PRAKATA
Misteri Satrio Piningit tak pernah pupus dari benak dan relung hati
anak cucu leluhur Nusantara. Fenomena sejak masa kewalian pasca
kehancuran Majapahit ini sangat lekat terutama bagi anak cucu Jawa –
Bali Dwipa. Perjalanan sejarah Nusantara telah menjadi saksi hidup
tentang kemunculan Satrio Piningit di setiap perubahan masa yang telah
diwasiatkan oleh para leluhur Nusantara ratusan tahun yang lalu. Raden
Patah (Jimbun) adalah sosok Satrio Piningit dukungan para wali utamanya
Sunan Bonang yang menandai berdirinya Kerajaan Demak setelah mampu
menghapuskan supremasi Kerajaan Majapahit. Sultan Hadiwijoyo (Joko
Tingkir) murid Sunan Giri merupakan Satrio Piningit pada masa berdirinya
Kerajaan Pajang yang mengakhiri era Kerajaan Demak. Panembahan Senopati
(Sutowijoyo) murid Sunan Kalijaga juga merupakan Satrio Piningit pada
masa berdirinya Kerajaan Mataram menggantikan eksistensi Pajang. Dari
beberapa peristiwa bersejarah tersebut mengandung makna yang tersirat
bahwa kemunculan Satrio Piningit selalu berada pada pergantian ”masa
besar” Nusantara dimana senantiasa tidak meninggalkan peran seorang wali
(aulia). Seperti yang pernah menduduki pemimpin negeri ini seorang
Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY dapat pula
dikatakan sosok Satrio Piningit pada masanya setelah Nusantara ini
beralih menjadi NKRI. Tetapi itu masih belum memenuhi standart dari jiwa
pemimpin yang di harapkan. Fenomena yang sangat menarik saat ini adalah
: Akankah Satrio Piningit yang dikenal dengan nama Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu muncul pada masa ini ?
Mengingat dari situasi dan tanda-tanda alam yang terjadi
mengindikasikan Nusantara akan memasuki ”era baru” yaitu : Jaman
Kalasuba (kejayaan) menuju tatanan Swargamaniloka.
Wacana ini berisikan tentang ungkapan hasil ”perjalanan spiritual” yang
baru disadari kemudian telah masuk ke dalam pusaran misteri ini. Semoga
membawa manfaat.
Latar Belakang Keberadaan “Satrio Piningit”
Di paparkan wacana ini adalah sebagai persembahan kepada seluruh anak
bangsa di bumi Nusantara ini, sekaligus sebagai bentuk
pertanggungjawaban moral spiritual dan mengandung makna dan fakta yang
ada. Dalam minimnya penjelasan tentang Satrio Piningit atau Ratu Adil
atau Imam Mahdi maka pengilhaman kami untuk memberi penjelasan yang
lebih dalam dan menyentuh pada nilai esensial dari pemahaman tersebut.
Kami bersyukur apa yang selama ini kami inginkan akhirnya kami peroleh
ilham dari guru bathin yang senantiasa menemani dan membimbing terhadap
segala masalah yang kami hadapi.
Materi tulisan yang dipaparkan adalah merupakan kajian dalam persepsi
spiritual yang dipadukan dari karya warisan leluhur nusantara, yaitu : Syair
Joyoboyo, Serat Musarar Joyoboyo, Ramalan Sabdo Palon Noyo Genggong,
Serat Kalatidha R.Ng. Ronggowarsito, Serat Darmo Gandhul, dan Wangsit
Siliwangi.
Latar belakang penulisan dimaksudkan pula guna lebih melengkapi dan
memperjelas materi yang telah dipaparkan. Esensi tulisan yang ada ini
adalah merupakan hasil ”perjalanan spiritual” yang kami dapatkan sewaktu
berada sewatu tempat yang disebut istana Pasah Asih yang disitulah
akhirnya di peroleh ilham, petunjuk, wangsit berupa suara dari guru
bathin yang senantiasa menemani dan membimbing terhadap segala masalah
yang dihadapi dalam kehidupan ini.
Sebelumnya, dengan segala kerendahan hati secara pribadi penulis
memohon maaf sebesar-besarnya kepada semua unsur unsur kehidupan serta
para tokoh budaya para Winasis/Waskita Kasepuhan, leluhur di seluruh
nusantara ini atas apa yang kami sampaikan tulisan-tulisan ini. Namun
nampaknya tanda yang muncul sangat jelas : ”Saatnya Sudah Tiba”. Insya
Allah, saatnya tabir misteri nusantara mulai terkuak.
Dalam mengungkapkan tulisan ini si penulis berusaha memaparkan dengan
gaya bahasa yang sesederhana mungkin agar mudah dipahami bagi semua
pembaca dari segenap lapisan. Mengingat penyampaian bahasa hakekat
fenomena spiritual bagi konsumsi akal pikiran masyarakat umum adalah
sesuatu yang sangat sulit dan rumit. Karena bagi orang awam terkesan
segala sesuatunya dihubung-hubungkan (gothak-gathuk mathuk). Secara
hakekat, dalam kehidupan ini tidak ada kebetulan. Kebetulan sejatinya
merupakan ketetapan yang telah ditetapkan-Nya sesuai Karsa (kehendak)
Allah SWT. Kecuali bagi pembaca yang sedikit banyak telah mengenal
kawruh (ajaran laku utama di dalam keilmuan). Maka membaca Tulisan ini
dibutuhkan kedewasaan dalam perenungannya dan kesadaran spiritual tanpa
terjebak ke dalam fanatisme beragama dan dogma yang dijalankan. Secara
jujur penulis katakan, bahwa semula penulis pun awam terhadap sejarah
nusantara. Namun di dalam ”perjalanan” ini dihadapkan pada
fenomena-fenomena spiritual yang membawa penulis ke dalam ”pusaran
sejarah” yang banyak membawa hakekat dan manfaat sebagai bekal untuk
”berjalan” pada saat ini di jaman ini dan masa depan yang akan datang.
Tidak semuanya dapat penulis ungkapkan, tetapi hanya berkenaan dengan
hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan bangsa ini saja. Utamanya
berkaitan dengan situasi carut marut negeri ini di tengah penyakit moral
akut yang menjangkiti sebagian besar anak bangsa nusantara dewasa ini.
Tidak pula penulis bermaksud membahas sejarah sesuai metodologi ilmiah
sebagai disiplin dalam keilmuan sejarah. Namun penulis berupaya
menyatakan kenyataan yang tersembunyi sesuai dengan fenomena spiritual
yang muncul berkaitan dengan kejadian-kejadian atau situasi kondisi
berkenaan di dalam sejarah dan masa kini. Sehingga kita semua mampu
meraba situasi dan kondisi di masa yang akan datang guna tetap mawas
diri, eling dan waspada. Benar tidaknya semua kita kembalikan kepada
Allah Azza wa Jalla yang memiliki kerajaan bumi dan langit, yang Maha
Menguasai dan Maha Mengetahui.
Namun bagi penulis kegaiban demi kegaiban yang berupa Ilham yang
didapatkan dapat lebih menambah istiqomah dalam beribadah, mawas diri,
eling dan waspada dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan tipu daya
ini.
Hasil dalam memenuhi input spiritual tersebut kemudian muncul banyak
”bimbingan” dari kegaiban yang mendorong penulis untuk menelusuri karya
leluhur nusantara seperti yang dipaparkan dalam tulisan ini. Karya para
leluhur seperti : bait syair Joyoboyo, Serat Musarar Joyoboyo, Ramalan
Sabdo Palon Noyo Genggong, Serat Kalatidha R.Ng. Ronggowarsito, Serat
Darmogandhul, dan Wangsit Siliwangi, semuanya lengkap dalam konteks yang
tersirat di dalam karya-karya leluhur kita. Sebagai bahan untuk
memperkuat sebagai bahan referensi bagi pembaca.
Suatu fenomena spiritual yang luar biasa dalam perjalanan spiritual
penulis. Sungguh Maha Besar Allah dengan segala Kekuasaan-Nya dan Maha
Benar Allah dengan segala Firman-Nya. Ternyata hakekat apa yang tersirat
di dalam karya-karya leluhur nusantara itu menunjukkan situasi kondisi
sosial dan kepemimpinan nusantara di masa lalu, masa kini dan masa yang
akan datang. Apa yang tersirat dari fenomena spiritual yang muncul
sangat berkaitan erat dengan kejadian carut marut nusantara saat ini.
Dan semua itu merupakan sinyal pesan dari alam kegaiban yang seakan
ingin disampaikan kepada seluruh anak cucu negeri ini bahwa : ”Saatnya
sudah dekat, Nusantara akan memasuki jaman baru berikutnya
(Kalasuba/Kejayaan) menuju Swarga maniloka setelah melalui perjalanan
yang amat sulit dan pelik. Banyak kejadian di luar akal pikiran manusia
sebagai tanda bahwa sosok yang dinanti dan masih tersembunyi telah hadir
di tengah-tengah kita saat ini.”
Secara khusus dalam kajian ini penulis memberikan kesimpulan yang
lebih jelas tentang segala sesuatunya yang terpapar berdasarkan
input-input sipiritual yang diterima langsung oleh penulis. Semoga
kajian ini bermanfaat bagi seluruh anak cucu leluhur nusantara sebagai
wacana dan bahan perenungan dalam menghadapi segala situasi yang sedang
terjadi di negeri kita tercinta dewasa ini.
Tabir Misteri Nusantara
Tulisan ini saya persembahkan untuk seluruh rakyat nusantara sebagai
ungkapan rasa keprihatinan atas carut marut yang sedang terjadi di bumi
pertiwi ini. Berawal dari Ilham dari Guru Bathin telah membawa saya
kepada pencerahan cakrawala pemahaman tentang apa dan bagaimana kejadian
yang tengah berlangsung dan prediksi yang akan terjadi di negeri ini.
Bahkan tidak berlebihan kalau saya katakan bahwa ini merupakan suatu
upaya membedah warisan leluhur yang sarat dengan perlambang sehingga
sedikit demi sedikit terkuak tabir misteri jagad nusantara ini. Sangat
luar biasa. Hal ini sepatutnya bisa dipahami oleh seluruh anak cucu
leluhur bangsa ini sebagai pewaris sah tataran tanah surgawi yang
bernama Nusantara ( Nusa Antara ), negara yang terdiri dari kumpulan
pulau-pulau tergabung menjadi satu.
Hasil kajian penulis berusaha pahami dengan “rasa naluri” yang mendalam
dengan tanpa mengabaikan logika berpikir sehat. Memang banyak hal sulit
ditelusuri melalui referensi buku-buku sejarah atau dengan bukti-bukti
empiris yang ada, namun dengan semangat menguak tabir misteri untuk
lebih memahami fenomena yang terjadi saat ini, maka segala sesuatunya
yang dapat saya cerna berusaha saya ungkapkan secara sederhana apa
adanya. Ibarat mencari mata rantai yang hilang (missing link), nampaknya
misteri yang ditinggalkan pasca keruntuhan Majapahit mulai terlihat
secara samar-samar. Sayapun mulai memahami apa makna yang tersirat dan
mencari siapa sosok orang yang mampu mengatasi keadaan ini dan mencari
jawab dari misteri ramalan para leluhur di atas. Insya Allah, jika Allah
Azza wa Jalla dalam Guru Bathin memberikan ijin dan ridho-Nya akan
diketemukan jawabannya.”
Tanpa berniat mengundang perdebatan, semoga ungkapan saya dapat menjadi
bahan perenungan kita bersama guna menyongsong fajar kejayaan Nusantara
yang kita cintai.
Jati Diri “ Satrio Piningit “
Mengingat Amanat Panggilan kehidupan yang di emban oleh sosok “Satrio
Piningit “ sangatlah luar biasa tanggung jawabnya, atas dasar itulah
beliau sudah membawa bekal akan jati dirinya sebagai utusan yang akan
menata kehidupan di muka bumi ini.
1. Keberadaan jati dirinya.
Dia adalah seorang anak muda asli pribumi yang terlahir di tanah
sunda jawa barat keturunan dari Jawa yang telah menjelajahi wilayah se-
nusantara seorang diri dengan membawa ajaran keluhuran atau budi
pekerti, tapi pada saat ini belum dipublikasikan, masih dalam pingitan
atau disembunyikan keberadaanya. hal tersebut dilakukan atas dasar
kebijakan –kebijakan yang mana kita belum bisa mengetahui secara pasti
kapan akan munculnya di muka bumi ini sebagai pemimipin yang kita
harapkan semua. Yang dalam tujuannya akan mengambil alih wilayah
terbesar yang membentang dari wilayah India sampai wilayah Madagaskar.
Jadi itulah jati diri sosok satrio piningit, bukan hanya sekedar
mengambil alih negeri ini saja tetapi sekaligus mengembalikan wilayah
teritorial yang pernah dinaungi dan di kuasai para leluhur dalam
peradapan yang pernah mengalami jaman kejayaan dan keemasan. Dalam hal
ini yang dimaksudkan oleh para leluhur kita dengan menyebutkan wilayah
teritorial dengan sebutan Sunda Besar yang mempunyai arti Susunan Dunia
Besar.
Itulah yang menjadi landasan dasar sosok “Satrio Piningit” sebagai putra
pribumi keturunan Jawa yang menggambarkan beliau dibentuk dan dibekali
dengan budi pekerti yang luhur dengan jiwa kepemimpinan yang arif
bijaksana dengan membawa ajaran peradapan bangsa. Yang paling menonjol
dan unik dalam mengambil alih wilayah tidaklah dengan suatu peperangan,
jajahan dan pertumpahan darah, tetapi dengan memberikan suatu faham
kebenaran dan konsep dalam berbangsa dan bernegara yang sesungguhnya,
maka akan dipastikan wilayah-wilayah yang sekarang diluar territorial
NKRI dengan sendirinya atas kemauan tanpa ada paksaan menggabungkan diri
ke wilayah Nusantara.
2. Nama Jati Dirinya.
Sosok “Satrio Piningit” banyak sekali
mempunyai sebutan nama dengan versi yang berbeda tetapi maksud dan
tujuan sama hal tersebut disesuaikan dari cara pandang dan penerimaan
yang berbeda pula. Dalam hal ini saya sebagai penerima ilham mendapatkan
sebutan nama yang baru adanya, beliau disebut Gapura Diningrat Panca Dinika
dengan makna : sosok Satrio Piningit merupakan Pintu Gerbang kehidupan
dalam membawa peradapan luhur yang membuat keningratan bagi pengikutnya,
atau menghantarkan ke pintu gerbang pembentukan jati diri keningratan
setiap insan didalamnya yang terbentuk oleh kekuatan mandiri dalam
implementasi keparipurnaan beragama, berbangsa dan berbudaya.
Dalam kehidupan di lingkungan masyarakat bangsa kita, tumbuh dan
berkembang suatu keyakinan bahwa nama tersebut merupahkan do’a dan
secercah harapan yang diyakini nanti akan membuat suatu perubahan yang
luar biasa dan signifikan dalam kehidupan yang selama dinantikan
masyarakat luas pada umumnya. Berkaitan dengan nama jati diri yang di
sandang sosok “Satrio Piningit” memberikan dan mencerminkan seorang pemimpin yang mempunyai sifat Budi Pekerti dan berjiwa mulia.
3. Gelar Jati Dirinya.
Disamping beliau mempunyai nama jati diri juga mendapatkan suatu
gelar yang di sandangnya. Adapun gelar jati dirinya adalah Asma Putra
Purana Saki Kirti yang mempunyai makna“ Seorang anak muda yang
berpenduduk jawa (pribumi) yang akan memimpin dunia”,beliau juga
mempunyai sebutan sebagai guru bathin, guru bahasa, guru bumi, guru
bicara dan guru besar, karena beliau sekarang sedang menempah, mendidik
dan membekali pengikutnya sebagai wakil untuk nantinya bersama-sama
menata dunia. jadi lengkaplah sudah nama gelar tersebut merupahkan
amanat kehidupan yang di emban.
Hanya orang-orang terpilihlah dan pilihan yang memiliki kepribadian dan
aksebilitas sebagai sosok yang disebut dengan “Satrio Piningit”. Dialah
yang mampu melaksanakan semua tugas amanat kehidupan. Bersama dialah
kehancuran peradapan bumi pertiwi bisa dihindarkan karena kesejatiannya
melambangkan seorang Pemimpin (khalifah) utusan dimuka bumi ini yang
merupahkan representasi wakil dari Tuhan yang Maha Tunggal.
Visi Dan Misi Yang Diemban.
Kehadiran sosok “ Satrio Piningit” di bumi pertiwi ini bukan tanpa
tujuan atau tanpa misi, akan tetapi sudah barang tentu kehadirannya
membawa amanat kehidupan yang harus disampaikan dan dilaksankan. Hal ini
demi kelangsungan kehidupan di bumi pertiwi ini.
Adapun visi misi yang diemban oleh sosok “ Satrio Piningit” dapat
dijelaskan bahwa kehadirannya akan membawa suatu perubahan peradapan
yang luhur, sebagaimana visi misi beliau sebagai berikut :
1. Memperbaiki atau membenahi peradapan yang hancur.
Visi dan Misi yang pertama ini sudah tidak bisa ditawar lagi dan
merupakan prioritas yang harus diutamakan hal ini dikarenakan
keberhasilan beliau dalam membenahi peradapan yang hancur akan
mempengaruhi dan ikut menentukan keberhasilan visi misi yang lain di
bidang yang akan dikerjakan dalam hal ini adalah :
- Membenahi peradapan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain
baik itu antara manusia sebagai individu maupun manusia yang
kapasitasnya berkelompok atau golongan ( umat ras atau bangsa ).
- Membenahi peradapan manusia dalam kaitannya dengan mahkluk yang lain baik itu terhadap hewan maupun tumbuhan.
- Beliau juga akan menyatakan kehidupan bathin pada kehidupan lahir, serta memperkenalkan kehidupan lahir ke bathin.
2. Membentuk tatanan kehidupan setelah peradapan yang hancur berhasil
dibenahi dan kelangsungan kehidupan berjalan sebagai mana mestinya
barulah beliau membuat tatanan kehidupan kedepan yang mencakup tatanan
berbangsa dan bernegara. Adapun tatanan kehidupan yang akan diterapkan
oleh “ Satrio Piningit” yaitu :
a. Tatanan pada tingkat bawah ( Masyarakat )
Tatanan kehidupan yang dikehendaki oleh “ Satrio Piningit”
berlandaskan tatanan yang Insun Rahayu Balarea Waluya yang dimaksudkan
dengan tatanan pada tingkat tersebut agar terciptanya kehidupan rakyat,
baik itu yang berupa keselamatan, kebahagian ataupun kemuliaan dalam
kebersamaan. Pada tatanan di tingkat bawah ini untuk mewujudkan
terciptanya tatanan tersebut dibekali dengan ilmu ( Jurus Dasar ) jurus
tentang solusi kehidupan sebagai senjata pertahanannya.
b. Tatanan Tingkat Pamong Praja ( Pemerintahan )
Yang dimaksud dengan tingkat Pamong Praja adalah tingkat dalam
pemerintahan, yang mana di tingkat ini membentuk tatanan “ Sebanda
Seriksa, Sebebot Sepihanean “. Sedangkan yang dikandung dalam kata
tersebut pada tingkat pemerintahan adalah berkeadilan yang menyeluruh
dalam segi kemanusiaan. Jadi pada tingkat Pamong Praja adalah landasan
tatanan yang digunakan adalah rasa keadilan atas dasar sesuai dengan
proporsional. Apabila tatanan tersebut telah dilaksanakan maka akan
tercapainya kemakmuran atau sejenisnya dalam kehidupan masyarakat,
sedangkan untuk mendukung tercapainya tatanan kehidupan pada tingkat
Pamong Praja dibekali dengan ilmunya yaitu jurus kasar.
c. Tatanan kehidupan tingkat Raja.
Yang dimaksud tingkat Raja adalah tatanan kehidupan para pemimpin
yang belandaskan pada tatanan “ Suwarga Maniloka”. Tatanan kehidupan ini
akan dicapai dengan sendirinya apabila tatanan di tingkat bawah (
rakyat ) telah terbentuk kemuliyaan dalam kebersamaan. Hal ini juga
tidak dapat dipisahkan tercapainya pada tingkat“ Pamong Praja” (
pemerintah) yang berkeadilan menyeluruh bagi kemanusian. Disamping itu
untuk mendukung tatanan tersebut ditingkat Raja maka para Raja atau
Pemimpin akan dibekali dengan ilmunya yaitu dengan jurus sasar atau
persenyawaan empat unsur alam (Air, Api, Bumi/Tanah dan Angin). Dalam penerapannya beliau
menggunakan tipe pemerintahan kerajaan dengan sistim mekanisme
persemakmuran, terdapat adanya perdana menteri sebagai Raja ( pemimpin )
dalam masyarakat, serta seorang Raja sebagai perwakilan dari para
bathin.
Itulah gambaran dari visi misi yang diemban oleh sosok “ Satrio Piningit”
sebagai pemegang amanat kehidupan yang harus dilaksanakan agar
kehancuran peradapan dalam kehidupan bisa diselamatkan sehingga bumi
kita tercinta ini akan tetap lestari dan berseri. Sehingga kelangsungan
kehidupan di bumi ini akan tercapainya suatu masyarakat yang “Gemah ripah Loh Jinawi Toto Tentrem Kertaning Raharjo”
suatu tatanan yang terdahulu pernah dicapai oleh para leluhur bangsa
kita, yang mana tatanan tersebut telah hilang ditelan jaman sehingga
hilanglah pula akan jati diri bangsa.
Dengan kehadiran dan kemunculan “ Satrio Piningit”
inilah maka akan mengubah tatanan yang sekarang ini pada tatanan yang
dahulu pernah ada yang mengalami masa kejayaan dan keemasan dengan
penyempurnakan.
Namun atas dasar itu lahirnya atau kemunculan “ Satrio Piningit”
dimuka bumi ini adalah merupahkan Wakil dari yang mempunyai kehidupan (
Tuhan ) juga wakil dari pengatur kehidupan ( leluhur ) dan wakil dari
tempat kehidupan ( Air, Api, Bumi dan Angin ) serta ditandai adanya tiga
fase atau tahapan yang berupa simbol kejadian kemunculan Satrio
Piningit, antara lain :
1. Simbol Senopati
Senopati yang dimasudkan adalah munculnya kejadian bencana alam yang
mengakibatkan korban jiwa, seperti gempa bumi, tsunami, tanah longsor,
banjir badang, angin topan, gunung meletus dan lain lainya yang
mengakibatkan korban nyawa dan harta benda. Juga akan terjadinya
goro-goro di bumi ini sehingga hal tersebut mendorong sosok “ Satrio
Piningit” untuk meredam dan menghentikan goro-goro dengan kata lain
munculnya pahlawan goror-goro.
2. Simbol Bojonegoro.
Bojonegoro yang dimaksudkan adalah suatu tatanan yang akan di jalankan
untuk membuat masyarakatnya merasakan aman, damai dan tentraman (sumber
kenikmatan bernegara), masyarakatnya tidak merasakan ketakutan lagi atas
terjadinya bencana alam yang mengakibatnya korban jiwa karena Senopati (
simbol kejadian yang mengakibatkan kematian) sdh dihentikan oleh Satrio
Piningit.
3. Simbol Noto Negoro.
Yang dimasudkan Noto Negoro adalah sebuah program kelanjutan visi misi
untuk menanta Negara. Di fase inilah mulai bermunculan Romo-romo (
leluhur yang terdahulu ) dan Beo-beo ( binatang yang berbicara ) untuk
menyampaikan pesan ke Satrio Piningit. Dukungan dari golongan leluhur
dan bintang inilah yang juga ambil bagian peran dalam mewujudkan
penataan bernegara, dalam hal ini proses keseimbangan dalam kehidupan
antara manusia, leluhur dan binatang bisa menjaga kelangsungan hidup.
Karena tugas dari Satrio Piningit bukan hanya kepada golongan dhohir
saja tetapi juga dalam kehidupan bathin yang akan disempurnakan.
Sungguh dalam hal ini kehadiran sosok Satrio Piningit dalam rangka
memenuhi panggilan kehidupan dan mengemban amanat kehidupan bukanlah
sekedar hanya panggilan tugas melainkan amanat kehidupan yang harus
dijalankan. Karena tanggung jawab dan kosekuensi yang sangat besar
inilah beliau Satrio Piningit telah membekali wakil – wakilnya ( ratu )
yang nantinya bisa melaksanakan tugasnya masing-masing.
Kehadirannya dimuka bumi ini tentunya dengan membawa kekuatan Tuhan,
kekuatan leluhur dan kekuatan 4 (empat) unsur alam, baginya tugas yang
mulia tersebut tidak akan pernah gagal. Dikarenakan segala sesuatu telah
dimiliki seperti senjata yang menjadikan alat untuk memimpin. Adapun
kekuatan alam sebagai senjatanya antara lain :
a. Air untuk mempermalukan atau menenggelamkan bagi yang memusuhinya.
b. Api untuk membasmi angkara murka atau membumi hanguskan.
c. Bumi untuk mengutuk musuhnya atau sebagai rantai pengikat musuh.
d. Angin sebagai pelindung atau sebagai perisai.
Sudah tentu dan jelas kehadiran sosok Satrio Piningit dimuka bumi ini
tiada tertandingi dari berbagai sisi baik itu dari sisi bela diri ala
ilmu sakti maupun dari sisi bela diri berfilosofi. Hal ini seperti
lazimnya bahawa bela diri ala ilmu sakti untuk mewakili orang yang
berilmu sakti dengan keluhurannya, serta bela diri berfilosofi untuk
mengalahkan orang yang berenergi materi tinggi.
Disamping itu kehadiran beliau untuk menyempurnakan ilmu-ilmu yang telah
ada yaitu ilmu yang bersifat menghancurkan penuh tipuan menjadikan ilmu
kesempurnaan yang bermanfaat bagi kelangsungan kehidupan. Demikian
bahasan mengenai sosok Satrio Piningit tentang jati dirinya, gelar yang
disandangnya serta tujuan visi misi yang diemban sebagai wakil dari
Tuhan.
Adapun referensi kajian-kajian yang telah dipaparkan oleh para leluhur
dalam tulisan berupa berupa karya warisan leluhur dari kitab yang ada
ataupun dalam tulisan prasatri sebagai bekal penguat kita sebagai
generasi muda yang dituntut untuk meneruskan cit-cita para leluhur.
Makna Karya Warisan Leluhur Nusantara
Makna karya warisan leluhur yang terulis berupa naskah dalam bait
syair dan kitab sebagai dasar memperkuat adanya sosok Satrio Piningit.
Setelah saya membaca dan berusaha memahami dengan segala perenungan,
maka sayapun menjadi takjub dibuatnya akan karya-karya beliau para
leluhur kita. Antara satu dengan lainnya walaupun berbeda masa/periode
yang jauh berselang, namun ternyata di dalam perlambangnya memiliki
saling keterkaitan. Suatu perlambang dalam suatu karya menunjuk kepada
perlambang atau karakter yang lain di dalam karya leluhur yang berbeda.
Saya merasakan bahwa tanpa intervensi kemampuan spiritual yang tinggi
akan sangat sulit memahami keterkaitan perlambang-perlambang ini.
Dan fenomena ini membuktikan bahwa hanya dengan mengandalkan akal
penalaran saja akan mengantarkan kita kepada jalan buntu. Akhirnya
menyerah pada keputusasaan dengan menganggap bahwa ini semua merupakan
sekedar ramalan yang tidak berguna dan out of date (usang).
Masing-masing orang bisa saja menafsirkan hal tersebut dengan penafsiran
yang berbeda-beda. Tidak ada yang melarang. Bebas-bebas saja. Benar
tidaknya kembali kepada diri kita masing-masing. Inilah tabir misteri.
Kebenaran sejati adanya di dalam nurani yang suci dan bersih. Dalam
Tulisan ini referensi-referensi tersebut dapat dibaca secara lengkap
pada bagian lampiran.
Wangsit Siliwangi
Membaca naskah Wangsit Siliwangi terasa mengandung hakekat yang
sangat tinggi bila telah memahaminya. Karena di dalamnya digambarkan
situasi kondisi sosial beberapa masa utama dengan karakter pemimpinnya
dalam kurun waktu perjalanan panjang sejarah negeri ini pasca kepergian
Prabu Siliwangi (ngahiang/menghilang). Peristiwa itu ditandai dengan
menghilangnya Pajajaran. Dan sesuai sabda Prabu Siliwangi bahwa kelak
kemudian akan ada banyak orang yang berusaha membuka misteri Pajajaran.
Namun yang terjadi mereka yang berusaha mencari hanyalah orang-orang
sombong dan takabur. Seperti diungkapkan dalam naskah tersebut berikut
ini :
”Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup.
Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak,
jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu
malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu
laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi
anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.”
Artinya :
“Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya,
hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama
untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak
yang menolak! tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya yang hilang
bisa ditemukan kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus memakai
dasar. Tapi yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong. Dan
bahkan berlebihan kalau bicara.”
Namun dalam naskah Wangsit Siliwangi ini dikatakan bahwa pada akhirnya
yang mampu membuka misteri Pajajaran adalah sosok yang dikatakan sebagai
”Budak Angon” (Anak Gembala). Sebagai perlambang sosok yang dikatakan
oleh Prabu Siliwangi sebagai orang yang baik perangainya.
”Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu
anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu
sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal
kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang.
Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu
ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku
lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku
wawangi.”
Artinya :
”Semua keturunan kalian akan aku kunjungi, tapi hanya pada waktu
tertentu dan saat diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang perlu,
membantu yang susah, tapi hanya mereka yang bagus perangainya. Apabila
aku datang takkan terlihat; apabila aku berbicara takkan terdengar.
Memang aku akan datang tapi hanya untuk mereka yang baik hatinya, mereka
yang mengerti dan satu tujuan, yang mengerti tentang harum sejati juga
mempunyai jalan pikiran yang lurus dan bagus tingkah lakunya. Ketika aku
datang, tidak berupa dan bersuara tapi memberi ciri dengan wewangian.”
Selanjutnya dikatakan juga apa yang dilakukan
oleh sosok ”Budak Angon” ini sbb:
”Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka
panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak
angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku
handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé,
lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon
ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan
wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu
kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba
lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa
lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung
nitis, laju nitis dipinda sukma.”
Artinya :
”Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan,
mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala;
Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon
handeuleum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan? bukan kerbau bukan
domba, bukan pula harimau ataupun banteng, tetapi ranting daun kering
dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia
temui, tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang
satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap
jaman membuat sejarah. Setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.”
Dari bait di atas digambarkan bahwa sosok ”Budak Angon” adalah sosok
yang misterius dan tersembunyi. Apa yang dilakukannya bukanlah seperti
seorang penggembala pada umumnya, akan tetapi terus berjalan mencari
hakekat jawaban dan mengumpulkan apa yang menurut orang lain dianggap
sudah tidak berguna atau bermanfaat. Dalam hal ini dilambangkan dengan
ranting daun kering dan tunggak pohon. Sehingga secara hakekat yang
dimaksudkan semua itu sebenarnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan
sejarah kejadian (asal-usul/sebab-musabab) termasuk karya-karya warisan
leluhur seperti halnya yang kita baca ini. Dimana hal-hal semacam itu
karena kemajuan jaman oleh generasi digital sekarang ini dianggap sudah
usang/kuno tidak berguna dan bermanfaat. Pada akhirnya yang tersirat
dalam hakekat perjalanan panjang sejarah negeri ini adalah berputarnya
roda Cokro Manggilingan (pengulangan perjalanan sejarah).
Gambaran situasi jaman dalam naskah Wangsit Siliwangi diawali dengan
lambang datangnya ”Kerbau Bule” dan juga ”Monyet-monyet” yang kemudian
ganti menyerbu selepas Kerbau Bule pergi. Ilustrasi ini melambangkan
saat datangnya para penjajah yang berdatangan ke negeri ini, baik itu
Portugis maupun Belanda. Dengan politik adu domba mereka maka terjadi
peperangan antar saudara. Sejarah banyak yang hilang dan
diputarbalikkan.
Seperti yang tertulis berikut ini :
”Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana
ngan bakal nepi mangsa: tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo
dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo
barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti
harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang
narik waluku, ngan narikna henteu karasa, sabab murah jaman seubeuh
hakan.
Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk; laju turunan urang aya nu lilir,
tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah
loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala!
Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya
gehger sanagara. Panto nutup di buburak ku nu ngaranteur pamuka jalan;
tapi jalan nu pasingsal!
Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur;
laju sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi
seuri teu anggeus, sabab kaburu: warung béak ku monyét, sawah béak ku
monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku
monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét.
Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet
bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba
nu paraeh kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong,
sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus
ganti deui lalakon.”
Artinya :
”Dengarkan! yang saat ini memusuhi kita, akan berkuasa hanya untuk
sementara waktu: tanahnya kering padahal di pinggir sungai Cibantaeun
dijadikan kandang kerbau kosong. Nah di situlah, sebuah negara akan
pecah, pecah oleh kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi
dan memerintah di pusat kota. Semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau
bule memegang kendali, dan keturunan kita hanya jadi orang suruhan.
Tapi kendali itu tak terasa sebab semuanya serba dipenuhi dan murah
serta banyak pilihan.Semenjak itu, pekerjaan dikuasai monyet. Suatu saat
nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun
dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi
banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual!
Keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa jaman sudah berganti! Pada
saat itu geger di seluruh negara. Pintu dihancurkan oleh mereka para
pemimpin, tapi pemimpin yang salah arah!Yang memerintah bersembunyi,
pusat kota kosong, kerbau bule kabur. Negara pecahan diserbu monyet!
keturunan kita enak tertawa, tapi tertawa yang terpotong, sebab
ternyata, pasar habis oleh penyakit, sawah habis oleh penyakit, tempat
padi habis oleh penyakit, kebun habis oleh penyakit, perempuan hamil
oleh penyakit. semuanya diserbu oleh penyakit. Keturunan kita takut oleh
segala yang berbau penyakit. Semua alat digunakan untuk menyembuhkan
penyakit sebab sudah semakin parah. yang mengerjakannya masih bangsa
sendiri. Banyak yang mati kelaparan. Semenjak itu keturunan kita banyak
yang berharap bisa bercocok tanam sambil sok tahu membuka lahan. Mereka
tidak sadar bahwa jaman sudah berganti cerita lagi.”
Kemudian dalam naskah Wangsit Siliwangi bahwa situasi carut marut yang terjadi ada yang menghentikan yaitu orang seberang.
”Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh
ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di
urang ? Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét
ngumpul ting rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung
aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh
batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu
édan, nu bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu
ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu
harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk,
henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun
jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang.”
Artinya :
”Lalu sayup-sayup dari ujung laut utara terdengar gemuruh, burung
menetaskan telur. Riuh seluruh bumi! sementara di sini? Ramai oleh
perang, saling menindas antar sesama. Penyakit bermunculan di sana sini.
Lalu keturunan kita mengamuk: mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati
tanpa dosa, jelas-jelas musuh dijadikan teman; yang jelas-jelas teman
dijadikan musuh. Mendadak banyak pemimpin dengan caranya sendiri. yang
bingung semakin bingung. Banyak anak kecil sudah menjadi bapa. Yang
mengamuk tambah berkuasa; mengamuk tanpa pandang bulu. Yang Putih
dihancurkan, yang Hitam diusir. Kepulauan ini semakin kacau, sebab
banyak yang mengamuk, tidak beda dengan tawon, hanya karena dirusak
sarangnya. Seluruh nusa dihancurkan dan dikejar. Tetapi, ada yang
menghentikan, yang menghentikan adalah orang seberang.”
Lalu selanjutnya terdapat suatu masa yang digambarkan dengan munculnya seorang pemimpin negeri ini dengan gambaran sbb :
”Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang
titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata.
da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala!”
Artinya :
”Lalu berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi memang
keturunan raja dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri Pulau Dewata.
Karena jelas keturunan raja; penguasa baru susah dianiaya!”
Siapakah sosok yang dimaksud dalam bait ini? Dia adalah Soekarno,
Presiden RI pertama. Ibunda Soekarno adalah Ida Ayu Nyoman Rai seorang
putri bangsawan Bali. Ayahnya seorang guru bernama Raden Soekeni
Sosrodihardjo. Namun dari penelusuran secara spiritual, ayahanda
Soekarno sejatinya adalah Kanjeng Susuhunan Pakubuwono X. Nama kecil
Soekarno adalah Raden Mas Malikul Koesno. Beliau termasuk ”anak ciritan”
dalam lingkaran kraton Solo. (Silakan dibuktikan..) Pada masa
kepemimpinan Soekarno banyak terjadi upaya pembunuhan terhadap diri
beliau, namun selalu saja terlindungi dan terselamatkan.
Selanjutnya setelah berganti masa digambarkan bahwa semakin maju semakin
banyak penguasa yang buta tuli, memerintah sambil menyembah berhala.
Kondisi ini melambangkan pemimpin yang tidak mau mengerti penderitaan
rakyat. Memerintah tidak dengan hati tapi segala sesuatunya hanya
mengandalkan akal pikiran/logika dan kepentingan pribadi ataupun
kelompok sebagai berhalanya. Sehingga yang terjadi digambarkan banyak
muncul peristiwa di luar penalaran. Menjadikan orang-orang pintar hanya
bisa omong alias pinter keblinger, seperti yang dikatakan sbb :
”Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta,
naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat
pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya
karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba
nu teu asup kana aseupan. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu
tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna
kabalinger.”
Artinya :
”Semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli, memerintah sambil
menyembah berhala. Lalu anak-anak muda salah pergaulan, aturan hanya
menjadi bahan omongan, karena yang membuatnya bukan orang yang mengerti
aturan itu sendiri. Sudah pasti: bunga teratai hampa sebagian, bunga
kapas kosong buahnya, buah pare banyak yang tidak masuk kukusan. Sebab
yang berjanjinya banyak tukang bohong, semua diberangus janji-janji
belaka, terlalu banyak orang pintar, tapi pintar keblinger.”
Lalu pada alinea menjelang akhir dikatakan :
”Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan
kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin
reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan.
Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu
ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi
gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna
garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta
bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi
kabarérang.”
Artinya :
”Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah
kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mu’jizat
datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk
perbuatannya sendiri. Kapan waktunya? Nanti, saat munculnya Anak
Gembala! Di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah
semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara. Yang tidak tahu
menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar, dipimpin oleh
pemuda gendut! Sebabnya bertengkar? memperebutkan tanah. Yang sudah
punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada
diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa.”
Situasi tersebut di atas adalah gambaran apa yang terjadi sekarang
ini. Kalau kita perhatikan dengan cermat alinea ini, maka memang saat
ini seluruh rakyat sedang berharap-harap menunggu datangnya mu’jizat di
tengah-tengah carut marut yang sedang berlangsung di negeri ini.
Lebih-lebih utamanya rakyat korban lumpur Lapindo yang kian hari makin
kian sengsara. Bencana datang bertubi-tubi. Huru-hara terjadi di
mana-mana. Dan akhir-akhir ini banyak sekali terjadi kasus perebutan
tanah. Pemuda Gendut merupakan lambang orang yang rakus dan serakah
serta memiliki kepentingan pribadi.
Dalam bait ini dikatakan bahwa penguasa tersebut akan tumbang pada
saat munculnya “Budak Angon”. Dimana kemunculannya ditandai dengan
banyak terjadi huru-hara yang bermula di daerah lalu meluas ke seluruh
negeri.
Dalam mengkaji Wangsit Siliwangi ini kita telah menemui lelakon atau
pemeran utama yang dikatakan dengan istilah ”Budak Angon” (Anak Gembala)
dan ”Budak Janggotan” (Pemuda Berjanggut).
Coba mari kita simak alinea berikut :
”Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh
gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu
nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung,
sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu
saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku
handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék
marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak
babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan,
parindah ka Lebak Cawéné!”
Artinya :
”Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan
pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang.
Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan
kehilangan negara, lalu mereka mencari Budak Angon, yang rumahnya di
ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon
handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi Budak Angon sudah
tidak ada, sudah pergi bersama Budak Janggotan, pergi membuka lahan baru
di Lebak Cawéné!”
Perselisihan yang terjadi adalah sia-sia belaka. Karena selalu saja
pihak penguasa membantu yang kuat, berdiri angkuh di atas yang lemah.
Ada saat dimana ”wong cilik” sebagai lambang ”si lemah yang tertindas”
mencari penuh harap sosok ”Budak Angon dan Budak Janggotan.” Namun yang
dicari sulit ditemukan karena telah pergi ke Lebak Cawéné. Dimanakah
Lebak Cawéné ? Lebak Cawéné adalah suatu lembah seperti cawan, yang
dikatakan di dalam Serat Musarar Joyoboyo sebagai Gunung Perahu. Tempat
itu digambarkan sebagai suatu lembah atau bukit dimana permukaannya
cekung seperti tertumbuk perahu besar. secara gambaran spiritual, di
tempat itu terdapat 2 sumber air besar dan ditandai dengan 3 pohon
beringin (Ringin Telu).
Lebih lanjut dikatakan :
”Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul.
Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé
anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang
Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana.
Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu
adil nu sajati. Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia
nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon! Jig geura narindak!
Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!”
Artinya :
”Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati. Dengarkan! jaman
akan berganti lagi, tapi nanti, setelah Gunung Gede meletus, disusul
oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda
dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara
bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang
sejati. Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian
akan tahu. Sekarang, carilah Anak Gembala. Segeralah pergi. Tapi ingat,
jangan menoleh ke belakang!”
Perlambang gagak berkoar di dahan mati bermakna situasi dimana banyak
suara-suara tanpa arti. Rakyat menjerit-jerit, penguasa mengumbar
janji-janji kosong. Sedangkan negara digambarkan banyak ditimpa bencana.
Sekarang ini banyak gunung di nusantara sedang aktif bahkan beberapa
gunung telah meletus. Ribut seluruh bumi merupakan lambang keresahan
dunia internasional dewasa ini terhadap perubahan iklim dunia, pemanasan
global dan krisis yang melanda. Hal ini ditandai dengan banyak bencana
yang terjadi di banyak negara.
Nampaknya kita sedang memasuki tahapan situasi ini. Mari kita renungkan
dan perhatikan dengan apa yang sedang terjadi di seluruh negeri ini.
Gunung-gunung telah mulai aktif, banyak terjadi bencana dengan unsur
Air, Api, Angin dan Tanah dimana-mana, banyak pula terjadi huru-hara
(demonstrasi/kerusuhan) sebagai lambang ketidakpuasan di berbagai
tempat. Apakah ini terjadi secara kebetulan ? Tentu bagi yang memahami,
ini semua adalah merupakan skenario langit.
Lalu, siapakah ”Budak Angon” itu ? Dari bait tersebut diperlambangkan
bahwa budak angon adalah orang sunda atau berdarah sunda yang ada
campuran Jawa. Hal ini akan kita bedah lagi setelah sampai pada
kesimpulan setelah kita mengkaji karya-karya leluhur lainnya.
Serat Musarar Joyoboyo
Di dalam uraian ini saya akan mengawali dengan menandai suatu masa atau periode dalam Sinom bait 18 yang berbunyi :
”Dene jejuluke nata, Lung gadung rara nglingkasi, Nuli
salin gajah meta, Semune tengu lelaki, Sewidak warsa nuli, Ana dhawuhing
bebendu, Kelem negaranira, Kuwur tataning negari, Duk semana pametune
wong ing ndesa.”
Artinya :
”Nama rajanya Lung gadung rara nglikasi kemudian berganti gajah meta
semune tengu lelaki. Enam puluh tahun menerima kutukan sehingga
tenggelam negaranya dan hukum tidak karu-karuan.
Waktu itu pajaknya rakyat adalah..”
Lung gadung rara nglikasi memiliki makna yaitu pemimpin yang penuh
inisiatif (cerdas) namun memiliki kelemahan sering tergoda wanita.
Perlambang ini menunjuk kepada presiden pertama RI, Soekarno. Sedangkan
Gajah meta semune tengu lelaki bermakna pemimpin yang kuat karena
disegani atau ditakuti namun akhirnya terhina atau nista. Perlambang ini
menunjuk kepada presiden kedua RI, Soeharto. Dalam bait ini juga
dikatakan bahwa negara selama ini menerima kutukan sehingga tidak ada
kepastian hukum.
Dalam bait 20 dikatakan :
”Bojode ingkang negara, Narendra pisah lan abdi,
Prabupati sowang-sowang, Samana ngalih nagari, Jaman Kutila genti, Kara
murka ratunipun, Semana linambangan, Dene Maolana Ngali, Panji loro
semune Pajang Mataram.”
Artinya :
”Negara rusak. Raja berpisah dengan rakyat. Bupati berdiri
sendiri-sendiri. Kemudian berganti jaman Kutila. Rajanya Kara Murka.
Lambangnya Panji loro semune Pajang Mataram.”
Bait ini menggambarkan situasi negara yang kacau. Pemimpin jauh dari
rakyat, dan dimulainya era baru dengan apa yang dinamakan otonomi daerah
sebagai implikasi bergulirnya reformasi (Jaman Kutila). Karakter
pemimpinnya saling jegal untuk saling menjatuhkan (Raja Kara Murka).
Perlambang Panji loro semune Pajang – Mataram bermakna ada dua kekuatan
pimpinan yang berseteru, yang satu dilambangkan dari trah Pajang (Joko
Tingkir), dan yang lain dilambangkan dari trah Mataram (Pakubuwono). Hal
ini menunjuk kepada era Gus Dur dan Megawati.
Lalu pada bait 21 tertulis :
”Nakoda melu wasesa, Kaduk bandha sugih wani, Sarjana
sirep sadaya, Wong cilik kawelas asih, Mah omah bosah-basih, Katarajang
marga agung, Panji loro dyan sirna, Nuli Rara ngangsu sami, Randha loro
nututi pijer tetukar.”
Artinya :
”Nakhoda ikut serta memerintah. Punya keberanian dan kaya. Sarjana
(orang pandai) tidak berdaya. Rakyat kecil sengsara. Rumah hancur
berantakan diterjang jalan besar. Kemudian diganti dengan lambang Rara
ngangsu, randha loro nututi pijer tetukar.”
Situasi negara dalam bait ini digambarkan bahwa kekuatan asing
memiliki pengaruh yang sangat besar. Orang pandai berpendidikan tinggi
dilambangkan tidak berdaya (pinter keblinger). Kondisi rakyat kecil
makin sengsara saja. Perlambang Rara ngangsu, randha loro nututi pijer
tetukar bermakna seorang pemimpin wanita yang selalu diintai oleh dua
saudara wanitanya seolah ingin menggantikan. Perlambang ini menunjuk
kepada Megawati, presiden RI kelima yang selalu dibayangi oleh Rahmawati
dan Sukmawati.
Pada bait 22 dikatakan :
”Tan kober paes sarira, Sinjang kemben tan tinolih,
Lajengipun sinung lambang, Dene Maolana Ngali, Samsujen Sang-a Yogi,
Tekane Sang Kala Bendu, Sasmitane lambang kang kocap punika.”
Artinya :
”Tan kober paes sarira, Sinjang kemben tan tinolih itu sebuah lambang yang menurut Seh Ngali Samsujen datangnya Kala Bendu.
Perlambang Tan kober paes sarira, Sinjang kemben tan tinolih bermakna
pemimpin yang tidak sempat mengatur negara karena direpotkan dengan
berbagai masalah. Ini menunjuk kepada presiden RI keenam saat ini yaitu
Susilo Bambang Yudhoyono. Sedangkan perlambang Semarang Tembayat
merupakan tempat dimana tempat seseorang memahami dan mengetahui solusi
dari apa yang terjadi.
Kemudian pada bait 27 berbunyi :
“Dene besuk nuli ana, Tekane kang Tunjung putih, semune
Pudhak kasungsang, Bumi Mekah dennya lair, Iku kang angratoni, Jagad
kabeh ingkang mengku, Juluk Ratu Amisan, Sirep musibating bumi, Wong
nakoda milu manjing ing samuwan,”
Artinya :
“Kemudian kelak akan datang Tunjung putih semune Pudak kasungsang. Lahir
di bumi Mekah. Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu Amisan, redalah
kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan.”
Perlambang Tunjung putih semune Pudak kasungsang memiliki makna
seorang pemimpin yang masih tersembunyi berhati suci dan bersih. Inilah
seorang pemimpin yang dikenal banyak orang dengan nama “Satrio
Piningit”. Lahir di bumi Mekah merupakan perlambang bahwa pemimpin
tersebut adalah seorang Islam sejati yang memiliki tingkat ketauhidan
yang sangat tinggi.
Sedangkan bait 28 tertulis :
“Prabu tusing waliyulah, Kadhatone pan kekalih, Ing Mekah
ingkang satunggal, Tanah Jawi kang sawiji, Prenahe iku kaki, Perak lan
gunung Perahu, Sakulone tempuran, Balane samya jrih asih, Iya iku ratu
rinenggeng sajagad.”
Artinya :
“Raja utusan waliyullah. Berkedaton dua di Mekah dan Tanah Jawa.
Letaknya dekat dengan gunung Perahu, sebelah barat tempuran. Dicintai
pasukannya. Memang raja yang terkenal sedunia.”
Bait ini menggambarkan bahwa pemimpin tersebut adalah hasil didikan
atau tempaan seorang Waliyullah (Aulia) yang juga selalu tersembunyi.
Berkedaton di Mekah dan Tanah Jawa merupakan perlambang yang bermakna
bahwa pemimpin tersebut selain ber-Islam sejati namun juga berpegang
teguh pada kawruh Jawa (ajaran leluhur Jawa tentang laku utama).
Sedangkan gunung Perahu seperti telah disinggung di atas adalah Lebak
Cawéné. Sedangkan tempuran adalah pertemuan dua sungai di muara yang
biasanya digunakan untuk tempat bertirakat ”kungkum” bagi orang Jawa.
Namun di sini tempuran bermakna ”watu gilang” sebagai tempat pertemuan
alam fisik dan alam gaib. Dalam budaya spiritual Jawa keberadaan watu
gilang sangat lekat dengan eksistensi seorang raja. Insya Allah..
Pemimpin tersebut akan mampu memimpin Nusantara ini dengan baik, adil
dan membawa kepada kesejahteraan rakyat, serta menjadikan Nusantara
sebagai ”barometer dunia” (istilah Bung Karno : ”Negara Mercusuar”).
Bait-bait Terakhir Ramalan Joyoboyo
Dalam bait-bait terakhir ramalan Joyoboyo digambarkan suasana negara
yang kacau penuh carut marut serta terjadi kerusakan moral yang luar
biasa. Namun dengan adanya fenomena tersebut kemudian digambarkan
munculnya seseorang yang arif dan bijaksana yang mampu mengatasi
keadaan. Berikut adalah cuplikan bait-bait tersebut yang menggambarkan
ciri-ciri atau karakter seseorang itu :
selet-selete yen mbesuk ngancik tutuping tahun
sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu; bakal ana dewa
ngejawantah; apengawak manungsa; apasurya padha bethara Kresna; awatak
Baladewa; agegaman trisula wedha; jinejer wolak-waliking zaman; …
Artinya :
selambat-lambatnya kelak menjelang tutup tahun (sinungkalan dewa wolu,
ngasta manggalaning ratu); akan ada dewa tampil; berbadan manusia;
berparas seperti Batara Kresna; berwatak seperti Baladewa; bersenjata
trisula wedha; tanda datangnya perubahan zaman; …
…; iku tandane putra Bethara Indra wus katon; tumeka ing arcapada ambebantu wong Jawa
Artinya :
…; itulah tanda putra Batara Indra sudah nampak; datang di bumi untuk membantu orang Jawa
…; bala prewangan makhluk halus padha baris, pada rebut
benere garis; tan kasat mata, tan arupa; sing madhegani putrane Bethara
Indra; agegaman trisula wedha; momongane padha dadi nayaka perang
perange tanpa bala; sakti mandraguna tanpa aji-aji
Artinya :
…; pasukan makhluk halus sama-sama berbaris, berebut garis yang benar,
tak kelihatan, tak berbentuk; yang memimpin adalah putra Batara Indra,
bersenjatakan trisula wedha; para asuhannya menjadi perwira perang; jika
berperang tanpa pasukan; sakti mandraguna tanpa azimat
apeparap pangeraning prang; tan pokro anggoning nyandhang; ning iya bisa nyembadani ruwet rentenging wong sakpirang-pirang; …
Artinya :
bergelar pangeran perang; kelihatan berpakaian kurang pantas; namun dapat mengatasi keruwetan banyak orang; …
idune idu geni; sabdane malati; sing mbregendhul mesti
mati; ora tuwo, enom padha dene bayi; wong ora ndayani nyuwun apa bae
mesthi sembada; garis sabda ora gentalan dina; beja-bejane sing yakin
lan tuhu setya sabdanira; tan karsa sinuyudan wong sak tanah Jawa;
nanging inung pilih-pilih sapa
Artinya :
ludahnya ludah api, sabdanya sakti (terbukti), yang membantah pasti
mati; orang tua, muda maupun bayi; orang yang tidak berdaya minta apa
saja pasti terpenuhi; garis sabdanya tidak akan lama; beruntunglah bagi
yang yakin dan percaya serta mentaati sabdanya; tidak mau dihormati
orang se tanah Jawa; tetapi hanya memilih beberapa saja
waskita pindha dewa; bisa nyumurupi lahire mbahira,
buyutira, canggahira; pindha lahir bareng sadina; ora bisa diapusi marga
bisa maca ati; wasis, wegig, waskita; ngerti sakdurunge winarah; bisa
pirsa mbah-mbahira; angawuningani jantraning zaman Jawa; ngerti garise
siji-sijining umat; Tan kewran sasuruping zaman
Artinya :
pandai meramal seperti dewa; dapat mengetahui lahirnya kakek, buyut dan
canggah anda; seolah-olah lahir di waktu yang sama; tidak bisa ditipu
karena dapat membaca isi hati; bijak, cermat dan sakti; mengerti sebelum
sesuatu terjadi; mengetahui leluhur anda; memahami putaran roda zaman
Jawa; mengerti garis hidup setiap umat; tidak khawatir tertelan zaman
ing ngarsa Begawan; dudu pandhita sinebut pandhita; dudu dewa sinebut dewa; kaya dene manungsa; …
Artinya :
di hadapan Begawan; bukan pendeta disebut pendeta; bukan dewa disebut dewa; namun manusia biasa; …
iki dalan kanggo sing eling lan waspada; ing zaman
kalabendu Jawa; aja nglarang dalem ngleluri wong apengawak dewa; cures
ludhes saka braja jelma kumara; aja-aja kleru pandhita samusana; larinen
pandhita asenjata trisula wedha; iku hiya pinaringaning dewa
Artinya :
Inilah jalan bagi yang ingat dan waspada; pada zaman kalabendu Jawa;
jangan melarang dalam menghormati orang berupa dewa; yang menghalangi
akan sirna seluruh keluarga; jangan keliru mencari dewa; carilah dewa
bersenjata trisula wedha; itulah pemberian dewa
nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para
kawula padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah
kawula; angagem trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku
momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; genaha
kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku
tandane kalabendu wis minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani
indering jagad raya; padha asung bhekti
Artinya :
Menyerang tanpa pasukan; bila menang tak menghina yang lain; rakyat
bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa telah tiba; raja menyembah
rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta juga pada memuja;
itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi
termasyhur; segalanya tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh
kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu telah usai; berganti zaman
penuh kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya; semuanya menaruh rasa
hormat yang tinggi
Sampai di sini kita akan dapat mulai memahami siapakah yang dikatakan
oleh Prabu Joyoboyo dengan istilah “Putra Betara Indra” itu ? Bait-bait
tersebut telah mengurai secara rinci tentang ciri-ciri dan karakter
orang tersebut. Putra Betara Indra tidak lain dan tidak bukan adalah
Waliyullah (aulia) yang. Perlambang paras Kresna dan watak Baladewa
bermakna satria pinandhita. Karena hakekat dua bersaudara Kresna dan
Baladewa (Krishna Balarama) melambangkan kepribadian Tuhan Yang Maha
Esa. Dimana Kresna melambangkan pencipta, sedangkan Baladewa
melambangkan potensi kreativitasnya. Dua bersaudara Kresna dan Baladewa
menghabiskan masa kanak-kanaknya sebagai penggembala sapi. Dengan
hakekat ini setidaknya kita dapat meraba bahwa Putra Betara Indra adalah
juga “Budak Angon” (Anak Gembala) yang telah dikatakan oleh Prabu
Siliwangi di dalam Wangsit Siliwangi.
Ramalan Satrio Piningit Ronggowarsito
Di dalam ramalan Ronggowarsito dipaparkan ada tujuh Satrio Piningit
yang akan muncul sebagai tokoh yang di kemudian hari akan memerintah
atau memimpin wilayah seluas wilayah “bekas” kerajaan Majapahit, yaitu :
Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro, Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar,
Satrio Jinumput Sumelo Atur, Satrio Lelono Topo Ngrame, Satrio Hamong
Tuwuh, Satrio Boyong Pambukaning Gapuro, Satrio Pinandhito Sinisihan
Wahyu. Berkenaan dengan itu, banyak kalangan yang kemudian mencoba
menafsirkan ke-tujuh Satrio Piningit itu adalah sebagai berikut :
1. SATRIO KINUNJORO MURWO KUNCORO.
Tokoh pemimpin yang akrab dengan penjara (Kinunjoro), yang akan
membebaskan bangsa ini dari belenggu keterpenjaraan dan akan kemudian
menjadi tokoh pemimpin yang sangat tersohor diseluruh jagad (Murwo
Kuncoro). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Soekarno,
Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia yang juga Pemimpin
Besar Revolusi dan pemimpin Rezim Orde Lama. Berkuasa tahun 1945-1967.
2. SATRIO MUKTI WIBOWO KESANDUNG KESAMPAR.
Tokoh pemimpin yang berharta dunia (Mukti) juga berwibawa/ditakuti
(Wibowo), namun akan mengalami suatu keadaan selalu dipersalahkan, serba
buruk dan juga selalu dikaitkan dengan segala keburukan / kesalahan
(Kesandung Kesampar). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai
Soeharto, Presiden Kedua Republik Indonesia dan pemimpin Rezim Orde Baru
yang ditakuti. Berkuasa tahun 1967-1998.
3. SATRIO JINUMPUT SUMELA ATUR.
Tokoh pemimpin yang diangkat/terpungut (Jinumput) akan tetapi hanya
dalam masa jeda atau transisi atau sekedar menyelingi saja (Sumela
Atur). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai BJ Habibie, Presiden
Ketiga Republik Indonesia. Berkuasa tahun 1998-1999.
4. SATRIO LELONO TAPA NGRAME.
Tokoh pemimpin yang suka mengembara / keliling dunia (Lelono) akan
tetapi dia juga seseorang yang mempunyai tingkat kejiwaan Religius yang
cukup / Rohaniawan (Tapa Ngrame). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan
sebagai KH. Abdurrahman Wahid, Presiden Keempat Republik Indonesia.
Berkuasa tahun 1999-2000.
5. SATRIO PININGIT HAMONG TUWUH.
Tokoh pemimpin yang muncul membawa kharisma keturunan dari moyangnya
(Hamong Tuwuh). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Megawati
Soekarnoputri, Presiden Kelima Republik Indonesia. Berkuasa tahun
2000-2004.
6. SATRIO BOYONG PAMBUKANING GAPURO.
Tokoh pemimpin yang berpindah tempat (Boyong) dan akan menjadi peletak
dasar sebagai pembuka gerbang menuju tercapainya zaman keemasan
(Pambukaning Gapuro). Banyak pihak yang menyakini tafsir dari tokoh yang
dimaksud ini adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Ia akan selamat memimpin
bangsa ini dengan baik manakala mau dan mampu mensinergikan dengan
kekuatan Sang Satria Piningit atau setidaknya dengan seorang spiritualis
sejati satria piningit yang hanya memikirkan kemaslahatan bagi seluruh
rakyat Indonesia sehingga gerbang mercusuar dunia akan mulai terkuak.
Mengandalkan para birokrat dan teknokrat saja tak akan mampu
menyelenggarakan pemerintahan dengan baik. Ancaman bencana alam,
disintegrasi bangsa dan anarkhisme seiring prahara yang terus terjadi
akan memandulkan kebijakan yang diambil.
7. SATRIO PINANDITO SINISIHAN WAHYU.
Tokoh pemimpin yang amat sangat Religius sampai-sampai digambarkan
bagaikan seorang Resi Begawan (Pinandito) dan akan senantiasa bertindak
atas dasar hukum / petunjuk Allah SWT (Sinisihan Wahyu). Dengan selalu
bersandar hanya kepada Allah SWT, Insya Allah, bangsa ini akan mencapai
zaman keemasan yang sejati.
Selain masing-masing satrio itu menjadi ciri-ciri dari masing-masing
pemimpin NKRI pada setiap masanya, ternyata tujuh satrio piningit itu
melambangkan tujuh sifat yang menyatu di dalam diri seorang pandhita
yang telah kita tahu adalah Putra Betara Indra yang juga Budak Angon
seperti telah diungkap di atas. Berikut ini adalah sifat-sifat “Satrio
Piningit” sejati apa yang telah ditulis oleh R.Ng. Ronggowarsito :
* Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro
Melambangkan orang yang sepanjang hidupnya terpenjara namun namanya
harum mewangi. Sifat ini hanya dimiliki oleh orang yang telah menguasai
Artadaya (ma’rifat sebenar-benar ma’rifat). Diberikan anugerah
kewaskitaan atau kesaktian oleh Allah SWT, namun tidak pernah
menampakkan kesaktiannya itu. Jadi sifat ini melambangkan orang berilmu
yang amat sangat tawadhu’.
* Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar
Melambangkan orang yang kaya akan ilmu dan berwibawa, namun hidupnya
kesandung kesampar, artinya penderitaan dan pengorbanan telah menjadi
teman hidupnya yang setia. Tidak terkecuali fitnah dan caci maki selalu
menyertainya. Semua itu dihadapinya dengan penuh kesabaran, ikhlas dan
tawakal.
* Satrio Jinumput Sumelo Atur
Melambangkan orang yang terpilih oleh Allah SWT guna melaksanakan
perintah-perintah-Nya dan menjalankan missi-Nya. Hal ini dibuktikan
dengan pemberian anugerah-Nya berupa ilmu laduni kepada orang tersebut.
Satrio Lelono Topo Ngrame
melambangkan orang yang sepanjang hidupnya melakukan perjalanan
spiritual dengan melakukan tasawuf hidup (tapaning ngaurip). Bersikap
zuhud dan selalu membantu (tetulung) kepada orang-orang yang dirundung
kesulitan dan kesusahan dalam hidupnya.
* Satrio Hamong Tuwuh
Melambangkan orang yang memiliki dan membawa kharisma leluhur suci
serta memiliki tuah karena itu selalu mendapatkan pengayoman dan
petunjuk dari Allah SWT. Dalam budaya Jawa orang tersebut biasanya
ditandai dengan wasilah memegang pusaka tertentu sebagai perlambangnya.
Satrio Boyong Pambukaning Gapuro melambangkan orang yang melakukan
hijrah dari suatu tempat ke tempat lain yang diberkahi Allah SWT atas
petunjuk-Nya. Hakekat hijrah ini adalah sebagai perlambang diri menuju
pada kesempurnaan hidup (kasampurnaning ngaurip). Dalam kaitan ini maka
tempat yang ditunjuk itu adalah Lebak Cawéné = Gunung Perahu = Semarang
Tembayat.
* Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu
Melambangkan orang yang memiliki enam sifat di atas. Sehingga orang
tersebut digambarkan sebagai seorang pinandhita atau alim yang selalu
mendapatkan petunjuk dari Allah SWT. Maka hakekat Satrio Pinandhito
Sinisihan Wahyu adalah utusan Allah SWT atau bisa dikatakan seorang
Aulia (waliyullah).
Serat Kalatidha Ronggowarsito
Guna memperlengkapi wacana kita tentang sifat dan karakter “Satrio
Piningit” yang telah diurai di atas, ada baiknya kita cermati pula Serat
Kalatidha karya Ronggowarsito yang tertuang dalam Serat Centhini jilid
IV (karya Susuhunan Pakubuwono V) pada Pupuh 257 dan 258. Kutipan
berikut ini menggambarkan situasi jaman yang terjadi dan akhirnya muncul
sang Satrio Piningit yang dinanti :
Wong agunge padha jail kurang tutur, marma jeng pamasa, tanpa paramarteng dasih, dene datan ana wahyu kang sanyata.
Artinya :
Para pemimpinnya berhati jahil, bicaranya ngawur, tidak bisa dipercaya dan tidak ada wahyu yang sejati.
Keh wahyuning eblislanat kang tamurun, apangling kang jalma, dumrunuh salin sumalin, wong wadon kang sirna wiwirangira.
Artinya :
Wahyu yang turun adalah wahyu dari iblis dan sulit bagi kita untuk
membedakannya, para wanitanya banyak yang kehilangan rasa malu.
Tanpa kangen mring mitra sadulur, tanna warta nyata, akeh wong mlarat mawarni, daya deye kalamun tyase nalangsa.
Artinya :
Rasa persaudaraan meluntur, tidak saling memberi berita dan banyak orang
miskin beraneka macam yang sangat menyedihkan kehidupannya.
Krep paprangan, sujana kapontit nurut, durjana susila dadra andadi, akeh maling malandang marang ing marga.
Artinya :
Banyak peperangan yang melibatkan para penjahat, kejahatan / perampokan
dan pemerkosaan makin menjadi-jadi dan banyak pencuri malang melintang
di jalan-jalan.
Bandhol tulus, mendhosol rinamu puguh, krep grahana surya, kalawan grahana sasi, jawah lindhu gelap cleret warsa.
Artinya :
Alampun ikut terpengaruh dengan banyak terjadi gerhana matahari dan bulan, hujan abu dan gempa bumi.
Prahara gung, salah mangsa dresing surur, agung prang rusuhan, mungsuhe boya katawis, tangeh lamun tentreming wardaya.
Artinya :
Angin ribut dan salah musim, banyak terjadi kerusuhan seperti perang
yang tidak ketahuan mana musuhnya yang menyebabkan tidak mungkin ada
rasa tenteram di hati.
Dalajading praja kawuryan wus suwung, lebur pangreh tata, karana tanpa palupi, pan wus tilar silastuti titi tata.
Artinya :
Kewibawaan negara tidak ada lagi, semua tata tertib, keamanan, dan aturan telah ditinggalkan.
Pra sujana, sarjana satemah kelu, klulun Kalathida, tidhem tandhaning dumadi, hardayengrat dening karoban rubeda.
Artinya :
Para penjahat maupun para pemimpin tidak sadar apa yang diperbuat dan selalu menimbulkan masalah / kesulitan.
Sitipati, nareprabu utamestu, papatih nindhita, pra nayaka tyas basuki, panekare becik-becik cakrak-cakrak.
Artinya :
Para pemimpin mengatakan seolah-olah bahwa semua berjalan dengan baik padahal hanya sekedar menutupi keadaan yang jelek.
Nging tan dadya, paliyasing Kalabendu, mandar sangking dadra, rubeda angrubedi, beda-beda hardaning wong sanagara.
Artinya :
Yang menjadi pertanda zaman Kalabendu, makin lama makin menjadi
kesulitan yang sangat, dan berbeda-beda tingkah laku / pendapat orang
se-negara.
Katatangi tangising mardawa-lagu, kwilet tays duhkita, kataman ring reh wirangi, dening angupaya sandi samurana.
Artinya :
Disertai dengan tangis dan kedukaan yang mendalam, walaupun kemungkinan
dicemooh, mencoba untuk melihat tanda-tanda yang tersembunyi dalam
peristiwa ini.
Ing Paniti sastra wawarah, sung pemut, ing zaman musibat, wong ambeg jatmika kontit, kang mangkono yen niteni lamampahan.
Artinya :
Memberikan peringatan pada zaman yang kalut dengan bijaksana, begitu agar kejadiannya / yang akan terjadi bisa jadi peringatan.
Nawung krida, kang menangi jaman gemblung, iya jaman edan, ewuh aya kang pambudi, yen meluwa edan yekti nora tahan.
Artinya :
Untuk dibuktikan, akan mengalami jaman gila, yaitu zaman edan, sulit untuk mengambil sikap, apabila ikut gila/edan tidak tahan.
Yen tan melu, anglakoni wus tartamtu, boya keduman, melik kalling donya iki, satemahe kaliren wekasane.
Artinya :
Apabila tidak ikut menjalani, tidak kebagian untuk memiliki harta benda, yang akhirnya bisa kelaparan.
Wus dilalah, karsane kang Among tuwuh, kang lali kabegjan, ananging sayektineki, luwih begja kang eling lawan waspada.
Artinya :
Sudah kepastian, atas kehendak Allah SWT, yang lupa untuk mengejar
keberuntungan, tapi yang sebetulnya, lebih beruntung yang tetap ingat
dan waspada (dalam perbuatan berbudi baik dan luhur).
Saka marmaning Hayang Sukma, jaman Kalabendu sirna,
sinalinan jamanira, mulyaning jenengan nata, ing kono raharjanira,
karaton ing tanah Jawa, mamalaning bumi sirna, sirep dur angkaramurka.
Artinya :
Atas izin Allah SWT, zaman Kalabendu hilang, berganti zaman dimana tanah
Jawa/Indonesia menjadi makmur, hilang kutukan bumi dan angkara murkapun
mereda.
Marga sinapih rawuhnya, nata ginaib sanyata, wiji
wijiling utama, ingaranan naranata, kang kapisan karanya, adenge tanpa
sarana, nagdam makduming srinata, sonya rutikedatonnya.
Artinya :
Kedatangan pemimpin baru tidak terduga, seperti muncul secara gaib, yang mempunyai sifat-sifat utama.
Lire sepi tanpa srana, ora ana kara-kara, duk masih
keneker Sukma, kasampar kasandhung rata, keh wong katambehan ika,
karsaning Sukma kinarya, salin alamnya, jumeneng sri pandhita.
Artinya :
Datangnya tanpa sarana apa-apa, tidak pernah menonjol sebelumnya, pada
saat masih muda, banyak mengalami halangan dalam hidupnya, yang oleh
izin Allah SWT, akan menjadi pemimpin yang berbudi luhur.
Luwih adil paraarta, lumuh maring branaarta, nama Sultan
Erucakra, tanpa sangakan rawuhira, tan ngadu bala manungsa, mung
sirollah prajuritnya, tungguling dhikir kewala, mungsuh rerep sirep
sirna.
Artinya :
Mempunyai sifat adil, tidak tertarik dengan harta benda, bernama Sultan
Erucakra (pemimpin yang memiliki wahyu), tidak ketahuan asal
kedatangannya, tidak mengandalkan bala bantuan manusia, hanya sirullah
prajuritnya (pasukan Allah) dan senjatanya adalah se-mata2 dzikir, musuh
semua bisa dikalahkan.
Tumpes tapis tan na mangga, krana panjenengan nata, amrih
kartaning nagara, harjaning jagat sadaya, dhahare jroning sawarsa,
denwangeni katahhira, pitung reyal ika, tan karsa lamun luwiha.
Artinya :
Semua musuhnya dimusnahkan oleh sang pemimpin demi kesejahteraan negara,
dan kemakmuran semuanya, hidupnya sederhana, tidak mau melebihi,
penghasilan yang diterima.
Bumi sakjung pajegira, amung sadinar sawarsa, sawah sewu
pametunya, suwang ing dalem sadina, wus resik nir apa-apa, marmaning
wong cilik samya, ayem enake tysira, dene murah sandhang teda.
Artinya :
Pajak orang kecil sangat rendah nilainya, orang kecil hidup tentram, murah sandang dan pangan.
Tan na dursila durjana, padha martobat nalangas, wedi
willating nata, adil asing paramarta, bumi pethik akukutha, parek lan
kali Katangga, ing sajroning bubak wana, penjenenganin sang nata.
Artinya :
Tidak ada penjahat, semuanya sudah bertobat, takut dengan kewibawaan sang pemimpin yang sangat adil dan bijaksana.
Dari gambaran yang tertulis di dalam Serat Kalatidha di atas, maka
kita akan mendapatkan gambaran yang sama dengan apa yang sedang terjadi
saat ini. Percaya atau tidak, kenyataannya semua yang telah digambarkan
para leluhur nusantara ini telah terjadi dan sedang berlangsung serta
insya allah akan terjadi, baik lambat ataupun cepat. Karena apa yang
telah dituangkan para leluhur kita dalam bentuk karya sastra adalah
hasil “olah batin” ataupun “perjalanan spiritual” beliau-beliau di dalam
menangkap lambang-lambang-Nya di alam nyata maupun gaib. Inilah yang
diistilahkan dalam kawruh jawa sebagai Sastrajendra Hayuningrat.
(sastra tanpa wujud – papan tanpa tulis, tulis tanpa papan). Sehingga
dalam mengungkapkannya penuh dengan perlambang (pasemon ataupun
sanepan). Semuanya hanya ingin mengingatkan kita anak cucu leluhur
nusantara ini untuk senantiasa Eling dan Waspada.
Menelisik Misteri Sabdo Palon
Dalam upaya menelisik misteri siapa sejatinya Sabdo Palon, saya
mengawali dengan mengkaji Serat Darmagandhul dan ramalan Sabdo Palon. Di
sini tidak akan dipersoalkan siapa yang membuat karya-karya tersebut
untuk tidak menimbulkan banyak perdebatan. Karena penjelasan secara akal
penalaran amatlah rumit, namun dengan pendekatan spiritual dapatlah
ditarik benang merahnya yang akan membawa kepada satu titik terang. Dan
akhirnyapun dapat dirunut secara logika historis.
Menarik memang di dalam mencari jawab tentang siapakah Sabdo Palon ?
Karena kata ”Sabdo Palon Noyo Genggong” sebagai penasehat spiritual
Prabu Brawijaya V ( memerintah tahun 1453 – 1478 ) tidak hanya dapat
ditemui di dalam Serat Darmagandhul saja, namun di dalam bait-bait
terakhir ramalan Joyoboyo ( 1135 – 1157 ) juga telah disebut-sebut,
yaitu bait 164 dan 173 yang menggambarkan tentang sosok Putra Betara
Indra sbb :
…; Mumpuni sakabehing laku; nugel tanah Jawa kaping
pindho; ngerahake jin setan; kumara prewangan, para lelembut ke bawah
perintah saeko proyo kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula
weda; landhepe triniji suci; bener, jejeg, jujur; kadherekake Sabdopalon
lan Noyogenggong.
Artinya :
…; Menguasai seluruh ajaran (ngelmu); memotong tanah Jawa kedua kali;
mengerahkan jin dan setan; seluruh makhluk halus berada di bawah
perintahnya bersatu padu membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula
weda; tajamnya tri tunggal nan suci; benar, lurus, jujur; didampingi
Sabdopalon dan Noyogenggong.
Nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para
kawula padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah
kawula; angagem trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku
momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; genaha
kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku
tandane kalabendu wis minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani
indering jagad raya; padha asung bhekti.
Artinya :
Menyerang tanpa pasukan; bila menang tak menghina yang lain; rakyat
bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa telah tiba; raja menyembah
rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta juga pada memuja;
itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi
termasyhur; segalanya tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh
kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu telah usai; berganti zaman
penuh kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya; semuanya menaruh rasa
hormat yang tinggi.
Serat Darmagandhul
Memahami Serat Darmagandhul dan karya-karya leluhur kita dibutuhkan
kearifan dan toleransi yang tinggi, karena mengandung nilai kawruh Jawa
yang sangat tinggi. Jika belum matang beragama maka akan muncul sentimen
terhadap agama lain. Tentu ini tidak kita kehendaki. Tiada maksud lain
dari saya kecuali hanya ingin mengungkap fakta dan membedah warisan
leluhur dari pendekatan spiritual dan historis.
Dalam serat Darmagandhul ini saya hanya ingin menyoroti ucapan-ucapan berikut ini :
”Paduka sampun kêlajêng kêlorob, karsa dados jawan,
irib-iriban, rêmên manut nunut-nunut, tanpa guna kula êmong, kula wirang
dhatêng bumi langit, wirang momong tiyang cabluk, kula badhe pados
momongan ingkang mripat satunggal, botên rêmên momong paduka. … Manawi
paduka botên pitados, kang kasêbut ing pikêkah Jawi, nama Manik Maya,
punika kula, ingkang jasa kawah wedang sanginggiling rêdi rêdi Mahmeru
punika sadaya kula, …”
Artinya :
”Paduka sudah terlanjur terperosok, mau jadi orang jawan (kehilangan
jawa-nya), kearab-araban, hanya ikut-ikutan, tidak ada gunanya saya
asuh, saya malu kepada bumi dan langit, malu mengasuh orang tolol, saya
mau mencari asuhan yang bermata satu (memiliki prinsip/aqidah yang
kuat), tidak senang mengasuh paduka. … Kalau paduka tidak percaya, yang
disebut dalam ajaran Jawa, nama Manik Maya itu saya, yang membuat kawah
air panas di atas gunung itu semua adalah saya, …”
Dalam ucapan ini pula Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah
sebenarnya yang dikatakan dalam kawruh Jawa dengan apa yang dikenal
sebagai ”Manik Maya” atau hakekat ”Semar”.
”Sabdapalon matur yen arêp misah, barêng didangu lungane
mênyang ngêndi, ature ora lunga, nanging ora manggon ing kono, mung
nêtêpi jênênge Sêmar, nglimputi salire wujud, anglela kalingan padhang.
…..”
Artinya :
”Sabdo Palon menyatakan akan berpisah, begitu ditanya perginya kemana,
jawabnya tidak pergi, akan tetapi tidak bertempat di situ, hanya
menetapkan namanya Semar, yang meliputi segala wujud, membuatnya samar.
…..”
Sekali lagi dalam ucapan ini Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah
yang bernama Semar. Bagi orang Jawa yang berpegang pada kawruh Jawa
pastilah memahami tentang apa dan bagaimana Semar. Secara ringkas dapat
dijelaskan bahwa Semar adalah merupakan utusan gaib Gusti Kang Murbeng
Dumadi (Tuhan Yang Maha Kuasa) untuk melaksanakan tugas agar manusia
selalu menyembah dan bertaqwa kepada Tuhan, selalu bersyukur dan eling
serta berjalan pada jalan kebaikan. Sebelum manusia mengenal agama,
keberadaan Semar telah ada di muka bumi. Beliau mendapat tugas khusus
dari Gusti Kang Murbeng Dumadi untuk menjaga dan memelihara bumi
Nusantara khususnya, dan jagad raya pada umumnya.
Perhatikan ungkapan Sabdo Palon berikut ini :
Di kalangan spiritualis Jawa pada umumnya, keberadaan Semar diyakini
berupa ”suara tanpa rupa”. Namun secara khusus bagi yang memahami lebih
dalam lagi, keberadaan Semar diyakini dengan istilah “mencolo putro,
mencolo putri”, artinya dapat mewujud dan menyamar sebagai manusia biasa
dalam wujud berlainan di setiap masa. Namun dalam perwujudannya sebagai
manusia tetap mencirikan karakter Semar sebagai sosok “Begawan atau
Pandhita”. Hal ini dapat dipahami karena dalam kawruh Jawa dikenal
adanya konsep “menitis” dan “Cokro Manggilingan”.
Dari apa yang telah disinggung di atas, kita telah sedikit memahami
bahwa Sabdo Palon sebagai pembimbing spiritual (ponokawan) Prabu
Brawijaya merupakan sosok Semar yang nyata. Menurut Sabdo Palon dalam
ungkapannya dikatakan :
”…, paduka punapa kêkilapan dhatêng nama kula Sabdapalon?
Sabda têgêsipun pamuwus, Palon: pikukuh kandhang. Naya têgêsipun ulat,
Genggong: langgêng botên ewah. Dados wicantên-kula punika, kenging
kangge pikêkah ulat pasêmoning tanah Jawi, langgêng salaminipun.”
Artinya :
”…, apakah paduka lupa terhadap nama saya Sabdo Palon? Sabda artinya
kata-kata, Palon adalah kayu pengancing kandang, Naya artinya pandangan,
Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi ucapan hamba itu berlaku
sebagai pedoman hidup di tanah Jawa, langgeng selamanya.”
Seperti halnya Semar telah banyak dikenal sebagai pamomong sejati
yang selalu mengingatkan bilamana yang di”emong”nya salah jalan, salah
berpikir atau salah dalam perbuatan, terlebih apabila melanggar
ketentuan-ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Semar selalu memberikan
piwulangnya untuk bagaimana berbudi pekerti luhur selagi hidup di dunia
fana ini sebagai bekal untuk perjalanan panjang berikutnya nanti.
Jadi Semar merupakan pamomong yang ”tut wuri handayani”, menjadi
tempat bertanya karena pengetahuan dan kemampuannya sangat luas, serta
memiliki sifat yang bijaksana dan rendah hati juga waskitho (ngerti
sakdurunge winarah). Semua yang disabdakan Semar tidak pernah berupa
”perintah untuk melakukan” tetapi lebih kepada ”bagaimana
sebaiknya melakukan”. Semua keputusan yang akan diambil diserahkan
semuanya kepada ”majikan”nya. Semar atau Kaki Semar sendiri memiliki 110
nama, diantaranya adalah Ki Sabdopalon, Sang Hyang Ismoyo, Ki
Bodronoyo, dan lain-lain.
Di dalam Serat Darmogandhul diceritakan episode perpisahan antara
Sabdo Palon dengan Prabu Brawijaya karena perbedaan prinsip. Sebelum
berpisah Sabdo Palon menyatakan kekecewaannya dengan sabda-sabda yang
mengandung prediksi tentang sosok masa depan yang diharapkannya.
Berikut ungkapan :
”….. Sang Prabu diaturi ngyêktosi, ing besuk yen ana wong
Jawa ajênêng tuwa, agêgaman kawruh, iya iku sing diêmong Sabdapalon,
wong jawan arêp diwulang wêruha marang bênêr luput.”
Artinya :
”….. Sang Prabu diminta memahami, suatu saat nanti kalau ada orang Jawa
menggunakan nama tua (sepuh), berpegang pada kawruh Jawa, yaitulah yang
diasuh oleh Sabda Palon, orang Jawan (yang telah kehilangan Jawa-nya)
akan diajarkan agar bisa melihat benar salahnya.”
Dari ungkapan di atas Sabdo Palon mengingatkan Prabu Brawijaya bahwa
suatu ketika nanti akan ada orang Jawa yang memahami kawruh Jawa (tiyang
Jawi) yang akan memimpin bumi nusantara ini. Hal ini menyiratkan adanya
dua sosok di dalam ungkapan Sabdo Palon tersebut yang merupakan sabda
prediksi di masa mendatang, yaitu pemimpin yang diharapkan dan
pembimbing spiritual (seorang pandhita).
Ramalan Sabdo Palon
Sanget-sangeting sangsara, Kang tuwuh ing tanah Jawi,
Sinengkalan tahunira, Lawon Sapta Ngesthi Aji, Upami nyabrang kali,
Prapteng tengah-tengahipun, Kaline banjir bandhang, Jerone ngelebne
jalmi, Kathah sirna manungsa prapteng pralaya.
Artinya :
Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada tahun: Lawon Sapta
Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang di
tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan
manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.
Bebaya ingkang tumeka, Warata sa Tanah Jawi, Ginawe kang
paring gesang, Tan kenging dipun singgahi, Wit ing donya puniki, Wonten
ing sakwasanipun, Sedaya pra Jawata, Kinarya amertandhani, Jagad iki
yekti ana kang akarya.
Artinya :
Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak
Tuhan tidak mungkin dipungkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya.
Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang
membuatnya.
Dari bait-bait di atas dapatlah kita memahami bahwa Sabdo Palon
menyatakan kembali ke asal mulanya. Perlu kita tahu bahwa Semar adalah
wujud manusia biasa titisan dewa Sang Hyang Ismoyo. Jadi ketika itu
Sabdo Palon berencana untuk kembali ke asal mulanya adalah alam
kahyangan (alam dewa-dewa), kembali sebagai wujud dewa, Sang Hyang
Ismoyo. Diungkapkannya tanda utama itu adalah muntahnya lahar gunung
Merapi ke arah barat daya. Baunya tidak sedap. Dan juga kemudian diikuti
bencana-bencana lainnya.
KESIMPULAN
”Jadi yang dikatakan “Putra Betara Indra” oleh Joyoboyo,
“Budak Angon” oleh Prabu Siliwangi, dan “Satrio Pinandhito Sinisihan
Wahyu” oleh Ronggowarsito itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Sabdo
Palon, yang sejatinya adalah Dang Hyang Nirartha/ Mpu Dwijendra/ Pedanda
Sakti Wawu Rawuh/ Tuan Semeru.
Pertanyaannya sekarang adalah: Ada dimanakah beliau saat ini kalau
dari tanda-tanda yang telah nampak dikatakan bahwa Sabdo Palon telah
datang ? Tentu saja sangat tidak etis untuk menjawab secara vulgar
persoalan ini. Sangat sensitif. Karena ini adalah wilayah para kasepuhan
suci, waskito, ma’rifat dan mukasyafah saja yang dapat menjumpai dan
membuktikan kebenarannya. Dimensi spiritual sangatlah pelik dan rumit.
Sabdo Palon yang telah menitis kepada ”seseorang” itu yang jelas
memiliki karakter 7 (tujuh) satrio seperti yang telah diungkapkan oleh
R.Ng. Ronggowarsito, dan juga memiliki karakter Putra Betara Indra
seperti yang diungkapkan oleh Joyoboyo.
Dapatlah dikatakan bahwa : Putra Betara Indra = Budak Angon = Satrio
Pinandhito Sinisihan Wahyu seperti yang telah dikatakan oleh para
leluhur nusantara di atas adalah sosok yang diharap-harapkan rakyat
nusantara selama ini, yaitu sosok yang dikenal dengan nama ”SATRIO
PININGIT”. Banyak pendapat yang berkembang di masyarakat luas selama ini
dalam memandang dan memahami isitilah ”Satrio Piningit”. Pemahamannya
tentu bertingkat-tingkat sesuai dengan kapasitas keilmuan masing-masing
orang.
Satrio Piningit yang telah menjadi mitos selama perjalanan sejarah
bangsa ini memunculkan misteri tersendiri. Ia merupakan perbendaharaan
rahasia bumi dan langit yang teramat sulit ditembus oleh akal pikiran.
Keberadaannya gaib namun nyata. Bahkan para winasis waskita pun belum
tentu mampu menembus aura misterinya. Karena dalil yang berlaku seperti
halnya dalam memandang Semar. Orang yang hatinya kotor dan masih
diliputi dengan berbagai hawa nafsu akan sulit melihat Semar. Namun
Semar dapat terlihat bagi orang yang hatinya bersih/suci dan melakoni
tirakat (tapaning ngaurip/tasawuf hidup) sepanjang hidupnya. Hal ini
mengisyaratkan bahwa tidak semua orang dapat menjumpainya. Semua akan
terfilter secara alamiah. Atau dengan bahasa lain, jika seseorang telah
mendapatkan hidayah Allah SWT maka dia dapat menjumpai Semar yang pada
hakekatnya adalah pancaran Cahaya Ilahiah itu sendiri. Walaupun tidak
menjumpainya namun daya-daya kehadirannya dapat dirasakan secara luas
tanpa disadari. Fenomena ini dilambangkan dalam cerita pewayangan ketika
”Semar Ngejawantah” dan kemudian saatnya ”Semar Mbabar Diri” maka
pecahlah peperangan ”Bharatayudha Jaya Binangun”. Perangnya kebaikan
melawan keburukan. Di saat inilah kita di jagad nusantara ini sedang
memasuki dan menjalani fase tersebut.
Hakekat Satrio Piningit menurut saya adalah sosok seorang ”Guru Sejati”.
Sosok guru yang tidak menyebarkan ”ajaran ataupun agama baru” namun
menebar kasih ke atas seluruh umat tanpa membedakan golongan, bangsa,
suku, maupun agama atau kepercayaan. Bukan sekedar sosok Satrio Piningit
atau Guru Sejati yang harus kita cari, akan tetapi yang sangat hakiki
adalah ”Kebenaran Sejati” yang harus dicari atau ditembus di dalam
dirinya. Maka dalam perjalanan tasawuf hal ini dikenal dengan dalil ”Man
arofa nafsahu faqad arofa robbahu” (kenalilah dirimu sendiri sebelum
mengenal Allah).
Jika memang mendapatkan ridho dan hidayah Allah, maka beruntung jika
dapat menjumpainya. Setidaknya inilah jawaban dari apa yang telah
diungkapkan berkaitan dengan misteri ”Semarang Tembayat” yang tertulis
di dalam Serat Musarar Joyoboyo. Telah tiba saatnya Misteri Nusantara
terkuak.
Putra Sang Fajar Muncul Di Ufuk Timur
Pembaca yang budiman, apa yang terpapar berupa tulisan-tulisan ini
adalah murni merupakan hasil “input spiritual” atau bisa dikatakan
sasmita/ilham/isyarah/warid, yang kemudian di-cross check (cek silang)
dengan beberapa wasiat karya leluhur berkenaan. Untuk diketahui pula
sebelumnya bahwa setiap “input spiritual” yang diterima penulis selalu
disertai dengan turunnya ayat Al Qur’an dari kegaiban (berupa “bisikan”
atau “bimbingan” dalam membuka kitab Al Qur’an) sebagai hakekat
penjelasannya. Secara jujur, penulis bukanlah seorang ahli kitab ataupun
Al Hafidz. Ayat-ayat Al Qur’an yang turun itulah yang senantiasa
penulis jadikan pijakan utama dalam melakukan setiap “perjalanan
spiritual” selama ini. “input spiritual” untuk menyuarakan semua ini
yaitu QS Asy Syua’raa’ : 5 – 9 yang berbunyi :
”Dan sekali-kali tidak datang kepada mereka suatu peringatan baru
dari Tuhan Yang Maha Pemurah, melainkan mereka selalu berpaling
daripadanya. Sungguh mereka telah mendustakan (Al Qur’an), maka kelak
akan datang kepada mereka (kenyataan dari) berita-berita yang selalu
mereka perolok-olokan. Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi,
berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu berbagai macam
tumbuh-tumbuhan yang baik? Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat suatu tanda kekuasaan Allah. Dan kebanyakan mereka
tidak beriman. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah Yang Maha
Perkasa lagi Maha Penyayang.”
Dan juga QS An Nuur : 46 – 47 yang berbunyi :
”Sesungguhnya Kami telah menurunkan ayat-ayat yang menjelaskan. Dan
Allah memimpin siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. Dan
mereka berkata: ”Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami
menaati (keduanya).” Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah
itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.”
Fenomena spiritual itupun dibarengi dengan turunnya ayat Al Qur’an
sebagai hakekat penjelasannya, yaitu QS Al Israa’ : 41 – 46, yang
menyatakan :
”Dan sesungguhnya dalam Al Qur’an ini Kami telah ulang-ulangi
(peringatan-peringatan), agar mereka selalu ingat. Dan ulangan
peringatan itu tidak lain hanyalah menambah mereka lari (dari
kebenaran). Katakanlah: ”Jika ada tuhan-tuhan di samping-Nya,
sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan
kepada Tuhan yang mempunyai Arasy.” Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari
apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang sebesar-besarnya. Langit
yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah.
Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu
sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Penyantun lagi Maha Pengampun. Dan apabila kamu membaca Al Qur’an
niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman
kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup, dan Kami adakan
tutupan di atas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka, agar mereka
tidak dapat memahaminya. Dan apabila kamu menyebut Tuhanmu saja dalam Al
Qur’an, niscaya mereka berpaling ke belakang karena bencinya.”
ayat yang menjelaskannya berupa QS An Nuur : 51 – 52 yang berbunyi :
”Sesungguhnya perkataan orang-orang mukmin, apabila mereka dipanggil
kepada Allah dan rasul-Nya supaya diputuskan perkara di antara mereka*
ialah ucapan: ”Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan
rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka
adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.”
(*: Maksudnya: Di antara kaum muslimin dengan kaum muslimin dan antara kaum muslimin dengan yang bukan muslimin)
Dikatakan moment itu akan menandai kemunculan ”seseorang” itu dan
sebagai forum pesaksian/pembuktian atas kebenarannya sebelum ”seseorang”
itu mengemban amanah-amanah-Nya bagi kemaslahatan rakyat negeri ini.
Menurut kesaksian beberapa spiritualis telah “melihat” fenomena
spiritual yang sama tentang kemunculan “Satria Pinandhita Sinisihan
Wahyu” di tengah kita. Ya.. sinyal yang muncul menyiratkan bahwa “sosok
Satrio Piningit” akan muncul. Sungguh sangat rumit untuk menjelaskannya
bagi konsumsi akal penalaran. Tidak ada yang tidak mungkin jika Allah
SWT berkehendak. Saat ini “Roda Cokro Manggilingan” tengah bergerak dan
berputar. Walau secara kasat mata tidak terlihat, namun daya-dayanya
akan terasa secara luas.
Tak perlu penasaran siapa sejatinya beliau. Karena beliau tersebut tidak
akan muncul di permukaan sebelum missi yang dijalankannya paripurna.
Missi tersebut berkenaan dengan “Persatuan Umat” dan untuk ingat kembali
akan “Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa”. Jangan dibayangkan “beliau” akan
harus berhadapan dengan jutaan umat di nusantara ini. Namun dalil yang
berlaku pada “beliau” adalah : “Nglurug tanpa bala, menang tanpa
ngasorake”.
Saat ini secara kegaiban “beliau” tengah berjalan dari Timur menuju
Barat, meluruskan kembali apa yang salah diantara Majapahit dan
Pajajaran, khususnya kejadian Perang Bubat. Karena secara spiritual
terjadinya Perang Bubat bukanlah karena akal licik Gajah Mada untuk
menaklukkan Pajajaran. Tetapi yang terjadi adalah kesalahpahaman karena
Gajah Mada bersiasat untuk menghindarkan “perkawinan sedarah” yang
membawa petaka/kutukan antara Dyah Pitaloka dengan Prabu Hayam Wuruk.
Hakekatnya asal mula Majapahit (R. Wijaya) adalah dari trah Pajajaran
(dulunya Kerajaan Sunda Galuh). Sehingga secara hakekat pula bahwa
Pajajaran adalah “saudara tua” Majapahit. Dari penelusuran secara
spiritual, Gajah Mada sebagai sosok yang misterius sejatinya adalah
Rangga Gading (makam/petilasannya ada di Bogor).
Prinsipnya banyak hal yang perlu diluruskan berkenaan dengan sejarah
nusantara ini. Karena kepentingan pihak-pihak tertentu pasca keruntuhan
Majapahit, sampai dengan dekade ini banyak sejarah yang telah
diputarbalikkan ataupun dibengkokkan. Secara empirik catatan atau bukti
sejarah boleh hilang, namun di alam kegaiban catatan sejarah nusantara
ini tidak dapat dihapus. Dan inilah peran kemunculan beliau “Satrio
Piningit” untuk meluruskan apa yang salah di negeri ini. Jika secara
kegaiban hal-hal yang salah dapat diluruskan, maka aura ini akan
berpengaruh besar dalam kehidupan manusia di bumi. Tak salah kiranya
kembali apa yang tertulis di dalam Wangsit Siliwangi :
“Dengarkan! Jaman akan berganti lagi, tapi nanti, setelah Gunung Gede
meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi, Orang Sunda
dipanggil-panggil, Orang Sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara
bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang
sejati.”
Hakekat spiritual yang tersirat adalah bahwa saat ini skenario Allah
tengah berjalan. ”Pasukan Sirrullah” tengah bekerja memerangi kezaliman,
kemunafikan dan keingkaran (kafir) di negeri ini. Sehingga secara kasat
mata kita akan banyak menyaksikan berbagai macam bencana dan
kejadian-kejadian di luar akal pikiran manusia sebagai hamba-Nya.
Semuanya sudah sangat jelas. Maha Benar Allah dengan segala Firman-Nya.
Semoga kita yang sadar akan semua fenomena yang terjadi ini menjadi
hamba yang selalu Eling dan Waspada. Eling kepada leluhur dan senantiasa
Eling kepada Allah Azza wa Jalla.
Membaca Kejadian Alam
Bencana demi bencana yang terjadi di bumi pertiwi ini sesungguhnya
merupakan tanda peringatan keras Allah kepada bangsa ini yang secara
khusus tertuju kepada elite pimpinan nasional baik ulama maupun
umaro’nya. Untuk tidak mencari kambing hitam dari segala peristiwa yang
terjadi, maka kita semua memahami akan dalil di dalam manajemen
perusahaan (leadership) bahwa : ”Tidak ada bawahan yang salah. Yang ada
adalah pimpinan yang salah.” Begitu pula dalam konteks negara sebagai
sebuah perusahaan : ”Tidak ada rakyat yang salah, melainkan
pemimpinnyalah yang salah.”
Untuk memahami tulisan ini dibutuhkan perenungan yang mendalam.
Diawali dengan pemahaman bahwa di dalam hakekat kehidupan ini ”tidak ada
yang namanya ‘Kebetulan’.” ‘Kebetulan’ yang terjadi hakekatnya adalah
ketetapan yang telah ditetapkan-Nya. Manusia dengan akalnya yang
terbatas hanya bisa saling berkomentar dan beranalisis dengan berbagai
macam teori ilmu pengetahuan tentang suatu kejadian setelah kejadian itu
terjadi. Sebuah bukti bahwa akal (penalaran) dan ilmu pengetahuan
adalah nisbi. Menghadapi bencana yang terjadi, manusia tidak akan mampu
mencegahnya melainkan hanya mampu menangani akibat-akibatnya. Sangatlah
tidak arif dan bijak apabila setiap bencana yang terjadi ditanggapi
dengan statement : ”Itu bukan kutukan dari Allah dan bisa dijelaskan
secara ilmiah, serta janganlah dihubung-hubungkan dengan takhayul.”
Pernyataan ini menggambarkan arogansi penalaran (berpikir ala barat)
yang semakin menjauhkan diri dari Sang Khalik, dan akan selalu menjadi
bumerang bagi kehidupan bangsa ini.
Dengan merenung dan berpikir kita akan menjadi mawas diri. Terlalu
mengandalkan akal bisa menjadikan kita sesat dan ingkar. Lahir dan batin
harus menyatu. Mari kita renungkan bersama ayat-ayat berikut ini :
”Katakanlah : ”Kabarkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran
dan penglihatan kamu serta menutup hati kamu? Siapakah Tuhan selain
Allah yang mengembalikannya kepadamu?” Perhatikan bagaimana Kami
memperlihatkan tanda-tanda kemudian mereka tetap berpaling.” (QS 6 : 46)
”Aku akan memalingkan daripada ayat-ayat-Ku orang-orang yang takabur
di muka bumi tanpa alasan yang benar. Dan jika mereka melihat tiap-tiap
ayat, mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang
membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika
mereka melihat jalan kesesatan, mereka menempuhnya. Yang demikian itu
adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka lalai
daripadanya.” (QS 7 : 146)
Apakah selama ini kita pernah berpikir dan merenung mencari jawab atas
bencana yang terjadi ? Mengapa tsunami yang banyak memakan korban jiwa
(setara dengan korban bom atom Hiroshima – Nagasaki) harus terjadi di
bumi Aceh (serambi Mekah)? Mengapa sampai saat ini kita masih
dipusingkan dengan Flu Burung yang mewabah dan belum diketemukan obatnya
? Mengapa di saat yang lain terjadi KKN (kasus kesurupan nasional) di
berbagai kota yang terjadi secara spontan dan beruntun di tempat-tempat
pendidikan? Mengapa Merapi harus memuntahkan laharnya dan sempat
membingungkan kita semua ? Mengapa gempa yang meluluh lantakkan
pemukiman dan banyak memakan korban jiwa terjadi di Yogyakarta ? Mengapa
terjadi bencana lumpur panas mengandung gas di Sidoarjo yang sampai
saat ini belum bisa teratasi ? Dan deretan pertanyaan mengapa-mengapa
yang lain. Rasa-rasanya satu bencana belum tuntas teratasi, muncul
bencana-bencana yang lain. Apakah dengan rangkaian kejadian-kejadian itu
masih tetap mengeraskan hati kita untuk tetap berdiri di atas arogansi
akal ilmiah kita ? Terlebih lagi di saat kondisi sosial ekonomi negara
ini sudah semakin terpuruk dan memburuk.
Dilihat dari perspektif spiritual, hakekat segala apa yang terjadi
merupakan refleksi atau pantulan cermin dari bangsa ini yang diwakili
oleh pemimpin bangsanya. Secara singkat dapatlah diurai hakekat dari
bencana-bencana besar yang terjadi di bumi Nusantara ini. Tsunami Aceh
yang telah memakan korban jiwa terbesar di bumi dimana telah
diimplementasikan syariat Islam ini merupakan awal peringatan yang
sangat keras, yang menyiratkan telah terjadi ”Pelanggaran Aqidah” pada
bangsa ini. Fenomena kerasukan jin/setan merupakan gambaran apa yang
terjadi pada bangsa ini. Setan-setan korupsi, kekuasaan, keserakahan,
kriminal, dan lainnya telah merasuk pada sebagian besar anak negeri.
Korban yang rata-rata perempuan melambangkan bahwa Ibu Pertiwi sedang
marah, menjerit, menangis dan meronta menyaksikan apa yang terjadi pada
bangsa ini. Ibu-ibu rumah tangga se-antero nusantara pun merasakan hal
yang sama menghadapi tekanan sosial dan ekonomi saat ini. Tempat
pendidikan melambangkan sindiran kepada kaum terdidik yang selalu
mendewakan akal. Pabrik rokok ibarat kerajaan yang mengolah hasil bumi
tembakau menjadi rokok sebagai komoditi terlaris melambangkan kejayaan
yang berdiri di atas penderitaan buruh atau rakyat kecil. Rahmat Allah
tidak dibagikan secara adil bagi kesejahteraan rakyat. Nampaknya, kita
memang kurang bersyukur atas limpahan rahmat yang telah diberikan-Nya.
Aura panas ”wedhus gembel” tengah menyelimuti bangsa ini yang
ditunjukkan dengan episode-episode ketidakpuasan yang menyulut emosi
rakyat dalam berbagai konflik kepentingan. Potret ini dilambangkan
dengan muntahnya lahar panas gunung Merapi. Sementara Merapi masih terus
mengancam, secara sontak Yogyakarta sebagai simbol pusat budaya
Kerajaan Mataram digoyang gempa yang meluluhlantakkan ribuan pemukiman
dan banyak memakan korban jiwa. Secara hakekat peristiwa gempa
Yogyakarta yang menghancurkan Bangsal Traju Emas (ruang penyimpanan
pusaka keraton) dan Taman Sari (pemandian dan tempat pertemuan Raja
dengan Kanjeng Ratu Kidul) menyiratkan memudarnya aura kerajaan sebagai
simbol pemerintahan negeri ini.
Ketika bangsa ini masih disibukkan dalam mengatasi korban gempa
Yogyakarta, kesibukan dan kepanikan baru muncul sebagai dampak meluapnya
lumpur panas bercampur gas di Sidoarjo Jatim yang hingga kini belum
dapat teratasi. Lepas dari kesalahan apa dan siapa penyebab kebocoran
dalam eksplorasi sumber gas tersebut, bencana lumpur panas mengandung
gas ini melambangkan kekotoran moral elite pemimpin bangsa ini yang
membawa aura panas dan bau menyengat. Situasi ini berakibat rakyat kecil
selalu menjadi korban.
Hubungan antara manusia dengan alam senantiasa berubah, seiring
perkembangan teknologi, informasi, dan industrialisasi. Suku-suku di
pedalaman, bahkan sampai saat ini masih melaksanakan ritual-ritual
tertentu untuk bersahabat dengan alam. Mereka, mengambil kayu atau hasil
bumi secukupnya. Alam tidak dieksploitasi sekehendak hatinya. Walaupun
suku-suku primitif tersebut belum tersentuh ajaran agama formal, mereka
telah memiliki kesadaran religius yang baik. Mereka mampu mengembangkan
nalurinya bahwa merusak pohon atau membunuh binatang sembarangan akan
mendatangkan bencana.
Kita sebagai bangsa kenyataannya telah kehilangan kearifan pada alam dan
lingkungan. Dengan makin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi,
perlu kita akui secara jujur bahwa atas nama ”penalaran dan logika”,
secara sadar atau tidak kita telah mengikis budaya warisan leluhur dalam
mengarifi alam dan lingkungan. Teknologi ujung-ujungnya digunakan untuk
menaklukkan alam. Manusia tidak lagi bergantung pada alam, namun
malahan menguasai alam dengan dilandasi keserakahan.
Secara jujur pula perlu diakui, bangsa ini khususnya elite pimpinan
nasional telah terjebak di alam materialisme yang penuh tipu daya dan
menyesatkan. Alih-alih menyejahterakan rakyat. Yang terjadi hutang luar
negeri-pun makin membumbung tinggi. Untuk membayar hutang dan bunganya.
Sungguh merana anak cucu negeri ini dengan segala bebannya.
Nampaknya sebagian besar bangsa ini telah kehilangan adab. Adab kepada
Allah Azza wa Jalla, juga adab kepada sesama manusia serta alam dan
seluruh isinya. Pada masa ini Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa
yang adiluhung sekedar menjadi slogan semata. Para elite pemimpin negeri
ini hanya sibuk berkutat pada ranah politik dan upaya perbaikan
ekonomi. Namun sangat ironis, pada kenyataannya kebijakan pemerintah
seringkali menyengsarakan rakyatnya.
Betapa memprihatinkannya melihat potret situasi carut marut yang
terjadi pada bangsa ini. Memang sudah sejak sekian lama bangsa ini
sakit. Ibu Pertiwi tidak sekedar menangis dan bersedih, akan tetapi
mulai menunjukkan angkaranya. Geram menyaksikan banyak penyimpangan
akhlak yang dilakukan oleh anak negeri ini. Marah melihat polah tingkah
anak bangsa yang makin jauh dari jiwa Pancasila sebagai Pandangan Hidup
yang telah ditegakkan di bumi nusantara ini. Para elite pimpinan bangsa
malah terkesan tidak memberikan teladan yang baik di mata rakyat.
Sejak jaman orba hingga saat ini yang dipertunjukkan hanyalah
bagaimana memenuhi kepentingan diri dan kelompoknya. Jiwa nasionalisme
yang seharusnya tertanam dalam dada seluruh rakyatnya seakan luruh
hilang tak berbekas.
Pada akhirnya kita semua tidak tersadar bahwa bumi NKRI dimana kita
berpijak telah berubah arti menjadi ”Negara Kapling Republik Indonesia”
(?). Betapa tidak, aset-aset strategis dan berharga bumi ini telah jatuh
ke tangan asing. Kita lihat di bumi Papua ada Freeport di sana. Caltex
di Dumai. Di Sulawesi ada Newmont, dan masih banyak lagi. Bahkan
akhirnya, Blok Cepu-pun jatuh ke tangan Exxon. Memprihatinkan memang.
Belum lagi terhitung aktivitas bisnis illegal yang mengeruk aset bumi
ini untuk kepentingan asing, baik perikanan, pertambangan, maupun
kehutanan.
Sebagian besar bangsa ini makin jauh dari Sang Khalik. Agama hanya
dijadikan stempel. Ibadah dilakukan sekedar formalitas belaka.
Penghayatan agama belum diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Seakan masing-masing terpisah berada pada sisi yang berbeda. Bahkan
sebagian besar dari kita lupa, padahal sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa”
telah ditempatkan pada sila pertama, menjadi yang utama. Ini merupakan
wujud kesadaran spiritual tertinggi the founding father’s bangsa ini
dalam menempatkan Tuhan sebagai sentral Pandangan Hidup pribadi,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sudah saatnya bagi kita semua anak bangsa melakukan introspeksi dan
bangkit menuju kesadaran bahwa kita sebagai makhluk ciptaan-Nya wajib
memiliki rasa rumangsa lan pangrasa (menyadari) bahwa keberadaan di
dunia ini sebagai hamba ciptaan Ilahi, yang mengemban tugas untuk selalu
mengabdi hanya kepada-Nya. Dengan pengabdian yang hanya kepada-Nya itu,
manusia wajib melaksanakan tugas amanah yang diemban, yaitu menjadi
khalifah pembangun peradaban serta tatanan kehidupan di alam semesta
ini, agar kehidupan umat manusia, makhluk hidup serta alam sekitarnya
dapat tenteram, sejahtera, damai, aman sentosa, sehingga dapat menjadi
wahana mencapai kebahagiaan abadi di alam akhirat kelak (Memayu hayu
harjaning Bawana, Memayu hayu harjaning Jagad Traya, Nggayuh
kasampurnaning hurip hing Alam Langgeng). Dengan sikap ketakwaan ini,
semua manusia akan merasa sama, yaitu berorientasi serta merujukkan
semua gerak langkah, serta sepak terjangnya, demi mencapai ridho Ilahi.
Sikap takwa mendasari pembangunan watak, perilaku, serta akhlak manusia.
Sedangkan akhlak manusia akan menentukan kualitas hidup dan kehidupan.
Bung Karno pernah menulis, mengingatkan kita pada sebuah seloka dari
Ramayana karya pujangga Valmiki, mengenai cinta dan bakti kepada Janani
Janmabhumi – yaitu agar setiap orang mencintai Tanah Airnya seperti ia
mencintai ibu kandungnya sendiri. Dan cinta Bung Karno terhadap kosmos
itu diawali dari Bumi tempat kakinya berpijak, bumi pertiwi Indonesia
yang disapanya dengan takjub dan hormat sebagai ”Ibu.” Pancaran cinta
dan kasih sayang yang murni akan dapat membuka pintu rahmat-Nya.
Mencintai sesama berarti mencintai Tuhan, bahkan mencintai alam berarti
mencintai Sang Pencipta.
Insya Allah dengan limpahan kasih sayang anak negeri ini akan membuat
Ibu Pertiwi tersenyum sumringah. ”Ya Allah, jauhkan kami anak negeri
ini dari seburuk-buruk makhluk-Mu sebagaimana firman-Mu.
Dengan ijin dan ridho Allah SWT, menjadi tugas kita di masa depan
mewujudkan Indonesia Raya sebagai ”Negara Kaya Rahmat Ilahi” (NKRI) demi
kesejahteraan seluruh rakyatnya. Insya Allah, dengan pendekatan
spiritual murni segala kejadian yang terjadi di bumi Nusantara ini dapat
diketahui jawaban dan solusinya. ”Sakbeja-bejane kang lali, luwih beja
kang eling lawan waspada”.
Suatu fenomena yang luar biasa sekaligus memprihatinkan di tengah
situasi negeri ini yang carut marut dan makin terpuruk. Dampak dari ini
semua yang terpenting adalah berapa banyak lagi rakyat kecil yang akan
menjadi korban? Sedangkan korban yang ada saat ini saja masih
terkatung-katung nasibnya. Hanya janji-janji kosong yang membuai mereka
setiap saat. Tangis dan rintihan kepedihan hidup mereka seakan ditelan
waktu menjadi sesuatu yang lumrah dan biasa. Nampaknya pemerintahan
negeri ini telah gagal, tak mampu mengatasi persoalan ini dengan cepat
dan sigap, terlihat mengulur-ulur waktu dan melindungi “kepentingan
tertentu”.
Para elite negeri ini sepertinya telah terhijab dan terbelenggu oleh
taghut-taghutnya sendiri. Mereka telah menanggalkan “Jas Merah”
(ungkapan Bung Karno : Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah). Sejarah
masa lalu hanya dijadikan dongeng sebelum tidur. Kita semua telah lupa.
Kita semua “ada” saat ini adalah merupakan hasil perjalanan sejarah
masa lalu. Lupa sejarah sama artinya kita melupakan asal-usul, lupa
orang tua, lupa kakek nenek, lupa leluhur, dan sama artinya melupakan
Allah SWT. Betapa tidak, padahal Al Qur’an dan kitab-kitab suci lainnya
yang menjadi pedoman hidup umat di bumi ini meriwayatkan pengalaman,
ucapan, perbuatan dan akibat baik buruk orang-orang terdahulu.
Sejarah bukan sekedar perjalanan manusia di bumi yang terjadi begitu
saja adanya, namun jika direnungkan lebih dalam memberikan pelajaran
bagi kita akan ketetapan-ketetapan-Nya. Secara ringkas dapat dikatakan,
dengan melihat sejarah, Allah memberikan pelajaran kepada kita. Dalam
kawruh Jawa salah satu hikmahnya dikenal dengan istilah : ”Ngunduh
wohing pakerti” (orang akan memetik hasil atas perbuatannya sendiri).
Bangsa ini adalah merupakan anak cucu para leluhur negeri ini. Sudah
semestinya kita tidak melupakan sejarah keberadaan beliau para leluhur
nusantara dengan segala fenomenanya. Sudah selayaknya kesadaran akan
kesatuan persatuan berbangsa dan bernegara diikat oleh kenyataan sejarah
nusantara ini. Menjadi suatu kenyataan bahwa bumi Nusantara (Indonesia)
berbeda dengan bumi Arab, berbeda pula dengan bumi Amerika, Eropa,
Afrika, Cina, dan lain-lain. Walaupun agama-agama telah menjadi
keniscayaan berkembang di negeri ini, namun semestinya kita tidak
meninggalkan ”jati diri” sebagai bangsa di tanah yang kaya raya ini,
Nusantara. Sudah selayaknya kita orang Jawa mempertahankan identitas
(tradisi dan budaya) ke Jawa-annya, orang Batak dengan identitas ke
Batak-annya, orang Aceh dengan ke Aceh-annya, orang Dayak dengan ke
Dayak-annya, dan sebagainya.
Apakah di jaman digital ini kita masih tidak percaya dengan
petuah-petuah leluhur kita? Apalagi petuah atau karya leluhur yang
winasis dan waskita yang menjadi wasiat bagi anak cucu negeri ini.
Apakah kita masih angkuh dan sombong di dalam memandang upaya ”nguri-uri
budaya leluhur” menanggapinya dengan pernyataan bahwa semua itu
merupakan sesuatu yang syirik musyrik bahkan bid’ah dan sesat? Juga
dinilai sebagai mistik dan tahayul? Padahal mistik dan tahayul merupakan
suatu ungkapan terhadap hal-hal yang tidak dapat dicerna dengan akal
penalaran karena bersifat gaib (tidak nyata atau tidak kasat mata).
Padahal pula kegaiban adalah suatu kenyataan yang bagi kita umat
beragama diwajibkan untuk meyakininya. Di dalam agama Islam kita
mengenal adanya 6 (enam) Rukun Iman. Jin dan setan pun nyata adanya
sebagai mahluk gaib ciptaan Allah Yang Maha Gaib. Apakah kita masih
ingin mengingkarinya? Jadi, soal syirik musyrik, bid’ah dan sesat
merupakan penilaian yang menjadi hak Allah semata. Kita sesama insan
ciptaan-Nya tidak berhak untuk saling memvonis dan menghakimi dalam
persoalan ini.
Setidaknya kita patut tersadar bahwa ternyata wasiat-wasiat leluhur
Nusantara ini merupakan suatu hal yang fenomenal dan luar biasa yang
pernah ada dan pernah terjadi di muka bumi ini. Bayangkan dan renungkan
sejenak, tanpa tersadar bangsa ini sebenarnya telah memiliki wasiat yang
secara rinci namun tersamar menggambarkan sosok pemimpin dan situasi
umum keadaan negara ke depan. Tentu saja semua terjadi atas Kehendak
Allah dengan segala Kekuasaan-Nya. Dan semua itu merupakan harta karun
yang tak ternilai harganya. Selain mengandung petuah tentang budi
pekerti yang baik juga mengandung prediksi perjalanan bangsa ini dengan
situasi dan kondisi yang menyertainya.
Apakah kita masih mengingkari, jika dari perlambang yang ada
dikatakan bahwa sejak Kemerdekaan Negara RI 1945 dikatakan bahwa negara
dikutuk selama ini? Apakah kita juga masih mengingkari, bahwa pada saat
ini kita masuk kepada era pemimpin dengan perlambang ”Tan kober pepaes
sarira, tan tinolih sinjang kemben” yang bermakna bahwa pemimpin yang
tidak sempat mengatur negara karena direpotkan dengan berbagai masalah?
Hal ini dengan versi lain dikatakan oleh Ronggowarsito, bahwa saat ini
masuk pada era pemimpin ”Satrio Boyong Pambukaning Gapuro” dengan segala
fenomenanya. Sejujurnya bisa dikatakan bahwa di era kepemimpinan SBY –
JK saat ini telah terjadi banyak bencana dan kecelakaan, sampai-sampai
terlihat tidak sempat mengatur negara. Banyak kebijakan-kebijakan beliau
yang mandul dalam pelaksanaannya walaupun banyak dibantu orang-orang
pandai di bidangnya. Berpotensi terjadinya disintegrasi bangsa, yang
ditunjukkan dengan berbagai konflik kepentingan antar sesama anak
bangsa.
Setidaknya jika kita jeli, maka gambaran-gambaran yang telah
diungkapkan para leluhur nusantara beratus-ratus tahun yang lalu telah
muncul menjadi kenyataan saat ini. Dengan pemahaman ini maka kita dapat
meraba apa yang akan terjadi setelah ini. Diperlukan kearifan lahir dan
batin dalam memandang dan menyikapi berbagai persoalan yang terjadi di
negeri ini dengan “penuh kesadaran”. Sadar sepenuhnya bahwa bumi dimana
kita berpijak ini memiliki sifat dan karakter tersendiri. Nusantara
adalah nusantara, dan bukan negeri yang lainnya. Segala apa yang tumbuh
di jagad nusantara ini, baik sisi geografis, flora dan fauna, termasuk
keragaman etnis beserta tradisi dan budayanya sudah menjadi
ketetapan-Nya (sunatullah). Hanya nafsu-nafsu manusia saja dalam hal ini
yang merusak segala tatanan yang ada.
Sangat ironis dan dilematis menghadapi persoalan ini. Manusia di jaman
sekarang ini maunya hanya mengandalkan upaya-upaya penalaran secara
logis bersifat lahir. Padahal persoalan yang dihadapi adalah peristiwa
di luar nalar. Sedangkan upaya batin yang banyak dilakukan telah
terkontaminasi mengandung “kepentingan-kepentingan” tertentu. Dibutuhkan
“kearifan bersama” dan toleransi yang sangat tinggi menyikapi fenomena
alam yang terjadi saat ini. Secara potret spiritual pun sangat rumit
upaya penyelesaiannya.
Namun secara hakekat spiritual, fenomena kejadian alam ini merupakan
satu paket dari serangkaian kejadian-kejadian yang lain. Dimana
merupakan tanda yang memberikan pesan bahwa “kebaikan dan keburukan” di
negeri ini akan sama-sama muncul di permukaan. Namun kemunculan ini akan
membawa aura panas dan memakan korban. Segala keburukan akan terkuak
yang akan dilibas dengan datangnya kebaikan.
Dari apa yang telah saya ungkapkan sejauh ini mudah-mudahan membawa
banyak manfaat bagi kita semua, terutama hikmah yang tersirat dari
wasiat-wasiat nenek moyang kita, para leluhur Nusantara. Menjadi harapan
kita bersama di tengah carut-marut keadaan negeri ini akan datang
cahaya terang di depan kita.
Demiki penulisan “Kupas Satrio Piningit Menuju Nusantara Jaya” yang
dilengkapi dengan karya-karya warisan leluhur nusantara seperti yang
telah dipaparkan di diatas sebagai penguat dasar kajian. Secara khusus
dalam memberikan kesimpulan yang lebih jelas tentang segala sesuatunya
yang terpapar berdasarkan input-input sipiritual yang diterima langsung
oleh penulis. Semoga ini bermanfaat bagi seluruh anak cucu leluhur
nusantara sebagai wacana dan bahan perenungan dalam menghadapi segala
situasi yang sedang terjadi di negeri kita tercinta dewasa ini. Semoga
kita senantiasa menjadi insan yang istiqomah, eling dan waspada dalam
menggapai ridho-Nya.
http://mataram351.wordpress.com/kupas-%E2%80%9C-satrio-piningit-%E2%80%9D/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar