Selasa, 29 Juli 2025

Dahulu Pisah dari Pulau Jawa, Gunung Muria Tidur Panjang namun Diduga Aktif

 Oleh: 

Mariyana Ricky P.d dan Yesaya Wisnu

Espos.id, JEPARA — Gunung Muria yang dahulunya terpisah dari Pulau Jawa karena Selat Muria, adalah gunung berapi yang kali terakhir erupsi sekitar 160 SM, namun diduga masih aktif dari aktivitas magmatik di bawah permukaan buminya.

Pada zaman dahulu, Distrik Demak terletak di pantai selatan yang memisahkan Gunung Muria dari Jawa. Selat Muria tersebut agak lebar dan dapat dilayari oleh kapal-kapal dagang dari Semarang yang hendak melintas untuk menuju ke Rembang. 

Tetapi setelah abad ke-17, jalur Selat Muria tersebut tidak dapat dilewati lagi. Selat Muria merupakan perairan purba yang kemudian mengalami pendangkalan dari porses sedimentasi material akibat letusan Gunung Muria yang mengakibatkan longsoran yang membawa material vulkanik.

Selain itu, material dari sungai-sungai yang bermuara di daerah yang sekarang dikenal dengan Grobogan, Demak, Kudus dan Pati yang juga membawa material sedimentasi semakin menambah proses penyempitan perairan purba tersebut.

Proses sedimentasi yang bermula dari abad ke-13 ini berlangsung hingga abad ke-17 di mana perairan Selat Muria tersebut sudah hilang akibat penumpukan material sedimentasi hingga akhirnya Gunung Muria yang dulunya terpisah dari daratan pulau Jawa, menyatu menjadi satu daratan dan menjadi kota-kota pantai utara (pantura) Jawa tengah, yaitu Jepara, Kudus, dan Pati.

Sunarko dalam Kajian Probabilistik Jatuhan Abu Vulkanik Terhadap Tapak PLTN Muria (2016) mengatakan Gunung Muria dikenal di masa kolonial dikenal sebagai Moerija atau Moerjo, adalah sebuah gunung bertipe stratovolcano.

Gunung ini Gunung ini memiliki ketinggian 1602 Mdpl, tetapi sumber lain menyebutkan bahwa tingginya 1625 mdpl. Gunung Muria merupakan salah satu gunung di Jawa yang berhubungan dengan zona subduksi berumur Miosen.

Sehingga, bukan zona subduksi yang aktif (seperti Gunung Merapi atau Gunung Kelud), dengan Zona Wadati–Benioff sedalam sekitar 400 kilometer. Meskipun demikian, aktivitas magmatik setidaknya diketahui masih ada di bawah gunung pada tahun 2000.

Pada masa kolonial Belanda, Pegunungan Muria berfungsi penting sebagai kawasan tangkapan air untuk wilayah Jepara, Kudus, dan Pati. Wilayah pegunungan yang meliputi Kabupaten Pati, Kudus, dan Jepara dibagi dalam tiga kategori, yaitu hutan produksi tetap seluas 149,90 hektare, hutan produksi terbatas seluas 3.529,00 hektare, dan hutan lindung seluas 6.428,50 hektare.

Proyek Nuklir di Gunung Muria

Hadi Suntoko dalam Pemilihan Tapak PLTN di Semenanjung Muria (1999) menyebut sejak 1970-an, sisi utara Gunung Muria dipilih oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) sebagai lokasi pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir.

Alasannya, risiko bencana alamnya yang kecil jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Jawa dan Bali. Namun, gempa bumi yang beberapa kali mengguncang di sekitar gunung sejak tahun 2010-an membuat rencana pembangunan tersebut dibatalkan.

Kronologinya, pada April 1975, BATAN dan Departemen Pekerjaan Umum membentuk sebuah komisi untuk memulai proses pemilihan lokasi tapak PLTN yang bernama Komisi Persiapan Pembangunan PLTN (KP2PLTN). 

Komisi tersebut terdiri dari BATAN, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan PLN. 

Pemilihan tersebut menghasilkan 5 dari 14 lokasi yang diusulkan. Lima lokasi tersebut adalah Tanjung Pujut (Banten), Parigi (Jawa Barat), Lasem (Jawa Tengah), Muria (Jawa Tengah), dan Situbondo (Jawa Timur).

Antara Juli hingga September 1975, diadakan sebuah survei untuk menentukan lokasi tapak terbaik dari kelima lokasi tersebut. Hasilnya berupa dua lokasi, yaitu Keling di Muria dan Sluke di Lasem. 

Kemudian, BATAN mengadakan studi kelayakan terhadap kedua lokasi tersebut yang dibantu oleh firma teknik nuklir asal Italia, NIRA. Hasil studi tersebut kemudian keluar pada 1982, yang menyimpulkan bahwa Ujungwatu di Keling (kini bagian dari Donorojo) adalah calon lokasi tapak terbaik.

Pada 2012, Gusti Muhammad Hatta, Menteri Riset dan Teknologi saat itu, mengatakan bahwa rencana pembangunan PLTN Muria dibatalkan karena "masalah yang agak rumit", seperti penduduk di sekitarnya yang padat. 

Namun, ia tidak tahu apakah pembatalannya bersifat permanen dan menyambung bahwa jika dibatalkan maka pemerintah akan melanjutkan pembangunan PLTN di tempat lain, seperti di Bangka Belitung.

Pada 2015, rencana ini dibatalkan secara permanen karena diketahui beberapa kali gempa bumi di sekitar gunung.

Gunung Muria Masih Aktif?

Mengutip artikel di Universitas Muria Kudus (UMK) yang dipublikasikan pada 30 Juni 2020, patahan-patahan disekitar Gunung Muria menyebabkan gempa beberapa kali. Namun kekuatan gempa masih kecil, dibawah 5 Magnitudo, sehingga kemungkinan besar Gunung Muria masih tertidur lama. 

Namun, bencana lain juga harus diwaspadai dan kesiapsiagaan harus terus ditingkatkan. Hal itu disampaikan beberapa narasumber saat webinar dengan tema Gempa dan Bencana di Kawasan Pegunungan: Gunung Muria Bangun dari Tidur Panjang?

Tiga narasumber yang menyampaikan dalam webinar tersebut yakni Ketua Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono, Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana UPN Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno, dan Ketua Pusat Studi Bencana LPPM UMK, M. Widjanarko.

Rahmat Triyono mengatakan, di Indonesia, gempa dengan berbagai magnitudo mencapai 5.000-6.000 kali per tahun. Gempa yang siginifikan berkekuatan diatas 5.0 M, sebanyak 250-350 kali per tahun, artinya setiap hari ada gempa. 

"Sementara untuk gempa merusak, ada 8-10 kali dan dalam dua tahun gempa yang berpotensi tsunami ada sekali,” kata dia. Dari jumlah tersebut, hanya Pulau Kalimantan dengan jumlah gempa lebih sedikit. Sementara bagian selatan Indonesia cukup banyak, termasuk Jawa. 

“Untuk Gunung Muria atau bagian utara Jawa memang relatif sedikit dengan kekuatan gempa di bawah 5 MMI (Modified Mercalli Intensity),” jelasnya.

Sesar muria merupakan sesar yang memanjang dari arah barat daya ke timur laut yang terletak pada daerah Muria, Jawa Tengah. Sesar ini merupakan sesar aktif dan bergerak dengan mekanisme naik. Potensi sumber gempa Gunung Muria dirasakan dari Sesar Muria dan zona subduksi yang jaraknya kurang lebih 300 kilometer di sebelah selatan Gunung Muria.

Dia menambahkan, perlu kajian dan penelitian lebih lanjut terkait dengan aktivitas patahan Sesar Muria dan kaitannya dengan aktivitas Gunung Muria. "Kami memasang alat kegempaan di patahan yang kami lihat aktif, data tersebut bisa dijadikan kajian atau penelitian, kami persialahkan perguruan tinggi mengakses data itu," terangnya.

Sementara itu, Eko Teguh mengatakan Gunung Muria merupakan gunung api yang lebih tua dari yang lain, banyak patahan. Sejumlah bukti memang menunjukkan hal tersebut, salah satunya adanya kekar-kekar bebatuan di Gunung Muria yang menunjukkan Gunung Muria adalah gunung vulkanis.

Adanya patahan di Gunung Muria, sudah dimunculkan saat isu pembangunan PLTN akan dibangun di Jepara. Hasil penelitian, sekitar Gunung Muria memang ada patahan yang berpotensi menyebabkan gempa.

Sementara itu, Widjanarko dalam webinar tersebut lebih menyoroti dari sisi bencana yang terjadi di kawasan Gunung Muria. Walaupun Gunung Muria sedang tidur dan disekitarnya banyak patahan-patahan, namun bencana lain juga setiap saat mengintai. Mulai dari tanah longsor hingga banjir bandang.

Sumber:

https://regional.espos.id/dahulu-pisah-dari-pulau-jawa-gunung-muria-tidur-panjang-namun-diduga-aktif-1462476

Tidak ada komentar:

Posting Komentar