-baitku, maka hilangkanlah dosa (kekejian dan kekotoran) dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya’ (bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya).
Ummu Salamah ra. berkata; ‘Dan (apakah) aku beserta mereka wahai Rasulallah’? Beliau saw. bersabda; ‘Engkau mempunyai tempat tersendiri, dan engkau menuju kepada kebaikan’ “.
Diantara riwayat di dalam bab ini —didalam menentukan siapa Ahlul-Bait— ialah riwayat yang dinukil oleh as-Suyuthi di dalam kitab tafsirnya ad-Durr al-Mantsur, yang berasal dari Ibnu Mardawaih, dari Ummu Salamah yang berkata; "Dirumahku turun ayat, 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya’. Saat itu di rumahku ada tujuh orang yaitu Jibril, Mikail, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, sementara aku berada di pintu rumah. Kemudian saya berkata, 'Ya Rasulullah, tidakkah aku termasuk Ahlul Bait’? Rasulullah saw menjawa; 'Sesungguhnya engkau berada pada kebajikan, dan sesungguhnya engkau termasuk istri Rasulullah saw.' ". (Tafsir ad-Durr al-Mantsur, jld 5, hal 198.)
Pada riwayat al-Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya disebutkan, Ummu Salamah bertanya; "Ya Rasulullah, saya tidak termasuk Ahlul Bait”? Rasulullah saw. menjawab, ‘Sesungguhnya engkau berada dalam kebajikan, mereka itulah Ahlul Baitku. Ya Allah, mereka inilah Ahlul Baitku yang lebih berhak’ “. (Mustadrak al-Hakim, jld 2, hal 416.)
Pada riwayat Imam Ahmad disebutkan; "Saya (ummu Salamah ra) mengangkat pakaian penutup untuk masuk bersama mereka namun Rasulullah saw. menarik tangan (tidak memasukkan) saya sambil berkata, 'Sesungguhnya engkau berada dalam kebajikan' ". (Musnad Ahmad, jld 3, hal 292 - 323.)
Dalam satu riwayat yang mengatakan bahwa setelah turunnya ayat ini Nabi saw. mendatangi pintu Ali bin Abi Thalib setiap waktu sholat selama sembilan bulan berturut-turut dengan mengatakan; "Salam, rahmat Allah dan keberkahan atasmu, wahai Ahlul-Bait. 'Se-sungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hal Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya’ “. Itu dilakukan oleh Rasulullah saw. sebanyak lima kali dalam sehari. (Penfasiran ayat dari Ibnu Abbas, di dalam kitab tafsir ad-Durr al-Mantsur, jilid 5, hal 199.)
Didalam Shohih Turmudzi, Musnad Ahmad, Musnad ath-Thayalisi, Mustadrak al-Hakim 'ala ash-Shahihain, Usud al-Ghabah, tafsir ath-Thabari, Ibnu Katsir dan as-Suyuthi disebutkan bahwa Rasulullah saw mendatangi pintu rumah Fathimah selama enam bulan setiap kali keluar hendak melaksanakan sholat Subuh dengan berseru; "Salat, wahai Ahlul Bait. 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya’ “. (Mustadrak 'ala ash-Shahihain, jld 3, hal 158).Dan riwayat-riwayat lainnya yang serupa yang berkenaan dengan bab ini.
Hadits dari Aisyah ra. katanya: “Pada suatu pagi Nabi saw. keluar dengan berselimut sebuah kain wol berwarna hitam, ketika Hasan putra Ali (abi Thalib) datang, maka beliau memasukkan ia kedalam selimut, demikian pula ketika Husain, Fathimah dan Ali datang, maka beliau memasukkan mereka kedalam selimut, kemudian beliau berkata; ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa bagi kamu, hai ahli bait dan mensucikan kalian sesuci-sucinya’ (surat Al-Ahzab :33) ”. (HR. Muslim)
Sedangkan dalam riwayat Tirmidzi disebutkan: “Ketika Allah menurunkan firman-Nya: ‘.........’ (surat Al-Ahzab:33), dirumah Ummu Salamah (isteri Nabi), maka Nabi memanggil (Siti) Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain, kemudian beliau menutupi mereka dengan sebuah kain selendang sedang (Imam) Ali yang berada dibelakang punggung beliau juga ditutupi dengan kain tersebut, kemudian beliau berdoa; ‘Ya Allah, mereka adalah ahli baitku, maka hilangkanlah dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersih- nya’. Ketika Ummu Salamah berkata; ‘Wahai Nabiyullah, aku pun bersama mereka’, maka beliau saw. bersabda; ‘Engkau berada di tempatmu dan engkau dalam kebaikan’ “.
(Ada pula riwayat hadits lain dari Ummu Salamah yang pada waktu terjadinya Haditsul Kisa’ beliau bertanya pada Rasulallah saw.; Ya Rasulallah, bukankah aku dari mereka juga ? Beliau menjawab; Ya, benar! Tapi hadits ini bertentangan dengan hadits-hadits Al-Kisa’ lainnya yang lebih kuat dan lebih dipercaya kalimat haditsnyayang menyatakan bahwa yang dimaksud ahlul-bait hanya lima orang saja, dan isteri-isteri beliau saw. tidak termasuk didalamnya.
Riwayat hadits-hadits lainnya yang senada atau semakna hanya berbeda versinya saja dengan hadits terakhir diatas diantaranya yaitu:
Hadits dari Zaid, dari Syahr bin Hausyab ; Hadits dari Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dakkain yang mengatakan menerima hadits dari Abdus-Salam bin Harb dari Kaltsum Al-Muharibiy berasal dari Abu ‘Ammar ; Hadits dari Waki’ dari Abdulhamid bin Bahram dari Syahr bin Hausyab dari Fudhail bin Marzuq dari ‘Athiyyah dari Abu Sa’id Al-Khudry berasal dari Ummu Salamah ra..; Hadits dari Zarbayi dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah dan berasal dari Ummu Salamah ra. ; Hadits dari Ibnu Marzuq dari ‘Athiyyah dari Abu Sa’id berasal dari Ummu Salamah ; Hadits dari Hasyim bin ‘Utbah bin Abi Waqqash, berasal dari ‘Abdullah bin Wahab bin zam’ah ; Hadits dari Muhammad bin Sulaiman Al-Ashbahaniy dari Yahya bin ‘Ubaid Al-Makky dari ‘Atha bin Abi Rabbah berasal dari Umar bin Abi Salamah ; Hadits dari Bukair bin Asma dari ‘Amir bin Sa’ad berasal dari Sa’ad ; Hadits dari ‘Abdullah bin ‘Abdulquddus dari Al-A’masy dari Hakim bin Sa’ad berasal dari ‘Ali bin Abi Thali kw. dan masih banyak lagi lainnya.
Menurut jumhur ulama, semuanya ini cukup membuktikan bahwa yang dimaksud Ahlul-Bait dalam ayat Al-Ahzab:33 ialah mereka Ash-habul Kisa, sehingga dengan demikian mereka itu adalah partner al-Qur'an, yang kita telah diperintahkan oleh Rasulullah saw. juga dalam hadits Tsaqalain untuk berpegang teguh kepada mereka.
Orang yang mengatakan bahwa 'itrah itu artinya keluarga, sehingga merubah maknanya, itu tidak dapat diterima! Karena tidak ada seorang pun dari para pakar bahasa yang mengatakan demikian.
Ibnu Mandzur menukil di dalam kitabnya Lisan al-'Arab: “Sesungguhnya 'itrah Rasulullah saw. adalah keturunan Fathimah ra. Ini adalah perkataan Ibnu Sayyidah. Al-Azhari berkata, 'Didalam hadits Zaid bin Tsabit yang berkata, 'Rasulullah saw bersabda, '... …lalu dia menyebut hadits Tsaqalain'. Maka disini Rasulullah menjadikan 'itrah-nya sebagai Ahlul Bait'. Abu Ubaid dan yang lainnya berkata, ‘Itrah seorang laki-laki adalah kerabatnya'. Ibnu Atsir berkata, ‘Itrah seorang laki-laki lebih khusus dari kaum kerabatnya’. Ibnu A'rabi berkata, ‘Itrah seorang laki-laki ialah anak dan keturunannya yang berasal dari tulang sulbinya’.' Ibnu A'rabi melanjutkan perkataannya, 'Maka 'itrah Rasulullah saw adalah keturunan Fathimah.’ " (Lisan al-Arab, jld 9, hal 34)
Dari makna-makna ini telah jelas bahwa yang dimaksud Ahlul-Bait bukan mutlak kaum kerabat, melainkan kaum kerabat yang paling khusus. Oleh karena itu, di dalam riwayat Imam Muslim disebutkan bahwa tatkala Zaid bin Arqam ditanya, siapa yang dimaksud dengan Ahlul-Bait Rasulullah? Apakah istri-istrinya? Zaid bin Arqam menjawab, "Tidak, demi Allah. Sesungguhnya seorang wanita tidak selamanya bersama suaminya, karena jika dia ditalak maka dia akan kembali kepada ayah dan kaum- nya. Adapun yang dimaksud Ahlul Bait Rasulullah saw. ialah keluarga nasabnya, yang diharamkan sedekah atas mereka sepeninggalnya (Rasulullah saw)".
Menjadi anggota Ahlul-Bait, tidak pernah diklaim oleh seorang pun dari kaum kerabat Rasulullah saw, dan tidak pernah diklaim juga oleh istri-istri beliau saw.. Karena jika tidak demikian, maka tentunya sejarah akan menceritakan hal itu kepada kita. Tidak ada di dalam sejarah dan juga di dalam hadits shohih yang menyebutkan bahwa para istri Rasulullah saw. mengakui/ berdalil dengan ayat Al-Ahzab:33 ini.
Adapun argumentasi Ibnu Katsir tentang keharusan memasukkan istri-istri Rasulullah saw tidaklah dapat diterima, karena kehujjahan dhuhur bersandar kepada kesatuan ucapan. Sebagaimana di ketahui bahwa ucapan telah berubah dari bentuk ta'nits (wanita) pada ayat-ayat sebelumnya kepada bentuk tadzkir (lelaki) pada ayat ini. Jika yang di maksud dari ayat ini adalah istri-istri Rasulullah saw. maka tentunya kalimat ayat tersebut berbunyi : إنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُنَّ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُنَّ تَطْهِيْرًا
Oleh karena itu, Allah swt. memulai firman-Nya setelah ayat ini, "Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah...." (QS. al-Ahzab: 34)
Tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa ayat Tathhir (Al-Ahzab:33) turun kepada para isteri Rasulullah saw. selain dari Ikrimah dan Muqatil. Perkataan mereka ini tidak dapat diterima, disebabkan bertentangan dengan riwayat-riwayat shohih yang dengan jelas mengatakan bahwa Ahlul-Bait itu ialah para ashabul Kisa’, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.. Begitu juga banyak hadits shohih yang mutawatir bertentangan dengan pendapat Ikrimah dan Muqatil.
Info: Hadits al-Kisa` termasuk hadits yang shohih dan mutawatir dan diakui baik dari kalangan Salaf mau pun Khalaf.
Dengan keterangan-keterangan tadi, dapat kita simpulkan bahwa bahwa terbanyak pendapt dari para ulama yang di maksud dengan Ahlul-Bait ialah: Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib, Siti Fathimah, al-Hasan dan al-Husain [ra]. Demikianlah sekilas mengenai keterangan para pakar Islam tentang makna hadits al-Kisa’. Wallahua'lam.
Keterangan singkat Hadits Tqalain (dua bekal berat) dan hadits Kitabullah wa sunnati:
Kita hanya sering mendengar dimasjid-masjid atau tempat lainnya tentang hadits Rasulallah saw. agar kita memegang dua bekal yaitu: ‘Kitabullah wa sunnati’ artinya (berpegang) Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw. atau hadits lainnya yaitu: ‘Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin sepeniggalku, dan peganglah erat-erat serta gigitlah dengan gigi gerahammu’. Tetapi belum pernah atau jarang sekali dikumandangkan dan dikenal oleh kaum muslimin hadits Nabi saw. agar kita memegang dua bekal, yaitu: ‘Kitabullah dan Itrah-ku (keturunan-ku) Ahlu baitku’.
Padahal hadits ‘Kitabullah wa Sunnati’ diatas ini ,menurut ulama, sanadnya masih diperselisihkan para ulama, begitu juga bukan termasuk hadits tsaqalain. Kami akan kutip masalah ini dari kitab Shalat Bersama Nabi saw., dari halaman 269, karya Syeikh Hasan ‘Ali As-Saqqaf, terbitan Dar al-Imam an-Nawawi,Oman Jordania, yang diterjemahkan oleh Drs. Tarmana Ahmad Qasim diterbitkan oleh Pustaka Hidayah, Bandung, sebagai berikut:
{{ Syeikh Saggaf pernah ditanya mengenai hadits, ‘Aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat setelah berpegang teguh kepada keduanya; Kitabullah dan …’. Apakah hadits itu tersebut shohih jika ditambah dengan kata-kata (pada akhir hadits) ’ ‘ithraty wa ahli baitii ’ (keluargaku yaitu ahli baitku) . Atau mungkin yang benar, ‘wa sunnati ‘ (dan sunnahku)? Orang ini berharap agar dapat menjelaskan sanad hadits tersebut.
Syeikh Sagqaf menjawab: Sebenarnya sanad hadits yang tsabit dan shohih adalah hadits yang berakhir dengan wa ahli baity. Sedangkan yang berakhir dengan kata-kata wa sunnaty itu bathil (salah) dari sisi matan dan sanad-nya. Berikut ini, kami kutip sebagian/garis besar penjelasan mengenai sanad dua hadits:
Hadits yang shohih diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya ( IV : 1873 nr.2408 cet.Abdulbaqy) dari Zaid bin Arqam ra yang katanya: “Suatu hari Rasulallah saw. pernah berdiri di hadapan kami seraya berkhutbah disuatu tempat (kebun) kosong diantara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya. Lalu menasihati dan mengingatkan (ummatnya) dengan sabdanya: ‘Amma ba’du (adapun sesudah itu), ingatlah wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku ini hanya manusia biasa, hampir-hampir (sebentar lagi) akan datang utusan Tuhanku (yang akan memanggilku ke hadhrat-Nya), maka aku pun (pasti) mengabulkannya. Dan aku (akan ) meninggalkan pada kalian dua pusaka. Pertama, Kitabullah (Al-Qur’an), didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Maka ambil lah kitabullah itu dan peganglah teguh-teguh. Beliau saw. memerintahkan untuk berpegang teguh pada Al-Qur’an sebagai kitabullah dan mendorong untuk mengamalkannya. Kemudian beliau saw. bersabda: ‘Dan (yang kedua)ahli baitku (keluargaku)“.
Itulah lafadh atau redaksi dari Imam Muslim, dan diantara perawi lainnya meriwayatkan dengan redaksi seperti itu ialah; Al-Darimy dalam Sunan-nya (II:431-432) dengan isnad shohih dan ada lagi perawi lainnya yang meriwayatkan seperti redaksi Imam Muslim itu.
Sedangkan dalam riwayat Imam Turmudzi terdapat kata-kata Wa ‘ithraty ahli-baity (Dan keturunanku yaitu ahli baitku [keluarga rumahku] ). Dalam Sunan Turmudzi (V:663 nr. 3788) menyebutkan: “Rasulallah saw. bersabda: ‘Sesungguhnya aku meninggalkan pada kalian apa yang jika kalian pegang (erat-erat) pasti kalian tidak akan sesat sesudah aku (wafat). Salah satunya lebih agung daripada yang lainnya, (yaitu) Kitabullah. Dia merupakan tali yang memanjang dari langit kebumi. Dan keturunanku (yaitu) ahli-baitku. Kedua-duanya (dua pusaka) tidak akan berpisah sehingga kembali/bertemu dengan aku di Haudh (telaga di surga). Perhatikanlah (berhati-hatilah dan pikirkanlah) bagaimana kalian memperlakukan mereka sepeninggalku’ “. Hadits shohih.
Sedangkan kalimat hadits ‘wa sunnati’ (dan sunnah-ku), Syeikh Saqqaf tidak meragukan ke-maudhu’-annya, karena kelemahan sanadnya dan factor-faktor lainnya yang sangat mempengaruhi kelemahannya. Berikut ini isnad dan matan hadits tersebut:
Imam Al-Hakim meriwayatkan hadits (Kitabullah wa sunnah Rasulallah) ini dalam kitabnya Al-Mustadrak (I : 93) dengan isnadnya dari jalan Ibn Abi Uwais dari ayahnya, dari Tsaur bin Zaid Al-Daily, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang diantara isinya sebagai berikut: ‘ Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku (Muhammad saw.) telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya, yaitu Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya…..’.
Dalam sanad hadits itu terdapat Ibn Abi Uwais dan ayahnya. Al-Hafidz Al-Mizzi dalam Tahdzib Al-Kamal (III:127), mengenai biografi Al-Ibn yakni Ibn Abi Uwais dan saya (Al-Mizzi) akan mengutip perkataan orang yang mencelanya, “Berkata Mu’awiyah bin Shalih dari Yahya bin Mu’in, ‘Abu Uwais dan putranya itu (keduanya) dhoif (lemah), dan dia itu suka mengacaukan (hafalan) hadits (Mukhallith) dan suka berbohong, dia tidak mengapa (dalam hadits)’ “.
Menurut Abu Hatim, “Ibn Abu Uwais itu tempat kejujuran (mahalluhu ash-shidq), dia terbukti lengah [dilengahkan/dibiarkan orang (mughaffa)]”.
Imam Nasa’i menilai: “Dia dhoif/lemah, dan dia tidak tsiqah”. Menurut Abu Al-Qasim Al-Alka’i; “Imam Nasa’i sangat jelek menilainya sampai kederajat matruk (Ibn Abi Uwais itu ditinggalkan orang)”.
Menurut komentar Abu Ahmad bin ‘Adi; “Ibn Abi Uwais itu meriwayatkan dari pamannya (yakni) Malik berupa beberapa hadits gharib yang tidak di ikuti oleh seorang pun (dari periwayat lain yakni tidak ada mutaba’ah-nya)”.
Al-Hafidz Ibn Hajar dalam muqaddimah Al-Fath Al Bari halaman 391 Dar Al-Ma’rifah mengenai Ibn Abi Uwais mengatakan; “Atas dasar itu hadits dia tidak dapat dipakai hujjah/dalil selain yang terdapat dalam Ash-Sahih, karena celaan yang dilakukan oleh Imam Nasa’i dan lain-lainnya”.
Al-Hafidz Sayyid Ahmad bin Ash-Shiddiq dalam Fath Al-Mulk Al-Ali halaman 15 mengatakan; “Berkata Salamah bin Syabib, saya pernah mendengar Ismail bin Abi Uwais mengatakan, ‘Mungkin saya (Ismail bin Abi Uwais) membuat hadits (adha’u al-hadits) untuk penduduk Madinah jika mereka berselisih pendapat mengenai sesuatu diantara mereka’ “.
Jadi dia Ibn Abi Uwais dituduh suka membuat hadits (maudhu’) dan Ibn Mu’in menilainya sebagai pembohong. Dan haditsnya yang mengandung kalimat ..wa sunnati tidak terdapat dalam salah satu dari Shohihain !!
Adapun mengenai ayahnya, Abu Hatim Ar-Razi mengatakan, sebagaimana disebutkan dalam kitab anaknya Al-Jarh wa At-Ta’dil (V:92), “Ditulis haditsnya, tetapi tidak dapat dijadikan hujjah, dan dia tidak kuat”. Dalam sumber yang sama, Ibn Abi Hatim mengutip dari Ibn Mu’in bahwa dia berkata dalam kitab Al-Jarh wa At-Ta’dil tersebut ; ‘Abu Uwais itu tidak tsiqah’.
Menurut Syeikh Saqqaf, sanad yang dimasuki atau dicampuri oleh dua orang yang telah disebutkan diatas itu tidak dapat menjadi shohih, kecuali jika ada unta yang dapat masuk ke lubang jarum (mustahil). Apalagi jika telah terbukti bahwa apa yang mereka bawa dan datangkan itu bertentangan dengan hadits tsabit/kuat dan shohih. Al-Hakim sendiri telah mengakui ke-dhaif-an hadits tersebut, sehingga dia tidak menshohihkannya dalam Al-Mustadrak tersebut. Dia hanya menarik (mencarikan) syahid atau saksi penguat bagi hadits tersebut, tetapi tetap saja lemah (wahin) dan isnadnya jatuh (saqith), sehingga tampaklah betapa sangat lemahnya hadits tersebut. Kami telah membuktikan bahwa Ibn Abi Uwais dan ayahnya sungguh-sungguh, salah satu diantara keduanya telah mencuri (membuat) hadits yang sedang kita bahas itu. Dan, dengan tegas, Ibn Mu’in menilai bahwa kedua orang tersebut suka mencuri (membuat) hadits, (sehingga haditsnya disebut maudhu’, dibuat-buat).
Al-Hakim meriwayatkan (I:93) hadits itu, dia berkata: “Saya telah menemukan syahid atau saksi penguat bagi hadits tersebut dari hadits Abu Hurairah ra., kemudian diriwayatkan dengan sanadnya melalui (jalan) Al-Dhaby: Tsana (telah menghaditskan kepada kami) Shalih bin Musa At-Thalhy dari Abdul ‘Aziz bin Rafi’ dari Abu Sholih dari Abu Hurairah ra secara marfu’ (Rasulallah saw. bersabda): ‘Sesungguhnya aku meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat setelah keduanya. Kitbullah dan Sunnah-ku. Keduanya tidak akan berpisah sehingga keduanya mendatangkan/mengembalikan (bertemu) kepadaku di Haudh’ “.
Menurut saya (pengarang), hadits ini juga maudhu’ (dibuat-buat). Disini yang dibicarakan atau yang dikomentari hanya satu orang yaitu Shalih bin Musa At-Thalhy.
Berikut ini, penilaian para imam pakar hadits dari kalangan kibar al-huffazh (penghafal terkenal) yang mencela Shalih bin Musa Ath-Thalhy:
Dalam kitab Tahdzib Al-Kamal XIII : 96: ‘Berkata Yahya bin Mu’in, Laisa bi-syai’in (riwayat hadits tersebut tidak ada apa-apanya)’. Abu Hatim Ar-Razy berkata : ‘Dhaif Al-Hadits (Hadits itu lemah)’.
Dia sangat mengingkari hadits dan banyak kemungkaran terhadap perawi yang tsiqah. Menurut penilaian Imam Nasa’i , haditsnya tidak perlu ditulis. Atau pada kesempatan lain Imam Nasa’i berkata : ‘Dia itu matruk al-hadits (haditsnya ditinggalkan)‘.
Al-Hafidh Ibn Hajar Al-‘Asqalany dalam Tahdzib At-Tahdzib IV:355 menyebutkan; “Ibn Hibban berkata bahwa Shalih bin Musa meriwayatkan dari Tsiqat apa yang tidak menyerupai hadits itsbat (yang kuat), sehingga yang mendengarkannya bersaksi bahwa riwayat tersebut ma’mulah (diamalkan) atau maqbulah (diterima) tetapi tidak dapat dipakai untuk ber-hujjah. Abu Nu’aim berkata: ‘Dia itu matruk al-hadits sering meriwayatkan (hadits-hadits) munkar’ “.
Al-Hafidh dalam At-Taqrib juga menghukuminya sebagai rawi matruk /perawi yang harus ditinggalkan (Tarjamah : 2891).
Demikian pula Al-Dzahaby dalam Al-Kasyif : 2412 yang menyebutkan bahwa dia wahin (lemah). Menurut Al-Dzahaby dalam Al-Mizan II:302, hadits Shalih bin Musa tersebut termasuk dari kemungkaran yang dilakukannya.
Al-Hafidh Ibn Abdilbar dalam At-Tamhid XXIV:331 menyebutkan sanad ketiga mengenai hadits dhaif tersebut: “Dan telah menghaditskan kepada kami Abdurrahman bin Yahya, dia berkata, telah menghaditskan kepada kami Ahmad bin Sa’id, dia berkata, telah menghaditskan kepada kami Muhammad bin Ibrahim Al-Daibaly, dia berkata, telah menghaditskan kepada kami Ali bin Zaid Al-Faraidhy, dia berkata, telah menghaditskan kepada kami Al-Haniny dari Katsir bin Abdullah bin ‘Amr bin ‘Awf, dari ayahnya, dari kakeknya (mengenai hadits tersebt) “ .
Terdapat dalam sanad hadits tersebut yaitu Katsir bin Abdullah, Imam Syafi’i berkata: ‘Dia (Katsir bin Abdullah) adalah salah satu punggung kebohongan’. Sedangkan menurut Abu Dawud; ‘Dia (Katsir bin Abdullah) adalah salah satu pembohong’.
Ibn Hibban berkata: “Dia (Katsir bin Abdullah) meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya suatu nuskhah (tekts) yang maudhu’ yang tidak halal atau tidak pantes untuk dicantumkan dalam berbagai kitab dan tidak perlu di riwayatkan kecuali untuk ta’ajjub (aneh karena keberaniannya dalam berbohong)
Imam Nasa’i dan Al-Daraquthni, berkata Dia (Katsir bin Abdullah) matruk al-hadits (haditsnya ditinggalkan orang).
Imam Ahmad berkata: ‘Dia itu pengingkar hadits, dia tidak (mempunyai peran) apa-apa‘. Demikian pula menurut penilaian Yahya bin Mu’in bahwa ‘Dia (Katsir bin Abdullah) tidak (bukan) apa-apa (tidak berarti) ’.
Imam Malik menyebutkan hadits tersebut dalam Al-Muwathha’ (I : 899 nr.3) tanpa menyebutkan sanad. Tetapi hal ini bukan suatu soal, karena mengenai kelemahannya hadits itu sangat jelas.
Selanjutnya Syeikh Saqgaf berkata, bahwa Al-Hafidh Ibn Hajar –rahima hullah ta’ala– dalam At-Tagrib menilainya (hadits itu) sebagai dhoif/lemah saja, kemudian dia (Ibn Hajar) berkata: ‘Sungguh berlebihan jika ada orang yang menuduhnya sebagai pembohong’. Menurut saya (Syeikh Saqgaf), hal itu sama sekali tidak salah dan tidak berlebihan. Karena, seperti terlihat dari penilaian para imam dan pakar hadits, dia memang pendusta. Bukankah Al-Dzahaby juga telah menilai dia (dalam Al-Kasyif) sebagai wahin (lemah). Dan memang dia demikian, haditsnya maudhu’ (dibuat-buat), hadits itu tidak cocok untuk di ikuti (mutaba’ah) dan tidak perlu dicarikan syahid (saksi penguatnya). Bahkan harus dijauhi. Allah lah yang memberi taufik kepada kita semua.
Begitu juga menurut Mutanaqidh penentang atau sang kontroversial (yang dimaksud adalah Al-Albani--pen) dalam Dha’ifatih (IV:361), hadits shohih dan tsabit yang menyebutkan ‘Wa ‘itrati ahli baiti’ (dan keturunanku yaitu ahli baitku), menjadi syahid (saksi) atas (kebenaran dan keshohihan) hadits yang mengandung wa sunnati (dan sunnahku). Yang demikian itu menurut Syeikh Saqqaf termasuk layak untuk ditertawakan. Hanya Allah yang memberi hidayah kepada kita semua.
Selanjutnya Syeikh Saqqaf mengatakan, bahwa sabda Rasulallah saw. ‘Itrati Ahli Baiti’ (Keturunankau [yaitu] ahli baitku atau keluargaku), maksudnya adalah isteri-isterinya, keturunannya (dzurriyyahnya) dan yang paling terkemuka adalah Siti Fathimah, Sayyidina ‘Ali semoga Allah memuliakannya di surga , Sayidina Hasan dan Sayidina Husain a.s. dan semoga mereka mendapat keridhaan-Nya. Dalilnya ialah (baca yang telah kami kemukakan diatas—pen.).
Dengan penjelasan yang telah dikemukakan, jelaslah bahwa hadits, Kitabullah wa ‘Itrati (Kitabullah Alqur’an dan keturunanku) adalah hadits shohih dan tsabit, yang terdapat dalam Shohih Muslim dan lain-lainnya. Dan kalimat hadits Kitabullah wa Sunnati (Kitab Allah dan Sunnahku) itu bathil dari sisi sanad dan tidak shohih. Maka, saya (Syeikh Saqqaf) menganjurkan kepada para khatib, imam dan muballigh untuk segera meninggalkan pengucapan hadits-hadits yang tidak diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw..
Dan, hendaklah mereka ini juga tidak segan-segan untuk mengungkapkan hadits shohih dari Nabi Muhammad saw. yang terdapat dalam Shohih Muslim yang antara lain menyebutkan ‘Kitabullah wa ‘Itrati ahli baiti atau wa ahli baiti’. Kami pun berpesan kepada para penuntut ilmu (santri dan pelajar pada umumnya) untuk mempelajari ilmu hadits. Dan hendaklah mereka juga mau menyediakan waktu untuk mengenali hadits yang shohih dan dho’if sekaligus. Allah swt. menfirmankan yang hak dan benar. Dia menunjuki manusia dan makhluk-Nya kejalan yang lurus dan benar. Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin. ] Demikianlah jawaban dan keterangan Syeikh Saqqaf.}}.
Hadits yang kedua, ‘Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin…, terdapat di dalam Sunan Turmudzi, Sunan Abu Dawud dan Sunan ibnu Majah. Sedangkan Imam Bukhori dan Imam Muslim tidak meriwayatkannya.
Mari kita teliti mengenai hadits yang kedua berikut ini:
Sanad hadits (' ...berpegang teguh sunnahku dan sunnah khulafa Rasyidin..' ) dalam riwayat Imam Turmudzi:
Imam Turmudzi telah meriwayatkan hadits ini dari Bughyah bin Walid. Pandangan diantara para ulama ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil tentang Bughyah bin Walid sebagai berikut:
Ibnu Jauzi berkata tentangnya didalam sebuah perkataan, "Sungguh kami ingat bahwa Bughyah telah meriwayatkan dari orang-orang yang majhul dan orang-orang lemah. Mungkin saja dia tidak menyebutkan mereka dan tidak menyebutkan orang-orang yang meriwayatkan baginya." ( Al-Mawdhu'at, Ibnu Jauzi, jld. 1, hal. 109).
Ibnu Hiban berkata, "Tidak bisa berhujjah (berdalil) dengan Bughyah." (Al-Mawdhu'at, Ibnu Jauzi, jld. 1, hal. 151). Ibnu Hiban juga berkata, "Bughyah seorang penipu. Dia meriwayatkan dari orang-orang yang lemah, dan para sahabatnya tidak meluruskan perkataan- nya dan membuang orang-orang yang lemah dari mereka”. (Al-Mawdhu'at, Ibnu Jauzi, jld. 1, hal. 218)
Abu Ishaq al-Jaujazani berkata, "Semoga Allah merahmati Bughyah, dia tidak peduli jika dia menemukan khurafat pada orang tempat dia mengambil hadits”. ( Khulashah 'Abagat al-Anwar, jld. 2, hal. 350). Begitu juga ucapan-ucapan lainnya dari para huffadz dan ulama ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil.
Sanad Hadits (' ...berpegang teguh sunnahku dan sunnah khulafa Rasyidin..' ) dalam riwayat Abu Dawud:
Walid bin Muslim meriwayatkan hadits dari Tsaur an-Nashibi. Sebagaimana kata Ibnu Hajar al-'Asqolani: "Kakeknya telah terbunuh pada hari Muawiyah terserang penyakit sampar. Adapun Tsaur, jika nama Ali (bin Abi Thalib) disebut dihadapannya dia mengatakan, ‘Saya tidak menyukai laki-laki yang telah membunuh kakek saya’ " (Khulashah 'Abaqat al-Anwar, jld. 2, hal. 344).
Adapun berkenaan dengan Walid bin Muslim, adz-Dzahabi berkata, "Abu Mushir mengatakan Abu Walid seorang penipu, dan mungkin dia telah menyembunyikan cacat para pendusta”. (Mizan al-I'tidal, jld. 4, hal. 347) .
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, "Ayah saya ditanya tentangnya (tentang Walid ini), dia menjawab, 'Dia seorang yang suka mengangkat-angkat’ ". (Tahdzib at-Tahdzib, jld. 11, hal. 145).
Sanad Hadits (' ...berpegang teguh sunnahku dan sunnah khulafa Rasyidin..' ) dalam riwayat Ibnu Majah:
Pada sanad hadits terdapat Abdullah bin 'Ala.
Adz-Dzahabi berkata tentangnya, "Ibnu Hazm berkata, 'Yahya dan yang lainnya telah mendaifkannya/ melemahkannya’ “. (Mizan al-I'tidal, jld. 2, hal. 343). Dia telah meriwayatkan hadits dari Yahya, dan Yahya adalah seorang yang majhul dalam pandangan Ibnu Qaththan (Tahdzib at-Tahdzib, jld. 1, hal. 280).
Hadits ini juga diriwayatkan dari Tsaur —seorang nashibi— Abdul Malik bin Shabbah. Di dalam kitab Mizan al-I'tidal disebutkan, "Dia dituduh mencuri hadits." (Tahdzib at-Tahdzib, jld. 2, hal. 656). Di samping itu, hadits tersebut sebagai hadits ahad/tunggal. Seluruh riwayatnya kembali kepada seorang sahabat, Urbadh bin Sariyah. Hadits ahad tidak bisa digunakan sebagai hujjah/dalil.
Demikianlah pendapat beberapa ulama hadits.
Lepas dari semua keterangan diatas itu, yang sudah pasti hadits yang lebih kuat dan lebih dipercaya, yang diucapkan Rasulallah saw. sebagai wasiatnya didepan ummatnya serta diriwayatkan dan diakui keshohihanya oleh semua ulama yaitu agar kita disuruh berpegang teguh kepada Kitabullah dan ‘Ithrah Ahli-baitku (Al-Qur’an dan ahlul-bait Rasulallah saw). Sedangkan hadits yang menyebut kan “Kitabullah wa sunnatii” dan hadits “berpegang teguh kepada sunah Rasulallah saw. dan sunah para Khulafa` Rasyidin” bukan sebagai hadits tsaqalain dia termasuk hadits yang lain. Karena telah terbukti dua hadits diatas ini bertentangan dengan kalimat hadits tsaqalain yang sudah tsabit dan shohih . (untuk kalimat dan perawi hadits tsaqalain silahkan baca halaman berikutnya)
Jumlah Perawi Hadits (Kitab Allah dan 'itrahku) dari kalangan Sahabat:
1. Zaid bin Arqam.2. Abu sa'id al-Khudri.3. Jabir bin Abdullah.4. Hudzaifah bin Usaid.5. Khuzaimah bin Tsabit.6. Zaid bin Tsabit.7. Suhail bin Sa'ad.8. Dhumair bin al-Asadi, 9. 'Amir bin Abi Laila (al-Ghifari).10. Abdurrahman bin 'Auf.11. Abdullah bin Abbas.12. Abdullah bin Umar.13. 'Uday bin Hatim.14. 'Uqbah bin 'Amir.15. Ali bin Abi Thalib.16. Abu Dzar al-Ghifari.17. Abu Rafi'.18. Abu Syarih al-Khaza'i.19. Abu Qamah al-Anshari.20. Abu Hurairah.21. Abu Hatsim bin Taihan.22. Ummu Salamah.23. Ummu Hani binti Abi Thalib. [ RA ] 24. Dan masih banyak lagi laki-laki dari kalangan Quraisy.
Jumlah Perawi dari kalangan Thabi'in hadits "Kitab Allah dan ‘Itrahku": 1.Abu Thufail 'Amir bin Watsilah.2. 'Athiyyah bin Sa'id al-'Ufi.3. Huns bin Mu'tamar.4. Harits al-Hamadani.5. Hubaib bin Abi Tsabit.6. Ali bin Rabi'ah.7. Qashim bin Hisan.8. Hushain bin Sabrah.9. 'Amr bin Muslim.10. Abu Dhuha Muslim bin Shubaih. 11. YahyabinJu'dah. 12. Ashbagh bin Nabatah. 13. Abdullahbin Abirafi'.14. Muthalib bin Abdullah bin Hanthab.15. Abdurrahman bin Abi sa'id.16. Umar bin Ali bin Abi Thalib.17. Fathimah binti Ali bin Abi Thalib.18. Hasan bin Hasan bin bin Ali bin Abi Thalib.19. Ali Zainal Abidin bin Husain, dan yang lainnya.
Kita sering bertanya-tanya, mengapa hadits tqalain jarang sekali di kumandangkan dimasjid-masjid atau tempat lainnya, padahal hadits tsqalain ‘Kitabullah wa ‘Itrati ahli baiti atau wa ahli baiti’ ini ebih kuat dan lebih banyak diriwayatkan daripada hadits ‘Kitabullah wa sunnati’ ini. Berpuluh-puluh sahabat Nabi saw. yang meriwayatkan hadits tsqalain serta dikutip dalam beratus-ratus kitab para ulama pakar berbagai madzhab.
Ada gerangan apakah sebagian ulama tidak mau menerangkan atau mengumandangkan dalam pidatonya atau ceramahnya hadits tqalain ini?, padahal kita semua dianjurkan untuk menerangkan semua firman Allah swt. dan Sunnah Rasul-Nya dan tidak boleh menyembunyikannya !
Hadits tsqalain ini diucapkan oleh Rasulallah saw. didalam pidato/khutbahnya ketika beliau saw. selesai menunaikan ibadah haji wada’ bersama kaum muslimin didepan ribuan ummat dan disaksikan oleh para sahabat beliau saw.. Didalam pidatonya beliau saw. menekankan sebagai wasiat beliau agar ummatnya berpegang teguh pada dua bekal berat dan penting yaitu Kitabullah dan Keturunannya (ahlul baitnya), yang akan menjamin keselamatan ummatnya. Wasiat beliau saw. ini perlu diperhatikan dan dijaga baik-baik, agar dalam perjalanan hidup didunia ini ummat Islam tidak akan sesat dan akan mencapai tujuan yang didambakan, yaitu meraih keridhoan Allah swt. di dunia dan akhirat.
Walau pun sudah jelas siapa yang dimaksud ahlul-bait itu dalam ayat Al-Ahzab dan dalam hadits-hadits shohih, masih ada ulama yang membatasi maknanya yakni mengartikan itrah atau ahlu bait Rasulallah saw. hanya terdiri dari para ulama dari keturunan Rasulallah saw. saja. Pengakuan mereka seperti itu tidak berdasarkan hujjah atau dalil naqli, hanya berdasarkan pikiran mereka sendiri mengartikan makna dari Ahlul-Bait dari segi dan istilah bahasa dan dari bidang ilmu atau ketaqwaan.
Sebenarnya yang dimaksud ithrah dan ahlul-bait dalam firman Allah swt. dan hadits Rasulallah saw .agar dicintai, dijaga hak-hak mereka dan diakui kemuliaan dan kedudukan mereka ialah semua keturunan dari Nabi saw.. Tidak pandang apakah mereka itu Imam, ulama atau bukan. Mengenai para ahli Fiqih, para ulama dan para Imam dari keturunan Rasulallah khususnya, mereka itu memang teladan bagi ummat Islam dan merupakan pelita yang menerangi kegelapan. Akan tetapi itu tidak berarti bahwa hanya mereka itu saja yang dimaksud dari keluarga keturunan Rasulallah saw.. Kalau makna ahlul-bait itu hanya terbatas pada ulama-ulama atau ahli Fiqih dari kalangan ahlul-bait, maka Rasulallah saw. dalam pidatonya akan mengatakan: “Aku tinggalkan kepada kalian dua bekal; ’Kitabullah dan para ulama atau ahli Fiqih dari ahlubaitku’, ternyata pidato beliau saw. hanya mengatakan ‘Kitabullah dan ithrah-ku, ahlubaitku’ “ !
Kita ummat muslimin terutama para ulama, para ahli fiqih dan para Imam itu justru orang-orang yang paling pertama berkewajiban memperhatikan wasiat Nabi saw.. Secara umum mereka itu wajib mencintai, menghormati kedudukan dan memelihara hak-hak semua keluarga keturunan Rasulallah saw. dengan sebaik-baiknya. Tidak diragukan diantara para hadirin saat itu, yang mendengarkan khotbah Rasulallah saw., pasti terdapat orang-orang yang sudah lebih mendalam ilmu pengetahuannya tentang Fiqih dibandingkan dengan kebanyakan anggota ahlul-bait dan anak-anak mereka.
- Apakah ada diantara para hadirin yang sebanyak itu menyimpulkan bahwa Rasulallah saw. dalam pidatonya itu mewasiatkan para anggota keluarganya supaya memuliakan kedudukan para ulama dan para ahli Fiqih?
- Apakah ketika itu ada orang yang mengatakan bahwa yang dimaksud ‘itrah’ atau ‘ahlul-bait’ itu bukan keturunan Rasulallah saw. melainkan orang-orang lain yang tidak mempunyai hubungan darah dengan beliau saw.?
- Apakah waktu itu beliau saw. berwasiat bahwa anggota-anggota keluarga beliau saw. adalah: Abu Bakar As-Siddiq, ‘Umar Ibnul Khattab, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, ‘Abdullah bin Salam [ra] atau para sahabat lainnya, baik yang berasal dari kaum Muhajirin maupun kaum Anshor?
- Apakah kaum muslimin yang sebanyak itu tidak ada yang memahami, bahwa Rasulallah saw. berpesan kepada segenap kaum muslimin supaya menjaga dengan baik kedudukan para keluarga keturunan dan kaum kerabat beliau saw.?
- Apakah diantara kaum muslimin ribuan yang hadir waktu itu tidak ada yang mengerti, bahwa yang dimaksud ‘itrah’ atau ‘ahlul bait’ itu ‘keluarga keturunan Rasulallah saw’. dan bukan orang selain ini? Sudah tentu khotbah wasiat Rasulallah saw. itu cukup jelas dimengerti oleh para hadirin waktu itu ! Sebab arti ‘itrah’ atau ‘ahlul-bait’ Rasulallah saw. dalam pidatonya itu tidak bisa diartikan kecuali keluarga Rasulallah saw. dan keturunan beliau saw.!
Hadits tsaqalain banyak dikutip oleh para perawi hadits dan beragam kalimatnya, tapi maknanya sama. Berikut ini kami kutip beberapa hadits tqalain yang sebagian telah kami kemukakan.
يَا اَيُّهَا النَّاسُ اِنِّي تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا اِنْ اَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوْا كِتَابَ اللهِ وَعِطْرَتِي أهْلَ بَيْتِي
Artinya: “Wahai manusia, sungguh kutinggalkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian berpegang teguh dengannya kalian tidak akan tersesat: ‘Kitabullah dan Itrahku Ahlu baitku’ ”.
Hadits ini bisa kita rujuk dalam:
Shahih Tirmidzi jilid 5, hal. 328, hadits ke 3874 cet.Darul Fikr Beirut, jilid 13 hal.199 cet.Maktabah Ash-Shawi, Mesir, jilid 2 hal.308 cet. Bulaq Mesir.; dalam Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 5 hal. 182 ; dalam Al-Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, halaman 149 ia mengatakan hadits ini adalah hadits shahih ; dalam Ad-Durrul Mantsur oleh Jalaluddin As-Suyuthi jilid 6 hal.7 ; dalam Ash-Shawa’iqul Muhriqah oleh Ibnu Hajar Al-Haitsami hal. 184 ; dalam Al-Fadhail, oleh Ahmad bin Hanbal hal.28.; dalam Tarikh Al-Khulafa’ oleh As-Suyuthi hal.109 ; dalam Tafsir Ibnu Kathir, jilid 4 hal.113, cet.Dar Ihya’ Al-Kutub Al-‘Arabiyah, Mesir. ; dalam Tafsir Al-Khazin jilid 1 hal.4, cet.Dar Ihya’ Al-Kutub Al-‘Arabiyah, Mesir. ; dalam Usdul Ghabah fi Ma’rifati Ash-Shahabah oleh Ibnu Atsir Asy-Syafi’i jilid 2 hal.12. Dan dalam kitab lain-lainnya.
Rasulallah saw.bersabda :
إنَّي تَارِكٌ فِيْكُمْ خَلِيْفَتَيْنِ : كِتَابَ اللهِ حَبْلٌ مَمْدُوْدٌ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالاَرْضِ
وَعِتْرَتِي أهْلَ بَيْتِي وَإنَّهُمَا لَنْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحِوْضَ
Artinya: “Kutinggalkan kepada kalian dua peninggalan: Kitabullah sebagai tali yang terbentang antara langit dan bumi, dan keturunanku ahlulbaitku. Sesungguhnya kedua-duanya itu tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Haudh (telaga di surga)”. (dikeluarkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari hadits Zaid bin Tsabit dan dari dua shohih Bukhori-Muslim. Yang pertama pada halaman 182 dan yang kedua pada akhir halaman 189 jilid V. Dikeluarkan juga oleh Abu Syaibah, Abu Ya’la dan Ibnu Sa’ad. ‘Kanzul Ummal’ jilid 1, halaman 47 hadits no.945).
Juga hadits yang serupa diatas hanya berbeda versinya tapi sama makna- nya, bisa kita rujuk juga dalam Ad-Durrul Mantsur oleh As-Suyyuthi Asy-Sayfi’i jilid 2, hal.60 ; Yanabi’ul Mawaddah oleh Al-Qundusi Al-Hanafi hal.38 dan 183, cet.Istanbul; cet.Al-Haidariyah hal.42 dan 217.; Dalam Majma’uz Zawaid oleh Al-Haitsmi jilid 9, hal. 162 ; ‘Abaqat Al-Anwar jilid 1, hal.16 cet.pertama Ishfahan; Al-jami’ Ash Shaqhir oleh As-Suyuthi jilid 1, hal. 353 cet. Mesir ; Al-Fathul Kabir oleh An-Nabhani, jilid 1 hal. 451 dan kitab-kitab rujukan lainnya.
إنَّي اُوْشِكُ اَنْ اُدْعَى فَاُجِيْبَ وَإنَّي تَارِكٌ فِيكُمُ الثَّقَلَيْنِ: كِتَابَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
وَعِتْرَتِي كِتَابُ اللهِ حَبْلٌ مَمْدُوْدٌ مِنَ السَّمَاءِ اِلَى الاَرْضِ وَعِتْرَتِي أهْلَ بَيْتِي
وَإنَّ اللَّطِيْفَ الْخَبِيْرَ اَخْبَرَنِي اَنَّهُمَا لَنْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحِوْضَ فَانْظُرُوْا
كَيْفَ تَخْلِفُوْنِي فِيْهِمَا
Artinya: “Bahwasanya aku merasa hampir dipanggil dan aku akan memenuhi panggilan itu. Sesungguhnya aku tinggalkan kepadamu dua pusaka (bekal) yang berharga (berat): Kitabullah ‘Azza wa jalla dan ‘Ithrahku (keturunanku). Kitabullah adalah tali yang terbentang dari langit ke bumi, dan Itrahku ialah Ahlu baitku. Sesungguhnya Yang Maha Halus dan Maha Mengetahui (Allah swt.) memberitakan kepadaku bahwa keduanya tidak akan terpisahkan sehingga keduanya kembali kepadaku di Haudh, maka perhatikan bagaimana kalian mempertentangkan aku terhadap keduanya “.(Hadits ini dikeluar kan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya jilid 111 hal.17 dan 18)
Hadits yang serupa diatas ini bisa kita rujuk juga dalam:
Ash-Shawa’iqul Muhriqah oleh Ibnu Hajar, hal. 148, cet. Al-Muhammadiyyah, disini disebutkan ‘Lam Yaftariqa’ yang benar ‘ Lan Yaftariqa ’sebagaimana yang terdapat pada cet.pertama hal. 89, cet. Al-Maimaniyah Mesir.; As-Sirah An-Nabawiyyah oleh Zaini Dahlan (catatan pinggir As-Sirah Al-Halabiyah jilid 3, hal.331 cet.Al-Bahiyah, Mesir. ; Al-Mu’jam Ash-Shaqier oleh Ath-Thabrani jilid 1, hal.131 cet.Dar An-Nashr, Mesir. ; Maqtal Al-Husain, oleh Al-Khawariz mi jilid 1, hal.104, cet.Mathba’ah Az-Zahra’.; Jami’ul Ushul oleh Ibnu Atsir jilid 1, hal. 187, cet.As-Sunnah Al-Muhammadiyah dan lain-lainnya.
Rasulallah saw.bersabda :
إنَّي تَارِكٌ فِيكُمُ الثَّقَلَيْنِ: كِتَابَ اللهِ وَاَهْلَ بَيْتِي وَإنَّهُمَا لَنْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحِوْضَ
Artinya: “Kutinggalkan kepada kalian dua bekal. ‘Kitabullah dan ahlu baitku’. Sesungguhnya kedua-duanya itu tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di haudh”. (Dikeluarkan oleh Al-hakim dalam Al-Mustadrak jilid 111 hal. 148. Dikatakan olehnya bahwa hadits ini mempunyai kebenaran isnad yang diakui oleh Bukhori dan Muslim, tetapi tidak dikeluarkan oleh dua orang Imam ini. Dikeluarkan juga oleh Adz-Dhahabi dalam Talkhishul Mustadrak dan dinyatakan kebenarannya berdasarkan pembenaran Bukhari & Muslim ).
Hadits Rasulallah saw. dari Zaid bin Arqam ra katanya: “Pada suatu hari Rasulallah saw.berdiri sedang menyampaikan khutbahnya dihadapan kami disuatu telaga air bernama Khom yang terletak antara Makkah dan Madinah. Setelah mengucapkan hamdalah dan memuji kepada Allah, memberi peringatan dan nasihat lalu beliau saw. bersabda: ‘‘Amma ba’du, wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah seorang basyar (manusia) dan tidak lama lagi aku akan menyahut seruan tuhanku (wafat), maka aku tinggal- kan ditengah-tengah kamu dua perkara yang berat (Tsqalain); pertama Kitab Allah Ta’ala yang didalamnya mengandung petunjuk dan cahaya, maka ambillah kitab Allah itu dan berpeganglah padanya, dan Ahli Baitku, aku peringatkan kamu terhadap Ahli Baitku’. (kalimat terakhir ini diulangi oleh beliau saw. tiga kali ). Husain bertanya (pada Zaid ini); ‘Siapakah Ahli Bait baginda wahai Zaid’? ‘Bukankah isteri-isteri beliau adalah Ahli Baitnya’? Zaid menjawab; ‘Sesungguhnya isteri-isteri beliau saw. bukanlah daripada Ahlil Baitnya, (yang tercantum dalam pidato beliau ini) akan tetapi Ahli Bait beliau saw. adalah orang-orang yang diharamkan pada mereka menerima sedekah selepas kewafatan beliau saw.’. Ia bertanya lagi; ‘Siapakah mereka itu’? Jawabnya; ‘Mereka itu adalah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga Al-Abbas [ra.]’. Tanyanya lagi; ‘Apakah semua mereka itu diharamkan padanya sedekah’? Jawabnya ; ‘Ya’ “. (HR. Muslim, Ahmad bin Hanbal, Tirmidzi dan Nasa’i).
Diantara mereka yang pernah berhujjah dengan syubhat “bihi” adalah Efendi, kemudian diikuti oleh para muqallidnya di forum-forum diskusi [baik yang Arabic or English]. Syubhat ini juga dilontarkan oleh orang yang menyebut dirinya Abul-Jauzaa’ dalam salah satu artikel yang diikuti dan disalin oleh para muqallidnya [seperti alfanarku dkk]. Sebuah hadits:
حَدَّثَنَا يحيى قَال حَدَّثَنَا جرير عن الحسن بن عبيد الله عن أبي الضحى عن زيد بن أرقم قَال النبي صلى الله عليه وسلم إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب الله عز وجل وعترتي أهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض
Telah menceritakan kepada kami Yahya yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir dari Hasan bin Ubaidillah dari Abi Dhuha dari Zaid bin Arqam yang berkata Nabi SAW bersabda “Aku tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang-teguh kepadanya maka kalian tidak akan sesat yaitu Kitab Allah azza wa jalla dan ItrahKu Ahlul Baitku dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaKu di Al Haudh [Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawi 1/536]
Mereka mengatakan bahwa lafadh “bihi” [dengan-nya] pada “maa in tamassaktum bihi” [apa yang jika kalian berpegang teguh dengannya] hanya merujuk pada Kitab Allah saja karena kalau merujuk pada keduanya [kitab Allah dan Ahlul Bait] maka lafadh yang dipakai adalah “bihima” [dengan keduanya]. Intinya mereka mau menyimpangkan hadits Tsaqalain agar bermakna perintah berpegang teguh kepada kitab Allah saja dan tidak kepada Ahlul Bait. Syubhat ini bisa dibilang “murahan” atau “rendahan”. Kata “bihi” [dengan-nya] merujuk pada kata “maa” [apa] yaitu sesuatu yang dinyatakan harus dipegang teguh. Jadi “nya” itu kembali pada sesuatu. Sesuatu ini jumlahnya bisa berapa saja tergantung dengan lafadh selanjutnya. Dalam hadits Tsaqalain di atas disebutkan kalau sesuatu yang harus dipegang teguh itu ada dua yaitu Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Jadi disini sifat berpegang teguh itu berlaku pada masing-masing yang disebutkan Nabi saw yaitu Kitab Allah dan Ahlul Bait. Penggunaan lafadh seperti ini adalah sesuatu yang ma’ruf dari segi bahasa arab. Mereka yang mempermasalahkannya hanya menunjukkan “kelemahan akal” dalam berhujjah, anehnya hal itu dilontarkan oleh orang yang alim di sisi mereka. Silahkan perhatikan hadits berikut:
حدثنا يحيى بن أيوب وقتيبة وابن حجر جميعا عن إسماعيل بن جعفر قال ابن أيوب حدثنا إسماعيل أخبرني العلاء عن أبيه عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ألا أدلكم على ما يمحو الله به الخطايا ويرفع به الدرجات ؟ قالوا بلى يا رسول الله قال إسباغ الوضوء على المكاره وكثرة الخطا إلى المساجد وانتظار الصلاة بعد الصلاة فذلكم الرباط
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayub, Qutaibah dan Ibnu Hujr semuanya dari Ismail bin Ja’far. Ibnu Ayub berkata telah menceritakan kepada kami Ismail yang berkata telah mengabarkan kepadaku Al Alaa’ dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang dengannya Allah menghapus kesalahan kesalahan dan dengannya Allah mengangkat derajat?. Mereka berkata “tentu wahai Rasulullah”. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “Menyempurnakan wudhu di saat kesukaran, banyak berjalan menuju masjid dan menunggu shalat berikutnya setelah shalat maka itulah ribath [Shahih Muslim 1/219 no 251]
Perhatikan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “maa yamhullaahu bihi khathaayaa” dan “wa yarfa’u bihi darajaat”. Lafadh “bihi” ini kembali pada “maa” atau sesuatu yang disifati oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa dengannya bisa menghapus kesalahan dan mengangkat derajat. Sesuatu itu ternyata tidak tunggal atau satu melainkan ada tiga hal yaitu
1.Menyempurnakan wudhu’ saat keadaan sukar
2.Banyak berjalan menuju masjid
3.Menunggu shalat berikutnya setelah shalat.
Penggunaan lafadh “bihi” seperti yang nampak dalam hadits Tsaqalain juga banyak ditemukan dalam Al Qur’an yaitu merujuk pada sesuatu yang ternyata sesuatu itu adalah objek yang jamak sehingga yang dimaksud “nya” itu berlaku pada masing-masing objek yang disebutkan. Firman Allah swt:
قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Katakanlah [hai orang-orang mukmin]`Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya`. Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan [dengan kamu]. Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui [QS Al Baqarah ; 136-137]
Perhatikan lafadh “maa amantum bihi” yaitu “apa yang kamu telah beriman kepadanya”. Lafadh “bihi” kembali pada kata “maa” dimana dalam ayat sebelumnya apa yang diimani itu adalah beriman kepada Allah swt, beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami dan beriman kepada apa yang diturunkan pada Nabi-Nabi sebelum kami.
وَلاَ تَتَّخِذُوَاْ آيَاتِ اللّهِ هُزُواً وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنزَلَ عَلَيْكُمْ مِّنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُم بِهِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Janganlah kamu jadikan ayat-ayat Allah sebagai permainan dan ingatlah nikmat Allah kepadamu dan apa yang telah Allah turunkan kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah, Allah memberikan pengajaran kepadamu dengannya [apa yang diturunkan kepadamu]. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu [QS Al Baqarah ; 231]Perhatikan lafadh “ya’izhukum bihi” yaitu “memberikan pengajaran kepadamu dengannya”. Lafadh “bihi” atau “dengan-nya” itu merujuk pada “ma anzala ‘alaikum” yaitu apa yang diturunkan Allah swt kepadamu dan disebutkan bahwa itu adalah Al Kitab dan Al Hikmah.
Masih banyak contoh lain tetapi apa yang telah kami sebutkan telah cukup sebagai hujjah bagi mereka yang tunduk kepada apa yang telah ditetapkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya. Memang sangat mengherankan jika seorang yang punya keilmuan seperti Efendi dan Abul-Jauzaa’ berhujjah dengan cara yang menyedihkan. Jika yang bersangkutan kurang paham ada baiknya belajar lagi dan jika yang bersangkutan pura-pura bodoh maka itu lebih celaka lagi karena telah sengaja memelintir hadits Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan membodohi orang lain [setidaknya di kalangan pengikutnya].
Kemuliaan dan kedudukan keturunan Rasulallah saw.:
Mari kita teruskan lagi hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai keutamaan dan kedudukan keturunan beliau saw.. Sabda Rasulallah saw.:
مَنْ سَرَّهُ اَنْ يَحْيَا حَيَاتِي وَيَمُوْتَ مَمَاتِيْ وَيَسْكُنَ جَنَّةَ عَدْنٍ
غَرَسَهَا رَبِّي فَلْيُوَلِّ عَلِيًّا مِنْ بَعْدِيوَلْيُوَالِ وَلِيَّهُ وَاليَقْتَدِ
بِأَهْلِ بَيْتِي مِنْ بَعْدِي فَإِنَّهُمْ عِتْرَتِي خُلِقُوْا مِنْ طِيْنَتِي وَرُزِقُوْا
فَهْمِي وَعِلْمِي فَوَيْلٌ لِلْمُكَذِّبِيْنَ بِفَضْلِهِمْ مِنْ أُمَّتيِّ
القَاطِعِيْنَ مِنْهُمْ صِلَتِي لاَ أَتْزَلَهُمُ اللهُ شَفَاعَتِي.
Artinya: “Barangsiapa senang hidup seperti hidupku dan mati seperti matiku, lalu ia ingin menjadi penghuni surga ‘Adn yang ditanam oleh Tuhanku, hendaknya ia mengangkat ‘Ali sebagai pemimpin sepeninggalku, dan orang itu pun hendaknya mengikuti pimpinan yang diangkat olehnya (‘Ali kw ) sebagai pemimpin, dan supaya berteladan kepada ahlubaitku sepeninggalku. Sebab mereka itu adalah keturunanku dan diciptakan dari darah dagingku serta dikarunia pengertian dan ilmuku. Celakalah orang dari ummatku yang mendustakan keutamaan mereka, dan memutuskan hubungan denganku melalui (pemutusan hubungan dengan) mereka. Allah tidak akan menurunkan syafa’atku kepada orang-orang seperti itu“ (hadits ini dikeluarkan oleh Thabrani dalam kitabnya ‘Al-Kabir’ dan di keluarkan juga oleh Ar-Rafi’i dalam ‘Musnad-nya’ berdasarkan isnad Ibnu ‘Abbas. Kanzul ‘Ummal jilid 6 hal. 217 hadits no. 3819).
Juga sabda Rasulallah saw :
مَنْ اَحَبَّ اَنْ يَحْيَا حَيَاتِي وَيَمُوْتَ مَيْتَتِيْ وَيَدْخُلَ الجَنَّةَ
الَّتِي وَعَدَنِي رَبِّي وَهِيَ جَنَّةُ الخُلْدِ فَالْيَتَوَلَّ عَلِيًّا وَذُرِّيَتَهُ
مِنْ بَعْدِهِ فَإِنَّهُمْ لَنْ يُخْرِجُوكُمْ بَابَ هُدًي وَ لَنْ
يُدْخِلُوكُمْ بَابَ ضَلاَلَةٍ.
Artinya:" Siapa yang ingin hidup seperti hidupku wafat seperti wafatku serta masuk ke surga yang telah dijanjikan kepadaku oleh Tuhanku yaitu Jannatul Khuld, maka hendaklah ia berwilayah (berpemimpin) kepada ‘Ali dan keturunan sesudahnya, karena sesungguhnya mereka tidak akan mengeluar kan kamu dari pintu petunjuk dan tidak akan memasukkan kamu kepintu kesesatan ". Hadits semacam ini terdapat didalam: Shahih Bukhari, jilid 5, hal. 65, cet. Darul Fikr; jilid 5 halaman 159, cet.Mathabi’ Asy-Sya’b.; Shahih Muslim, jilid 2, halaman 51, cet. Al-Halabi, jilid 5, halaman 119, cet.Syirkah Al-I’lanat. ; Mizanul I’tidal, oleh Adz-Dzahabi, jilid 4, halaman 415 cet. Dar Ihya’ Al-Kutub Al-‘Arabiyah.; Al-Manaqib, oleh Al-Khawarizmi, halaman 34. ; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, halaman 149 dan 150, cet. Al-Haidariyah, halaman 126 cet. Istanbul. ; Al-Ishabah, oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani Asy-Syafi’i, jilid 1, halaman 541, cet. Mushthafa Muhammad; jilid 1, halaman 559, cet. As-Sa’adah.
Hadits Safinah (perahu):
Disamping hadits-hadits yang telah dikemukakan tadi, marilah kita ikuti lagi Hadits Safinah (Perahu) berikut ini:
Rasulallah saw. bersabda:
اَلاَ إِنَّ مَثَلَ أَهْلَ بَيْتِي فِيْكُمْ كَمَثَلِ سَفِيْنَةِ نُوْحٍ
مَنْ رَكِبَهَا نَجًا, وَمَنْ تَخَلَّفَ عَنْهَا غَرَقَ
Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya perumpamaan Ahlu Baitku bagi kalian seperti bahtera Nuh, siapa yang menaikinya selamat dan siapa yang tertinggal akan tenggelam”.
Hadits ini bisa kita baca didalam:
Al-Mustaddrak Al-Hakim jilid 3, hal.151. ; Nizham Durar As-Samthin, oleh Az-Zarnadi Al-Hanafi hal. 235. ; Ash-Shawa’iqul Muhriqah, oleh Ibnu Hajar hal. 184 dan 234, cet. Al-Muhammadiyah, Mesir, hal. 111 dan 140 cet.Al-Maimaniyah, Mesir. ; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, hal. 30 dan 370 cet.Al-Haidariyah, hal. 27 dan 308 cet.Istanbul. ; Tarikh al-Khulafa’ oleh As-Suyuthi Asy-Syafi’i. ; Is’afur Raghibin oleh Ash-Shabban Asy Syafi’i hal.109 cet.As-Sa’idiyah, hal.103 cet.Al-‘Utsmaniyah. ; Faraid As-Samthin jilid 2 hal. 246 hadits ke 519.
Juga sabda beliau saw.: إِنَّمَا مَثَلُ أَهْلِ بَيْتِي فِيْكُمْ كَمَثَلِ سَفِيْنَةِ نُوْحٍ مَنْ رَكِبَهَا نَجًا,
وَمَنْ تَخَلَّفَ عَنْهَا غَرَقَ وَ إِنَّمَا مَثَلُ أَهْلِ بَيْتِي فِيْكُمْ
مَثَلُ بَابِ حِطَّةٍ فِيْ بَنِى إِسْرَائِيْلَ منْ دَخَلَهُ غُفِرَ لَهُ.
Artinya: “Sungguh perumpamaan Ahlu Baitku bagi kalian seperti bahtera Nuh, siapa yang menaikinya selamat dan siapa yang tertinggal akan tenggelam. Dan perumpama- an Ahlu-Baitku bagi kalian seperti pintu Hith- thah Bani Israil, siapa yang memasukinya ia akan diampuni”.
Hadits ini bisa kita baca didalam:
Al-Mu’jam Ash-Shaqir oleh Ath Thabrani jilid 2, hal.22. ; Kifayah Ath-Thalib, oleh Al-Kanji Asy-Syafi’i hal.378, cet.Al-Haidariyah, hal..234, cet.Al-Ghira.; Majma’uz Zawaid,oleh Al-Haitsami Asy-Syafi’i jilid 9, hal.168. ; Ihyaul Mayyit oleh As-Suyuthi (catatan pinggir) Al-Ittihaf oleh Syibrawi hal.113. ; Ash-Shawa’iqul Muhriqah oleh Ibnu Hajar, hal. 91 cet.Al-Maimaniyah, hal.150 cet. Al-Muhammadiyah Mesir. ; Yanabi’ul Mawaddah oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, hal.28 dan 298, cet. Istanbul, hal.30 dan 358, cet.Al-Haidariyah dan masih banyak lainnya lagi
Makna perumpamaan ahlul Bait sebagai pintu pengampunan ialah bahwa Allah swt. telah menjadikan pintu itu sebagai perwujudan sikap merendahkan diri terhadap keagungan-Nya. Sikap seperti ini akan menyebabkan datangnya maghfirah atau ampunan-Nya. Demikian pula bila ummat ini dengan segala keikhlasan mau mengikuti petunjuk penerus Nabi saw. yaitu para Imam dan Ulama dari kalangan keturunan Rasulallah saw. akan merupakan perwujudan sikap patuh serta tunduk pada kehendak Allah swt. Sikap seperti ini lah yang akan mendatangkan maghfirah/ampunan Allah swt. bagi mereka! Demikian juga Ibnu Hajar dalam kitab As-Sawaiq bab 11 halaman 91 telah mencoba membuat persamaan dalam hal ini. Setelah beliau menukil hadits-hadits yang serupa dan semakna diatas dan lain-lainnya.
Juga sabdanya lagi:
اَلنُّجُوْمُ أَمَانٌ ِلأَهْلِ الأَرْضِ مِنَ الْغَرَقِ وَ أَهْلُ بَيْتِي
أَمَانٌ ِلأُمَّتِي مِنَ الإِخْتِلاَفِ (فِي الدِّيْنِ) فَإِذَا خَالَفَتْهَا
قَبِيْلَةٌ مِنَ الْعَرَبِ (يَعْنِىْ فِي أَحْكَامِ اللهِ تَعَالَى)
إِخْتَلَفُوْا فَصَارُوْا حِزْبَ إِبْلِيْس
Artinya: “Bintang-bintang adalah keselamatan bagi penghuni bumi dari (bahaya) tenggelam (didasar laut) dan ahlubaitku adalah keselamatan bagi ummatku dari perselisihan (masalah agama). Apabila ada kabilah Arab yang membelakangi ahlubaitku (masalah hukum-hukum Allah swt) mereka akan berselisih kemudian akan menjadi kelompok iblis“. (Hadits ini dikemukakan oleh Al-Hakim dan dibenarkan oleh Bukhori dan Muslim, juga hadits ini bisa kita rujuk didalam Ash-Shawa’iqul Muhriqah oleh Ibnu Hajar hal. 91 dan 140 cet. Al-Maimaniyah, hal. 150 dan 234 cet.Al-Muhammadiyah; Muntakhab Kanzul ‘Ummal (catatan pinggir) Musnad Ahmad jilid 5 hal.93 ; Jawahirul Bihar oleh An-Nabhani jilid 1, hal. 361 cet.Al-Halabi Mesir dan lain-lainnya).
Demikianlah antara lain kalimat hadits Tsaqalain, hadits Safinah dan lainnya serta hadits mengenai Sayyidina Ali kw.serta keturunannya, yang dimuat juga dalam Muntakhab al-Kanz (baca catatan pinggir Musnad Imam Ahmad jilid 5 halaman 32). Semuanya ini jarang sekali, hampir tidak pernah, dikumandangkan oleh ulama kita Ahlusunnah wal Jama’ah dimasjid-masjid, padahal ini termasuk wasiat Rasulallah saw. yang penting untuk kaum muslimin.
Lafadh hadits tqalain, hadits Al-Kisa’, hadits Safinah dan lafadz hadits lainnya mengenai kemuliaan, kedudukan keturunan Rasulallah saw. banyak di riwayatkan ,para sahabat dan perawi dari ulama pakar dari berbagai madzhab, seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, madzhab Imamiyah, madzhab Zaidiyyah dan lain sebagainya, dengan bermacam-macam ragam tapi makna atau intinya sama yaitu kita diperingatkan oleh beliau saw.harus berpegang teguh pada dua bekal berat Kitabullah dan Ahlul Bait (keturunan) Rasulallah dan celakalah orang yang mengingkari dan mendustakan keutamaan keturunan beliau saw..
Pendapat Imam Turmudzi makna hadits Tsaqalain, Safinah
Persoalan hadits yang telah dikemukakan, yang mana Rasulallah saw menegaskan bahwa ‘ahlubaitku adalah keselamatan bagi ummatku’ mengundang perhatian beberapa ulama untuk memper masalahkan makna ini hadits. Masing-masing mengajukan hujah dan dalil-dalil sendiri untuk memperkuat pendapatnya, dan dalam tiap diskusi perbedaan pendapat itu selalu ada.
Mari kita ikuti pendapat Imam Turmudzi masalah hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai ahlu-baitnya. Kami akan kutip pendapat Turmudzi dan langsung sanggahan dari ulama lainnya atas pendapat Imam Turmudzi ini.
{{ Imam Turmudzi dalam kitabnya Nawadirul-Ushul menerangkan, bahwa ahlul-bait Rasulallah saw. yang dimaksud dalam hadits tersebut, ialah “Orang-orang yang meneruskan jalan hidup Rasulallah saw setelah beliau wafat. Mereka adalah orang-orang shiddiq, orang-orang abdal (keramat) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw dengan ucapannya:
“Akan muncul orang-orang abdal (keramat) di Syam. Mereka berjumlah empat puluh orang. Tiap ada seorang dari mereka wafat, Allah mengganti kedudukannya dengan orang lain. Karena abdal (kekeramatan) mereka Allah menurunkan hujan, karena kekeramatan mereka Allah memenangkan mereka atas musuh-musuhnya dan karena kekeramatan mereka Allah menyelematkan penghuni bumi dari malapetaka…”. Mereka itulah –kata Imam Turmudzi– ahlul-bait Rasulallah saw yang menjadi sebab keselamatan ummat ini. Bila mereka itu lenyap, rusaklah bumi ini dan hancurlah dunia…. Selanjutnya Imam Turmudzi mengatakan:
1). Pengertian mengenai ahlul-bait tidak bisa didasarkan pada makna hadits yang berbunyi: “Manakala ahlulbaiku lenyap maka datanglah kepada umatku apa (bencana) yang dijanjikan”. Bagaimana dapat dibayangkan kalau ahlulbait sudah tidak ada lagi, tidak akan ada seorangpun dari umat Muhamad saw yang masih tinggal? Jumlah umat Muhamad jauh lebih banyak daripada ahlulbait yang dapat dihitung dan Allah swt senantiasa melindungi mereka (ummat Muhamad) dengan berkah dan rahmat-Nya. Pengertian mengenai ahlulbait juga tidak dapat didasarkan pada hadits yang berbunyi: ‘Semua sebab dan nasab akan terputus kecuali sebabku dan nasabku’.
2).Menurut hadits tersebut, ahlulbait Rasulallah saw ialah nasab beliau, yakni Bani Hasyim dan Bani ‘Abdul Mutthalib. Akan tetapi mereka bukan merupakan sebab bagi keselamatan ummat Islam, sehingga orang boleh berkata: “Kalau mereka lenyap akan lenyap pula dunia ini”!
3). Dikalangan mereka pun terdapat keburukan (fasad) seperti yang terdapat didalam golongan lain. Diantara mereka ada yang baik (muhsin) dan ada pula yang buruk (musi’). Lalu bagaimana dapat dikatakan bahwa mereka itu merupakan sebab bagi keselamatan penghuni bumi? Jadi jelaslah, bahwa yang dimaksud (ucapan) Rasulallah saw ialah; orang- orang yang karena mereka itu dunia ini tetap lestari. Mereka itulah lambang kehidupan dan para pembimbing manusia kejalan hidayat pada setiap zaman. Tanpa mereka tak ada kehormatan apa pun dimuka bumi dan bencana akan merajalela…
Imam Turmudzi melanjutkan: Kalau ada yang mengatakan bahwa kemuliaan ahlulbait dan dekatnya hubungan mereka dengan Rasulallah saw itu yang membuat mereka menjadi sebab keselamatan bagi penghuni bumi, orang lain tentu dapat menjawab: ‘Kehormatan dan kemuliaan Rasulallah saw jauh lebih agung’! Dibumi ini ada sesuatu yang lebih mulia dan lebih agung dibandingkan dengan keturunan Rasulallah saw yaitu Kitabullah Al-Qur’an, walau tidak disebut dalam hadits diatas tadi. Selain itu kehormatan dan kemuliaan ada juga pada para ahli takwa.
Dalam penjelasannya mengenai sebab-sebab yang membuat Muhamad Rasulallah saw menjadi manusia besar, mulia dan agung, Turmudzi mengatakan: ‘Kehormatan, kebesaran dan keagungan Rasulallah saw. adalah berkat kenabian dan kemuliaan yang dilimpah- kan Allah swt kepada beliau’. Sebagai dalil mengenai hal itu dapat dikemukakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebagai berikut:
“Pada suatu hari Rasulallah saw mendatangi (Siti) Fathimah. Ditempat ke diaman (Siti) Fathimah terdapat Shafiyyah (bibi Rasulallah saw). Beliau kemudian bersabda: ‘Hai Bani ‘Abdu Manaf, Hai Bani ‘Abdul Mutthalib, Hai Fathimah binti Muhamad, Hai Shafiyyah bibi Rasulallah. Dihadirat Allah aku tidak bermanfaat bagi kalian. Mintalah berapa saja dari hartaku yang kalian inginkan. Ketahuilah, bahwa orang yang terbaik bagiku pada hari kiamat ialah mereka yang bertakwa. Jika kalian hanya mengandalkan kekerabatan kalian dengan- ku, disaat orang lain datang kepadaku membawa amal kebajikan lalu kalian datang kepadaku hanya membawa keduniaan dileher kalian. Kemudian memanggil-manggil ‘Hai Muhamad’, aku menjawab dengan memalingkan wajahku dari kalian. Kalian lalu memanggil lagi ‘Hai Muhamad’. Akupun menjawab begitu lagi. Kemudian kalian berkata: ‘Hai Muhamad, Aku ini si Fulan bin Fulan’. Aku menjawab: ‘Tentang nasab kalian aku memang kenal, tetapi tentang amal kebajikan kalian aku tidak tahu. Kalian telah meninggalkan kitabullah, karena itu kalian kembali kepada kekerabatan (yang kalian andalkan) antara aku dan kalian’ “.
Diriwayatkan pula, bahwa saat itu Rasulallah saw menegaskan: “Diantara kalian, orang-orang yang memperoleh perlindunganku bukan- lah mereka yang berkata: ‘ayahku si Fulan’, tetapi diantara kalian yang memperoleh perlindunganku ialah mereka yang bertakwa siapa pun mereka itu dan bagaimana pun keadaan mereka”. }}
Jawaban atas pendapat Imam Turmudzi
Penafsiran dan pendapat Imam Turmudzi mengenai hadits diatas tentang ahlul-bait, ternyata memperoleh tanggapan dari para ulama yang lain diantaranya, Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam kitabnya Ashsyaraful Muabbad li Aal Muhamad, menuturkan:
Sementara jama’ah ahli hadits meriwayatkan sebuah hadits (hadits Safinah) yang diriwayatkan oleh banyak sahabat Nabi saw bahwasanya Rasulallah saw bersabda: ‘Ahlubaitku ditengah-tengah kalian ibarat bahtera Nuh. Barangsiapa menaikinya ia selamat, dan yang ketinggalan ia celaka (sumber riwayat lain mengatakan … ia tenggelam, dan sumber yang lainnya mengatakan.....ia digiring ke neraka)’.
- Abu Dzar Al-Ghifari berkata: Aku mendengar Rasulallah saw bersabda: “Jadikanlah ahlubaitku bagi kalian seperti kedudukan kepala bagi tubuh dan seperti kedudukan dua mata bagi kepala’”.
- Imam Al-Hakim meriwayatkan sebuah hadits yang dibenarkan oleh Bukhori dan Muslim: “‘Bintang-bintang adalah keselamatan bagi penghuni bumi dari (bahaya) tenggelam (didasar laut) dan ahlubaitku adalah keselamatan bagi ummatku dari perselisihan. Apabila ada kabilah Arab yang membelakangi ahlubaitku mereka akan berselisih kemudian mereka akan menjadi kelompok iblis’.
- Hadits yang lain dikemukakan juga oleh jama’ah ahli hadits, yaitu bahwasanya Rasulallah saw. bersabda: “Bintang-bintang adalah keselamatan bagi penghuni langit dan ahlubaitku adalah keselamatan bagi ummatku. (Menurut sumber riwayat lain keselamatan bagi penghuni bumi). Manakala ahlubaitku lenyap (binasa) maka yang dijanjikan dalam ayat-ayat Al-Qur’an akan tiba (yaitu bencana)”. Hadits seperti itu juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal: “Apabila bintang-bintang lenyap, lenyaplah penghuni langit dan apabila ahlul- baitku lenyap, lenyaplah penghuni bumi’.
Setelah mengemukakan hadits-hadits tersebut diatas An-Nabhani kemudian mengatakan: ‘Bagaimanapun juga ahlulbait Rasulallah dan keturunan beliau saw dipermukaan bumi ini merupakan sebab atau syarat bagi keselamatan umat manusia, dan pada khususnya merupakan syarat keselamatan ummat Muhammad saw. dari adzab/siksa neraka. Yang dimaksud oleh hadits itu bukan hanya khusus anggota keluarga yang sholeh saja. Sebab cirri kemuliaan yang ada pada unsur keturunan beliau saw sama sekali tidak tergantung pada sifat-sifat mereka’.
Sebagai dalil mengenai itu An-Nabhani menunjuk kepada pernyataan Ash-Shabban didalam kitabnya Is’afur Raghibin, yang mengata- kan bahwa pengertian tersebut diatas diperoleh dari isyarat yang terkandung dalam surat Al-Anfal: 33 : ‘Dan Allah sekali-kali tidak akan menyiksa mereka (orang-orang durhaka) sedang engkau berada ditengah-tengah mereka’. Sekali pun ayat itu ditujukan kepada Rasulallah saw, namun ahlulbait dan keturunan beliau dapat didudukkan pada tempat beliau, karena mereka itu berasal dari beliau dan beliau pun berasal atau senasab dengan mereka, sebagaimana yang di riwayatkan oleh beberapa hadits.
Kemudian An-Nabhani mengetengahkan sebuah hadits bahwa Rasulallah saw menegaskan: ‘Orang-orang pertama yang mengalami bencana adalah Quraisy, dan orang-orang Quraisy yang pertama mengalami bencana adalah ahlulbaitku..(riwayat lain mengatakan bukan bencana [halak] melainkan kepunahan [fana] dan bukan pula ahlulbaitku melainkan Bani Hasyim )’.
Para ahli syarah ilmu hadits, termasuk Al-manawi dan lain-lain menjelaskan makna hadits tersebut sebagai berikut: ‘Bencana yang menimpa mereka merupakan pertanda akan datangnya hari kiamat, sebab hari kiamat akan terjadi akibat perbuatan manusia-manusia jahat, sedangkan para keluarga keturunan Rasulallah saw adalah (keturunan) orang-orang baik’.
Menanggapi penjelasan Al-Manawi tersebut, An-Nabhani mengatakan: ‘Rasanya penjelasan Al-manawi itu dapat dijadikan tafsir bagi hadits tersebut diatas, bahkan lebih baik daripada penafsiran kami. Dengan demikian maka teranglah bahwa penafsiran Turmudzi tidak dapat diterima, yaitu penafsiran yang mengartikan dzurriyatu (keturunan) Rasulallah saw dengan abdal (orang-orang keramat) sebagai- mana yang terdapat didalam hadits dari imam ‘Ali bin Abi Thalib ra’.
– An-Nabhani menyanggah pernyataan Imam Turmudzi, ‘Bagaimana bisa dibayangkan bahwa dengan lenyapnya ahlulbait dari muka bumi ini maka tidak akan ada lagi seorangpun dari ummat Muhammad yang tinggal? Padahal jumlah ummat Muhamad jauh lebih banyak dan Allah selalu melindungi mereka dengan berkah dan rahmat-Nya’ !
An-Nabhani menjawab: ‘Tidak ada halangan dan tidak ada salahnya jika orang membayangkan hal sedemikian itu. Lebih-lebih karena Rasulallah saw sendiri telah menegaskan: ‘Orang-orang pertama yang mengalami bencana adalah Quraisy dan orang-orang Quraisy yang pertama mengalami bencana adalah ahlul-baitku’. Hadits ini merupakan salah satu petunjuk tentang rahmat yang dilimpahkan Allah swt kepada keluarga dan keturunan Rasulallah saw’.
– An-Nabhani menyanggah penafsiran Imam Turmudzi tentang hadits yang mengatakan: ‘Semua sebab dan nasab akan terputus kecuali sebab dan nasabku’. An-Nabhani berkata: ‘Kata putus (dalam hadits ini) tidak berarti kepunahan atau kebinasaan keturunan Rasulallah saw. Itu hanya dikhususkan pada saat terjadinya hari kiamat, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits-hadits shohih. Kata putus juga berarti nasab (silsilah) tidak bermanfaat, sebagaimana ditegaskan Allah swt dalam surat Al-Mu’minun:101: ‘Maka tiada lagi hubungan nasab diantara mereka pada hari itu’.
Hanya Rasulallah saw sajalah yang memperoleh pengecualian (kekhususan) dalam hal sebab (melalui pernikahan) dan dalam hal nasab (melalui keturunan). Bagi beliau saw kemanfaatan sebab dan nasab tetap berkesinambungan baik didunia maupun diakhirat. Hal itu diperkuat (dalam hadits lainnya) oleh Rasulallah saw yang diucapkan dari atas mimbar: ‘Mengapa sampai ada orang-orang yang mengatakan, bahwa kekerabatan Rasulallah saw tidak bermanfaat pada hari kiamat? Ya (pasti)..kekerabatanku berksinambungan di dunia dan akhirat’.
– Terhadap uraian Imam Turmudzi yang mengatakan: ‘Bahwa Bani Hasyim dan Bani ‘Abdul Mutthalib bukan merupakan syarat bagi keselamatan ummat Muhamad saw dan bukan pula merupakan orang-orang yang akan mengakibatkan lenyapnya dunia bila mereka lenyap’.
An-Nabhani menjawab: ‘Yang diartikan mereka itu syarat bagi keselamatan umat ini, bahkan penghuni bumi ini, ialah bahwa dengan masih adanya mereka didunia berarti saat kepunahan dunia ini belum tiba. Bila mereka telah punah, maka penghuni bumi ini akan menyaksikan apa yang telah dijanjikan Allah dalam Al-Qur’an tentang tibanya hari kiamat dan kepunahan dunia ini’.
– Terhadap uraian Imam Turmudzi yang mengatakan: ‘Diantara mereka (keturunan Rasulallah saw) juga terdapat kerusakan (fasad) seperti yang terdapat didalam golongan-golongan dan ada pula yang berlaku buruk. Jadi, bagaimana dapat dikatakan bahwa mereka itu syarat bagi keselamatan ummat ini dan penghuni bumi ?’.
An-Nabhani menjawab: ‘Mereka (keturunan Rasulallah saw) menjadi syarat bagi keselamatan ummat ini dan penghuni bumi ini bukan karena amal kebajikan mereka, melainkan karena mereka itu adalah unsur suci kenabian yaitu suatu anugerah yang dikhususkan Allah bagi mereka sejak asal. Mereka dianugerahi keistemewaan itu ialah Rahmat Allah yang dilimpahkan kepada mereka sebagai anggota-anggota ahlulbait Rasulallah saw. Ditengah-tengah mereka Allah menurunkan wahyu-Nya. Dalam hal-hal seperti itu mereka tidak mungkin dapat disamakan dengan orang lain (selain anggota ahlulbait)’.
– Terhadap uraian Imam Turmudzi yang mengatakan: ‘Dibumi ini ada yang lebih mulia daripada keturunan Rasulallah saw yaitu Al-Qur’an, sekali pun hal itu tidak disebut dalam hadits yang bersangkutan’.
An-Nabhani menjawab: ‘Tidak ada keharusan bagi Rasulallah saw untuk menyebut didalam sebuah hadits (tentang) kemuliaan anak cucu keturunan beliau bersama-sama dengan kemuliaan Al-Qur’an, walau pun jelas bahwa kemuliaan Kitabullah Al-Qur’an jauh lebih besar daripada kemuliaan keturunan Rasulallah saw. Walaupun hal itu bukan merupakan keharusan, namun beliau menyebut kedua-duanya itu dalam hadits Tsaqalain (lihat kalimat haditsnya pada halaman sebelumnya). Lagi pula diantara ahlulbait Rasulallah saw tidak ada seorangpun yang mengaku dirinya lebih mulia atau sejajar dengan Kitabullah, dan mereka pun tidak beranggapan bahwa kemulia- an Kitabullah itu disebabkan adanya keistemewaan yang ada pada diri mereka (ahlulbait)’.
Kitabullah menjelang hari kiamat pun akan diangkat. Ibnu Mas’ud ra mengatakan: “Bacalah Al-Qur’an sebelum diangkat! Hari kiamat akan terjadi dekat sebelum Al-Qur’an diangkat’! Seorang sahabat bertanya: ‘Hai Abu Abdur- Rahman (panggilan Ibnu Mas’ud), bagaimanakah arti Kitabullah akan diangkat, padahal itu telah menetap didalam dada dan dilembaran-lembaran mushaf kita’? Ibnu Mas’ud menjawab: ‘Kitabullah memang tetap didalam dada, tetapi tidak di-ingat dan dibaca orang’ “.Tidak diragukan lagi bahwa Ibnu Mas’ud tidak berkata menurut pendapatnya sendiri, karena persoalan itu berada diluar pikiran orang. Dari keterangannya itu jelaslah bahwa Kitabullah menjadi syarat bagi keselamatan ummat manusia. Selama Kitabullah masih berada ditengah-tengah ummat manusia, dunia ini tidak akan dimusnahkan Allah. Mengenai keturunan suci Rasulallah saw tidak boleh diberi penilaian lebih dari apa yang telah kami terangkan.
– Mengenai penegasan Imam Turmudzi bahwa ‘kemuliaan hanya ada pada para ahli taqwa’ berdasarkan dalil sebuah hadits yang meriwayatkan kedatangan Rasulallah saw dikediaman (Siti) Fathimah ra disaat Shafiyyah (bibi beliau) berada ditempat itu, kemudian Rasulallah saw bersabda: “Hai Bani ‘Abdu- Manaf, hai Bani ‘Abdul Mutthalib, hai Fathimah binti Muhammad, hai Shofiyyah…....dan seterusnya (baca hadits terdahulu)”.
An-Nabhani memberi tanggapan atas penegasan Imam Turmudzi ini, sebagai berikut:
Mengenai soal itu Al-Muhib Ath-Thabrani telah memberikan jawaban meyakinkan, yang kemudian dikutip oleh Al-Manawi dalam kitab Al-Kabir dan oleh Ash-Shabban dalam kitab Is’afur-Raghibin. Jawaban tersebut mengatakan: “Benarlah bahwa Rasulallah saw tidak mempunyai apa-apa yang (bisa) mendatangkan manfaat dan madharat (yang telah ditimpakan oleh Allah swt) bagi orang lain, hanya Allah sajalah yang memiliki hal itu. Namun, dengan kekuasaan-Nya Allah membuat Rasul-Nya bermanfaat bagi kaum kerabatnya, bahkan bagi semua ummatnya, berupa syafa’at khusus dan umum. Beliau saw tidak mempunyai suatu apa pun selain yang dikarunia- kan Allah kepadanya, yaitu seperti yang ditunjukkan oleh sebuah hadits Al-Bukhori mengenai sabda beliau: ‘Kalian –yang pria maupun yang wanita– mempunyai hubungan silaturrohmi (denganku), yang akan kusambung hubungannya..’.
Demikian pula makna ucapan Rasulallah saw : ‘Dihadirat Allah aku tidak berguna apa pun bagi kalian’. Maknanya (hadits itu) ialah: ‘Kalau hanya diriku sendiri tanpa anugerah syafa’at dan ampunan yang dilimpahkan Allah kepada-ku, aku tidak dapat memberikan manfaat apapun kepada kalian‘. Rasulallah saw menyatakan demikian itu untuk memperingatkan mereka agar banyak berbuat kebajikan, dan agar mereka memperoleh rahmat Allah karena kebesaran takwanya masing-masing”.
Ash-Shabban mengatakan: “Konon hadits tersebut diatas diucapkan oleh Rasulallah saw sebelum beliau diberitahu Allah mengenai manfaatnya bernasab kepada beliau. Akan tetapi tampaknya bahasa Arab kurang membantu At-Turmudzi dalam menafsirkan hadits-hadits tentang ahlulbait. Adakah orang yang mengartikan ahlulbait dengan orang-orang keramat (abdal)? Demi Allah tidak ada! Tidak ada seorang pun yang mendengar kata ahlulbaitku dari Rasulallah saw lalu ia memahaminya dengan makna selain ahlulbait yang bernasab kepada beliau saw. Memang hanya itu sajalah makna ahlul baitku dalam bahasa Arab, bahasa beliau saw sendiri! Mengenai orang-orang keramat, kemanfaatan mereka bagi kita, atau mengenai ketinggian derajat mereka dan dekatnya mereka itu dengan Allah dan Rasul-Nya, tak ada seorang Muslim pun yang meragukannya. Namun orang-orang keramat itu sendiri tentu merasa tidak senang jika diberi perhiasan yang diambilkan dari keluarga atau dari keturunan orang yang paling mereka cintai, yaitu Rasulallah saw.
Saya yakin –demikian kata Ash-Shabban lebih jauh– bahwa Imam Al- Hakim At-Turmudzi sendiri termasuk salah seorang keramat terkemuka. Karena itu saya berani memastikan bahwa uraiannya (mengenai ahlulbait) yang ditulis dalam kitabnya itu mengandung salah satu dari dua kemungkinan:
Pertama; –dan ini yang paling besar kemungkinannya– tulisan tersebut dipalsukan oleh orang yang dengki kepadanya (Turmudzi) dan kepada ahlulbait Rasulallah saw. Hal seperti itu sering dialami oleh para ulama dan orang-orang keramat lainnya, seperti Syeikh Al-Akbar Sidi Muhyiddin bin Al ‘Arabi, Syeikh ‘Abdul Wahhab Asy-Sya’rani dan lain lain….
Kedua; Imam Turmudzi pernah bergaul dekat dengan orang-orang ekstrim Syiah yang berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan (sampai-sampai mengkultuskan) ahlulbait Rasulallah saw, sehingga mereka sesat karena tidak mau mempercayai kejujuran para sahabat Nabi saw terutama Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. dan ‘Umar Ibnul Khattab ra. Dengan uraiannya itu mungkin Turmudzi hendak mengecam mereka, dan itu tampak jelas pada rumus-rumus kalimat yang dipergunakan olehnya. Kecaman itu dituangkan olehnya dalam uraian mengenai ahlulbait, tetapi bersamaan dengan itu ia tetap mencintai Ahlulbait dan memberikan penilaian yang baik serta tetap mengakui kemuliaan dan keistemewaan mereka (ahlul-bait)”.
Demikianlah jawaban An-Nabhani tentang penafsiran At-Turmudzi mengenai Ahlulbait/ keturunan Rasulallah saw.
– Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al-‘Aqidatul-Washiyyah memberi tanggapan atas penafsiran Imam Turmudzi tentang makna hadits tsaqalain –'Dua-duanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku diHaudh, dan sesuatu yang jika kalian berpegang teguh kepadanya kalian tidak akan sesat’–, tidak hanya berlaku bagi para Imam atau orang-orang terkemuka dari keluarga keturunan Rasulallah saw saja, melainkan berlaku juga bagi semua orang yang berasal dari eluarga keturunan beliau saw, baik yang awam mau pun yang khawash, yang menjadi imam maupun yang tidak.
Pernyataan Rasulallah saw yang menegaskan; ‘Dua-duanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Haudh’ tidak mengandung makna, bahwa mereka (keluarga Nabi saw) itu harus sanggup melaksanakan semua ketentuan yang telah ditetapkan dalam Kitabullah, sehingga Turmudzi mengatakan,bahwa diantara mereka itu ada orang-orang berbuat buruk atau orang yang amalan baiknya bercampur-aduk dengan amalan buruknya..’ dan seterusnya. Pernyataan Rasulallah saw itu adalah dorongan supaya orang menghormati mereka, dan merupakan berita menggembirakan bahwa mereka itu tidak akan meninggalkan agama Islam (wafat dalam kekafiran) hingga saat mereka memasuki surga (haudh) dengan selamat. Itulah makna pernyataan Rasulallah saw bahwa mereka itu tidak akan berpisah dari Kitabullah hingga saat mereka kembali kepada beliau di surga kelak…
Sebagaimana telah saya (Ibnu Taimiyah) katakan, makna ‘noda’ atau ‘kotoran’ (ar-rijsa) dalam ayat (Al-Ahzab:33) tersebut diatas, mencakup segala macam dosa dan kesalahan lainnya, dan yang paling buruk ialah ‘kufur’ (mati dalam kekafiran). Orang-orang dari keluarga keturunan Rasulallah saw adalah orang-orang yang telah disucikan langsung oleh Allah swt, dalam hal keteguhan berpegang pada agama Islam mereka itu tidak akan goyah atau tergelincir.. (tidak sampai wafat dalam kekafiran--pen).
Mungkin orang ingin berkata kepada kami: ‘Dalil itu tidak dapat diterima oleh Turmudzi, karena ia berpendapat bahwa surat Al-Ahzab:33 ditujukan khusus kepada para isteri Rasulallah saw… Kami menjawab: Benar, sekali pun ia berpendapat seperti itu, namun telah nyata terdapat pembuktian kuat, bahwasanya Rasulallah saw pernah memanggil ‘Ali bin Abi Thalib, (Siti) Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain –radhiyallahu ‘anhum– kemudian beliau saw membacakan surat Al-Ahzab:33…(ditambah dalil kuat lainnya adalah hadits Al-Kisa--pen.). Turmudzi sendiri dalam penjelasannya mengatakan, bahwa ‘keturunan mereka (ahlul-bait) memang termasuk dalam lingkungan ahlul-bait, karena itu mereka adalah orang-orang shafwah (suci)’. Dikatakan juga olehnya: ‘ Hal itu dilakukan oleh Rasulallah saw setelah ayat 33 S. Al-Ahzab turun, karena beliau saw ingin memasukkan mereka kedalam makna ayat tersebut’.
Dengan keterangan seperti ini berarti Turmudzi sendiri yakin bahwa Rasulallah saw pernah memanggil Ali bin Abi Thalib, (Siti) Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain –radhiyallahu ‘anhum– dan mereka telah memenuhi panggilan beliau itu dan mendengarkan beliau saw membacakan ayat tersebut didepan mereka. Dengan demikian jelaslah, bahwa mereka termasuk dalam makna ayat tersebut. Jadi, pada hakikatnya keterangan Turmudzi itu sama dengan pendapat para ulama yang lain (yaitu orang lima ini termasuk yang dimaksud dalam surat Al-Ahzab:33--pen.). Mengenai tidak akan terpisahnya mereka (keluarga keturunan Rasulallah saw) dari Kitabullah, bermakna bahwa mereka itu tidak akan menyeleweng (keluar) dari agama Islam hingga saat mereka kembali kepada Rasulallah saw disurga. Makna tersebut diperkuat dalilnya oleh Firman Allah dalam surat Adh-Dhuha:5: ‘Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu sehingga engkau (Muhamad) menjadi puas”.
Al-Qurthubi dalam tafsir-nya yang dikutip dari Ibnu ‘Abbas ra, mengatakan: ‘Kepuasan Muhamad Rasulallah saw ialah karena tidak ada seorangpun dari ahlubaitnya yang akan masuk neraka’. Dalil-dalil hadits mengenai hal itu banyak sekali, antara lain sabda Rasulallah saw: “Fathimah telah sungguh-sungguh menjaga kesucian dirinya. Karena itu ia dan keturunannya dihindarkan Allah dari siksa neraka” (Al-Hakim menegaskan bahwa hadits ini shohih). Dalil hadits lainnya berasal dari ‘Imran bin Hashin ra. Ia mengatakan bahwa Rasulallah saw pernah bersabda: “Aku telah mohon kepada Tuhanku supaya tidak memasukkan seorangpun dari keluargaku (ahlubaitku) ke dalam neraka, dan Dia mengabulkan permohonanku “.
– Penafsiran Imam Turmudzi bahwa ‘hadits tsaqalain hanya berlaku bagi para Imam dan orang-orang terkemuka dari golongan Ahlul- bait’, Ibnu Taimiyyah mengetengahkan riwayat hadits yang berasal dari Zaid bin Arqam, yaitu: “…Kutinggalkan kepada kalian dua bekal. Yang pertama ialah Kitabullah, didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang….. dan ahlu-baitku...sampai akhir hadits (silahkan rujuk kembali haditsnya)”. Dari hadits ini kita dapat mengetahui bahwa Rasulallah saw pertama-pertama mengkhususkan pesan beliau supaya kaum muslimin berpegang teguh pada petunjuk dan hidayat Kitabullah Al-Qur’anul-Karim. Hikmah mengenai hal itu beliau menyebutnya dengan kata-kata ‘didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang’. Setelah itu barulah beliau menyebut ahlul-bait (keluarga, keturunan) dengan ucapan “kalian kuingatkan kepada Allah mengenai ahlu-baitku”. Pesan beliau itu diucapkan dua kali untuk lebih menekankan perlunya memelihara hak-hak mereka sebagai keluarga keturunan beliau saw.
Dalam pesan beliau itu samasekali tidak terdapat pengistemewaan yang seseorang daripada yang lain diantara semua keluarga ahlul-bait. Jelaslah kiranya, bahwa yang dimaksud dengan keluarga keturunan Rasulallah saw atau ahlul-bait ialah mereka semua yang di haramkan menerima shodaqah atau zakat, sebagaimana yang dikatakan oleh Zaid bin Arqam dalam hadits Tsaqalain. Oleh Rasulallah saw mereka itu disebut secara ber-iringan dengan penyebutan Kitabullah. Sudah pasti itu bermaksud menghormati kedudukan mereka, dan untuk menekankan wasiat beliau, agar hak-hak mereka dipelihara sebaik-baiknya oleh kaum muslimin.
– Ibnu Taimiyyah merasa aneh dan heran mengenai uraian imam Turmudzi yaitu kalimat yang berbunyi: ‘Apabila orang-orang yang tidak seunsur atau seasal keturunan dengan mereka (keluarga keturunan ahlulbait) benar-benar menguasai ilmu-ilmu agama secara mendalam, maka kita pun wajib berteladan kepada mereka, sama seperti kita berteladan kepada orang-orang (imam-imam) terkemuka yang berasal keturunan Rasulallah saw’.
Perumusan Turmudzi kalimat seperti itu oleh Ibnu Taimiyyah dianggap menarik garis persamaan antara keluarga keturunan Rasulallah saw dan orang-orang dari unsur lain yang bukan keluarga keturunan Rasulallah saw. Jadi, tidak ada keistemewaan apapun pada orang-orang keturunan Rasulallah saw. Yang dipandang oleh Turmudzi sebagai ciri istemewa ialah ‘kedalaman ilmu’ yang ada pada orang-orang keluarga keturunan Rasulallah saw. Dengan demikian maka yang diartikan ‘itrah’ dan ‘ahlul-bait’ (dalam hadits Nabi saw) ,menurut Turmudzi, bukan lain hanyalah para ulama, para imam dan para ahli fiqih dikalangan ummah Islam! Benarkah itu yang dimaksud oleh Rasulallah? Tentu Tidak!
Yang dimaksud oleh Rasulallah saw ialah keluarga keturunan dan kaum kerabat, tidak pandang apakah mereka itu imam, ulama atau bukan. Mengenai para ahli fiqih, para ulama dan para imam, mereka itu memang teladan bagi ummat Islam dan merupakan pelita yang menerangi kegelapan. Akan tetapi itu tidak berarti bahwa mereka itu keluarga keturunan Rasulallah saw. Para ulama, para ahli fiqih dan para imam itu justru orang-orang yang paling pertama berkewajiban mengindahkan wasiat Nabi saw, yakni secara umum mereka itu wajib menghormati kedudukan dan memelihara hak-hak keluarga keturunan Rasulallah saw. dengan sebaik-baiknya”.
Demikianlah sanggahan Ibnu Taimiyyah atas pendapat Imam Turmudzi.
Dengan adanya keterangan tadi, jelas bagi kita bahwa para ulama –antara lain Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam kitabnya Ashsyaraful Muabbad li Aal Muhammad dan Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al-‘Aqidatul-Washiy– menyanggah pendapat Imam Turmudzi tersebut diatas. Apa yang dikatakan Imam Turmudzi dalam Nawadirul-Ushul itu perlu dihargai. Tetapi sayangnya beliau ini tidak mengemukakan hujjah atau dalil bahwa yang dimaksud oleh Rasulallah saw dalam hadits Tsaqalain, hadits Safinah itu ialah sebagaimana yang beliau kemukakan tadi. Imam Turmudzi ini membatasi makna itrah (keluarga keturunan) yang terdapat dalam kalimat hadits tersebut hanya kepada para pemuka atau imam-imam yang terdiri dari keturunan Rasulallah saw saja, berdasarkan pemikiran beliau sendiri dari segi dan istilah bahasa atau dari bidang ilmu atau ketaqwaan. Padahal kalau kita teliti dan baca, banyak wasiat Rasulallah saw –mengenai ahlulbait dan keturunannya– umpama dalam hadits-hadits shohih yang telah di kemukakan tadi, disitu beliau saw menegaskan agar umatnya menghormati, memuliakan dan mendahulukan semua ahlul-bait dan keturunannya –tidak memandang apakah diantara mereka ini seorang imam atau awam, ada yang baik atau ada yang buruk– karena didalam hadits-hadits itu tidak adanya isyarat hanya berlaku untuk para imam, para ahli taqwa dari ahlul-baitnya.
Para imam yang menyanggah pendapat Imam Turmudzi merasa heran dan belum percaya kalau hal itu diucapkan oleh Imam Turmudzi sendiri, karena pendapatnya tidak sejalan dengan makna ayat Ilahi dan hadits Rasulallah saw yang berkaitan dengan ‘itrah ahlul-bait beliau saw. Maka dari itu Ash-Shabban sendiri berani mengatakan uraian Imam Al-Hakim At-Turmudzi yang ditulis dalam kitabnya itu mengandung salah satu dari dua kemungkinan:
Pertama; –dan ini yang paling besar kemungkinannya– tulisan tersebut di palsukan oleh orang yang dengki kepadanya (Turmudzi) dan kepada ahlul- bait Rasulallah saw. Hal seperti itu sering dialami oleh para ulama dan orang-orang keramat lainnya, seperti Syeikh Al-Akbar Sidi Muhyiddin bin Al- ‘Arabi, Syeikh ‘Abdul Wahhab Asy-Sya’rani dan lain lain.
Kedua; Imam Turmudzi pernah bergaul dekat dengan orang-orang ekstrim Syiah yang berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan sampai-sampai meng- kultuskan ahlulbait Rasulallah saw. Dengan uraiannya itu mungkin Imam Turmudzi hendak mengecam mereka, dan itu tampak jelas pada rumus kalimat yang di pergunakan olehnya!
Lepas dari penafsiran diatas, jelas Allah swt dalam firman-firmanNya –baik untuk ahlulbait Rasulallah saw (Al-Ahzab: 33 dan lain-lain) maupun untuk para sahabat beliau saw (Al-Fath:18, At-Taubah:100 dan lain-lain)– tersebut menunjukkan kemuliaan dan penilaian tinggi yang diberikan oleh Allah swt kepada mereka. Namun sebagai manusia, para ahlulbait dan keturunan Rasulallah saw adalah sama dengan para sahabat Nabi saw serta keturunannya, yakni bisa berbuat kesalahan. Mereka ini bisa saja berbuat suatu kekeliruan atau terkena dosa, karena bukan orang-orang ma’shum, yakni yang terpelihara dari kemungkinan berbuat kekeliruan. Orang-orang yang ma’shum –menurut ahlus sunnah wal jama’ah– hanyalah para Nabi dan Rasul, sebagai pembawa syari’at Ilahi dan hukum-hukum-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia. Betapa pun tingginya martabat, keutamaan (fadha’il) dan ketakwaan mereka (keluarga keturunan Nabi saw dan para sahabat), sebagai manusia mereka tetap menghadapi kemungkinan berbuat kekeliruan. Bisa saja terjadi suatu perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang sahabat yang tidak menyenangkan ahlulbait Rasulallah saw dan sebaliknya. Hal itu bukan merupakan kejadian aneh, karena setiap manusia ,selain Rasulallah saw, dapat saja berbuat kekeliruan dan kesalahan, karena mereka itu bukan orang-orang yang ma’shum (dihindarkan dari dosa).
Kita kaum muslimin wajib melaksanakan wasiat Nabi saw yaitu mencintai dua golongan tersebut –ahlulbait, keturunan Nabi saw khususnya dan para sahabat Nabi saw– agar kita Insya Allah dapat memperoleh kebajikan didunia dan akhirat. Kita wajib memandang mereka semua dengan sikap yang adil, mengingat jasa-jasa yang telah mereka berikan kepada agama Islam dan kepada umat Islam. Pandangan kita terhadap mereka semua harus bertitik tolak pada keinginan memperoleh keridhoan Allah dan Rasul-Nya. Kita harus menjauhkan dari hati dan pikiran kecenderung- an nafsu berpihak kepada yang satu dan mengecam yang lain. Orang yang berpikiran sehat tidak akan membiarkan dirinya tercekam oleh pikiran dan perasaan yang tidak selaras dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah saw.
Dalil-dalil atau hujjah-hujjah baik yang berupa ayat Al-Qur’an, hadits mau pun contoh yang telah diberikan oleh para sahabat Nabi saw dan para imam –baik yang tercantum atau tidak tercantum diwebsite ini–, kiranya itu cukup meyakin kan bagi setiap muslim yang mendambakan keridho- an Allah dan Rasul-Nya. Setiap muslim, apa pun madzhab dan aliran yang dianutnya, tentu menyadari bahwa hakikat ajaran agama Islam ialah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, taat kepada kedua-duanya dan patuh melaksanakan semua perintahnya.
Berbicara tentang keridhoan Allah dan Rasul-Nya, yang pokok pertama adalah keridhoan Allah, sedang keridhoan Rasulallah saw adalah kesinambungan dari keridhoan Allah swt. Tiap perbuatan yang diridhoi Allah pasti diridhoi oleh Rasul-Nya, tiap perbuatan yang dimurkai Allah pasti dimurkai pula oleh Rasul-Nya. Demikian juga sebaliknya, Allah ridho terhadap apa yang diridhoi oleh Rasul-Nya, dan murka terhadap apa yang dimurkai oleh Rasul-Nya. Jadi ke dua-duanya tidak dapat dipisahkan! Tidak mungkin seorang beriman taat melaksanakan perintah Allah tanpa melaksanakan perintah Rasul-Nya, dan tidak mungkin pula orang taat melaksanakan perintah Rasulallah saw tanpa mentaati perintah Allah swt. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’anul Karim antara lain: “Barangsiapa taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah”. (An-Nisa :80). Dan firman-Nya: “..Dan Allah beserta Rasul-Nya itulah yang lebih berhak didambakan keridhoan-Nya”.(An-Nisa:136). Masih banyak lagi ayat Al-Qur’an yang semakna dengan ayat-ayat diatas ini.
Sekali pun yang terpokok adalah iman kepada Allah swt, namun iman kepada Rasul-Nya sama sekali tidak boleh dipisahkan dari iman kepada Allah. Atas dasar ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulallah saw itu –menurut pengertian yang benar– kita harus menjaga kehormatan dan memelihara hak-hak semua ahlulbait dan keturunan Rasulallah saw sebagaimana yang beliau saw wasiatkan dalam hadits Tsaqalain dan lain-lainnya. Begitu juga kita harus menghormati dan mencintai para sahabat beliau saw. Itu merupakan kewajiban umat Islam dalam rangka melaksanakan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya!
Insya Allah buat kita sudah jelas dengan adanya firman Allah swt, hadits-hadits serta wejangan para ulama tadi, membuktikan bahwa keturunan Nabi saw itu masih tetap ada sampai akhir zaman. Riwayat-riwayat tersebut telah diperkuat oleh perawi-perawi yang bisa dipercaya. Dengan demikian cukuplah jelas bagi kita bahwa Itratur-Rasul (keturunan Rasulallah saw) akan senantiasa berada ditengah umat manusia sepanjang masa, selama Allah swt menghendakinya hingga hari kiamat kelak. Juga dengan berdasarkan dalil-dalil tersebut diantaranya; –”Kutinggalkan kepada kalian dua peninggalan, Kitabullah sebagai tali yang terbentang antara langit dan bumi, dan keturunanku ahlulbaitku. Sesungguhnya kedua-duanya itu tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Haudh”– menunjukkan dan menerangkan dengan jelas adanya kaitan antara Kitabullah Al-Qur’anul-Karim dengan keturunan dan ahlu-bait beliau saw. Pertama, adalah kaitan kelestarian bersama antara yang satu dengan yang lain yakni antara Kitabullah dan ‘ithrah (keturunan, ahlu-bait) Rasulallah saw. Kedua, kaitan antara Kitabullah dan keturunan beliau saw yang kedua-duanya akan kembali (pertanggung- jawabannya) kepada Rasulallah saw di akhirat kelak. Kaitan ini begitu erat sehingga beliau saw menyatakan ‘tidak akan berpisah’ hingga saat kedua-duanya kembali kepada beliau di surga yakni hingga hari kiamat kelak.
Al-Qur’anul Karim akan kekal dan akan kekal pula hukumnya serta bukti kebenarannya diatas permukaan bumi sampai hari kiamat, dan ahlul-Baitnya adalah patner Al-Qur’an yang senantiasa berdamping dengannya, kedua-duanya tidak akan terpisah sampai hari kiamat. Semua itu menunjukkan bahwa keturunan Rasulallah saw senantiasa akan dikenal dan dipercayai sampai hari kiamat, sebagaimana Al-Qur’an yang dipercayai, karena keduanya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan”. Dengan perkataan lain adalah: “Selama Al-Qur’an masih terdapat di muka bumi (tertulis maupun terhafal) selama itu pula ‘ithrah (keturunan) Rasulallah saw akan tetap ada di dunia, dan sebaliknya: Selama masih terdapat keturunan Rasulallah saw dimuka bumi ini, Kitabullah Al-Qur’an akan tetap ada didunia”! Akan sia-sialah golongan pengingkar atau penuduh yang mengatakan bahwa keturunan Nabi saw sudah punah/putus dan belum konkrit, omongan mereka ini sama sekali tidak didasari oleh dalil –walaupun hanya satu dalil–, tidak lain hanya berdasarkan kedangkalan ilmu agama atau kedengkian, kehasutan terhadap keturunan yang mulia tersebut, yang dikaruniakan oleh Allah swt.
Sebagaimana yang telah kami kemukakan diwebsite ini, bahwa memandang ahlulbait dan keturunan Rasulallah saw sebagai keturunan yang mulia sama sekali tidak mengurangi makna atau arti firman Allah swt dalam surat Al-Hujurat:13, dan tidak pula mengurangi makna sabda Rasulallah saw yang mengatakan: “Tiada kelebihan bagi orang Arab atas orang bukan Arab (‘Ajam), dan tiada kelebihan bagi orang bukan Arab atas orang Arab kecuali karena takwa”. Firman Allah dan hadits Rasulallah saw yang terakhir diatas ini tidak ber tentangan dengan surat Al-Ahzab : 33 yang menegaskan: “Sesungguhnya Allah hendak menghapuskan noda dan kotoran (ar-rijsa) dari kalian, ahlul-bait, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya”.
Sekali lagi, fadhilah dzatiyyah (keutamaan dzat) yang dikaruniakan Allah kepada para keturunan Rasulallah saw sama sekali tidak lepas dari rasa tanggung jawab mereka yang lebih berat dan lebih besar daripada yang harus dipikul orang lain. Mereka ini harus selalu menyadari kedudukannya ditengah-tengah umat Islam. Mereka wajib menjaga diri dari ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan dan sikap yang dapat mencemarkan kemuliaan keturunan Rasulallah saw. Mereka wajib pula menyadari tanggung-jawabnya yang lebih besar atas citra Islam dan umatnya. Dengan demikian maka kewajiban menghormati mereka yang dibebankan oleh syari’at kepada kaum muslimin dapat terwujud dengan sebaik-baiknya. Tidak akan ada kesan bahwa para keturunan Rasulallah saw menonjol-nonjolkan diri menuntut penghormatan dari orang lain, karena kaum muslimin yang menghayati syari’at Islam pasti menempatkan mereka pada ke dudukan sebagaimana yang telah menjadi ketentuan syari’at. Kedudukan mereka perlu dipahami oleh kaum muslimin, terutama oleh orang-orang keturunan Ahlul Bait sendiri sebagai pihak yang paling berkewajiban menjaga martabat Rasul saw dan Ahlul Bait beliau.
Begitu juga suatu kesalahan atau kekeliruan tidak akan disorot oleh masyarakat setajam kesalahan atau kekeliruan yang diperbuat oleh orang-orang keturunan Ahlul-Bait. Apalagi pandangan masyarakat yang dengki atau tidak senang dengan Ahlul-Bait, mereka ini akan lebih memperuncing dan mempertajam kesalahan dan kekeliruan yang diperbuat oleh orang keturunan Ahlul-Bait. Keturunan ahlul-Bait adalah manusia biasa ,bukan manusia yang maksum, bisa saja berbuat dosa atau menjalani amalan yang fasiq. Janganlah dengan adanya perbuatan fasiq, yang dilakukan keturunan Nabi saw itu, langsung kita merendahkan, tidak mengakui nasabnya atau meniadakan wujudnya keturunan Rasulallah saw, yang boleh kita cela adalah perbuatannya yang fasiq tersebut.
Dengan demikian orang yang mencela nasabnya –baik sadar maupun tidak sadar– telah membantah dan menentang riwayat-riwayat hadits Nabi saw yang berkaitan dengan keutamaan nasab beliau saw serta masih wujudnya keturunan beliau saw dan sebagainya.
Al-’Allamah Ibnu Hajar dalam kitabnya Ash-Shawaiqul-Muhriqah menerangkan sebagai berikut: “Barangsiapa mengganggu salah seorang putera (Siti) Fathimah, ia akan menghadapi bahaya karena perbuatannya itu membuat marah (Siti) Fathimah ra. Sebaliknya, barang siapa mencintai putera-putera (termasuk keturunannya), ia akan memperoleh keridhoannya. Para ulama Khawash (para ulama yang mempunyai keistemewaan khusus) merasa didalam hatinya terdapat keistemewaan yang sempurna karena kecintaan mereka kepada Rasulallah saw, ahlul-bait serta keturunannya atas dasar pengertian, bahwa ahlul-bait dan keturunan beliau saw adalah orang-orang yang dimulia kan oleh Allah swt. Selain itu mereka (para ulama khawash) juga mencintai anak-anak (keturunan) sepuluh orang sahabat Nabi saw yang telah dijanjikan masuk surga, disamping itu mereka (para ulama khawash) juga mencintai anak-anak keturunan para sahabat Nabi yang lain. Mereka memandang semua keturunan sahabat Nabi sebagaimana mereka memandang para orang tua mereka.
Selanjutnya Ibnu Hajar mengatakan: ‘Orang harus menahan diri jangan sampai mengecam mereka (ahlul-bait dan keturunan Rasulallah saw). Jika ada seorang diantara mereka yang berbuat fasik berupa bid’ah atau lainnya, yang harus dikecam hanyalah perbuatannya, bukan dzatnya, karena dzatnya itu merupakan bagian dari Rasulallah saw, sekali pun antara dzat beliau dan dzat orang itu terdapat perantara (wasa’ith)”.
Kami sayangkan masih ada orang muslimin yang ekstrem, yang sering mencaci maki sampai-sampai melaknat dan mengkafirkan para sahabat Rasulallah saw, mencaci-maki sesama muslimin, padahal para imam –terutama para imam dari golongan ahlul-bait Rasulallah saw– tidak pernah mencaci maki umat muslimin, walaupun terhadap golongan muslimin yang pernah mencaci mereka. Para imam dari ahlul-bait Rasulallah saw (antara lain Imam Ali, Siti Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain, Imam Ali Zainal Abidin..dan lainnya [ra] selalu menjaga mata, mulut, telinga dan semua organ tubuhnya dari perbuatan-perbuatan keji yang bisa mengakibatkan murka Allah dan Rasul-Nya. Alangkah baiknya kalau orang-orang ekstrem ini meniru akhlak para imam yang sangat tinggi itu dan tidak meniru kepada golongan muslimin yang sering caci mencaci para sahabat Rasulallah saw. Akhlak yang baik inilah yang diajarkan dan diamalkan oleh junjungan kita Muhamad saw dan para ahlul-baitnya.
Diantara golongan ekstrim ini -dari fanatiknya kepada imam mereka- ada yang tidak mau mendengar nama sebagian sahabat yang disebut, umpama khalifah Abubakar, khalifah Umar bin Khattab -radhiyallahu ‘anhuma-, apalagi memberi nama anak-anak mereka yang sama dengan nama dua khalifah ini. Padahal kalau kita teliti dalam sejarah, diantara anak-anak Imam Ali kw -yang bukan dari Siti Fathimah ra- ada yang diberi nama Abubakar, Umar dan Utsman.
Seorang ulama yang bernama Syeikh Syarafuddin al-Musawi, dalam kitab Dialog Sunnah-Syi’ah (Al-Muroja’at) cet.1 th.1983 hal.119 dan hal.122 ,terjemahan Indonesia, telah menyebutkan seratus nama dari kalangan madzhab Syi’ah. Antara lain nama ke 83 yang disebutkan dibuku tersebut ialah Mu’awiyah bin ‘Ammar ad-Dubni al-Bujali dan nama yang ke 99 ialah Yazid bin Abi Ziyad (Abu Abdillah) al-Kufi. Nama Muawiyah dan Yazid itu masih dipegang oleh dua ulama syiah diatas tersebut dan tidak digantinya.
Marilah kita tidak saling melaknat atau mengkafirkan sesama muslimin, walaupun antara satu sama lain mempunyai paham dan madzhab yang berlainan.
Perbedaan pendapat antara golongan muslimin selalu ada, kita tidak perlu mensyirikkan, mensesatkan satu sama lain antara kaum muslimin karena adanya perbedaan dan sudut pandang diantara kita. Karena masing-masing pihak berpedoman pada Kitabullah dan sunnah Rasulallah saw, namun berbeda dalam hal penafsiran dan penguraiannya. Setelah menguraikan atau menafsirkan ayat-ayat Allah swt dan hadits Nabi saw, janganlah mensesatkan atau berani mengkafirkan kaum muslimin dalam suatu perbuatan atau amalan karena tidak sepaham dengannya. Orang seperti ini sangatlah egois dan fanatik serta ekstrem dalam sudut pandangnya sendiri, yang menganggap dirinya paling benar dan paham sekali akan dalil-dalil syar’i/agama.
Pokok perbedaan pendapat soal-soal sunnah, nafilah, mubah yang dibolehkan ini hendaknya dimusyawarahkan oleh para ulama kedua belah pihak, jadi bukan dengan cara tuduh menuduh, kafir mengkafirkan, cela mencela antara sesama kaum muslimin.
Begitu juga janganlah kita mudah menvonnis amalan-amalan nawafil/sunnah atau mubah sebagai amalan bid’ah munkar/haram, sesat, syirik dan lain sebagainya karena tidak sepaham dengan madzhabnya, atau dengan alasan bahwa amalan tersebut tidak ada contoh sebelumnya baik dari Rasul maupun sahabat beliau saw dan sebagainya. Karena untuk mengharamkan suatu amalan harus mengemukakan nash-nash baik yang umum maupun yang khusus mengenai amalan tersebut, jadi tidak bisa seenak pikirannya sendiri. Wallahu A’lam
Beberapa catatan sejarah tentang kedatangan orang-orang Arab ,khususnya keturunan Nabi saw (‘Alawiyyin), termasuk Wali Songo ke Indonesia khususnya, dan negeri-negeri Timur Jauh serta peranan mereka dalam penyebaran Islam .
Pemusnahan peran bangsa Arab ,khususnya kaum sayid Alawiyin, dalam penyebaran Islam di Indonesia merupakan agenda utama pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dengan berbagai cara mereka mencoba untuk menghilangkan peran kaum Alawiyin (julukan keturunan Nabi saw. yang berasal dari hadramaut/yaman selatan) membumikan Islam di Nusantara. Anehnya beberapa sejarawan Indonesia ikut terpengaruh dengan isu tersebut dengan tulisannya yang terdapat dalam buku-buku sejarah, yang beredar dikalangan umum maupun pelajar. Mereka ini menyatakan bahwa Islam yang datang ke Nusantara dibawa oleh pedagang Gujarat, bukan berasal dari tanah Arab atau Timur Tengah. Pendapat mereka ini bertentangan dengan pendapat para sejarawan, baik yang ditulis oleh penulis Barat maupun penulis Timur.
Mayoritas sejarawan, mengatakan bahwa para pedagang Arablah ,khususnya kaum Alawiyin dari hadramaut, yang menyebarkan agama Islam dikepulauan Hindia Timur (Indonesia). Teori ini dikenal sebagai teori Arab, dan dipegang oleh Crawfurd, Niemann, de Hollander (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XV11 dan XV111). Teori Arab yang di kemukakan oleh Niemann dan de Hollander, keduanya mengatakan bukan Mesir sebagai sumber Islam di Nusantara, melainkan Hadramaut [yaman selatan]. (Azyumardi Azra, loc cit, hal.27).
Teori Gujarat ini sejak tahun 1958 juga mendapat koreksi dan kritik dari HAMKA, yang melahirkan teori baru yakni teori Mekkah. Koreksi tersebut dikuatkan dalam sanggahannya dalam Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam ke Indonesia, di Medan tahun 1963. Hamka menolak pandangan yang menyatakan bahwa agama Islam masuk ke Nusantara pada abad ke 13 berasal dari Gujarat. HAMKA lebih mendasarkan pandangannya pada peranan bangsa Arab sebagai pembawa agama Islam ke Indonesia. Gujarat dinyata- kan sebagai tempat singgah semata, dan Mekkah sebagai pusat, atau Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran Islam. Hal itu sesuai pula dengan pendapat Keijzer, yang memandang Islam di Nusantara berasal dari Mesir atas dasar pertimbangan kesamaan pemeluk- an penduduk muslim di kedua wilayah, yang berpegang kepada madzhab imam Syafi’i.
Kini banyak sudah dilakukan penelitian intensif oleh beberapa sejarawan Indonesia. Hasil penelitian itu menyatakan adanya para pedagang Arab di Sumatra Utara atau lebih tepatnya di Aceh, sebelum lahirnya Islam. Penelitian ini menamakannya sebagai ‘Wajah Arab di Indonesia’. Bangsa Arab mempunyai pengaruh kuat dalam kebudayaan Indonesia yang memantul juga dalam sastra dan bahasanya. Sebelum penjajahan Belanda memasukkan huruf latin, sebagian besar bahasa di Indonesia menggunakan bahasa Arab. Kata-kata bahasa Arab hingga kini banyak yang diterima sebagai resmi Indonesia. Sudah tentu pengaruh Arab itu terutama dalam bidang kebudayaan terlihat makin kuat sesudah masuknya Islam keseluruh kepulauan ini.
Kedatangan para syarif Hadramaut ke India dan dari sana ke Asia tenggara, merupakan sebab dari ketidakpahaman sebagian sejarawan khususnya sejarawan Eropa. Kesalahan mereka adalah bahwa mereka menganggap para Da’i yang datang ke Asia Tenggara adalah dari India. Dalam kitab Hadhir al-Alam al-Islami karya Amir Syakib Arsalan mengatakan, bahwa para sejarawan Eropa menerangkan secara serampangan. Satu ketika sejarawan Eropa mengatakan bahwa para Da’i ini berasal Gujarat dan pada kesempatan lain mereka mengatakan bahwa para Da’i ini adalah orang-orang Parsi. Jadi dalam masalah ini mereka (sejarawan Eropa) hanya berputar-putar dan tidak lepas dari kebodohan.
Marilah kita ikuti ,kajian berikut ini, sekelumit catatan sejarah tentang kedatangan orang-orang Arab ,khususnya keturunan Nabi saw, ke Indonesia dan peranan mereka dalam penyebaran agama Islam.
Seorang penulis sejarah penduduk pulau Jawa yang bernama Haji ‘Ali bin Khairuddin, didalam bukunya ‘Keterangan-keterangan Kedatengan Bongso Arab Ing Tanah Jawi Saking Hadhramaut’ halaman 113, mengatakan antara lain:
Kedatangan orang-orang Arab dikepulauan ini (Indonesia) terjadi pada akhir abad ke-7 H. Mereka datang dari India, terdiri dari sembilan orang yang oleh penduduk Jawa disebut Wali Songo yakni Sembilan Waliyullah. Mereka adalah bersaudara, yaitu:
Sayid Jamaluddin Agung, Sayid Qamaruddin, Sayid Tsana’uddin, Sayid Majduddin, Sayid Muhyiddin, Sayid Zainul ‘Alam, Sayid Nurul ‘Alam, Sayid ‘Alawi dan Sayid Fadhl Sunan Lembayung. Mereka semua ini adalah putra-putra dari Ahmad bin Abdullah bin Abdulmalik bin ‘Alawi bin Muhamad Shahib Marbath bin ‘Ali Khali’ Qasam bin ‘Alawi bin Muhamad bin ‘Alawi bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir bin ‘Isa Al-Bashiri bin Muhamad An-Naqib bin ‘Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhamad Al-Baqir bin ‘Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Husain bin Al-Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw dan Fathimah Az-Zahra ra binti Muhammad Rasulallah saw. Mereka semua adalah dzurriyatun-Nabi (keturunan Nabi saw).
Datuk ketiga sembilan orang waliyullah tersebut adalah Sayid Abdulmalik bin ‘Alawi, lahir dikota Qasam, sebuah kota di Hadramaut/Yaman Selatan, sekitar tahun 574 H. Beliau meninggalkan Hadramaut pergi ke India bersama rombongan para Sayid dari kaum ‘Alawiyyin (julukan keturunan Nabi saw yang dari Hadramaut/yaman selatan). Di India beliau bermukim di Nashr Abad. Beliau mempunyai beberapa orang anak lelaki dan perempuan, diantaranya ialah Sayid Amir Khan Abdullah bin Sayid Abdulmalik , lahir dikota Nashr Abad, ada juga yang mengatakan dia lahir disebuah desa dekat Nashr Abad. Dia anak kedua dari Sayid Abdulmalik. Sayid Amir Khan ini mempunyai anak lelaki bernama Amir Al-Mu’adzdzam Syah Maulana Ahmad.
Maulana Ahmad Syah Mu’adzdam ini mempunyai banyak anak lelaki. Sebagian dari anak lelaki itu, meninggalkan India berangkat mengembara. Ada dari mereka ini yang kenegeri Cina, Kamboja, Siam (thailand) dan ada pula yang pergi kenegeri Anam dari Mongolia Dalam (negeri Mongolia yang termasuk wilayah Cina). Diantara mereka itu yang pertama tiba di Kamboja ialah Sayid Jamaluddin Al-Husain Amir Syahansyah bin Sayid Ahmad. Di Kamboja Sayid Jamaluddin ini nikah dengan anak perempuan salah seorang Raja dinegeri itu (menurut versi lain yang nikah dengan anak Raja Kamboja ialah putera Jamaluddin Al-Akbar yaitu Ibrahim Asmoro). Dari isterinya ini dia mempunyai dua anak lelaki yang bernama Sayid Ibrahim Al-Ghazi dan Sayid Jalal Al-Mu’adzdzam Maulana Zahid Alhakim Abdulmalik. Sayid Al-Ghazi seorang pejuang besar yang berhasil mengislamkan beberapa daerah di Cina, Melayu dan Sumatra. Sedangkan saudaranya Sayid Jalal tidak diketahui riwayat hidupnya dan tidak pernah ada berita tentang nasibnya.
Maulana Sayid Al-Ghazi ini meninggalkan India pergi ke Siam, kemudian bersama ayahnya ,Sayid Jamaluddin, ia mendarat di Aceh (Sumatra Utara). Disana ia menggantikan ayahnya dalam kegiatan menyebarkan agama Islam. Sedangkan ayahnya Sayid Jamaluddin bersama beberapa orang saudara sepupunya berangkat naik perahu menuju pulau Jawa. Mereka mendarat dikawasan pesisir Semarang, kemudian melalui jalan darat tibalah di Pajajaran. Disinilah Sayid Jamaluddin bertempat tinggal. Hal ini terjadi pada masa akhir kekuasaan raja-raja di Pajajaran, yakni beberapa tahun sebelum kekuasaan Raja Jawa di Pajajaran berpindah ketangan Majapahit. Sayid Jamaluddin lalu berangkat ke Jawa Timur, dan tibalah di Surabaya. Pada waktu itu Surabaya merupakan sebuah desa kecil, tidak banyak penduduk, dikelilingi hutan-hutan dan sungai-sungai. Pada masa itu desa tersebut dikenal dengan nama Ampel, disinilah Sayid Jamaluddin bertempat tinggal.
Satu setengah tahun kemudian Sayid Jamaluddin ini bersama lima belas pengikutnya dan beberapa pembantu –yang semuanya terdiri dari kaum muslimin yang baru saja memeluk agama Islam– berangkat kepulau Sulawesi di Makasar (Ujung Pandang) . Dia tinggal ditanah Bugis dan tidak lama kemudian dia wafat dikota Wajo. Sedangkan tentang anak lelakinya, Sayid Al-Ghazi Maulana Ibrahim Alhakim, ia masih selalu pulang pergi dari Aceh ke Kamboja. Di Kamboja ia nikah dengan wanita Cina, yang kemudian melahirkan dua orang anak lelaki, yang bernama Maulana Ishaq dan Maulana Rahmatullah. Atas didikan ayah mereka, baik dalam hal agama maupun amal penerapannya, kedua-duanya menjadi Imam dan Alim (luas pengetahuan agamanya). Maulana Ishak kemudian berangkat seorang diri ke Malaka (Tanah Melayu), lalu tinggal di Riau dan menyebarluaskan agama Islam dikalangan penduduk.
Sayid Maulana Ishaq ini cukup lama tinggal di Pulau Pinang. Sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli tasawuf disana ia mengajarkan thariqat Syathariyah. Suatu thariqat yang dihayati oleh para orang tuanya pada masa itu dan yang mereka ambil dari ajaran-ajaran datuknya, yang diberikan kepada para ulama Islam di India. Kemudian Maulana Ishaq pindah ke Banyuwangi dengan tujuan untuk berdakwah disini. Di Banyuwangi dia memperoleh sambutan kehormatan dari penduduk, sehingga Raja Blambangan, Menakjinggo, mengundangnya datang di istananya. Blambangan terletak dikawasan pesisir utara Banyuwangi. Maulana Ishaq ini nikah dengan putri Menakjinggo, yang konon putrinya sudah memeluk agama Islam, dan ayahnya pun telah memeluk Islam, tetapi ia menyembunyikan keislamannya karena takut menghadapi serangan orang-orang Budha (Hindu). Dari perkawinannya ini Maulana Ishaq dikarunia seorang anak lelaki, yang diberi nama Sayid Muhamad ‘Ainulyakin. Sayid Muhamad oleh orang-orang Jawa ia disebut dengan nama Pangeran Prabu, sedangkan penduduk Banyuwangi menamainya Raden Paku. Dialah Sunan Giri yang mendirikan zawiyah (pondok khusus bagi para penganut aliran tasawuf) dan dialah datuk (kakek) Sunan Perapen.
Adapun Maulana Rahmatullah bin Ibrahim Alhakim yang dijuluki dengan nama Zainal Akbar Jamaluddin Alhusain, yang disebut juga dengan nama Sunan Ampel ia lahir dikota Campa, sebuah kota dinegeri Kamboja. Atas perintah ayahnya ,Maulana Ibrahim, dia datang kekepulauan Hindia Timur (Indonesia) pada tahun 751 H. Ia tiba di Jawa dan bermukim di Surabaya dan mempunyai hubungan baik dengan raja Prabu Wijaya V yang beragama Hindu Brahmana. Prabu Wijaya berhubungan intim dengan budak perempuan berkebangsaan India yang pada akhirnya budak ini hamil. Karena Prabu takut diketahui istrinya, maka budak ini dibuang ke Palembang dan meminta kepada saudaranya,Raden Damar, di Palembang agar sudi mengakui bahwa budak itu hamil dari Raden Damar ini. Anak yang lahir dari budak ini diberi nama Raden Joyowisnu. Anak ini setelah dewasa ia pergi ke Jawa dan berhubungan baik dengan Imam Rahmatullah (Sunan Ampel) dan sekaligus menjadi muridnya. Pada akhirnya Raden Joyowisnu ini memeluk agama Islam dan oleh Sunan Ampel diganti namanya dengan Abdul Fattah (dikenal dengan Raden Patah). Dia mengetahui bahwa ayahnya itulah yang mengusir dan membuang ibunya, yang sedang hamil ke Palembang.
Raden Fattah melancarkan balas dendam untuk memerangi ayahnya sendiri yang masih beragama Hindu Brahmana. Gurunya ,Sunan Ampel, telah mencegahnya dengan keras untuk memerangi kerajaan ayahnya dan menasihatinya, bahwa agama Islam adalah agama akal yang mengutamakan kebijaksanaan, bukan agama perang atau agama kekerasan. Tetapi Abdul Fattah tetap melaksanakan peperangan dengan kerajaan ayah nya, sehingga ia dijauhi oleh gurunya karena tidak mentaati petunjuk dan nasihatnya. Dua tahun kemudian, Sunan Ampel menyaksikan sendiri ketabahan dan kemantapan Abdul Fattah dalam membela dan menegakkan agama Islam, barulah ia dibiarkan mendekatinya kembali. Raden Abdul Fattah mendirikan kesultanan Islam pertama ,terpisah dari kerajaan Majapahit, di Demak dekat Kudus, tidak jauh dari Semarang. Panji dan bendera kesultanan Demak pada masa itu berwarna dasar hitam dan bertuliskan kalimat : “Laa ilaaha illallah Muhamad Rasulallah, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali Radhina billahi Rabban wa bil Islami diinan wa bi Muhammadin Nabiyyan”.
Melihat kenyataan tersebut ayah Raden Fattah sangat gusar. Sebagai Raja Majapahit ia mengeluarkan keputusan untuk memerangi melawan kaum Muslimin. Bertahun-tahun Raden Abdul Fattah berkecimpung dalam peperangn melawan kerajaan Majapahit, sehingga ayahnya raja Prabu Wijaya bersama pasukannya meninggalkan istananya menuju kepula Bali. Di Bali ini dia mendirikan kerajaan Hindu yang baru bertempat di sebuah kota bernama Kelungkung. Sejak dahulu sampai detik ini sebagian besar penduduknya beragama Hindu.
Sedangkan anak lelaki Sunan Ampel yang bernama Maulana Ibrahim Al-Ghazi, yang oleh kaum muslimin Jawa disebut dengan nama Sunan Bonang selalu menyertai Raden Abdul Fattah dalam peperangan. Setelah Maulana Ibrahim wafat ia dimakamkan di Bonang, namun kemudian oleh orang-orang Madura kuburannya dibongkar dan kerangka jenazahnya diangkut ke Madura untuk dimakamkan dipulau itu. Akan tetapi baru saja perahu yang mengangkutnya sampai kepesisir (pantai Tuban) tiba-tiba pecah. Jenazahnya dibawa kedarat dan dimakamkan kembali di Tuban, disebuah tempat terkenal dengan nama Istanah. Ia wafat tidak meninggalkan keturunan karena selama hidupnya tetap membujang, tidak pernah nikah sama sekali. Ia seorang yang gemar ber’uzlah, menjauhkan diri ditempat-tempat terpencil.
Tulisan-tulisan para sejarawan tentang peranan bangsa Arab ,khususnya kaum ‘Alawiyyin, dalam penyebaran Islam di Indonesia khususnya dan negeri Timur lainnya.
Beberapa sejarah ,baik yang ditulis oleh penulis Barat maupun penulis Timur, mengatakan bahwa para pedagang Arab lah ,khususnya kaum Alawiyyin, yang menyebarkan agama Islam di kepulauan Hindia Timur (Indonesia). Sebagian dari mereka menambahkan penjelasan dengan menyebut, bahwa beberapa orang yang menyebarkan agama Islam itu tidak termasuk golongan pedagang, tetapi orang-orang yang khusus mendakwahkan agama Islam dan menyebarkannya dikalangan penduduk setempat. Para pakar sejarah antara lain adalah:
Gustave Le Bon dalam bukunya La Civilisation des Arabs, menceriterakan tentang perjalanan bangsa Arab kedaerah-daerah lain, ia berkata bahwa bangsa Arab dahulu adalah kaum pelancong terkemuka. Mereka tidak gentar dengan jauhnya jarak yang akan mereka tempuh. Selanjutnya ia berkata, kita belum pernah melihat dalam sejarah ada satu bangsa yang mempunyai pengaruh yang nyata seperti bangsa Arab. Kebudayaan Arab diterima, walaupun dalam beberapa waktu saja, oleh semua bangsa yang berhubungan dagang dengan mereka. Setelah bangsa Arab lenyap dari panggung sejarah, maka bangsa-bangsa yang menaklukkan bangsa Arab seperti bangsa Turki dan Mongol dan lainnya, mengambil adat istiadat mereka dan menyebarkan pengaruh mereka didunia. (Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, hal.31).
L. van Rijck Vorsel dalam bukunya yang diterjemahkan dalam bahasa Melayu ‘Riwayat Kepulauan Hindia Timur’ menyebut, bahwa orang-orang Arab sudah datang dipulau Sumatra 750 tahun lebih dulu sebelum orang-orang Belanda. Akan tetapi kedatangan orang-orang Arab untuk menyebarkan agama Islam dikepulauan itu baru terjadi dalam tahun 1292 M dan penyebaran agama tersebut dilaku- kan dikalangan kerajaan-kerajaan Pasai.
Pakar sejarah asing seperti Rowland Son, Sturrock dan Frracis Dai, mengatakan bahwa semenjak abad ke 7 M, bahkan sebelum- nya, orang-orang Arab telah bermukim di Hindia Barat, kemudian mereka berpencar keberbagai tempat. Namun mereka lebih mengutamakan tempat tinggal di Malabar.
Didalam ‘Encyclopedie Van Nederlandsche Indie’ vol.II P.P. 567 9 Doctor Snouck Hurgronje menyebut, bahwa pengaruh orang-orang Arab dalam penyebaran agama Islam lebih besar daripada (bangsa) yang lain. Pakar sejarah, Prof.Husain Jayadiningrat didalam majalah ‘Bahasa dan Budaya’ menunjuk kepada Encyclopedie tersebut dalam pembicaraannya mengenai Syarif Hidayatullah.
R.O.Winstedt, misalnya, ia mengatakan bahwa mereka (para penyebar agama Islam ke Timur) itu datang dari Gujarat. Akan tetapi bersamaan dengan itu ia menunjuk kepada orang-orang Arab yang menuju Kedah, di Semenanjung Melayu, dengan maksud berniaga. Bahkan ia mengatakan juga bahwa agama Islam tersebar dikawasan tersebut pada tahun 915 M.
Von Ronkel dan G.E.Marrison, dua-duanya berpendapat bahwa mereka (para penyebar agama Islam ke Timur) datang dari India Selatan, tetapi dua-duanya tidak dapat menentukan nama tempat dari mana aslinya mereka itu datang. Bahkan Marrison mengatakan, peranan orang-orang yang datang dari Gujarat baru terjadi setelah agama Islam tersebar di Samudera, yakni Aceh. Kaum orientalis yang mengatakan demikian itu, tidak memperhatikan kenyataan bahwa kaum muslimin gujarat bermadzhab Hanafi, sedangkan kaum muslimin dinegeri-negeri Timur tidak demikian (bermadzhab Syafi’i).
Jones didalam bukunya ‘Sufisme Merupakan Bagian Sejarah di Indonesia’ berpendapat, bahwa orang-orang Arab dan lainnya memulai kunjungan mereka secara teratur ke Indonesia sejak abad ke 8 M.
Diago De Couto, pakar sejarah berkebangsaan Portugal dapat memastikan, bahwa Aceh pada zaman dahulu sudah mempunyai hubungan langsung dengan negeri-negeri Arab.
Wilbers bahkan mengatakan bahwa para penyebar agama Islam datang dari negeri Arab. Sama dengan Wilbers, Robertson juga mengatakan bahwa para penyebar agama Islam datang dari Mekkah dan daerah-daerh pantai Laut Merah.
Hendrik Kern mengatakan, para pedagang Arablah yang menyebarkan agama Islam. Disana terdapat pedagang-pedagang muslimin Arab, dan merekalah yang menyebarkan agama Islam. Pedagang-pedagang Muslimin yang sebagian besar terdiri dari orang Arab menempati pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatra dan pulau-pulau yang berdekatan. Mereka itulah yang menabur benih-benih agama Islam. Demikian juga yang dikatakan oleh Thomas Arnold dan sejarawan sebelumnya, Fransisco Geiter, bahwa orang-orang Arab bermukim didaerah selatan dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk setempat.
Van den Berg ,seorang penulis berkebangsaan Belanda, ia menyebut bahwa pengaruh Islam terbesar dikalangan pribumi bersumber dari orang-orang Arab yang bergelar Sayyid dan Syarif (yakni kaum Alawiyyin). Berkat upaya dan kegiatan mereka itulah agama Islam tersebar dikalangan raja-raja Hindu di Jawa dan dipulau-pulau lainnya. Meskipun ada orang-orang lainnya (selain kaum alawiyin) yang berasal dari Hadramaut, mereka tidak mempunyai pengaruh Islami. Kenyataan besarnya pengaruh kaum Sayid dan kaum Syarif kembali kepada martabat mereka sebagai keturunan seorang Nabi dan Rasul pembawa agama Islam, yakni Muhammad saw.
Menurut penelitian Van den Berg, orang Arab memang sudah lama hadir dan bermukim di Nusantara, tetapi orang Hadramaut secara massal datang ke Nusantara pada tahun-tahun terakhir abad ke 18 M (LWC Van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara hal.72). Menurutnya, setelah setengah abad, pada tahun 1844 koloni Arab di Batavia merupakan koloni terbesar di Nusantara, sehingga pemerintah Belanda mengharuskan adanya kepala koloni atau disebut Kapten Arab.
Di Batavia penduduk Arab terus bertambah, mereka tinggal dikampung-kampung yang dekat dengan pemukiman orang pribumi atau Betawi. Dalam hubungannya dengan aktivitas dakwah Islamiyah, golongan alawiyin/sayid dan golongan syeikh banyak memainkan perannya, tetapi golongan sayid jauh lebih menonjol. Kelompok elite yang dikenal orang Betawi hanya berkaitan dengan agama, yaitu guru mengaji, para haji dan orang Arab keturunan Nabi yang disebut Sayid atau Habib. Para sayid atau habib sangat dihormati bukan hanya karena dipandang keturunan Nabi yang sudah selayaknya menerima penghormatan, melainkan juga mengingat jasa kelompok ini yang sejak lama sebagai penyebar Islam dan sumber kader ulama ((ibid, hal.39).
Ahli sejarah dari Hadramaut, Sholah al-Bakri, dalam kitabnya Tarikh Hadramaut tahun 1936, mengatakan tidak diragukan lagi bahwa hijrahnya orang Arab Hadramaut ke Jawa dan ke pulau-pulau sekitarnya adalah hijrah terbesar dalam sejarah mereka. Mereka memasuki Timur jauh pada masa lautan penuh dengan bahaya. Lalu mereka turun di pulau-pulau yang subur itu. Diantara hasil tersebar hijrah ini adalah lenyapnya agama Budha dan tegaknya agama Islam.
Dalam surat kabar Samarat al-Funun tanggal 10 Sya’ban 1315 H tertulis: Syarif-syarif ini adalah ulama, dan mereka mengantarkan penduduk kawasan ini kepada agama Muhamad yang mulia. Sementara itu, agama ini sudah mantap, kecuali di kalangan beberapa suku kecil di pulau Bali dan beberapa daerah pegunungan di Sumatra dan Borneo.
Buku ‘Sejarah Serawak’ di Perpustakaan ‘Rafles’ di Singapura menyebutkan, bahwa Sultan Barakat adalah keturunan Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma. Diterangkan bahwa ia datang dari Tha’if dengan sebuah kapal perang yang sangat terkenal pada masa itu. Dijelaskan lebih jauh, orang itu bernama Barekat bin Thahir bin Ismail (terkenal dengan nama julukan ‘Al-Bashri’, bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa An-Naqib bin Muhamad An-Naqib…dan seterusnya sampai kepada Al-Husain bin Ali bin Abdul Mutholib kw –red.). Kaum Syarif di Mekkah pada umumnya adalah keturunan Al-Hasan ra (bin Ali bin Abi Thalib), sedangkan Barekat adalah keturunan Al-Husain ra. Kaum Syarif di Mekkah tidak melakukan penyebaran agama ke seberang lautan. Yang melakukan kegiatan demikian adalah kaum Sayid keturunan Al-Husain ra yang bermukim di Hadramaut/Yaman Selatan. Kegiatan itu mereka laku- kan terutama setelah terjadinya penyerbuan kaum Khawarij sekte Abadhiyyah terhadap Hadramaut. Kota tempat mereka bermukim adalah Bait Jabir, termasuk pusat perniaga an dinegeri itu. Mereka mengumpulkan bekal dari Marbath, kemudian diangkut dengan kafilah ke Yaman.
Dalam sejarah kaum muslimin Philipina dan dalam sejarah Sulu disebutkan, bahwa mereka berasal dari keturunan Abdullah bin Alwi bin Muhamad (penguasa Marbath) bin Ali Khali’ Qasam..dan seterusnya sampai Imam Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Az-Zahra binti Muhamad saw.
Nageeb M.Saleeby didalam bukunya yang berjudul ‘Department of The Interior Ethnological Survey Publication Studies in More History Law Relegion’ (Manila Bireau of Republic Printing 1905) dalam menyebut sejarah Mindanau mengatakan antara lain:
“Sebelum kedatangan Islam tidak terdapat data sejarah yang akurat, dan tidak terdapat pula kisah atau ceritera-ceritera yang di-ingat orang. Setelah kedatangan Islam barulah tampak penyebaran ilmu (pengetahuan), peradaban dan berbagai kegiatan. Undang-undang dasar yang baru ditetapkan bagi Negara, ketentuan-ketentuan hukum tertulis ditetapkan dan silsilah serta cabang-cabang keturunan dari orang-orang besar dibaku kan, kemudian dengan hati-hati dan dijaga baik-baik oleh semua Sultan dan para bangsawan”. Silsilah tersebut dibakukan dalam sebuah catatan sejarah yang tertulis dengan bahasa Melayu Tinggi, terjemahannya dalam bahasa Indonesia, sebagai berikut:
“Alhamdulillah, saya yakin sepenuhnya bahwa Allah menjadi saksi atas saya. Buku catatan ini berisi silsilah Rasulallah saw (yaitu mereka) yang tiba di Mandanau. Sebagaimana diketahui, Rasulallah saw mempunyai seorang putri bernama Fathimah Az-Zahra. Putri ini melahirkan dua orang syarif, Al-Hasan dan Al-Husain. Tersebut belakangan (Al-Husain) itulah yang beranak Syarif (Ali) Zainal Abidin...”dan seterusnya.
Keturunan dari Muhamad (Al-Baqir) putera Zainal Abidin (yakni mereka yang datang dari Johor) ialah Ahmad bin Abdullah bin Muhamad bin Ali bin Abdullah bin Alwi (‘Ammul Faqih) bin Muhamad (Shahib Marbath) bin Ali (Khali’ Qasam) bin Alwi bin Muhamad bin Alwi (orang yang pertama disebut ‘Alawi’ dan darinya berasal semua kaum sayid Al-Alawiyyun di Hadramaut) bin Abdullah bin Al-Muhajir bin Isa..dan seterusnya sampai kepada Muhamad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin.
Musyawarah kaum muslimin yang berlangsung di Sidogiri pada tanggal 30-april-1962, dihadiri oleh 165 orang ulama, Setelah mendengarkan, membahas, dan mencari bukti-bukti, memutuskan bahwa yang pertama menyebarkan Islam ke Indonesia adalah para syarif Alawiyin dari Hadramaut yang bermadzhab Syafi’i. Naskah keputusan tersebut ditanda tangani oleh Ketua Musyawarah, Haji Ahmad Khalil Nawawi dan wakil Sekretaris Abdulgani Ali. Adapun mengenai orang-orang yang menyebarkan agama Islam dinegeri-negeri Timur pada umumnya, dapat dituturkan sebagai berikut: Menurut beberapa buku sejarah Jawa dan menurut sementara kaum orientalis (ahli ketimuran) Barat, dinyatakan bahwa orang-orang Arab lah yang membawa benih-benih agama Islam kenegeri-negeri Timur. Akan tetapi beberapa orang dari kaum orientalis zaman belakangan masih tetap mengikuti pendapat Snouck Hurgronje, yang berpendapat bahwa penyebar agama Islam datang dari India. Meskipun begitu mereka sendiri berbeda pendapat mengenai tempat (di India) darimana (aslinya) para penyebar agama Islam itu datang.
Kesimpulan seminar tentang masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia yang dihadiri oleh jumlah besar budayawan dan sejarawan Indonesia, diantaranya memutuskan bahwa Islam untuk pertama kali masuk ke Indonesia pada abad pertama hijrah dan langsung dari Arab. Daerah pertama yang didatangi agama Islam adalah pesisir Sumatra (Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia, hal. 265).
Menurut sejarawan Cina, bangsa Arab sudah mendarat di pesisir pantai Sumatra sebelum lahirnya Islam. Dari hasil-hasil barang galian yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia telah ditemukan tiga ribu tulisan pada batu dan logam yang ditulis dalam bahasa Arab. Sebagian diukir dengan huruf Himyar, dan sebagian lainnya ditulis dalam bentuk syair Arab pada batu-batu nisan dan lain-lain dengan mencantumkan tahun hijrahnya pula.
Profesor Qaishar Makhul mengatakan, bahwa orang-orang yang datang dari Gujarat dan yang datang dari India Selatan memainkan peranan bersama-sama. Akan tetapi menonjol-nonjolkan peranan mereka dapat meniadakan peranan yang dimainkan oleh kaum Syarif, para ulama dan para pedagang Arab. Selain itu dapat juga meniadakan peranan kaum muslimin Melayu dalam menyebarkan agama Islam.
Ia mengatakan juga, tidaklah bertentangan dengan pemikiran kami sendiri jika kami mengatakan, bahwa sebagian besar penyebar agama Islam di Malaysia (Semenanjung Melayu) yang datang melalui India adalah orang-orang Arab atau orang-orang India peranakan Arab. Lebih lanjut ia mengemukakan, tidaklah mustahil bahwa sebagian penduduk setempat (kaum pribumi) memeluk agama Islam berkat kegiatan individual yang dilakukan oleh kaum Syarif berkebangsaan Arab, dari keturunan Sayiduna Ali (bin Abi Thalib) dan sejumlah kaum pedagang yang bertakwa.
Prof.Abdul Mun’im Al-Adwiy didalam majalah ‘Al-Arab’ yang terbit di Karaci (Pakistan) mengatakan: Kita mempunyai kenangan indah tentang saudara-saudara kita orang-orang Hadramaut dan Yaman, yang telah memasukkan agama Islam ke Indonesia, Malaysia, Thailand dan negeri-negeri dikawasan Timur Jauh lainnya. Mereka telah meninggalkan berbagai pusaka yang baik dikerajaan Ashifiyyah (Emirat Haidarabad), Malabar (India bagian Selatan) dan di Kitiyawara. Lebih lanjut ia mengatakan: Orang-orang Arab lah yang pertama masuk ke Citagong, di Teluk Benggala. Kemudian nama tersebut mereka gunakan untuk menyebut nama sungai Qani’. Oleh orang-orang Inggris nama ‘Citagong’ dirubah menjadi ‘Cinagong’ dan dalam bahasa Benggali disebut sungai Syanjim. Penduduk pulau Akyah dekat perbatasan Burma (Myanmar) hingga sekarang penduduknya masih berbicara dengan bahasa Arab diantara sesama mereka. Selain itu mereka juga hingga sekarang masih tetap menjaga baik-baik nasab dan asal-usul serta tradisi mereka. Mereka adalah keturunan orang-orang Arab Hadramaut dan Yaman. Demikian juga, penduduk dipulau-pulau Maladef, hingga sekarang masih tetap mempertahankan ke-arab-an tradisi mereka yang asli.
Doktor Hamka mengatakan, bahwa kaum pendatang itu adalah orang-orang Arab atau asal keturunan Arab. Di antara mereka ada yang datang dari Gujarat, dari Persia dan ada pula yang dari tanah Melayu. Pada bagian lain dari bukunya ‘Sejarah Ummat Islam’, Doktor Hamka menegaskan bahwa agama Islam datang langsung (di Indonesia) dari negeri Arab. Orang-orang Indonesia berkeyakinan kuat dan secara turun-temurun percaya, bahwa mereka menerima agama Islam dari orang-orang Arab, ada yang sebagai guru yang mendakwahkan agama dan ada pula orang-orang sayid dan syarif dari keturunan Rasulallah saw. Lebih jauh Hamka mengemukakan, tidak sedikit orang-orang keturunan Sadah (kaum sayid) dan keturunan para sahabat Nabi yang datang dari Malabar. Mereka mempunyai hubungan langsung dengan negeri-negeri Arab. Beliau mengetahui bahwa seorang guru tasawwuf, Abu Mas’ud Abdullah bin Mas’ud Al-Jawi, mengajar sebagai guru dinegeri Arab. Diantara murid-muridnya ialah seorang ulama Sufi (ahli tasawwuf) bernama Abdullah Al-Yafi’i (1300-1376M), penulis buku ‘Riyadhur-Rayyahin fi Hikayatis-Shalihin’. Disebut juga bahwa Syarif Ali Ad-Da’iyah nikah dengan puteri saudara Sultan Muhamad, Sultan Brunai. Setelah wafat, kesultanan diserahkan kepada saudaranya yang bernama Ahmad. Sebagaimana diketahui Syarif Ali adalah Sultan ke tiga di Brunai. Beliau wafat pada permulaan abad ke 15 dan kesultanannya diserahkan kepada puteranya yang bernama Sulaiman.
Doktor Hamka mengatakan juga bahwa orang-orang keturunan Arab, khususnya kaum Sayid, beroleh kedudukan dan martabat sangat terhormat. Keturunan mereka memegang tampuk kesultanan Aceh. Sultan yang pertama ialah Sultan Badrul-‘Alam Asy-Syarif Hasyim Jamalullail (1699-1702M), kemudian Sultan Perkasa Alam Asy-Syarif Lamtsawiy Asy-Syarif Ibrahim Abriy. Hingga tahun 1946 M beberapa orang perwira yang memimpin pasukan bersenjata di Aceh terdiri dari keturunan Arab. Sultan-sultan Perlis dari keluarga Jamalullail dan Sultan yang sekarang (yakni pada masa Hamka menulis bukunya) ialah Tuanku Sayid Putera bin Almarhum Hasan Jamalullail. Sebagai pembuktian tentang ke-arab-an para penyebar agama Islam beliau mengemukakan, bahwa diantara mereka itu adalah Syeikh Islam’il dan Sayid Abdulaziz yang telah berhasil mengislamkan ‘Prameswara’. Sedangkan Syeikh Abdullah Arif dan Malik Ibrahim sendiri adalah keturunan (Ali) Zainal Abidin bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib bermukim di Gresik. Demikian juga Syarif Hidayatullah adalah keturunan Muhamad Rasulallah saw. Kedatangan para sayid dari kaum Alawiyyin dari Hadramaut terjadi pada masa hidupnya Sultan Iskandar Muda di Aceh. (semua uraian yang bersumber dari Hamka ini didasarkan buku beliau ‘Sejarah Umat Islam’ jilid 4 hal.21,42,46,47 dan buku beliau ‘Tuanku Rau Antara Fakta dan Khayal’, hal. 332). Dalam buku Hamka “Seminar Sejarah” (Islam) hal.75, mengatakan: Harus diakui bahwa kaum Sayid dan kaum Syarif (kaum Alawiyyin) sudah sejak semula telah mengambil bagian dalam penyebaran agama Islam di Indonesia.
Doktor Hamka didalam bukunya “Sejarah Ummat Islam’ jilid 4 mengatakan, didalam ceritera-ceritera rakyat yang tertulis banyak disebut tokoh-tokoh penting yang berasal dari keturunan Rasulallah saw. Raja-raja dikepulauan Maluku, misalnya, disebut bahwa mereka itu berasal dari keturunan Jakfar As-Shadiq (cicit Rasulallah saw). Disebut juga bahwa seorang Sayyid dari kaum Alawiyyin datang dibeberapa daerah Timur Indonesia untuk menyebarkan agama Islam. Banyak pula dibicarakan orang bahwa seorang Sayid lainnya yang berada dikerajaan Kutai datang dari Demak. Ceritera-ceritera seperti itu meskipun tidak ditunjang oleh data tertulis atau tidak diperkuat dengan hujjah (argumentasi), bagaimanapun juga pasti mempunyai asal kenyataan yang sebenarnya, bukan hanya sekedar ceritera yang menunjukkan betapa besar peranan orang-orang Arab dalam penyebaran agama Islam dinegeri Melayu. Peranan yang tidak dapat kita lupakan.
Prof.Abdulmun’im An-Namr dalam bukunya yang berjudul ‘Sejarah Islam di India’ mengatakan, bahwa pada zaman dahulu orang-orang Arab pergi ke Teluk Benggala, kenegeri Melayu dan kepulauan Indonesia. Diantara mereka terdapat sejumlah pedagang dan pelaut-pelaut Hadramaut dan lain-lain. Mereka datang kenegeri-negeri tersebut membawa agama mereka yang baru (Islam) dan bermu’amalat dengan kaum pribumi. Sumber-sumber yang terkenal dari penduduk setempat menuturkan bahwa agama Islam sampai ke Philipina dibawa oleh tujuh orang Arab bersaudara, semuanya berasal dari Semenanjung Arabia. Diantara mereka yang paling terkenal bernama Abubakar. Ia datang sekitar tahun 1450M. Kemudian ia oleh penduduk setempat diberi gelar Paduka Maha Sari Maulana Sultan Syarif Al-Hasyimi, yaitu sebagaimana tertulis pada pusaranya. Kesultanannya diwarisi secara turun-temurun. Salah satu diantara tujuh orang bersaudara tersebut diatas ialah Sayid Ali Al-Faqih, penyebar agama islam dipulau Tawai-Tawai dan sekitarnya. Di Budi Datu, dipulau Julu (Jolo), terdapat pusara seorang dari mereka tertulis diatasnya ‘tahun 710H. Mungkin ia orang pertama yang datang kepulau Sulu untuk menyebarkan agama Islam dikalangan penduduk tempat.
Prof.Husain Naimar setelah tinggal di Indonesia selama kurun waktu tertentu, menulis sebuah buku mengenai hubungan India dengan Indonesia dan penyebaran agama Islam dikalangan penduduknya. Ia berpendapat bahwa para penyebar agama Islam adalah kaum Sayid dari Alawiyyin yang datang dari India. Ia pulang ke India untuk menerbitkan bukunya dalam bahasa Inggris.
Salim Harahap berdasarkan penuturan Dauzi menyebutkan, bahwa agama Islam masuk ke Kalimantan melalui sekelompok orang Arab dari Palembang. Sebagaimana diketahui Palembang adalah tempat hijrah kaum Alawiyyin dan tempat permukiman mereka. Sebagian besar kaum Alawiyyin yang menuju ke Indonesia pada umumnya datang di Palembang. Kemudian ada sebagian yang menetap disana dan ada pula yang berpencar dipulau-pulau lainnya. Karena itu di Palembang kita temukan keluarga-keluarga kaum Alawiyyin lebih banyak daripada yang kita temukan dikawasan-kawasan lain.
Tabloid kebudayaan ‘Al-‘Ilm’, yang terbit di Rabat (Marokko) pernah menyebut, bahwa agama Islam masuk ke Philipina pada pertengahan kedua abad ke 14 M melalui sekelompok kaum Syarif Alawiyyin yang datang kenegeri itu. Lebih lanjut dikatakan, bahwa merekalah yang telah membawa panji dakwah islam kesana dan turut serta aktif dalam pembangunan negeri, turut mengembangkan lembaga-lembaga sosial, kebudaya an dan politik.
Snouck Hurgronje mengatakan: Sebagian besar penyebar agama Islam datang dari negeri jauh. Pada galibnya mereka datang dari negeri Arab. Mereka digelari Sayid karena mereka dari keturunan Al-Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad saw. Snouck Hurgronje menuturkan dalam ‘Ancyclopedie van Nederlandsche Indie’ vol.IIXV P.P.576-9, bahwa orang-orang Persia dan India (Malabar dan Krumendal) mempunyai pengaruh besar dalam penyebaran agama Islam di negeri ini (Hindia Belanda). Kendati demikian tidak ada yang dapat mengingkari betapa besar pengaruh orang-orang Arab yang datang dari Mekkah, khususnya dalam kehidupan keagamaan Islam. Pengaruh mereka jauh lebih besar dari pengaruh Turki, atau India atau Bukhari. Pengaruh mereka itu demikian Snouck Hurgronje lebih lanjut sangat terang dalam abad-abad ke 18 dan ke 19 M yaitu pada masa-masa mulai berkobarnya semangat melawan kolonialisme, yakni ketika imprealisme Belanda berusaha memperkokoh kekuasaannya di Indonesia, dan imperialisme Inggris di Malaya. Dalam menghadapi imperialisme tumbuh rasa keagamaan sangat kuat dalam berhubungan dengan orang-orang Arab.
Buku ‘Sejarah Alam Melayu’ menuturkan, bahwa di Hadramaut terdapat golongan kaum Sayid dan kaum Syarif. Merekalah yang disebut ‘Kaum Alawiyyin’. Dari golongan itu banyak bermunculan orang-orang besar, datang kepulau Jawa dan tanah Melayu. Mereka beroleh kedudukan tinggi di Perak. Sebagian dari mereka berkedudukan sebagai Sultan di Perlis dan di Siak. Pada masa-masa berikutnya jumlah orang Arab pendatang semakin banyak dan menjadi lebih banyak lagi karena mereka melahirkan banyak keturunan, sehingga jumlah haji di tanah Melayu makin bertambah banyak juga.
Di Brunai terdapat beberapa pusara kuno, antara lain sebuah pusara yang diatasnya tertulis dengan huruf-huruf Arab sebagai berikut: “Al-Alawi Al-Bulqiyah Ad-Dahriyah Sulthan Umar Ali Saifuddin”. Pada pusara yang lain tertulis: “Hijrah 836 Jumadil-Ula Dahri Ali Sulthan Syarif Ali Sulthan Brunai”. Pada pusara yang lain lagi tertulis: “Muhamad Alwi Raja Junjungan”.
Prof. Al-Qari bin Haji Shaleh setelah membuktikan betapa lama sudah hubungan orang-orang Arab dengan negeri-negeri Timur (berdasarkan buku-buku sejarah yang ditulis oleh berbagai pihak), menyebutkan bahwa kedatangan orang-orang Arab Alawiyyin dari Hadramaut kenegeri kita (yakni ditanah Melayu) membawa agama Islam, membuat sebagian dari mereka beroleh kedudukan tinggi ditengah masyarakat. Demikianlah yang dikatakan olehnya didalam bukunya ‘Pengkajian Sejarah Islam’ hal. 315.
Di Pariaman , menurut Doktor Hamka, dan Sumatra Barat terdapat banyak keturunan raja-raja yang mempunyai hubungan darah dengan kerajaan Pagaruyung. Mereka bergelar ‘Sultan’. Sedangkan mereka yang mempunyai hubungan darah dengan ke sultanan di Aceh bergelar ‘Bagindo’. Keturunan para Sayid bergelar ‘Sidi’. Saudara Syaaf, pemimpin redaksi surat kabar ‘Abadi’ adalah seorang dari keturunan mereka, raut mukanya masih tetap seperti orang Arab. Hamka menyebut juga bahwa seorang Sayid yang datang ke kerajaan Riau beroleh kedudukan terhormat. Ia bernama Sayid Zainal Husaini Al-Qudsi (Engku Kuning) [tidak ada silsilahnya, yakni tidak tercatat didalam daftar silsilah yang dihimpun oleh Rabithah Alawiyyah, Jakarta]. Keturunannya masih terdapat di Daik dan Lingga.
Mengenai hubungan antara pulau Jawa dan negeri-negeri Arab, menurut sumber berita sejarah dari negeri Cina, Hsin Tang Shu, sudah terjadi semenjak abad ke 7 M. Hal itu dibenarkan oleh para pengembara Arab sendiri. Tidak diragukan lagi pada masa itu pelabuhan-pelabuhan dikawasan Asia Tenggara menjadi tujuan kaum pedagang Arab. Bahkan disemua kota perniagaan terdapat pedagang-pedagang beragama Islam. Demikianlah menurut penuturan Prof.Gabril Feyrand didalam bukunya (edisi Arab) ‘Ashlun-Nassh Al-‘Arabiy’. Apa yang dikatakan olehnya itu disebut juga oleh Prof.Paul Weathley dalam bukunya ‘The Golden Khersonese’. Dua naskah dari buku Feyrand itu masih tersimpan didalam museum Inggris.
Seorang penulis wanita bernama Nia Kurnia Solihat dalam makalah-nya menyebut adanya pusara Fatimah binti Maimun yang wafat pada tanggal 7 Rajab 475 H (02-12-1083 M). Kenyataan itu menunjukkan adanya masyarakat Islam pada zaman kerajaan Penjalu di Kediri. Karenanya tidak anehlah jika dalam buku-buku ceritera rakyat banyak terdapat kata-kata Arab, seperti buku-buku yang disusun oleh Panuluh. Penulis wanita ini menyebutkan, bahwa surat kabar Indonesia ‘Berita Yuda’ tanggal 13-10-1980 memuat sebuah makalah yang ditulis oleh Suwarno, dibawah judul ‘Raja Jayabaya’. Dikatakan bahwa raja Jayabaya telah memeluk agama Islam. Pernyataan itu didasarkan pada buku-buku ceritera yang menyebut keisalaman Jayabaya ditangan seorang Arab bernama Maulana Ali Syamsu Zain. Penuli ini mengatakan lebih lanjut; Meskipun apa yang ditulis dalam buku-buku ceritera itu belum dapat dipastikan kebenarannya, namun banyak sekali ceritera-ceritera didalamnya yang benar-benar berasal dari sejarah yang menunjukkan bahwa agama Islam sudah masuk ke Jawa pada masa kerajaan Penjalu. Tidaklah sulit bagi kita untuk sampai kepada kesimpulan, bahwa agama Islam sudah masuk ke Jawa pada abad ke 12 dan ke 13 M, yakni pada masa kerajaan Singosari dan kerajaan Majapahit.
Hal itu diperkuat lagi oleh petunjuk-petunjuk sejarah yang alin. Yaitu adanya pusara-pusara di Taralaya, dekat Trawulan. Pada kuburan-kuburan itu terdapat tulisan-tulisan Arab dan ayat-ayat Al-Qur’an. Sejarah pusara-pusara itu telah diteliti dan dipelajari oleh Prof.L.C.Damais. Ternyata terdapat juga petunjuk berupa penanggalan tahun Saka, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku pada masa itu. Selain itu terdapat satu bukti yang tertulis dengan penanggalan Hijriah, yaitu tahun 874 H (1469 M). Yang dimakamkan dikuburan tersebut bernama Zainuddin. Tahun-tahun Saka yang tertulis diatas kuburan-kuburan di Taralay, menurut penanggalan Hijriah adalah tahun 680 H atau tahun 1281 M, yakni pada zaman raja Kartanegara, salah seorang dari raja-raja Singosari.
Cho Fan Cho, penulis kebangsaan Cina, mengatakan banyak pedagang asing yang menuju ke Penjalu. Mata uang emas dan perak sudah dipergunakan dipasar-pasar.
Ajaran-ajaran pokok Wali Songo dan cara dakwah mereka pada masa lalu
Untuk menarik orang-orang musyrik di kepulauan Hindia Timur pada masa lampau, dakwah Islam dilakukan dengan menempuh berbagai cara. Pelaksanaanya disandarkan pada kejernihan pikiran para Da’i, keutamaan perilaku mereka, baik terhadap diri mereka sendiri maupun terhadap orang lain. Kegiatan dakwah tidak dilakukan oleh badan-badan atau organisasi-organisasi, melainkan oleh per-orangan atau sekelompok orang yang mengikhlaskan dri dan waktunya untuk menyebarkan agama Islam dikalangan penduduk musyrik dan belum mengerti atau belum pernah mendengar tentang Islam. Para Da’i dengan sabar, tabah dan hati-hati mengikuti keadaan dan mengindahkan tradisi yang sedang berlaku serta memperhatikan sungguh-sungguh tabiat dan jiwa orang-orang yang hendak diberi pengertian. Dengan demikian mereka berhasil baik dalam menjalankan tugas dakwah yang diwajibkan oleh agamanya. Salah satu factor utama yang menyebabkan keberhasilan mereka ialah; mereka berakhlak mulia, berbudi luhur, berbicara lembut, bersabar dan tidak menyentuh adat-istiadat setempat dimana mereka (orang-orang yang hendak di-islamkan) tumbuh dan dibesarkan.
Para Da’i memahami benar bahwa tradisi dan kebiasaan yang sudah berlaku secara turun-temurun tidak mungkin dapat dihapus dengan perdebatan atau dilawan dengan berdialog. Lembaran-lembaran buku sejarah banyak yang memberitakan penyebaran agama Islam dikepulauan Indonesia, tanah Melayu dan kawasan sekitarnya, termasuk cara-cara yang ditempuh oleh para da’i pada masa dahulu. Diantara cara-cara yang ditempuh dan kegiatan yang dicurahkan untuk berdakwah ialah menggunakan bentuk-bentuk kesenian indah yang sangat digemari penduduk. Kedalam bentuk-bentuk kesenian itu para Da’i memasukkan unsur-unsur ajaran islam dengan mengubah beberapa kata dan kalimat (dalam liriknya) dan di-isi dengan ajaran-ajaran Islam yang mudah diserap. Hingga sekarang nyanyian dan tarian masih tetap ada sebagai pusaka peninggalan para Da’i zaman dahulu. Karena para Da’i bekerja atas dorongan hati yang ikhlas dan semangat Tasawwuf yang tinggi, dengan kesabaran luar biasa mereka berpegang pada metode ‘tut wuri handayani’ yakni ‘mengikuti sambil menarik perlahan-lahan’. Dengan tekun dan tahap demi tahap mereka mengubah dan mengisi lirik nyanyian dan lagu-lagu yang digemari penduduk dengan untaian kata dan kalimat yang mengandung pengarahan akidah dan pendekatan diri kepada Allah swt serta pendidikan akhlak Islam.
Misalnya cara yang ditempuh oleh seorang waliyullah terkenal, Joko Sa’id yaitu menggunakan pagelaran ‘wayang’, suatu kesenian Jawa yang sangat diegemari penduduk pada masa itu. Beliau menggubah ceritera-ceritera pewayangan dengan di-isi prinsip-prinsip ajaran Islam secara luwes, kemudian dipagelarkan (dipentaskan) didepan khalayak ramai. Pementasan ini banyak digunakan untuk menyebar- kan pengertian tentang agama Islam. Lirik nyanyian dan lagu-lagu yang biasanya digunakan untuk mengiringi tarian Srimpi yang lazim dipentaskan di istana-istana kerajaan, diubah demikian rupa menjadi hikayat yang diambil dari buku ‘Amri Hamzah’ yang mengisahkan kepahlawanan paman Nabi Muhamad saw dalam membela agama Islam , yaitu Sayiduna Hamzah bin Abdul Muthalib ra. Adapula Da’i yang bernama Sayid Ishaq bin Ibrahim bin Al-Husain menempuh cara penyebaran Islam keberbagai daerah, dengan pengobatan untuk menolong penduduk yang sakit. Ada lagi diantara para Da’i antara lain Sayid Abubakar di Philipina, yang menempuh cara dengan mendekati penguasa dan bangsawan yang berpengaruh untuk membantu mereka dalam pekerjaan mengelola pemerintahan atau kesultanan sambil berdakwah mengajak mereka masuk agama Islam. Ada lagi cara umum yang bercorak kesenian, yang ditempuh oleh para Da’i. Diberbagai tempat yang telah direncanakan, diselenggarakan hiburan semacam ‘pesta’, di-isi dengan nyanyian dan lagu-lagu keagamaan (umpama sholawatan, mengucapkan kalimat-kalimat tauhid dan lain-lain yang serupa) dengan di-iringi dengan rebana. Pesta demikian itu dihadiri oleh banyak orang, ada yang telah masuk Islam dan ada juga yang belum. Mereka datang berduyun-duyun tertarik oleh suara rebana dan nyanyian-nyanyian. Usai pesta demikian itu orang-orang yang belum memeluk Islam makin dekat hubungannya dengan mereka yang telah memeluk Islam.
Pada akhirnya mereka mengikuti jejak teman-temannya, menyatakan keinginan memeluk Islam. Demikianlah ceritera atau sejarah para Da’i dalam menyebarkan Islam dikepulauan Indonesia khususnya dan daerah-daerah kawasan sekitarnya pada zaman dahulu.
Kyai Haji Raden Abdullah bin Nuh –rahimahullah- mengatakan didalam bukunya Wali Songo,”bahwa sembilan orang Wali semuanya mengajarkan agama Islam secara murni, bermadzhab Syafi’i dan termasuk Ahlus Sunnah wal jama’ah”.
Ada sementara pihak yang mengatakan bahwa ajaran diantara Wali Songo itu mengawinkan atau mengasimilasikan ajaran Islam dengan seni budaya lama (Syiwa Budha) di Jawa. Jelas ini tidak mungkin, karena Wali Songo adalah para ulama yang sangat besar ketakwaannya kepada Allah swt dan mengenal baik apa yang dihalalkan dan diharamkan oleh Syari’at Islam.
Didalam Majalah Islam Al-Jami’ah nomer 5, tahun 1, bulan mei 1962 memuat sebuah makalah yang ditulis oleh Drs. Wiji Saksono dengan judul ‘Islam menurut wejangan Wali Songo berdasarkan sumber sejarah’ menuturkan beberapa hal, antara lain: Dari sembilan orang wali itu hanya Sunan Bonang (silahkan rujuk bab Sunan Bonang) sajalah yang hingga dewasa ini dapat diketahui dengan jelas pokok-pokok ajarannya dan dapat dijadikan pegangan atau sumber rujukan. Sedangkan ajaran para Wali yang lain masih sangat samar dan belum terungkapkan. Banyak sekali yang telah ditulis orang tentang ajaran Wali Songo, tetapi belum dapat dinilai sebagai sejarah dalam arti yang yang sebenarnya. Meskipun demikian, apa yang terdapat didalam ajaran-ajaran Sunan Bonang itu sudah dapat dipastikan dan dijadikan ukuran untuk dapat diketahui corak ajaran Islam yang pertama masuk dipulau Jawa khususnya dan kepulauan Indonesia lainnya. Apabila kita menelaah dan mempelajari naskah-naskah dan mempelajari naskah-naskah Primbon wejangan Sunan Bonang, kita akan menjumpai nama-nama judul Kitab dan nama-nama tokoh sebagai sumber pemikiran Wali Songo.
Nama-nama dan judul-judul kitab yang dimaksud ialah:
Ihya ‘Ulumuddin karya Imam Al-Ghazaliy ; Talkhish Al-Minhaj karya Imam Nawawi ; Qut Al-Qulub karya Abu Thalib Al-Makky (salah satu kitab rujukan bagi kitab Ihya nya Al-Ghazaliy). Beberapa nama yang disebut dalam Primbon tersebut ialah :
Pikantaki (Daud Al-Anthakiy) ; Abu Yazid Al-Busthaniy ; Muhyiddin Ibn ‘Arabiy ; Seh (Syeikh) Samangu ‘Asarani (?) ; Abdulkadir Al-Jailaniy ; Syeikh Rudadi (?) ; Syeikh Sabti (?) ; Pandita Sujadi wa Kuwatihi (?). Tamhid Fi Bayanit-Taudih karya Abu Syukur As-Salamiy.
Fiqh, tasawwuf dan tauhid tersusun lengkap dan rapih dalam Primbon Sunan Bonan sesuai dengan ajaran akidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dengan madzhab Syafi’i. Dalam primbon tersebut disamping terdapat ajakan kepada tauhid, juga terdapat seruan kepada pembacanya agar menjauhkan diri dari perbuatan syirik (menyekutukan Allah swt dengan yang lain).
Sunan Bonang juga menegaskan adanya beberapa pemikiran sesat mengenai soal ketuhanan, antara lain :
- Paham atau pemikiran yang menganggap Dzat Allah adalah kekosongan hampa semesta.
- Paham atau pemikiran yang beranggapan bahwa yang ada (maujud) adalah Allah, dan yang tidak ada (‘adam) pun Allah juga.
- Paham atau pemikiran yang menganggap asma Allah itu adalah kehendakNya dan juga DzatNya. Demikian sebaliknya.
- Paham atau pemikiran kaum Batiniyah yang antara lain mengatakan, bahwa semua makhluk adalah sifat Tuhan
- Paham atau pemikiran Kawula Gusti, yaitu yang menganggap manusia dan Tuhan adalah bersatu
- Paham atau pemikiran Wahdatul-Wujud (Pantheisme) yang mengatakan Tuhan itu identik dengan makhlukNya.
Semua paham, pemikiran dan aliran atau ajaran-ajaran seperti yang dikemukakan tadi, oleh Sunan Bonang dinyatakan sesat dan kufur. Dasar-dasar akidah yang ditegakkan dan harus dipelihara, menurut ajaran Sunan Bonang, ialah:
- Allah adalah Al-Khaliq yang Maha Esa, mandiri, tidak tergantung pada apa pun juga dan Maha Kuasa. Ini merupakan asas Tauhid.
- Manusia beroleh kebebasan berikhtiar, ini merupakan asas tanggung jawab insani. Pada penutup primbon tersebut Sunan Bonang menyerukan :“Hendaklah perjalanan lahir batinmu sesuai dengan jalan syari’at, mencintai dan berteladan kepada Rasulallah saw.”
Dari sekelumit isi Primbon-nya Sunan Bonang itu jelas tergolong Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Dan serupa itulah ajaran para Wali Songo atau para Da’i lainnya yang tersebar di Hindia Timur dan kepulauan lainnya. Demikianlah riwayat singkat para Wali Songo dan para Da’i serta ajaran-ajaran pokoknya.
Nama dan sejarah singkat Sembilan orang Wali (Wali Songo)
Untuk sedikit menambah riwayat-riwayat yang telah dikemukakan tadi, marilah kita ikuti berikut ini nama dan silsilah para Wali Songo (Sembilan orang Waliyullah) yang dikenal ,khususnya, dikepulauan Jawa. Kaum muslimin di Jawa pada umumnya yakin bahwa tersebar luasnya agama Islam di Jawa adalah berkat kegigihan, keuletan dan kesabaran sejumlah ulama yang terkenal dengan sebutan: Wali Songo atau Sembilan orang Wali. Ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa jumlah wali pada masa itu hanyalah sembilan orang. Adapula yang berpendapat jumlah mereka lebih dari sembilan, namun yang sembilan orang itulah yang terkenal luas.
Sebutan Wali sesungguhnya adalah singkatan dari kata Waliyullah, yakni orang yang beroleh limpahan karunia dari Allah swt, karena ketinggian mutu ketakwaan mereka kepada Allah dan kemantapan mereka dalam mengabdikan seluruh hidupnya demi kebenaran Allah dan keridhoan-Nya. Para waliyullah adalah hamba-hamba ,diluar para Nabi dan Rasul, yang dicintai Allah swt. Mereka benar-benar manusia sejarah bukan manusia dongeng, sebagaimana yang dikatakan oleh sementara orang yang tidak mempercayai adanya kekeramatan (karomah) yang di limpahkan Allah swt kepada para Wali. Allah swt. telah memberikan penjelasan kepada kita tentang para Wali itu, sebagaimananya firman-Nya:
Artinya: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya para Wali Allah itu tidak khawatir terhadap mereka dan tidak pula mereka itu bersedih hati. Mereka adalah orang-orang beriman dan senantiasa bertakwa” (QS Yunus:62-63).
Allah swt menganugerahkan kehormatan atau kemuliaan ,menurut kehendakNya, kepada siapa saja dari kalangan hamba-hambaNya yang sholeh baik mereka yang dari kalangan umat Muhamad saw maupun dari kalangan para pengikut para Nabi dan Rasul sebelum beliau saw. Sebagaimana yang telah kami kemukakan pada bab 7 diwebsite ini ‘tentang pengertian Wali dan fatwa para ulama’ bahwa Allah swt memberi keampunan kepada pihak yang satu demi kemaslahatan pihak yang lain, memaafkan kesalahan pihak yang satu untuk kebaikan pihak yang lain dan menolong pihak yang satu untuk keselamatan yang lain. Demikianlah sebagaimana yang terdapat didalam hadits-hadits ‘Arafat (dikemukakan oleh Al-hafidh Al-Mundziri dalam At-Targhib wat Targhib bab ibadah haji jilid III hal. 323). Bahkan ada pula hadits-hadits yang menegaskan bahwa diantara para hamba Allah yang sholeh, ada yang justru karena kemuliaan (karomah) para waliyullah itu, Allah menurunkan rizki dalam kehidupan dialam wujud. Karena mereka, Allah menurunkan air hujan, memberikan pertolongan kepada hamba-hambaNya, mencegah datangnya bencana, mendatangkan kebajikan serta menyayangi semua penghuni bumi (hadits-hadits semacam itu antara lain yang diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan rawi-rawinya adalah para perawi hadits shohih dan diriwayatkan juga oleh Anas bin Malik ra dan Thabrani didalam Al-Ausath.).
Nama-nama sembilan orang Wali yang sangat dikenal oleh kaum muslimin dipulau Jawa ialah:
1. Maulana Malik Ibrahim. 2. Sunan Ampel 3. Sunang Bonang 4. Sunan Giri. 5.Sunan Drajat. 6 Sunan Kalijaga. 7. Sunan Kudus. 8. Sunan Muria . 9. Sunan Gunung Jati. Riwayat hidup singkat Wali Songo ini, sebagai berikut:
Maulana Malik Ibrahim:
Beliau adalah Wali pertama dalam jajaran sembilan orang Waliyullah di Jawa. Nama lengkap dan silsilah nasabnya: Maulana Malik Ibrahim bin Barokat Zainul-‘Alam bin Jamaluddin Al-Husain (Jamaluddin Al-Akbar) bin Ahmad Syah Jalal bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Malik bin ‘Alawi bin Muhamad Shahib Marbath bin ‘Ali bin ‘Alawi bin Muhamad bin ‘Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin ‘Isa bin Muhamad bin ‘Ali bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhamad Al-Baqir bin ‘Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Husain bin Al-Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw dan Fathimah Az-Zahra ra binti Muhammad Rasulallah saw. Tidak diragukan sama sekali bahwa Maulana Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ‘Alawiyyin yakni keturunan Ahlu-Bait Rasulallah saw.
Amat besar jasa dan pengabdian beliau kepada masyarakat dan mengeluarkan penduduk pulau Jawa yang pada zamannya masih banyak terbenam didalam kekufuran yaitu penganut agama Hindu dan Budha atau dua-duanya sekaligus Syiwa Budha. Dari penganut agama Hindu hanya golongan Wesya, Sudra dan Paria yang dapat diajak memeluk Islam. Sedangkan dari kaum Brahma dan Ksatria pada umumnya sukar menerima dakwah Islam karena agama Islam akan menyamakan kedudukan social mereka dengan rakyat biasa, yakni kaum kaum Wesya, Sudra dan Paria. Maka dari banyak dari mereka ini yang hijrah ke pulau Bali untuk mempertahankan agama- nya, yang hingga sekarang dikenal dengan agama Hindu Bali.
Ada yang mengatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia, bahkan dikatakan juga bahwa beliau nikah dengan saudara wanita Raja Cermin. Akan tetapi riwayat seperti itu tidak mempunyai dasar yang kuat. Stamford Raffles,seorang politikus Inggris, dalam bukunya ‘History of Java’ yang ditulis tahun 1817 M menegaskan bahwa Maulana Malik Maghribi (julukan Maulana Malik Ibrahim) seorang dari keturunan dari (Ali) Zainal Abidin bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib yakni suami Siti Fathimah binti Muhamad saw. Mengenai negeri Cermin hingga sekarang tidak dapat dipastikan letak geografiknya. Menurut Raffles, terletak di Hindustan, sedangkan pakar sejarah yang lain mengatakan terletak dikepulauan Indonesia. Beberapa riwayat menuturkan bahwa Maulana Malik Ibrahim datang dari Gujarat, India. Menurut petunjuk yang terdapat pada batu nisan makam Maulana Malik Ibrahim, beliau wafat dalam tahun 882 H bertepatan dengan tahun 1419 M dikota Gresik, sebuah desa yang bernama Gapura (sekarang namanya jalan Malik Ibrahim).
Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Sunan Ampel dilahirkan sekitar tahun 1381 M di Campa. Mengenai nama Campa para pakar sejarah berbeda pendapat. Menurut Encyclopaedia Van Nederlandsche Indie, Campa adalah nama sebuah negeri kecil di Kamboja. Akan tetapi Stamford Raffles mengata- kan bahwa negeri Campa bukan di Kamboja, melainkan di Aceh (Sumatra) dan yang sekarang bernama Jeumpa. Pendapat Raffles tampaknya lebih mendekati kebenaran, karena Aceh dalam sejarah terkenal sebagai daerah islam pertama di Indonesia.
Sunan Ampel (Raden Rahmat), adalah saudara sepupu dengan Maulana Malik Ibrahim, di Gresik. Nama asli dan silsilahnya ialah Raden Rahmat bin Ibrahim Asmoro (Sunan Nggesik, Tuban) bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Syah Jalal …dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Malik Ibrahim.
Beliau menikah dengan puteri tumenggung (hampir sama dengan bupati) Tuban Arya Teja, yang bernama Nyai Ageng Manila dan dari perkawinannya ini ia beroleh empat orang anak, ialah: Puteri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makhdum Ibrahim (dijuluki Sunan Bonang), Syarifuddin (Hasyim) yang dijuluki Sunan Drajat, yang keempat ialah seorang puteri.
Sunan Ampel dalam upayanya mengembangluaskan pemeluk agama Islam di pulau Jawa menyelenggarakan pondok pesantren di Ampel, Surabaya. Disanalah ia mendidik pemuda-pemuda Muslim sebagai calon-calon da’i dan muballigh yang akan menyebar keberbagai daerah. Diantara mereka adalah: Raden Paku yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Giri ; Raden Patah (Abdul Fattah) yang kemudian menjadi sultan Bintoro Demak yang bergelar Sultan Alam Akbar Al-Fattah, kerajaan Islam yang pertama di Jawa ; Raden Makhdum Ibrahim putera Sunan Ampel sendiri, yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Bonang ; Syarifuddin (Hasyim, yang juga putera Sunan Ampel sendiri) yang terkenal juga dengan sebutan Sunan Drajat ; para da’i muballigh yang pernah diutus ke Blambangan untuk mengislamkan rakyat disana ; dan para pejuang Islam lainnya. Semuanya itu adalah mantan-mantan murid gemblengan Sunan Ampel. Beliau wafat di Surabaya dan dimakamkan di Ampel, Surabaya.
Sunan Bonang (Maulana Makhdum Ibrahim)
Beliau adalah putera Sunan Ampel dan silsilah nasabnya sekaitan dengan silsilah nasab ayahnya. Menurut riwayat beliau lahir dalam tahun 1465 M dan wafat dalam tahun 1524 M. Sunan Bonang sangat giat dan semangat tinggi menyebarkan agama Islam di Jawa Timur, terutama di Tuban dan sekitarnya. Beliau juga menyelenggarakan pendidikan agama Islam dan menempa calon-calon da’i serta muballigh yang akan bertugas menyebarkan agama Islam keseluruh pelosok pulau Jawa. Konon Sunan Bonang inilah yang menciptakan gending Dhurmo,yang menghilangkan kepercayaan tentang adanya hari-hari sial menurut ajaran Hindu dan menghapus nama dewa-dewa sakti. Sebagai penggantinya, Sunan Bonang menanamkan pengertian dan kepercayaan tentang adanya para malaikat dan para Nabi. Apa saja yang tidak bertentang an dengan ajaran dan kepercayaan Islam oleh Sunan Bonang ditempuh sebagai jalan untuk mendekatkan rakyat kepada agama Islam. Dimasa hidupnya beliau turut berperan dan membantu penyelesaian pembangunan masjid agung Demak. Ini merupakan kenyataan yang membuktikan dukungan Sunan Bonang kepada kerajaan Islam yang pertama di Demak. Menurut makalah yang ditulis oleh Drs. Wiji Saksono yang berjudul ‘Islam Menurut Wejangan Wali Songo berdasarkan Sumber Sejarah’ mengetengahkan bahwa Sunan Bonang yang bergelar Prabu Hanyakrawarti dan berkuasa didalam ‘Sesuluking Ngelmi lan Agami’ sama kedudukannya dengan seorang Mufti besar yang berwenang memecahkan masalah-masalah keagamaan (Islam) dan ilmu. Ajaran-ajaran Sunan Bonang sedikit atau banyak mewakili ajaran ayahnya Sunan Ampel dan saudaranya Sunan Drajat. Sunan Bonang juga seperguruan dengan Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati yaitu berguru kepada Maulan Ishaq. Sunan Bonang adalah guru pertama dari Sunan Kalijaga.
Sunan Giri ( dijuluki Raden Paku)
Nama asli dan silsilah nasabnya adalah: Muhammad Ainul Yakin bin Makhdum Ishaq bin Ibrahim Asmoro bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Syah Jalal dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Maulana Malik Ibrahim. Beliau ini juga keturunan Rasulallah saw sebagaimana Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel dan lain-lain.
Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa Sunan Giri adalah salah satu murid Sunan Ampel. Waktu Sunan Giri berguru kepada Sunan Ampel, beliau bertemu dengan Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), putera Sunan Ampel. Beberapa lama kemudian Sunan Ampel menyuruh puteranya ini bersama Sunan Giri berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji sambil menuntut ilmu lebih dalam lagi. Sebelum berangkat menuju tanah suci mereka berdua singgah di Pasai untuk menambah bekal ilmu. Yang dimaksud ilmu dalam hal ini ialah ilmu ketuhanan menurut ajaran Tasawwuf. Pada masa itu konon banyak ulama berdatangan dari Persia dan India ke Pasai. Usai menunaikan ibadah haji dua orang muda itu pulang ke Jawa. Sunan Giri berhasil memperoleh ilmu ladunniy, sehingga gurunya di Pasai memberinya nama ‘Ainul Yakin’.
Yang menakjubkan banyak orang ialah Sunan Giri justru lebih tersohor daripada gurunya. Dari berbagai pelosok orang berdatangan untuk berguru kepadanya. Bahkan ada pula yang datang dari kepulauan Maluku. Beberapa daerah dibagian timur Indonesia seperti Madura, Lombok, Makassar dan lain-lain, bangga memperoleh ilmu dari Sunan Giri. Hingga abad ke 17 M semua perguruan agama Islam yang diselenggara kan oleh anak cucu keturunan Wali ini kendati mereka tidak disebut sebagai wali terkenal dengan nama perguruan ‘Giri’. Perguruan-perguruan tersebut banyak dikunjungi oleh anak-anak para pembesar dan tokoh-tokoh terkemuka di Maluku. Di Hitu pernah terjadi upacar penghormatan besar untuk menyambut kedatangan sepucuk surat dari sang ‘Raja Bukit’ demikianlah masyarakat di Hitu menyebut salah seorang keturunan Sunan Giri (Giri dari bahasa Sansekerta yang artinya Bukit).Sungguh benar, keturunan Sunan Giri banyak yang beroleh kekuasaan politik penting. Pengaruhnya dalam penobatan raja-raja dipulau Jawa dan sekitarnya amat besar. Sunan Giri dimakamkan dibukit Giri (Gresik). Sepeninggalnya, kegiatan menyebarkan agama Islam diteruskan oleh Sunan Dalem, Sunan Sedam margi dan Sunan Prapen.
Sunan Drajat (Maulana Syarifuddin)
Maulana Syarifuddin terkenal dengan sebutan Sunan Drajat (di Sedayu). Ia putra dari Sunan Ampel. Silsilah nasabnya juga sama dengan silsilah ayahnya sendiri yakni Sunan Ampel, sebagai keturunan dari Rasulallah saw. Dia juga seorang da’i yang gigih dan tekun menyebarkan kebenaran agama Allah, Islam kepada rakayat. Beliau juga termasuk pendukung setia Raden Patah dan turut serta mendirikan kerajaan Islam pertama di Demak (Jawa). Tidak banyak riwayat yang menuturkan kehidupan Sunan Drajat, baik kapan dilahirkan dan kapan dia wafat. Tetapi beliau dikenal sebagai waliyullah dan orang yang berjiwa sosial. Kasih sayang dan bantuannya kepada orang-orang yang hidup serba kekurangan, orang-orang sengsara, anak-anak telantar dan yatim piatu menjadi buah bibir masyarakat luas. Kekhususan Sunan Drajat adalah ia memberikan apa saja yang di milikinya bila diminta oleh orang yang membutuhkan. Terdapat juga riwayat yang mengatakan bahwa Sunan Drajat itulah yang menciptakan tembang ‘Pangkur’. Wallahu a’lam.
Sunan Kalijaga (Raden Mas Syahid)
Nama aslinya Raden Mas Syahid (R.M.Syahid) putra Ki Tumenggung Wilatika, bupati Tuban. Tentang nasab atau silsilah Sunan Kalijaga terdapat perbedaan pendapat dikalangan pakar sejarah Wali Songo. Sebagian mengatakan dia seorang dari suku Jawa Asli. Sebagian lagi dari pakar sejarah menegaskan nama asli Sunan Kalijaga ialah Zainal Abidin dan ia putra Sunan Ampel yakni bersaudara dengan Sunan Drajat, Sunan Bonang dan Sunan Kudus. Jika itu benar, berarti silsilah nasabnya sama dengan ayahnya yaitu Sunan Ampel yang bersambung sampai Imam Ali bin Abi Thalib kw isteri Fathimah Az-Zahra binti Muhamad saw. Ada sementara penulis yang mengatakan bahwa dia berdarah keturunan Arab yang berpuncak kepada Sayiduna Abbas bin Abdul Mutthalib (paman Rasulalallah saw). Menurut penulis ini Sunan Kalijaga adalah anak Tumenggung Wila Tirto, gubernur Jepara, bin Ario Tejo Kusumo, gubernur Laku, bin Ario Nembi bin Lembu Suro, gubernur Surabaya, bin Tejo Tuban bin Khurames bin Abadallah bin Abbas bin Abadallah bin Ahmad bin Jamal bin Hasanuddin bin Arifin bin Ma’ruf bin Abadallah bin Muzakir bin Wakhis bin Abadallah Azhar bin Abbas bin Abdulmutthalib...bin Hasyim dan seterusnya. Tetapi pembuktian si penulis seperti itu sukar diterima kebenarannya dan nama-nama yang disebutnya pun janggal. Sunan Kalijaga kawin dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq dan beroleh seorang putera dan dua orang puteri, yaitu: Raden Umar Sa’id, kemudian disebut Muria, Dewi Rukayah dan Dewi Sofiah.
Sunan Kalijaga seorang waliyullah yang sangat besar toleransinya, seorang pujangga (ahli hikmah) dan seorang filosof. Penulis Belanda menyebutnya Reizende Mubalig (Muballigh Keliling). Tiap pergi untuk bertabligh selalu di-ikuti oleh beberapa orang ningrat (kaum bangsawan Jawa) dan cendekiawan. Mereka ini menaruh simpati besar kepada Sunan Kalijaga bukan karena Wali ini orang Jawa Asli, melainkan karena ia berpikir kritis, cermat dan berpandangan jauh kedepan. Dia termasuk Wali yang sangat dihormati dan disegani, Sampai zaman sekarang ini dia dikenal oleh semua lapisan masyarakat Jawa dari lapisan atas (bangsawan) sampai lapisan bawah (rakyat jelata). Beliau tidak hanya mengislamkan manusia saja, tetapi juga mahir mengislamkan (memasukkan unsur-unsur dan pandangan Islam) keberbagai cabang kebudayaan Jawa seperti seni musik (gamelan dan gending), seni drama (dalam pementasan wayang kulit) dan kesusasteraan. Dia ,meskipun bukan penggemar kesenian, menguasai dengan baik ilmu karawitan (gending-gending dan lagu Jawa termasuk teori musik gamelan). Dia memesan serancak (seperangkat) gamelan dari seorang empu terkenal. Gamelan itu diberi nama ‘Kyai Sekati’, kemudian ditempatkan di serambi masjid Demak. Media dakwah yang bercorak seni rebana dan lagu-lagunya yang berirama Arab, yang sudah mulai dikenal oleh sebagian kaum Muslimin Jawa, dibiarkan terus berlangsung dan Sultan Kalijaga menambah mediah dakwah nya dengan gamelan. Rebana dan gamelan dihidupkan bersama, terutama pada tiap tahun memperingati hari lahir Nabi Muhamad saw. Gamelan yang berada di bawah tarub (atap terbuka) didepan serambi masjid Demak dihias dengan berbagai bunga agar menarik perhatian orang banyak, dan gamelan itu ditabuh tiada henti-hentinya. Sunan Kalijaga adalah seorang ulama yang sangat besar ketakwaannya kepada Allah swt dan mengenal baik apa yang dihalalkan dan yang diharam kan oleh syari’at Islam. Mengenai kapan Sunan Kalijaga dilahirkan dan kapan wafatnya tidak diketahui dengan pasti oleh pakar sejarah Islam di Indonesia. Yang sudah pasti ialah Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu, masih termasuk Kabupaten Demak, disebelah Timur Laut kota Demak. Wallahu a’lam.
Sunan Kudus (Jakfar Shadiq)
Jakfar Shadiq atau yang terkenal dengan nama Sunan Kudus adalah putera Raden Usman Haji yang bergelar Sunan Ngudung di Jipang Panolan (ada yang mengatakan letaknya diutara kota Blora). Ada lagi sebagian pakar sejarah Islam di Indonesia yang mengatakan bahwa Sunan Kudus adalah putera Sunan Ampel. Jika ini benar maka nasab silsilahnya sama dengan nasab silsilah Sunan Ampel dan termasuk keturunan Rasulallah saw atau kaum Alawiyyin sama dengan tiga saudaranya Sunan Drajat, Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga (?). Sunan Kudus disamping kegiatannya sebagai da’i penyebar agama Islam yang teguh berpegang pada ketentuan hukum syariat ,seperti halnya para Wali lainnya, ia pun mempunyai kedudukan resmi sebagai senopati (Panglima Perang) kerajaan Islam Demak. Peninggalan Sunan Kudus yang paling menonjol adalah Masjid Agung di Kota Kudus. Bahkan menara yang berada didepan masjid Agung pun diberi nama Kudus. Nama Kudus diambil dari nama kota Baitul Makdis, yang oleh orang-orang Arab disebut juga dengan nama Al-Quds (bermakna Suci). Beliau diperkirakan wafat dalam tahun 1550M.
Sunan Muria (Raden Umar Sa’id)
Nama aslinya Sunan Muria adalah Raden Umar Sa’id (ada yang menulis Raden Umar Syahid), termasuk Wali Songo yang kondang ditanah Jawa. Beliau dijuluki Sunan Muria karena ia hidup dilereng gunung Muria dan jenazahnya dimakamkan disana. Dalam riwayat disebut, Sunan Muria putera Sunan Kalijaga. Dengan demikian nasab silsilahnya ada dua versi. Versi pertama yaitu yang meriwayatkan Sunan Kalijaga orang Jawa Asli. Versi kedua meriwayatkan bahwa Sunan Kalijaga berdarah keturunan Arab (silahkan rujuk kembali riwayat Sunan Kalijaga). Sunan Muria menikah dengan puteri Sunan Ngudung yang bernama Dwei Sujinah. Dari perkawinannya beroleh seorang putera yang bernama Pangeran Santri, kemudian mendapat nama julukan Sunan Ngadilangu. Sunan Muria termasuk pendukung setia Kerajaan Islam Demak, bahkan bersama-sama Raden Patah dan lainnya, dia turut serta dalam mendirikan kerajaan tersebut dan ikut serta dalam penyempurnaan pembangunan Masjid Agung Demak. Dalam kegiatan mendakwahkan kebenarana agama Allah, Islam, ia lebih suka bergerak didesa-desa pedalaman yang letaknya jauh dari keramaian kota. Ia sendiri lebih senang tinggal didesa dan bergaul sehari-hari dengan rakyat jelata untuk ditarik masuk kedalam agama Islam, meskipun demikian dia tidak menolak siapa saja yang datang untuk menuntut agama Islam. Kawasan tempat ia berdakwah terletak dilereng gunung Muria, 18 km dari kota Kudus. Dalam mempertahankan kelestarian seni budaya Jawa ,sebagai media dakwah, dia menciptakan gending (lagu-lagu) ‘Sinom’ dan ‘Kinanti’, yang liriknya antara lain berbunyi: “Islam ageming urip, tan kena tininggala’ (Agama Islam adalah busana kehidupan, tak boleh ditinggalkan).
Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Sunan Gunung Jati mempunyai banyak nama antara lain Syarif Hidayatullah, Makhdum Gunung Jati dan masih banyak nama lainnya, yang paling terkenal ialah dengan nama Faletehan atau Fatahillah. Nasab silsilahnya ialah: Syarif Hidayatullah bin Abdullah (‘Umdatuddin) bin Ali Nur Alam bin Maulana Jamaluddin Al-Akbar Al-Husain bin Sayid Ahmad Syah Jalal bin Amir Abdulmalik bin Alwi bin Muhamad Shahib Marbath..dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Maulana Malik Ibrahim. Dengan demikian Sunan Gunung Jati adalah keturunan Ahlu-Bait Rasulallah saw, yakni termasuk kaum Alawiyyin. Silsilah dan Nasab Sunan Gunung Jati ini dipandang absah, karena sudah dicocokkan dengan naskah yang ada di Palembang yaitu silsilah nasab Sunan Palembang dan dengan silsilah nasab yang berada di Banyuwangi. Menurut riwayat Sunan Gunung Jati datang dari Pasai (Sumatra utara) dan masa itu Pasai diduduki oleh orang-orang Portugis yang datang dari Malaka. Malaka direbut oleh Portugis pada tahun 1511 M. Sunan Gunung Jati pernah menuntut ilmu dikota Mekkah, kemudian nikah dengan adik perempuan Sultan Trenggono (Sultan Demak ke tiga). Sultan-sultan Banten adalah keturunan beliau. Pada masa kekuasaan Sultan Trenggono ,berkat kegiatan dan jasa-jasa Sunan Gunung Jati, banyak daerah Jawa Barat berhasil di Islamkan, kemudian dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan Demak. Untuk mempertahakan keislaman daerah-daerah itu Sunan Gunung Jati tetap berada di Jawa. Pada masa itu Jawa Barat masih berada dibawah kekuasaan kerajaan Hindu. Demikian pula Banten dan Sunda Kelapa. Atas izin dan persetujuan Sultan Demak , Trenggono, berangkatlah sebuah ekspedisi Islam ke Banten dibawah pimpinan Sunan Gunung Jati. Setelah berjuang sekian lama dengan gigih dan tabah pada akhirnya Banten jatuh ketangan Muslimin dan Sunda Kelapa pun dapat direbut dari kekuasaan Pajajaran. Dalam tahun 1526 M kolonial Portugis menginjakkan kaki di Sunda Kelapa, tetapi tak lama kemudian mereka dengan kekerasan diusir oleh Sunan Gunung Jati dan para pengikutnya. Serangan Franciso De Sa pun oleh Sunan Gunung Jati dipukul mundur, kemudian mereka lari meninggalkan Sunda Kelapa kembali ke Malaka (1527 M). Demikianlah perjuangan beliau terhadap golongan kolonial Portugis yang berani mengacak-acak tanah tumpah darahnya di Pasai. Sunan Gunung Jati wafat dalam tahun 1570 M dan dimakamkan didaerah Cirebon (Jawa Barat).
Dari semua uraian tadi ini ,yang ditulis oleh pakar sejarah baik penulis Barat maupun penulis Timur, dapat kita ambil kesimpulan bahwa yang mendakwahkan agama Islam pada umumnya orang-orang Arab atau keturunan Arab, yang datang melalui India atau negeri lain. Mereka bertebaran diberbagai kawasan di Timur dan melalui mereka inilah agama Islam tersebar. Dari semuanya itu dapat diketahui bahwa para penyebar agama Islam itu banyak terdiri dari kaum Sayid Alawiyyin dari Hadramaut. Sebagaimana diketahui bahwa para Sayid itu pada umumnya dipandang sebagai sumber pemikiran dan sumber kehidupan spiritual dari pusat-pusat agama Islam, baik yang berada dinegeri-negeri Arab, di India maupun dikawasan Timur Jauh. Sedang ada orang yang mengatakan penyebaran agama Islam yang pertama adalah dari orang-orang keturunan Cina atau keturunan Hindia, adalah tidak benar!
Mengenai nama-nama asli mereka (bukan silsilahnya) sembilan orang wali –kecuali Maulana Malik Ibrahim– hingga sekarang masih terdapat sedikit perbedaan diantara para penulis. Hal itu dapat di maklumi karena mereka pada umumnya tidak meninggalkan pusaka-pusaka tertulis. Adapun nama-nama yang didahului dengan sebutan Sunan semuanya adalah nama-nama julukan atau gelar yang berasal dari kata Susuhunan artinya Yang Mulia. Demikian pula gelar Maulana yang bermakna Pemimpin kita. Semua nama julukan atau nama gelar tersebut diberikan oleh masyarakat muslimin di Jawa pada masa dahulu, karena ketika itu mereka belum mengenal sebutan Sayid, Syarif dan Habib yang lazim digunakan untuk menyebut nama-nama keturunan Ahlu-Bait Rasulallah saw. Sampai sekarang, setiap hari berbondong-bondong para penziarah –baik yang dari Indonesia maupun dari luar negeri– yang berkunjung kepusara para wali Songo tersebut. Ditempat pemakaman mereka ini para penziarah membaca tahlil, berdoa kepada Allah swt. sambil bertawassul serta bertabaruuk kepada para wali tersebut. (baca bab Tawassul/Tabarruk disitus ini).Wallahua'lam
Setelah keterangan singkat mengenai kemuliaan ahlul-bait Rasulallah saw, para wali songo serta kaum Alawiyin, kami tambahkan lagi catatan berikut ini nasab silsilah para pelopor Da’i ,selain wali songo diatas, dari buku yang berjudul Asal-Usul Para Wali Sunan, Sultan Dsb, di Indonesia, tahun 1975 disusun oleh Tharick Chehab guru besar L.B.I.A.I.N Jakarta
Insya Allah lebih jelas buat kita bahwa banyak sekali golongan Alawiyin yang aslinya dari Hadramaut menyebar ke India sampai ke negara kita Indonesia. Nama julukan suku Alawiyin (keturunan Rasulallah saw dari Hadramaut/Yaman selatan) diambil dari nama datuknya yaitu Sayid Alwi bin Abdullah, nasab atau silsilahnya sebagai berikut : Alwi bin Abdullah alias Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa Al-Naqib bin Muhamad al-Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Jakfar As-Sadiq bin Muhamad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husein bin Ali bin Abi Thalib kw. suami sayidah Fathimah Az-Zahra binti Muhamad saw.
Nasab/silsilah para pelopor Da’i(wali-wali) golongan pertama ,selain wali songo, yang memasukkan Islam ke Indonesia (kami tidak mensusun secara urut)
– Abu Salam Jumad gelar Sunan atau Susuhunan Atas Angin bin Makhdum Kubra bin Jumad al-Kubra bin Abdallah bin Tajadin bin Sinanaddin bin Hasanuddin bin Hasan bin Samaun bin Najmaddin Al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin Zaid Zain al-Kabir al-Madani bin Umar Zain al-Husain bin Zain al-Hakim bin Walid Zain al-Alim al-Makki bin Walid Zain al-alim bin Ali Zainal Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-imam Ali (bin abi Thalib) kw.
– Na’im gelar Sunan Wali Allah bin Abdul-Malik Asfarani bin Husain Asfarani bin Muhamad Asfarani bin Abibakar Asfarani bin Ahmad bin Ibrahim Asfarani bin Tuskara ,imam Yaman, bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin Zain al Kubra bin bin Zaid Zain al-Kabir al-Madani .. dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Abu Salam Jumad
– Sunan Tembayat bin Muhamad Maula al-Islam bin Ishaq gelar ,Wali lanang dari Blambangan,bin Abu Ahmad Ishaq dari Malaka bin Hamid bin Jumad al-Kabir bin Mahmud al-Kubra bin Mahmud al-Kabir bin Abdurrahman bin Abdullah al-Baghdadi bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin al-Kubra bin Najmaddinal-Kabir bin Zain al-Kubra bin Zaid Zain al-kabir al-Madani ... dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Abu Salam Jumad.
– Hasanuddin gelar Pangeran Sabakingking bin Ibrahim ,gelar Sunan Gunung Jati, bin Ya’qub ,gelar Sutomo Rejo, bin Abu Ahmad Ishaq dari Malaka bin Hamid bin Jumad al-Kabir bin Mahmud al-Kubra bin Mahmud al-Kabir bin Abdurrahman bin Abdullah al-Baghdadi bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin al-Kubra bin Najmaddinal-Kabir bin Zain al-Kubra bin Zaid Zain al-kabir al-Madani ... dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Abu Salam Jumad.
– Kiyahi Ageng Lurung Tengah bin Syihabuddin bin Nuraddin Ali bin Ahmad al-Kubra al-Madani bin Hamid bin Jumad al-Kabir bin Mahmud al-kubra bin Mahmud al-Kabir bin Abdurrahman bin Abdullah al-Baghdadi bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin Zain al-Kubra bin Zaid Zain al-kabir al-Madani dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Abu Salam Jumad.
–Sunan Kalinyamat bin Haji Usman bin Ali ,gelar Raja Pendeta Gresik, bin Abu Ali Ibrahim Asmoro al-Jaddawi bin Hamid bin Jumad al-Kabir bin Mahmud al-Kubra bin Abdurrahman bin Abdullah al-Baghdadi bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin al-Kubra bin Najmaddinal-Kabir bin Zain al-Kubra bin Zaid Zain al-kabir al-Madani ........... dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Abu Salam Jumad.
– Ibrahim ,gelar Sunan Puger, bin Askhian bin Malik bin Jakfar al-Sadiq bin Hamdan al-Kubra bin Mahmud al-Kabir Mahmud al-Kabir bin Abdurrahman bin Abdullah al-Baghdadi bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin al-Kubra bin Najmaddinal-Kabir bin Zain al-Kubra bin Zaid Zain al-kabir al-Madani ... dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Abu Salam Jumad.
–Sunan Pakala Nangka dari Banten bin Makhdum Jati ,Pangeran Banten, bin Abrar bin Ahmad Jumad al-Kubra bin Abid al-Kubra bin Wahid al-Kubra bin Muzakir Zain al-Kubra bin Ali Zain al-Kubra bin Muhamad Zain al-Kabir bin Muhamad al-Kabir bin Abdurrahman bin Abdullah al-Baghdadi bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin al-Kubra bin Najmaddinal-Kabir bin Zain al-Kubra bin Zaid Zain al-kabir al-Madani dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Abu Salam Jumad.
– Sunan Geseng bin Husain bin Al-Wahdi. bin Hasan bin Askar bin Muhamad bin Husein bin Askib bin Muhamad Wahid bin Hasan bin Asir bin ‘Al bin Ahmad bin Mosrir bin Jazar bin Musa bin Hajr bin Jakfar al-Sadiq bin Muhamad al-Baqir bin Ali Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husein bin al-Imam Ali (bin Abi Thalib) kw. ................
–Sunan Pakuan bin al-Ghaibi bin al-Wahdi dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Sunan Geseng.
–Jamaluddin Al-Husain gelar Wajuk Makassar bin Imam Ahmad Syah bin Amir Abdullah Khan bin Abdul Malik bin Alwi bin Muhamad Sahib Marbat bin Ali Khaliq Qasam bin Alwi bin Muhamad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Almuhajir bin Isa bin Muhamad bin Ali Aluraidhi bin Jakfar as-Sadiq bin Muhamad al-Baqir bin Ali Zainul-Abidin bin al-Husain bin al-Imam Ali (bin Abi Thalib) kw.
–Babulloh gelar Sunan Ternate bin Abdullah dari Kamboja (Campa) bin Ali Nurul Alam dari Siam bin Jamaluddin Al-Husain....... dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Jamaluddin Al-Husain diatas.
– Zainal Abidin (Demak-Jawa Tengah) bin Ahmad Hisam bin Raden Rahmat bin Ibrahim Asmorobin Jamaluddin Al-Husain ....... dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Jamaluddin Al-Husain .– Ali Murtadho gelar Raden Santri (Bedilan Gresik Jawa Timur) bin Ibrahim Asmoro gelar Sunan Nggesik (Tuban) bin Jamaluddin Al-Husain ... ....... dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Jamaluddin Al-Husain.
– Hasanuddin (Banten) bin Hidayatullah (sunan Gunung Jati) bin Abdullah (kamboja) bin Ali Nurul Alam (Siam) bin Jamaluddin Al-Husain ....... dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Jamaluddin Al-Husain diatas. .
Kerajaan-kerajaan Islam yang didirikan di pulau Jawa, keturunannya dan tokoh-tokoh Islam yang ternama
– Yang terdapat hingga kini adalah para sultan Cirebon, keturunan langsung dari Sunan Gunung Jati. Hanya kepada para Alawi (sayid) diperkenankan ziarah makam moyangnya. Belanda melarang gelar sultan digunakan.
– Keluarga para sultan Banten, keturunan langsung dari seorang putera Sunan Gunung Jati, dibuang oleh Belanda ke Surabaya. Suatu cabang dari keluarga para sultan Banten adalah para Regen Cianjur, kedudukan mana ditetapkan pada tahun 1815.
– Keturunan Sunan Kalijogo adalah Pangeran Kadilangu dekat Demak, sedangkan keturunan Sunan Drajat tinggal diatas tanah milik Drajat, sebesar lebih kurang 9 hektar dekat Sedayu, inilah yang merupakan sisa dari kerajaan Drajat.
– Sejarah keluarga Ba-Syaiban : Pada permulaan abad ke 18:datang dari Hadramaut (yemen selatan) ke Cirebon adalah Sayid Abdurrahman bin Muhamad. Beliau menikah dengan puteri Sultan Cirebon. Kedua puteranya, Sulaiman dan Abdurrahman memperoleh gelar Kiyahi Mas, semula tinggal di Surabaya dan kemudian di Krapyak (Pekalongan). Suatu cabang dari keluarga ini menetap di Surabaya. Seorang putera dari Abdurrahim bernama Sa’id, menikah dengan puteri Raden Adipati Danu Rejo, pengurus kerajaan Jogyakarta. Dari ketiga puteranya, yang tertua Hasyim bergelar Raden Wongso Rojo, yang kedua Abdallah bergelar hanya Raden, sedangkan yang ketiga Alwi kemudian, pada tahun 1813 menjadi regen Magelang dengan nama dan gelar Raden Tumenggung Danu Ningrat 1. Pada tahun 1820 beliau bergelar Raden Adipati. Keturunan dari Hasyim dan dari Abdallah tinggan di Jogyakarta, dan beberapa daripada mereka memangku jabatan-jabatan penting pada ke Sultanan. Pada tahun 1826, Hamdani bin Alwi yang menggantikan ayahnya sebagai Regen Magelang dan bergelar Raden Tumenggung Ario Danu Ningrat II. Pada tahun 1862 beliau diganti oleh puteranya Sa’id yang bergelar Raden Tumenggung Danu (Kusomo) Ningrat III. Pada tahun 1879 beliau diganti oleh puteranya Sayid Ahmad bin Sa’id yang bergelar Raden Tumenggung Danu Kusomo. Sayid Sa’id bin Hamdani balik dari haji (Mekkah) pada tahun 1881, seorang sayid dari keturunan para pangeran Jawa kuno.
– Sejarah keluarga pelukis terkenal Raden Saleh. Nama aslinya adalah Sayid Saleh bin Husain bin Yahya. Kakeknya Awadh datang dari Hadramaut ke Jawa pada permulaan abad ke 19 dan menikah dengan puteri Regen Lasem , kiayahi Bostam. Puteranya, sayid Husain bin Awadh tinggal di Pekalongan, dimana beliau menikah dengan puteri Regen Wiradesa. Beliau memperoleh dua putera dengan gelar Sayid dan dua puteri dengan gelar Syarifah. Putera yang kedua bergelar pula Raden. Seorang putrinya dinikahkan dengan patih Galuh.–
– Suatu cabang dari keluarga bin Yahya, tiba di pulau Pinang pada permulaan abad ke 19 juga, dan namanya Tahir. Beliau menikah dengan seorang putrid dari keluarga Sultan Jogyakarta., sultan ini dibuang ke pulau Pinang selama 1812-1816. Sayid Tahir datang ke Jawa tinggal di Semarang. Puteranya yang ketiga Ahmad Raden Sumodirjo yang kemudian tinggal di Pekalongan dan memperisterikan seorang Syarifah dari keluarga Ba’abud. Puteranya sayid Saleh bergelar Raden Sumo Di Putro. Satu-satu putrinya menikah dengan seorang Syeikh dari Hadramaut.
– Keluarga Al-Ba’abud: Sayid Ahmad bin Muhsin Ba’abud tiba dari Hadramaut di Pekalongan pada permulaan abad ke 19 dan menikah dengan seorang putrid Regen Wiradesa. Seorang anak cucunya Sayid Muhsin bin Husin bin Ahmad Ba’abud bergelar Raden Suro Atmojo dan saudaranya yang bernama Ahmad bergelar Raden Suro Di Putro.
– Keluarga Jamal-al-Lail: Di Priaman (Sumatra Barat) ada suatu cabang dari keluarga Jamal-al-Lail dan kepada para keluarganya penduduk memberi gelar Sidi.
– Pada kerajaan Jambi, banyak terdapat anggota keturunan Baraqbah dan Al-Jufri, begitu pula di Aceh ada keluarga dari keturunan Jamal-al-Lail.
– Di kesultanan Pontianak dan di Kubu, banyak sekali terdapat keturunan Al-Qadri, Al-Aydrus, Ba-Abud, Mutahhar, Al-Hinduan, Al-Habsyi, Al-Haddad, Al-Saqqaf dan keturunan Alawiyin lainnya. Semua ini bersanak saudara dengan keluarga sultan Al-Qadri. Para Sayid digelari Wan ringkasan dari Tuan dan untuk kaum wanitanya digelari Wan Ipa ringkasan dari Tuan Syarifah.
–Keluarga para sultan Siak dan keluarga penguasa Palalawan adalah semua Alawiyin, begitu pula di Palembang. Keluarga-keluarga para Alawiyin yang terkemuka di Palembang adalah bangsa Syeikh Abubakar, Al-Habsyi, Bin Syahab, Al-Saqqaf, Baraqbah, Al-Kaf, Al-Munawar dan Al-Jufri. Antara mereka ada yang berkeluarga dengan sultan-sultan dahulu. Banyak sekali terjadi percampuran darah antara keluarga-keluarga Alawiyin dengan para terkemuka bangsa Indonesia seperti putrid sultan dari pulau Bacan.
Pendiri kesultanan Siak adalah Sayid Ali bin Usman bin Syihab, dari Palalawan adalah Sayid Abdurrahman bin Usman bin Syihab dan dari Pontianak adalah Sayid Abdurrahman bin Husein Al-Qadri.
– Pendiri kesultanan Sulu adalah Sayid Abubakar dari Palembang dengan gelaran Sultan Sharif (penduduk Sulu menyebutnya As-Sultan As-Syarif AlHasyimi. Urutan para sultan adalah sebagai berikut: Maharaja Upu – Pangeran Budiman – Sultan Tanga – Sultan Bungsu – Sultan Nasiruddin - Sultan Karamat – Sultan Syahabuddin – Sultan Mustafa gelar Sapiuddin – Sultan Muhamad Nasaruddin – Sultan Alimuddin I – Sultan Muhamad Mu’izziddin – Sultan Israil – Sultan Muhamad Alimuddin II – Sultan Muhamad Sarapuddin – Sultan Muhamad Alumuddin III.Masuknya Islam dan terdirinya dynasti Islam di Sulu 1380-1450. (pendiri kesultanan Sulu dan masuknya Islam disana dikutip dari The History of Sulu oleh Najeeb M.Saleeby, Manila 1963).
Daftar Nama-Nama Bangsa (Suku) Alawiyin –di Indonesia
1. Al – Ahmad Hamid Munfar
2. – Ba Abud
3 – Ba Ali
4 – Ba Aqil Al-Saqqaf
5 – Ba Bareyk
6 – Ba Faqih
7 – Ba Faraj
8 – Ba Harun
9 – Ba Hasyim
10 – Bahr
11 – Ba Husein
12 – Baiti
13 – Balakhi
14 – Bar
15 – Barakwan
16 – Ba Raqbah
17 – Ba Syiban
18 – Ba Surrah
19 – Ba Umar
20 – Bilfaqih
21 – Bin Abbad .
22 – Bin Ahsan
23 – Bin Qutban
24 – Bin Sahl
25 – Bin Syuaib
26 – Bin Thahir
27 – Bin Yahya
28 – Barum
29 – Bu Futim
30 – Bu Numay
31 – Taqawi
32 – Jamal Al-Lail
33 – Hamid
34 – Hasni
35 – Khaneyman
36 – Khird
37 – Zahir
38 – Sumeyt
39 – Saqqaf
40 – Sakran
41 – Safi
42 – Masyhur
43 – Maula Al-Dawilah
44 – Maula Khailah
45 – Mudhar
46 – Mudhir
47 – Munawwar Al-Saqqaf
48 – Muqaibil
49 – Musawa
50 – Muthabar
51 – Wahth
52 – Haddar
53 – Hadi
54 – Hinduan
55 – Sri
56 – Syatri
57 – Syihab
58 – Syaikh Abubakar
59 – Aidid
60 – Aqil bin Salim
61 – Attas
62 – Aydarus
63 – Fad’aq
64 – Fakhr
65 – Qadri
66 – Jufri
67 – Junaid
68 – Junaid
69 – Habasyi
70 – Haddad
71 – Kaf
72 – Madeyhiy
73 – Maghribi
74 – Mahdali
75 – Marzaq
Daftar perpustakaan (Sumber Catatan)
– Berg L.W.C.van den – ‘Le Hadramout Et Les Colonies Arabes Dans L’Archipel Indien’, Batavia 1886
– Al-Haddad, Sajed Alwi b.Taher, Mufti Kerajaan Djohor Malaya – ‘Sedjarah Perkembangan Islam Di Timur Djauh’ – Maktab Addaimi, Jakarta 1957
– Harahap A.Salim ‘Sedjarah Penyiaran Islam Di Asia Tenggara’ – Tjetakan ke dua. Penerbit ‘Islamiyah, Medan 1951
– Saleeby Najeeb M – ‘The History of Sulu’ – Manila 1963
– Risalah Seminar ‘Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia’– Diterbitkan oleh Panitia Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia, Medan , Maret 1963.
Insya Allah setelah membaca isi website ini, para pembaca bisa menilai sendiri jalan mana yang akan kita tempuh agar keridhoan Allah swt dan Rasul-Nya selalu mengiringi kita semua. Semoga semua yang tercantum diwebsite yang sederhana ini, bisa memberi manfaat bagi diri dan keluarga kami khususnya serta semua umat muslimin umumnya. Semoga Allah swt dan Rasul-Nya berkenan menerima serta meridhoi sedikit kebajikan yang kami kutip didalam website ini bi haqqi (demi kebenaran) wa bi jaahi (dan demi kedudukan/kemuliaan) junjungan kita Habibullah Muhamad saw, para ahlul-bait dan keturunannya. Tidak lain tujuan dan harapan kami menulis makalah-makalah dalam website ini agar kita semua tidak sesat-mensesatkan sesama muslimin.
Sudah tentu kami sebagai manusia yang penuh kekurangan dan tidak akan luput dari kesalahan dan kekhilafan, dengan demikian kami mohon pada Allah swt untuk sudi mengampuni diri kami bila ada kesalahan dan kekhilafan dalam website ini.
”Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami salah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”.
Bi Haqqi Muhammad Wa Aali Muhammad, kabulkanlah ya Allah do’a kami.
Wa maa taufiqi illa billah, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unib.
Sebagai manusia yang penuh kekurangan, kami mengharap masukan dan saran dari segenap para pembaca budiman, silahkan kirim email: syafii_ali55@yahoo.com.
Juni 2007
Hamba Allah yang lemah
A.Shihabuddin
Sumber:http://www.everyoneweb.com/tabarruk/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar