Prof. DR. H. Imam Suprayogo |
Oleh: Prof. DR. H. Imam Suprayogo |
|
|
|
|
Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Pada
hari Ahad tanggal 30 Desember yang lalu, saya diminta berceramah di
hadapan para pengurus NU Batu dalam rangka Muskercab. Sekalipun
permintaan itu agak mendadak, saya hadiri. Apalagi kegiatan itu mengambil tempat di Gedung Pascasarjana UIN Maliki Malang, sehingga rasanya tidak ada alasan tidak hadir, sekalipun agak cepek, karena pada saat itu baru saja datang dari Manado.
Dalam ceramah itu, saya katakan bahwa, saya memahami NU dari ayah dan ibu saya sendiri. Kebetulan semasa masih hidup, ayah saya menjadi pengurus NU, dan begitu pula ibu saya juga menjadi pengurus muslimat. Ayah dan ibu saya sendiri, lewat kehidupan sehari-hari, mengajari saya tentang NU.
Ayah saya sangat mencinta NU, para kyai, dan pesantren. Saya jelaskan bahwa, sedemikian ayah mencintai Kyai Hasyim dan Kyai Wahab, sehingga umpama gambar beliau yang dipasang didinding rumah, posisinya tidak tampak tepat dan tidak segera saya betulkan, maka saya akan ditegur keras. Gambar kyai, menurut ayah, harus dihormati dan tidak boleh diletakkan di sembarang tempat.
Sekalipun ayah saya pimpinan NU, ------yang saya heran, selalu menjelaskan bahwa menjadi NU dan apalagi sebagai pengurus, dikatakan tidak mudah. Beliau selalu berpesan, kalau memang tidak kuat, maka jangan mau menjadi pengurus NU. Menjadi pengurus NU itu berat. Ayah saya selalu menjelaskan bahwa, menjadi NU itu adalah sama artinya dengan menjadi pejuang. Yaitu berjuang untuk beramar makruf nahi mungkar.
Kata ayah saya, berjuang itu tidak mudah, oleh karena tidak akan mendapat untung dan bahkan harus berkorban. Orang yang mengatakan bahwa dirinya sedang berjuang, namun tidak mau berkorban dan apalagi berharap mendapat untung, ------kata ayah saya, sebenarnya itu bukan pejuang, melainkan hanya sekedar sebagai broker. Ayah tidak menyebutnya sebagai broker, melainkan sebagai makelar.
Menjadi pengurus NU, kata ayah saya adalah berat oleh karena hal-hal sebagai berikut. Pertama, menjadi pengurus NU harus mau urunan untuk biaya
menggerakkan organisasi. NU ketika itu tidak memiliki sumber biaya.
Satu-satunya pendapatan adalah dari sumbangan pengurus sendiri. Bahkan
ayah saya pernah mangatakan, manakala pengurus NU itu berkumpul, maka harus bersedia menyerahkan uang yang ada di sakunya masing-masing kepada bendahara. Maka, kata ayah saya menjadi pengurus NU itu memang berat.
Kedua,
pengurus NU itu harus selalu shalat berjama’ah di masjid, terutama pada
sholat maghrib, isya, dan subuh. Pada sholat dhuhur dan asyar, umpama
tidak tampak di masjid bisa dipahami tidak mengapa, oleh karena masih sedang di kebun atau di tempat kerja lainnya. Akan tetapi pada saat sholat subuh, mereka tidak ada alasan meninggalkan sholat berjama’ah. Maka, berat betul menjadi pengurus NU.
Ketiga, pengurus NU harus bersedia untuk menghadiri dan
sanggup menjadi penceramah pada acara-acara pengajian. Pada umumnya di
pedesaan, -------ketika itu, penceramah tidak pernah diberi imbalan.
Apapun keadaannya, sebagai pengurus NU, tatkala diundang pengajian maka
harus datang. Itulah bagian penting dari pekerjaan dakwah dalam rangka melakukan pembinaan kepada umat, ialah umat NU.
Keempat,
pengurus NU harus peduli terhadap orang-orang yang mengalami kekurangan
dan apalagi menderita. Anak yatim dan orang miskin harus dipikirkan
cara menyantuninya. Kata ayah saya, tidak harus berbagai persoalan itu berhasil diselesaikan. Akan tetapi, bahwa sebagai pengurus NU harus selalu tanggap terhadap berbagai persoalan kehidupan itu.
Saya masih ingat, ketika masih kecil, bertempat tinggal di desa, sekalipun anak ayah saya cukup banyak, beban hidup itu masih harus ditambah dengan beberapa anak yatim yang ditampung di rumah. Bukan itu saja, ayah
juga bersedia dititipi agar merawat orang gila. Semasa saya masih
kecil, selalu saja ada orang yang sakit ingatan dititipkan oleh
keluarganya di rumah ayah saya.
Pesan ayah yang masih selalu saya ingat bahwa, dalam
hidup ini harus mau menolong orang lain. Akan tetapi jangan berharap,
setiap orang yang ditolong itu akan bersyukur atau berterima kasih.
Manakala ingin mendapatkan balasan, sekedar ucapan terima
kasih yang tulus, maka pilihlah menolong orang yang memang benar-benar
memerlukan pertolongan, misalnya menampung saudara atau keluarga seseorang yang gila. Mereka pasti berterima akasih, agar keluarganya yang berpenyakit gila tersebut tidak dikembalikan.
Tugas
sebagai pengurus NU yang sedemikian berat itu, masih ditambah lagi
dengan keharusan mengaji kitab tertentu kepada jama’ahnya pada setiap
saat. Itulah yang saya sampaikan dalam ceramah di hadapan para Muskercab
NU yang dihadiri oleh segenap pengurusnya. Oleh karena itu, saya
katakan, kalau tidak kuat dan serius, maka tidak perlu menjadi pengurus
NU.
Tugas, beban, dan tanggung jawab pengurus NU itu berat, tetapi memang mulia. Manakala amanah itu bisa ditunaikan, insya Allah, bisa dijadikan bekal hidup, baik di dunia maupun di akherat. Wallahu a’lam.
Sumber:http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=3595:berceramah-di-muskercab-nu-batu&catid=25:artikel-rektor
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar