Sumber: https://www.facebook.com/Maklambeturah/photos/buku-menjerat-gus-durlink-pre-orderbitlymenjeratgusdursetelah-sepuluh-tahun-dari/1575567609282694/ |
Sumber: https://indopolitika.com/wp-content/uploads/2020/01/Dokumen-pelengseran-gus-dur.png |
Para politisi ini berusaha menjatuhkan Gus Dur, penelusuran melalui dokumen rahasia yang ditemukan di kantor Golkar
Sebagai presiden di masa transisi, Gus Dur memiliki tugas yang amat berat. Ia harus memenuhi tuntutan reformasi yang ingin diadakannya penuntutan dan pembersihan rezim lama. Celakanya, anasir Orde Baru begitu menggurita di segala sendi kehidupan.
Dengan kata lain, kekuatan Orde Baru masih teramat kuat. Sedangkan, konsolidasi kekuatan baru belum mencapai titik temu. Akibatnya, posisi Gus Dur menjadi sulit, karena Gus Dur tak memiliki modal politik yang cukup kuat. Gus Dur terpilih karena adanya koalisi Poros Tengah yang digagas Amien Rais dan Partai Golkar.
Kenapa mereka mendukung Gus Dur? Mereka berpikir akan dengan mudah menyetir Gus Dur. Poros Tengah punya kepentingan membawa semangat sektarian Islam, yang sebagian faksi kecewa dengan dicopotnya Habibie sebagai presiden. Sebab, Habibie dianggap sebagai representasi Islam karena keterlibatannya sebagai Presidium Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Sedangkan Partai Golkar mendukung Gus Dur karena tak punya pilihan lain. Dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), mereka punya perselisihan sejarah yang terjadi selama Soeharto berkuasa. Jika maju sendiri mencalonkan diri sebagai presiden, Golkar tak berani karena elemen reformasi ingin membubarkan Golkar. Maka, dengan hanya mendukung Gus Dur, mereka berharap.
Namun pada kenyataannya, jauh panggang dari api. Gus Dur tak bisa diajak kompromi. Di awal penyusunan kabinet, misalnya, Amien Rais meminta Menteri Keuangan harus dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan orangnya adalah Fuad Bawazier. Akan tetapi, Gus Dur menolaknya.
Titik kulminasi kegeraman partai koalisi saat Jusuf Kalla (JK) dan Laksamana Sukardi dipecat. Keduanya dituduh melakukan Korupsi Kolisi dan Nepotisme (KKN), tapi Gus Dur menolak merinci pernyataannya. Isu ini direspons cepat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Semua kekuatan yang dulu sempat berselisih menjadi satu; Golkar dan PDIP.
Dalam dokumen yang ditemukan, terdapat notulensi rapat di rumah Arifin Panigoro pada 22 Juni 2000 yang ditulis oleh Priyo Budi Santoso kepada Akbar Tandjung. Priyo mengakui 70-80 persen di dalam catatan itu adalah idenya, tapi menolak mengakui bahwa ia yang menulis.
Fakhruddin, Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) mengakui ada beberapa pertemuan rapat penjatuhan Gus Dur di rumah Arifin Panigoro dan Fakhruddin pun terlibat dalam beberapa rapat. Noviantika Nasution, Bendahara PDIP pun mengakui ada banyak rapat dan ia mengaku tahu rapat yang terjadi di rumah Arifin.
Golkar memainkan peran sentral, karena bukan hanya jumlah kursi di DPR yang sangat besar, melainkan juga koneksi ke jejaring mahasiswa. Sebab, dalam sejarah pelengseran kekuasaan dibutuhkan kekuatan parlementer dan ekstra parlementer.
Akbar Tandjung, Ketua Umum Partai Golkar merupakan aktivis senior HMI yang memiliki pengaruh kuat. Sedangkan, Ketua Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) adalah Fuad Bawazier. Koneksi eks-Orde Baru dan HMI memiliki peran penting dalam rencana dan strategi penjatuhan Gus Dur.
Hal itu diakui oleh M. Fakhruddin, menurutnya isu yang diusung beragam. Mulai dari Gus Dur tak berpihak kepada kelompok Islam dan isu Buloggate serta Bruneigate. Akan tetapi, dua isu terakhir merupakan senjata paling ampuh.
Moral Gus Dur sebagai seorang presiden dan ulama—yang dianggap sakral di Indonesia— melakukan tindakan korupsi, disaat ia ingin melakukan pembersihan korupsi yang melibatkan kelompok lama.
Publik dibuat menjadi tidak percaya oleh Gus Dur, orang yang memainkan peran untuk melakukan demoralisasi kepada Gus Dur, berdasarkan dokumen tersebut adalah Amien Rais. Pada Oktober 2000, Amien merupakan orang pertama yang menyatakan bahwa dirinya menyesal telah mendukung Gus Dur dan ingin Gus Dur mundur.
Bukannya takut, Gus Dur justru malah tertantang melanjutkan “duel” ini. Mantan Ketua Kelompok Kerja Forum Demokrasi ini justru ingin langsung mengadili kekuatan eks-Orde Baru. Tak tangggung-tanggung, Gus Dur tak hanya menyeret kroni Soeharto seperti Ginanjar Kartasismita ke pengadilan, tapi juga mengadili Soeharto dan juga anaknya: Tutut dan Tommy.
Reaksi semakin besar, akibatnya tak hanya politikus sipil yang marah, tapi juga militer. Sebab, Gus Dur ingin melakukan reformasi di bidang militer yang masih sangat Orde Baru. Hal yang mengerikan dalam dokumen rencana militer untuk menjatuhkan Gus Dur termaktub dalam buku biografi Djaja Suparman.
Di buku itu ia memang menolak mentah-mentah, tetapi ketika rencana dan peristiwa yang terjadi pada saat itu sangat cocok. Salah satunya adalah melakukan pemboman di beberapa tempat seperti di Kedubes Malaysia, Filipina, Bursa Efek Jakarta (BEJ), dan yang paling besar adalah bom natal 2000. Semua ditujukan agar masyarakat menganggap Gus Dur tak bisa menjaga keamanan negara.
Dengan akumulasi perlawanan ini, Gus Dur dipaksa harus menyerah. Sayangnya Gus Dur tak menyerah, ia justru membuat dekrit sebagai upaya perlawanan terakhirnya—yang sebenarnya saya yakin ia sudah tahu akan kalah. Poin dekrit kontroversi adalah pembubaran parlemen. Pembaca dekrit tersebut, Yahya Staquf meyakini bahwa poin pembubaran parlemen merupakan ide Gus Dur sendiri. Meski teman-teman Gus Dur di Forum Demokrasi yang dituduh sebagai pembisik menolak poin tersebut.
***
Setelah 18 tahun Gus Dur dilengserkan dengan cara seolah-olah konstitusional, aktor dan konfigurasi politik Indonesia hari ini masih sama. Ini membuktikan betapa kuatnya kekuatan oligarki Orde Baru mencengkram.
Gus Dur membuktikan bahwa politik tanpa kompromi dengan niat yang tulus membersihkan ‘virus’ oligarki Orde Baru sebenarnya sangat bisa dilakukan. Gus Dur ingin membuat sejarah dan peradaban bahwa politik tanpa transaksi dapat dilakukan. Prasyaratnya adalah kemauan, kesiapan, dan keberanian. Gus Dur memiliki itu, hanya saja Gus Dur kekurangan salah satu syarat yakni konsolidasi kekuatan baru belum terbentuk dengan kuat.
Syarat itu mutlak diperlukan dalam politik, tanpa hal itu seberapa besar pun niat baik untuk membersihkan oligarki, akan malah justru terseret dalam lingkaran tersebut. Sebab, Orde Baru bukan hanya manusianya, melainkan juga cara pikir dan perilaku yang tidak demokratis.
Kita tak mau bila demokrasi di Indonesia hanya bersifat teknis dan juga transaksional. Gus Dur dalam usahanya mendemokratisasi Indonesia menempatkan rakyat sebagai subjek yang berdaulat. Bukan seperti yang selama ini masih terjadi, yang sah berdaulat hanya pemerintah dan partai politik. Rakyat hanya diakui dan dibutuhkan ketika pemilu berlangsung dan banyak transaksi di belakangnya. Sungguh tak memanusiakan dan juga sebuah peradaban politik yang dangkal.
Dari Gus Dur, kita belajar tentang konsistensi sikap. Ketika masih di luar kekuasaan, ia terus membentuk, memperjuangkan, dan merawat idealismenya—terutama tentang demokrasi— dan ketika berada di dalam kekuasan, Gus Dur memperjuangkan idealismenya agar dapat terwujud.
Buku ini ditulis, seperti yang dikemukakan Alissa Wahid, bukan untuk melakukan pembalasan dendam, melainkan sebagai pelajaran agar kita tak selalu diwarisi awan gelap masa lalu dan catatan sejarah harus diluruskan. Sebab, tanpa membaca dan mengungkap sejarah, masa depan hanya spekulasi keinginan dan angan-angan.
________________________________________________________________________________
NB: Buku Menjerat Gus Dur saat ini sedang habis dan akan segera diumumkan pemesanan untuk cetakan kedua.
Sumber:
Dokumen Fuad Bawazier: Gus Sholah: Semua Parpol Makzulkan Gus Dur
TEMPO.CO, Jakarta-Adik KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH Salahuddin Wahid, mengatakan semua partai politik terlibat memakzulkan Presiden RI ke-4 itu pada 2001 silam. Pernyataan pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang tersebut menanggapi dimuatnya dokumen rahasia empat halaman mengenai konspirasi penjatuhan Presiden Wahid di buku berjudul Menjerat Gus Dur karya Virdika Rizky.
Dalam dokumen itu dinyatakan bahwa Menteri Keuangan di era Soeharto, Fuad Bawazier, merupakan kepala operasi yang membagi tugas kepada beberapa pihak untuk menggalang opini, menjaring dukungan masyarakat, propaganda media, termasuk merekrut preman dan cendekiawan.
Disebutkan dalam dokumen bahwa Fuad memainkan isu Buloggate dan Bruneigate untuk menggulingkan Gus Dur. Dokumen yang diberi nama skenario semut merah itu dikirimkan kepada Ketua Umum Partai Golkar saat itu, Akbar Tanjung, pada 29 Januari 2001.
TEMPO.CO, Jakarta-Adik KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH Salahuddin Wahid, mengatakan semua partai politik terlibat memakzulkan Presiden RI ke-4 itu pada 2001 silam. Pernyataan pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang tersebut menanggapi dimuatnya dokumen rahasia empat halaman mengenai konspirasi penjatuhan Presiden Wahid di buku berjudul Menjerat Gus Dur karya Virdika Rizky.
Dalam dokumen itu dinyatakan bahwa Menteri Keuangan di era Soeharto, Fuad Bawazier, merupakan kepala operasi yang membagi tugas kepada beberapa pihak untuk menggalang opini, menjaring dukungan masyarakat, propaganda media, termasuk merekrut preman dan cendekiawan.
Disebutkan dalam dokumen bahwa Fuad memainkan isu Buloggate dan Bruneigate untuk menggulingkan Gus Dur. Dokumen yang diberi nama skenario semut merah itu dikirimkan kepada Ketua Umum Partai Golkar saat itu, Akbar Tanjung, pada 29 Januari 2001.
Menurut Salahuddin, Partai Kebangkitan Bangsa sebagai penyokong utama Presiden Wahid pun akhirnya terlibat dalam penggulingan itu. “Setahu saya semua partai terlibat dalam upaya melengserkan Gus Dur, oknum PKB mungkin juga ada yang ikut. Mungkin yang paling berperan, ya, Golkar, PDIP dan PAN,” tutur Gus Sholah, sapaan Salahuddin, saat dihubungi Tempo, Rabu, 1 Januari 2020.
Namun, ujar Salahuddin, sebenarnya Gus Dur dilengserkan karena hendak membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Isu itu menambah bobot politik yang digoreng lawan-lawannya untuk memulai operasi pemakzulan. “Kalau Gus Dur tidak melakukan itu (membukarkan DPR), tidak mudah melengserkan Gus Dur,” kata Salahuddin.
Ketua PKB Jawa Timur ketika itu, Choirul Anam, tak memungkiri bahwa ketua umumnya, Mathori Abdul Djalil, akhirnya ikut menggembosi Gus Dur. Padahal, Choirul Anam sedang menggalang dukungan untuk mempertahankan kedudukan Gus Dur, salah satunya dengan mengorganisir massa yang disebutnya sebagai pasukan berani mati.
Puncak dari unjuk rasa besar-besaran membela Gus Dur di Surabaya ialah dibakarnya Kantor Golkar Jawa Timur. “Sudah terbukti Ketum PKB, Mathori, terlibat (melengserkan Gus Dur). Sekretaris jenderal-nya belakangan mengusir Gus Dur dari PKB,” kata Choirul melalui pesan singkat. Choirul pun akhirnya juga terdepak dari PKB.
Virdika Rizky Utama Pahlawan Nahdlatul Ulama
https://asslamualaikum-warohmatullah.blogspot.com/2020/01/virdika-rizky-utama-pahlawan-nahdlatul.html
Menjerat Gus Dur: Skenario ‘Semut Merah’ Fuad Bawazier dan Rencana Menikung Megawati
Zunus Muhammad Senin 30 Desember 2019 22:15 WIB
Menjerat Gus Dur: Skenario ‘Semut Merah’ Fuad Bawazier dan Rencana Menikung Megawati Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/115057/menjerat-gus-dur--skenario--semut-merah---fuad-bawazier-dan-rencana-menikung-megawati
Dalam sepekan terakhir, sebelum peringatan satu dasawarsa meninggalnya KH Abdurrahman Wahid, buku ‘Menjerat Gus Dur’ sudah ludes di pasaran. Buku terbitan Numedia Digital Indonesia itu menjadi polemik sekaligus perbincangan luas di kalangan masyarakat. Penyebabnya tak lain karena investigasi yang dipaparkan penulis memuat keterlibatan tokoh-tokoh besar yang turut dalam proses penjatuhan Gus Dur.
Salah satu bagian terpenting dari karya Virdika Rizky Utama ini adalah dilampirkannya dokumen rahasia yang ditulis Fuad Bawazier. Dokumen empat halaman tersebut berupa surat laporan terkait rencana-rencana yang sudah dilakukan untuk menjatuhkan Gus Dur.
Surat yang dikirim ke Akbar Tandjung pada 29 Januari 2001 itu, mengungkap pelaksanaan rencana yang diberi nama ‘Sekenario Semut Merah’. Di dalamnya terdapat nama-nama dengan tugas masing-masing orang yang sudah dilaksanakan.
Fuad Bawazier, Menteri Keuangan Kabinet Pembangunan VII itu menjadi ‘kepala operasi’ dan membagi tugas kepada beberapa pihak untuk penggalangan opini, menjaring dukungan masyarakat, propaganda media, termasuk merekrut preman, cendekiawan, dan pengusaha. Tujuannya jelas; menjatuhkan kredibilitas Presiden Gus Dur melalui kasus Buloggate dan Bruneigate yang dinilai telah berjalan sesuai skenario.
Fuad, dalam surat yang ditulis, meyakini kekuatan dan efek operasi tahap pertama sudah sesuai ekspektasi, sehingga menurut pandangannya harus ditingkatkan kepada pelaksanaan operasi jilid kedua yakni; memaksa Gus Dur mundur dan mendorong Megawati menjadi presiden sekaligus menjadikan Amien Rais sebagai wakilnya.
Kenapa Fuad merekomendasikan Ketum PDI P sebagai pengganti? Baginya, Megawati bisa dikendalikan dan pada akhirnya akan disingkirkan melalui penggembosan dari dalam lewat isu ketidakbecusan dalam mengatasi krisis ekonomi dan penyelesaian disintegrasi bangsa. Tugas itu dipercayakan kepada Amien Rais yang dinilai lincah karena berada di lingkar kekuasaan.
Dokumen tugas yang dikirim ke Akbar Tandjung itu memuat tujuh garis besar laporan sekaligus rekomendasi yang dihasilkan dari pelaksanaan skenario tahap pertama. Berikut ini kutipan langsungnya.
1. BEM PTN (Badan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Nasional) dan BEM Perguruan Tinggi Swasta yang selama kita telah koordinir di Cilosari dan Diponegoro (PB HMI) serta kelompok kanan ormas Islam yang tersentral di tiga titik lainnya yakni; Masjid Sunda Kelapa, Istiqlal dan Al Azhar mulai bergerak masif, bergelombang, dan bersamaan hampir di seluruh Indonesia dengan satu komando isu menuntut Gus Dur Mundur. Khusus untuk pengepungan senayan dan rangka mem-pressure DPR agar menerima hasil kerja pansus yang menyatakan Gus Dur telah menyalahkan kekuasaan (abuse of power) secara langsung dipelopori oleh para alumni ILUNI pro-kita, para rektor serta BEM UI dan UMJ. Mereka ini bergerak di bawah komando langsung Ketua Umum PB HMI, Fakhruddin CS.
2. Pada saat sidang paripurna digelar, adik-adik mahasiswa ini akan bergabung langsung dengan seluruh massa aksi rekan-rekan Pemuda Partai Keadilan yang langsung di bawah komando saudara Hidayat Nur Wahid, Gerakan Pemuda Ka'bah yang dimobilisir oleh saudara Ali Marwan Hanan, massa PBB di bawah saudara Hamdan Zoelva, massa PAN di bawah saudara Patrialis Akbar, dan massa rakyat dan preman yang diorganisir oleh saudara Yapto dan DPP Pemuda Pancasila. Pada saat itulah komando akan saya pegang langsung, sedangkan operator lapangan akan dipimpin oleh Ketua Umum KAMMI, AMPI, GPK, BM PAN, PB HMI, HAMAS, dan IMM.
3. Gerakan ini Insya Allah akan memperoleh dukungan penuh dari Zoelva Lindan dan Julius Usma yang telah mampu mempengaruhi beberapa kantong massa PDIP untuk bergabung melakukan demonstrasi menyikat Gus Dur di Sidang Parlemen.
4. Kita juga telah melakukan aksi borong dollar di pasar Valuta asing dan bursa efek-untuk menjatuhkan nilai tukar rupiah-di dalam dan luar negeri (terutama di Hongkong, dan Singapura) secara langsung di bawah kendali Bendahara Umum DPP Golkar (Fadel Muhammad-pen). Aksi borong dollar ini juga didukung oleh Bambang Tri Atmojo, dan Liem Sioe Liong, Arifin Panigoro.
5. Seluruh kerja media massa (cetak dan elektronik) yang bertugas mem-blow up secara kolosal dan provokatif semua pemberitaan berkaitan dengan tuntutan mundur terhadap Gus Dur sudah di-arrange langsung oleh saudara Parni Hadi dan Surya Paloh, sedangkan operator teknis di lapangan saya telah menyiapkan banyak kaki terutama di parlemen.
6. Penggiringan opini publik oleh para tokoh dan cendekiawan atas kegagalan pemerintahan Gus Dur lewat tulisan di media massa yang dimobilisir langsung oleh Azumardi Azrha, Dr. Syahrir, dan rekan-rekan KAHMI telah mampu meyakinkan publik bahwa Gus Dur memang benar-benar gagal mengemban amanat reformasi.
7.Tugas saudara Din Syamsuddin untuk mengendalikan MUI lewat kasus Ajinomoto telah berhasil memaksa para ulama dan tokoh agama mencabut dukungannya kepada presiden. Sebagai bahan pertimbangan operasi di lapangan, Fuad Bawazier juga meminta Akbar Tandjung untuk memberikan seluruh informasi perkembangan situasi di dalam gedung Senayan melalui Anas Urbaningrum sebagai kurir. "Saya optimis bahwa skenario ini akan berjalan mulus. Dengan begitu, misi untuk menyelamatkan seluruh asset politik dan ekonomi serta invertasi kita serta pengeluaran dana operasi sebesar 4 T, yang sudah saya sediakan tidak menjadi sia-sia dan dapat mengembalikan kejayaan kita yang telah dirampas sejak reformasi," tulis Fuad Bawazier di bagian akhir surat.
Editor: Mahbib
Sumber:https://www.nu.or.id/post/read/115057/menjerat-gus-dur--skenario--semut-merah---fuad-bawazier-dan-rencana-menikung-megawati Konten adalah milik dan hak cipta www.nu.or.id |
MOJOK.CO – “Sejarah nanti akan menunjukkan” merupakan kalimat yang sering dikemukakan Gus Dur. Dan kini sejarah itu ditemukan secara kebetulan.
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan “kebetulan”, dan melaluinya lahir peristiwa-peristiwa besar, dan darinya pula tersingkap peristiwa lama yang selama ini telah tertutup awan gelap.
Demikianlah, “kebetulan” itu bekerja melalui jurnalis Virdika Rizky Utama. Bukan siapa-siapa. Bukan akademisi terkemuka. Bukan peneliti dari mancanegara yang kerap dipuja. Rizky hanya seorang jurnalis muda, dengan hasrat ingin tahu yang terus menyala.
Pada suatu hari dia berkunjung ke Gedung Golkar dan tanpa sengaja menemukan sebuah dokumen yang sangat berharga, yang saat itu sudah hendak dikilokan. Dokumen itu berupa sebuah surat antara dua mantan pejabat Orde Baru yang berisi skenario pelengseran Gus Dur dari kursi kepresidenan.
Bukankah itu suatu kebetulan karena biasanya orang harus menunggu paling lambat 50 tahun sebuah dokumen berkait dengan peristiwa politik akan dibuka?
Dan ketika dibuka, para pelaku yang terlibat di dalamnya biasanya sudah meninggal semua. Atau tak jarang sebuah peristiwa bahkan tak pernah terungkap sama sekali. Abadi menjadi misteri.
Tapi ini, belum berselang 20 tahun, dan persis 10 tahun setelah Gus Dur wafat, lakon pelengseran itu diungkapkan.
Dokumen itu kemudian dibunyikan melalui serangkaian wawancara dan investigasi, riset ala jurnalis, yang menghasilkan sebuah tulisan panjang dalam bentuk buku berjudul Menjerat Gus Dur terbitan Numedia, Desember 2019.
Buku itu dengan demikian telah membuka tabir yang tersimpan lama, yang telah membuahkan misteri dan mitos bertahun-tahun bahwa: Gus Dur terlibat Buloggate dan Bruneigate. Gus Dur tidak kapabel untuk memerintah. Gus Dur terlalu cerdas untuk menjadi presiden. Dan lain-lain.
Semuanya ingin menyampaikan pesan yang pada dasarnya sama: Gus Dur tidak layak menjadi presiden dan pantas untuk (di)jatuh(kan).
Pada kenyataannya, seperti terungkap dalam buku itu, Gus Dur dijatuhkan oleh persekutuan kekuatan-kekuatan lama yang kekuasaannya telah dihabisi dan kekuatan-kekuatan baru yang bernafsu untuk berkuasa. Melalui dukungan modal yang besar, dan jaringan politik lama yang masih solid, serta media, Gus Dur pun jatuh.
***
Sebenarnya sejak dulu pun saya—dan saya yakin banyak kalangan juga—percaya bahwa Gus Dur itu dikudeta. Dijatuhkan melalui serangkaian konspirasi yang licik dan jahat.
Saya ingat beberapa minggu sebelum penjatuhan, saya bertemu Alissa Wahid, yang kala itu sedang mengikuti sebuah seminar di Gedung Wanitatama, Jogja.
Kala itu kami berbincang sebentar, dan seingat saya, saya dan Alissa sudah punya keyakinan cukup besar bahwa Gus Dur akan dijatuhkan karena memang aroma konspirasi untuk menjatuhkan tersebut sudah terembus sangat kuat.
Agenda penjatuhan ini pasti sedang dipikirkan dan diusahakan karena selama berkuasa Gus Dur memang benar-benar menjalankan agenda Reformasi.
Seperti menantang dengan serius kekuatan-kekuatan politik lama, baik sipil maupun militer. Penghapusan dwifungsi ABRI, yang selalu diteriakkan para demonstran selama aksi protes, yang dilakukan Gus Dur dengan sangat berani dan elegan, adalah salah satu contoh. Agenda Reformasinya jelas menyentuh kepentingan banyak kalangan, terutama kekuatan politik lama.
Dan benar, Gus Dur kemudian dijatuhkan dari kerja persekongkolan tersebut. Hanya saja bagaimana persekongkolan itu dibangun, siapa-siapa saja para pemainnya, selama ini hanya tudingan tak berdasar. Gelap bagai langit tak berbintang. Nama-nama yang muncul hanya sengkarut dugaan spekulatif.
Buku Menjerat Gus Dur dengan demikian memberi sedikit penerangan pada peristiwa tersebut: bagaimana narasi dibangun, rincian dibuat, dan siapa saja pelakunya. Ia telah memberikan gambaran besar dan detil bagaimana pelengseran itu dilakukan. Siapa yang memainkan dan siapa yang dimainkan. Ia juga telah menggeser beberapa dugaan mapan yang beredar sebelumnya.
Sebagai contoh, nama Amien Rais selama ini sering dituduh sebagai arsitek utama penjatuhan itu. Dengan demikian, kesan sosok Amien Rais sangat sakti dan hebat. Tetapi buku ini membantah sekaligus membenarkan.
Membantah bahwa dia merupakan arsitek utama, tetapi tetap membenarkan keterlibatannya dengan menyebutnya hanya sebagai operator lapangan. Kesannya jadi mencair dari “memainkan” menjadi “dimainkan”.
Sebaliknya, sosok yang dianggap sebagai arsitek utama adalah Akbar Tandjung, yang perannya justru tak banyak disebut di dalam rumor penjatuhan. Dialah sumbu dari ikhtiar penjatuhan tersebut.
Selain menjadi Ketua Umum Golkar, Akbar Tanjung adalah alumni HMI, yang para anggotanya banyak menjadi politisi, pejabat tinggi, dan pengusaha, serta telah membentuk jaringan dan lingkaran kepentingan yang kuat sejak masa Orde Baru.
Ketua Korp Alumni HMI (KAHMI) adalah Fuad Bawazier, mantan menteri keuangan yang ditolak Gus Dur mentah-mentah ketika ditawarkan kembali sebagai menteri keuangan. Fuad Bawazier berperan menjalankan dan sekaligus menggalang dana untuk operasi penjatuhan ini.
Akbar Tandjung jelas bukan nama baru dalam suatu konspirasi politik. Dia memiliki reputasi mengenai hal ini. Saya ingat laporan Tempo pada awal reformasi yang menelusuri bagaimana dan mengapa Soeharto bisa jatuh.
Ada banyak faktor dan kisah di dalamnya. Demonstrasi mahasiswa, rupiah yang jeblok, ekonomi yang kacau, tekanan para intelektual, dan yang penting diingat juga mundurnya secara serentak dan bersamaan sejumlah menteri. Ini merupakan penggerogotan dari dalam atas legitimitas kekuasaan Soeharto.
Para menteri itu adalah menteri-menteri anggota KAHMI. Yang menggalang aksi pengunduran itu adalah Akbar Tanjdung, yang menjadi ketua DPR RI saat itu dan di era Habibie menjabat menteri sekretaris negara. Hanya seorang dari mereka yang menolak ajakan Akbar, yaitu Sa’adillah Mursjid, menteri sekretaris negara persis sebelum Akbar Tandjung.
Akbar Tandjung dan lingkarannya tahu kapan berjalan lurus dan kapan mesti belok. Kapan menunduk dan kapan mendongakkan kepala. Kapan harus setia dan kapan berkhianat.
Konon, Soeharto dan keluarganya tak pernah lagi mau bersua dengan rombongan menteri yang mundur dari pimpinan Akbar Tandjung cs. ini. Mereka rupanya sangat sakit hati merasa dikhianati. Jelas kekalahan karena pengkhianatan kawan jelas jauh lebih menyakitkan daripada takluk dihantam lawan.
Akbar adalah politisi yang lihai dan licin. Pada masa awal Reformasi, dia dijerat perkara korupsi. Tapi selalu bisa lolos dari jeratan. Saya kira dialah representasi humor Gus Dur yang terkenal tentang dua organisasi ekstra mahasiswa Islam yang bagai Tom and Jerry itu: “HMI menghalalkan segala cara, sementara PMII tidak tahu caranya.”
***
Apa yang menarik dari penyingkapan peristiwa ini? Saya setuju dengan Alissa Wahid bahwa pengungkapan ini bukan untuk balas dendam, tapi soal bagaimana kita bisa belajar dari peristiwa sejarah ini.
Pertama, ini bukan perkara penjatuhan Gus Dur semata, tapi sebuah pelajaran bagaimana konspirasi politik yang disokong oleh kekuatan oligarki Orde Baru bekerja. Dan penjatuhan ini telah menjadi rute awal mulai terseoknya agenda Reformasi dan titik masuk kembalinya para politisi Orde Baru, yang jejak dan pengaruhnya kita lihat dan rasakan hingga sekarang ini. Jalan Reformasi menjadi sangat terjal.
Dan perlahan sejak itu, Reformasi tinggal semata sebagai slogan.
Yang kedua, mengenai peran intelektual. Dalam buku itu, disebutkan peran beberapa intelektual. Tetapi jika kita membaca secara saksama, akan tampak di sana peran mereka sekadar “dimainkan”.
Kegemaran para intelektual memberikan komentar berdasarkan apa yang dilihat di permukaan dan kebiasaan media menjadikan para intelektual ini sebagai selebritas; membuat para intelektual sangat mudah dimainkan. Mereka tidak punya mata batin untuk melihat fakta-fakta di balik peristiwa dan berpuas diri dengan fenomena di permukaan.
Dengan sangat naif, mereka mengomentari kejadian berdasar apa yang mereka lihat di depan rumah, dan memang mereka tak punya akses untuk melihat lebih jauh apa yang berlangsung di dalam rumah. Karena untuk ini mereka harus menunggu waktu lebih lama dan membutuhkan mata batin yang lebih dalam. Mereka tak bisa menunda, karena kamera televisi dan mikrofon seminar telah menunggu.
Selain kalangan intelektual, kelompok Islam garis keras dan lembaga-lembaga keislaman “diperalat” juga untuk mendeligitimasi Gus Dur.
Dari sini kita bisa belajar memandang fenomena politik sekarang di mana massa dan lembaga-lembaga keagamaan seperti MUI bukan semata bekerja untuk kepentingan administrasi penduduk yang beragama Islam. Ia sering juga dipolitisasi dan jejaknya mengenai hal ini terentang sejak dulu, seperti terlihat dalam konspirasi penjatuhan Gus Dur ini.
***
Buku Menjerat Gus Dur konon telah habis terjual dan pemesanannya—sampai tulisan ini ditayangkan—masih terus berlangsung. Ulasannya sudah beredar luas di media sosial. Karena itu kita dihadapkan pada kebetulan lain, kebetulan beberapa tokoh yang disebut terlibat masih hidup.
Tetapi yang mengejutkan sebagian dari mereka yang disebut tak ke mana-mana karier politiknya. Lebih banyak menjadi petualang politik, dan sebagian lagi malah masuk penjara karena kasus korupsi.
Kebetulan lagi, sejauh ini belum ada seorang pun dari mereka yang memberikan tanggapan. Maka bisakah dikatakan berbagai kebetulan ini telah membawakan “kebenaran”?
Saya tak punya kapasitas untuk meyakini atau pun membantah argumentasi yang dikembangkan buku tersebut. Karena tidak ada yang mutlak benar, maka saya masih menyediakan—sekitar—dua persen ruang untuk meragukan jika ada tanggapan yang lebih argumentatif dan meyakinkan.
***
Siapa pun yang membaca buku ini, terutama para pendukung Gus Dur, mungkin hatinya akan terbakar dan mendidih. Konspirasi itu memang banal dan menjijikkan. Tetapi tak perlu marah berlebihan. Ia harus disikapi dengan bijak bahwa memang tidak mudah untuk menjalankan amanah Reformasi.
Di sisi lain, juga harus diakui bahwa dibutuhkan kelompok yang lebih besar, solid, dan memang berkomitmen keras pada Reformasi. Jika tidak, Reformasi hanya akan menjadi isapan jempol. Pada kenyataannya Gus Dur tidak memiliki kekuatan dan dukungan yang solid. Reformasi jelas tak cukup dengan niat baik.
“Sejarah nanti akan menunjukkan” adalah klausa dengan berbagai variasi kalimat yang sering dikemukakan Gus Dur. Kini sejarah itu melalui penemuan “kebetulan” sebuah dokumen telah menunjukkan apa yang sesungguhnya terjadi dan berlangsung hingga kini.
Reformasi telah dirampas sejak dini dan yang kita teriakkan tentang Reformasi hanya mimpi.
Penyingkapan ini jelas memunculkan rasa muak terhadap elite politik dengan berbagai agenda aliansinya, yang sebenarnya tak lebih dari konsolidasi oligarki. Tetapi, apakah penyingkapan ini bisa mendorong kesadaran baru akan pentingnya politik yang lebih bermartabat, berkemanusiaan, dan berpihak pada keadilan dan kesejahteraan rakyat?
Barangkali itulah pertanyaan pentingnya.
Jangan sampai, kita menjadi layaknya celetukan Gus Dur yang bisa dimodifikasi di segala situasi itu. Bahwa…
“Oligarki menghalalkan segala cara, sementara kita tidak tahu cara melawannya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar