(Bagian I)
Paham Wahabi dinisbatkan kepada Muhammad putra Abdul Wahhab dari Najd. Penisbatan ini diturunkan dari nama ayahnya yaitu Abdul Wahab. Sebagaimana para ilmuwan menempatkannya, hal ini menjadi alasan mengapa paham ini tidak disandarkan kepada Ibn Abdul Wahhab sendiri dan tidak dinamakan “Muhammadiyah” karena kekhawatiran atas pengikut keyakinan ini kalau menganggap sekte ini memiliki hubungan dengan nama Nabi Muhammad Saw dan bisa menyalahgunakan penisbatan ini. [1]
Ibn Abdul Wahhab lahir pada tahun 1115 H di kota ‘Uyaynah yang terletak di wilayah Najd. Ayahnya adalah seorang kadi (hakim agama) di kota itu. Sejak masa kecilnya, Ibn Abdul Wahhab memiliki minat yang sangat besar terhadap buku-buku tafsir, hadis, dan prinsip-prinsip keimanan (akidah).
Dia mempelajari fikih mazhab Hanbali dari ayahnya yang merupakan salah seorang ulama mazhab Hanbali. Sejak perkembangan usianya yang masih remaja, Ibn Abdul Wahhab memandang kegiatan-kegiatan ibadah keagamaan penduduk kota Najd saat itu sebagai hal yang menyimpang.
Usai melaksanakan haji di Makkah, dia melanjutkan pergi ke Madinah. Di sana Ibn Abdul Wahhab menentang praktik kaum Muslim yang bertawasul kepada Rasulullah Saw yang terletak bersebelahan dengan makam suci beliau.Kemudian dia kembali ke Najd, lalu dari sana dia berangkat lagi ke Basrah dengan maksud di mana setelah itu akan meninggalkan Basrah menuju ke Damaskus.
Ibn Abdul Wahhab menetap beberapa lama di Basrah dan mulai menentang praktik keagamaan yang dilakukan penduduk setempat. Akan tetapi, penduduk Basrah mengusirnya dari kota mereka. Selama dalam perjalanan dari Basrah menuju kota Zubayr, dia hampir saja binasa karena panas yang menyengat, rasa haus, dan jalan yang panjang sejauh mata memandang di gurun tandus padang pasir.Tetapi seseorang dari kota Zubayr, dengan melihat penampilan pakaian jubah Ibn Abdil Wahhab seperti seorang ulama, berusaha menyelamatkan hidupnya. Dia memberi Ibn Abdil Wahhab seteguk air, membopong lalu membawanya ke kota Zubayr.
Ibn Abdil Wahhab berkeinginan melanjutkan perjalanan dari Zubayr ke Damaskus, namun dia tidak mempunyai bekal yang memadai dan tidak dapat mengusahakan biaya selama perjalanan, lalu mengubah tujuannya dan menuju ke arah kota Al-’Ahsa. Dari sana dia memutuskan pergi ke Huraymalah, salah satu dari kota-kota di wilayah Najd.
Saat itu tahun 1139 H, ayahnya, Abdul Wahab telah dipindahkan dari kota Uyainah ke kota Huraymalah. Ibn Abdul Wahhab menemani ayahnya dan mempelajari isi buku-buku dari ayahnya.Dia berencana mulai menyebarkan pahamnya dengan menyampaikan penolakan terhadap keyakinan penduduk Najd. Karena alasan ini, timbul ketidaksetujuan serta argumentasi dan perdebatan yang panas antara anak dan ayah. Dalam persoalan yang sama, pertengkaran serius dan keras meledak antara dia dan penduduk Najd. Kejadian ini berlangsung selama beberapa tahun sampai ayah Ibn Abdul Wahhab, yaitu Syekh Abdul Wahab, meninggal dunia pada tahun 1153 H. [2]
Sejak ayahnya wafat, Ibn Abdul Wahhab mulai bergerak menyebarkan keyakinan agamanya sendiri serta menolak praktik keagamaan para penduduk yang mayoritas Muslim Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sekelompok orang dari Huraymalah mengikutinya dan kegiatan dakwahnya mendapatkan popularitas dan terkenal. Kemudian dia berangkat dari Huraymalah menuju kota Uyaynah. Pada masa itu, Utsman bin Hamid adalah kepala daerah kota Uyaynah. Utsman menerima Ibn Abdil Wahhab dan menghormatinya serta membuat keputusan untuk membantunya. Sebaliknya Ibn Abdil Wahhab juga mengungkapkan harapan agar seluruh penduduk kota Najd akan patuh kepada Utsman bin Ahmad. Berita tentang seruan dan kegiatan dakwah Ibn Abdil Wahhab sampai kepada penguasa kota Al-’Ahsa. Penguasa menulis sepucuk surat kepada Utsman.
Konsekuensi dari penulisan surat itu ialah bahwa Utsman menyampaikan perintah agar Ibn Abdil Wahhab membubarkan aktivitas dakwahnya. Ibn Abdil Wahhab dalam balasannya menjawab bahwa “Jika engkau menolong saya, maka engkau akan kami jadikan pemimpin seluruh wilayah Najd”. Akan tetapi, Utsman menghindar darinya serta mengusirnya keluar dari kota Uyaynah.
Pada 1160 H, setelah dipaksa keluar dari kota Uyaynah, Ibn Abdil Wahhab berangkat menuju kota Duriyyah (al-Dar’iyyah), salah satu kota yang termasyhur di wilayah Najd. Saat itu Muhammad bin Sa’ud (datuk dari raja-raja Saudi Arabia) adalah amir (penguasa) kota Duriyyah.
Dia pergi menemui Ibn Abdil Wahhab dan memuliakan serta bersikap sangat baik kepadanya. Ibn Abdil Wahhab juga memberi janji kekuasan serta dominasi kepadanya atas seluruh kota di Wilayah Najd. Dengan cara inilah, hubungan antara Ibn Abdil Wahhab dan Ibn Sa’ud terjalin. [3]
Ketika Ibn Abdil Wahhab pergi ke Duriyyah dan membuat kesepakatan dengan Muhammad bin Sa’ud, penduduk kota Duriyyah hampir seluruhnya hidup dalam kemelaratan dan sangat membutuhkan bantuan uluran tangan.
Dari informasi Utsman Ibn Bisyr al- Najdi, sejarawan al-Alusi mencatat bahwa :
“Saya (Ibn Bisyr) pada awalnya menyaksikan kemiskinan penduduk kota Duriyyah. Dia telah melihat kota itu pada masa Sa’ud, ketika penduduknya telah menikmati kemakmuran yang berlimpah, senjata-senjata mereka dihiasi dengan emas dan perak serta mereka menunggang kuda-kuda peranakan keturunan murni. Memakai pakaian mewah dan dilengkapi dengan segala sesuatu yang menandakan kemakmurannya, sebegitu berlimpah-ruahnya harta benda mereka sehingga tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Suatu hari di pasar rakyat dalam kota Duriyyah, saya melihat seorang pria dan wanita jalan bergandengan. Di pasar itu terdapat banyak sekali emas, perak senjata-senjata dan sejumlah besar unta, domba, kuda, pakaian mewah, daging yang bertumpuk-tumpuk, terigu, serta bahan makanan, di mana-mana bertebaran sehingga tidak mungkin bisa dihitung satu per satu. Lokasi pasar rakyat terhampar sejauh mata memandang. Dan saya dapat mendengar suara para pembeli dan penjual, suara yang berdengung seperti suara dengungan lebah. Salah seorang dari mereka biasa berkata, “Saya jual (barang-barang saya), “ dan yang lain akan berkata, “Saya beli.” [4]
Tentu saja Ibn Bisyr tidak memperhitungkan dengan cara bagaimana dan dari mana semua kemakmuran yang luar biasa ini diperoleh. Tetapi banyak catatan sejarah mengindikasikan bahwa itu semua dikumpulkan dengan cara merampok dan menyerang kaum Muslim dari kabilah-kabilah lain serta daerah-daerah perkotaan yang tidak bersedia mengubah atau menerima keyakinan mereka. Menyangkut harta rampasan perang yang diambil Ibn Abdil Wahhab dari kaum Muslim di daerah itu, fatwanya adalah menggunakan harta itu dengan cara sesuka hatinya.
Pada masanya, dia menghadiahkan hanya kepada 2 atau 3 orang saja dari semua harta rampasan perang, padahal jumlahnya sangat banyak. Tak peduli apa harta rampasan perang itu, semuanya berada dalam kepemilikan Ibn Abdil Wahhab. Dan Ibn Sa’ud sebagai Amir Najd bisa mendapatkan bagian dari harta rampasan perang itu hanya dengan seizin Ibn Abdil Wahhab. Salah satu kerusakan yang terbesar selama masa kehidupan Ibn Abdil Wahhab adalah suatu hal sangat nyata, bahwa dia menganggap kafir kepada siapa pun termasuk kaum Muslim lainnya yang tidak mengikuti keyakinannya dan menghalalkan darah mereka, sehingga kaum Muslim yang tidak sepaham dengannya harus diperangi!
Singkatnya, Muhammad bin Abdul Wahab menyerukan kepada masyarakat tentang tauhid namun tauhid yang dia serukan adalah tauhid yang keliru. Siapa saja yang taat maka akan memiliki jaminan kekebalan sepanjang hidupnya, dan harta miliknya akan aman Sementara itu, orang yang melarat kehidupannya harus dibunuh seperti orang kafir dan harta miliknya boleh diambil karena sesuai ajaran agama adalah halal dan diperbolehkan.
Peperangan-peperangan yang dilancarkan kaum Wahabi adalah perang di dalam dan di luar wilayah Najd, seperti Yaman, Hijaz, daerah sekitar Suriah dan Irak yang merupakan basisnya. Setiap kota yang mereka taklukkan lewat perang dan berada dalam kekuasaan mereka, adalah halal dan sah menurut pandangan “agama” mereka. Jika mereka mampu menaklukkan, maka akan ditetapkan sebagai hak milik mereka. Bila tidak, maka mereka membawa pulang harta rampasan yang mereka jarah. [5]
Siapa yang taat kepada ajarannya dan mendengarkan seruannya maka harus berbaiat (berjanji setia) kepadanya. Bila melawan, maka harus dibunuh dan harta miliknya dibagi-bagikan. Atas dasar politik ini, contohnya, mereka membantai 300 laki-laki dari suatu perkampungan yang bernama Al-Fusul, yang terletak dalam wilayah kota Al-’Ahsa dan menjarah harta milik mereka. [6] (Bersambung)
Catatan Kaki:
[1] Farid Wajdi, Da’irat al-ma’arif al-qarn al-‘ishrin, Jil. 10, hlm. 871, quoting from the magazine Al-Muqtataf, Jil. 27, hlm. 893.
[2] Ringkasan dari Kitab Ta’rikh Najd karya al-‘Alusi, hlm. 111-113.
[3] Ta’rikh Baghdad, hlm. 152, di sana tercatat asala muasal terjadinya hubungan antara Ibn Abdil Wahhab dengan Keluarga Ibn Sa’ud dengan jalan lain
[4] Al-‘Alusi, Ta’rikh Najd, hlm. 117-118.
[5] Jazirat Al-‘Arab Fi Al-Qarn Al-‘Ishrin, hlm. 341.
[6] Ta’rikh Al-Mamlakat Al-‘Arabiyyah Al-Sa’udiyyah, Jil. 1, hlm. 51.
Sumber:http://qitori.wordpress.com/2008/06/20/siapa-sebenarnya-muhammad-ibn-abdul-wahhab/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar