Oleh: Prof Dr Azyumardi Azra MA | ||||
Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta | ||||
Pembicaraan publik tentang 'kelas
menengah' Indonesia meningkat menjelang akhir 2011. Dalam berbagai
diskusi dan pemberitaan media terungkap, jumlah kelas menengah Indonesia
terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Jumlah mereka kini
diperkirakan atau bahkan lebih dari separuh jumlah total penduduk
Indonesia-sekitar 130-140 juta orang.
Apa ukuran seseorang atau satu keluarga tertentu termasuk kelas menengah (middle class)?
Secara sederhana, ukurannya adalah perbelanjaan per kapita sekitar 5-20
dolar AS (Rp 45 ribu-1,8 juta) per hari. Sebaliknya, mereka dengan
pendapatan kurang dari jumlah itu, apalagi cuma dua dolar per hari,
termasuk kelas bawah (lower class), tegasnya bahkan miskin.
Dalam sebuah ukuran lain, sebuah keluarga disebut termasuk kelas menengah jika memiliki gelar sarjana, pekerjaan tetap (apakah ayah atau ibu atau kedua-duanya) dengan pemasukan tetap, rumah dan kendaraan (meski secara cicilan), serta sejumlah tabungan. Ukuran tambahan lain; mampu membiayai liburan dengan segenap anggota keluarga minimal sekali dalam setahun.
Apakah Anda atau keluarga Anda termasuk
golongan kelas menengah? Silakan dihitung-hitung dan dirasakan sendiri.
Tapi, hampir bisa dipastikan, sebagian besar pelanggan dan pembaca Harian Republika ini termasuk kelas menengah; apakah kelas menengah atas (upper middle class), kelas menengah tengah (middle middle class), atau kelas menengah bawah (lower middle class). Para pelanggan dan pembaca Republika jelas sudah memiliki sedikit atau banyak kelebihan penghasilan sehingga mampu melanggan koran ini.
Maka, jika berbicara tentang pertumbuhan
kelas menengah Indonesia, mau tidak mau kita harus berbicara tentang
peningkatan jumlah kelas menengah Muslim negeri ini. Hal ini sama
sebangun dengan pembicaraan tentang kelas bawah dan miskin di negeri
ini, yang hampir bisa dipastikan pula sebagian besarnya adalah kaum
Muslim. Inilah 'takdir' demografis Indonesia, yang sekitar 88,2 persen
penduduknya beragama Islam; sehingga ada orang yang berkata, jika batu
dilemparkan ke tengah kumpulan orang, 'pastilah' yang terkena lemparan
itu orang Muslim.
Karena itu, penerima (beneficiaries)-positif
atau negatif-perkembangan ekonomi negeri ini adalah kaum Muslimin.
Memang sering dikatakan orang, ekonomi dan kekayaan Indonesia dikuasai
segelintir konglomerat atau tycoon, yang termasuk ke dalam 20
atau 40 orang terkaya Indonesia, yang sebagian besarnya adalah
non-Muslim dan sekaligus merupakan warga keturunan. Tanpa harus bersikap
rasis, masih perlu waktu bagi kian pertumbuhan jumlah konglomerat/tycoon Muslim.
Terlepas dari itu, pada lapisan kelas
menengah jelas kaum Muslim-sedikitnya dari segi jumlah-merupakan pihak
yang paling banyak terkena, apakah jika ekonomi Indonesia membaik, atau
sebaliknya merosot. Sekali lagi, meski masih ada sekitar 30 sampai 50
juta warga miskin di negeri ini-yang umumnya Muslim-secara kasat mata
orang juga bisa melihat pertumbuhan kelas menengah Muslim sedikitnya
dalam tiga dasawarsa terakhir.
Pertumbuhan kelas menengah Muslim
bermula dengan tersedianya pendidikan-khususnya pendidikan tinggi agama
Islam (PTAI). Inilah salah satu buah kemerdekaan karena sepanjang masa
penjajahan Belanda sampai dasawarsa pertama kemerdekaan, terdapat hanya
dua pendidikan tinggi di negeri ini; sekolah tinggi teknik (yang
kemudian menjadi ITB) di Bandung dan STOVIA (Sekolah Tinggi Kedokteran
yang kemudian menjadi UI) di Jakarta.
Berkat kemerdekaan, sejak akhir 1950-an
terjadi ekspansi kesempatan memperoleh pendidikan bagi anak bangsa pada
berbagai tingkatannya. Pada tingkat pendidikan tinggi, di kalangan kaum
Muslim ini ditandai berdirinya PTAIN di Yogyakarta dan ADIA di Jakarta,
yang pada 1960 berubah menjadi IAIN. Sejak saat itu sampai awal 1970-an
berdiri pula IAIN di berbagai ibu kota provinsi dengan fakultas-fakultas
cabangnya (yang pada 1996 menjadi STAIN) di kota-kota tingkat
kabupaten.
Pada periode yang sama, perguruan tinggi
umum (PTU) juga berdiri di hampir seluruh ibu kota provinsi. PTU-PTU
ini juga memberikan akses lebih besar kepada putri-putri kaum Muslim
untuk mempelajari bidang ilmu. Pada tingkat sarjana lengkap (Drs), PTU
juga memberikan tempat bagi para sarjana muda (BA) lulusan IAIN untuk
melanjutkan studinya.
Hasil ekspansi pendidikan tinggi ini
jelas sudah. Sejak akhir 1960-an dan selanjutnya sampai sekarang,
terjadilah apa yang disebut almarhum Nurcholish Madjid sebagai 'panen
sarjana' kaum Muslimin Indonesia. Jumlah sarjana muda (BA) dan sarjana
lengkap (Drs/Dra), apakah lulusan PTAI ataupun PTU (baik negeri maupun
swasta), selalu bertambah dalam jumlah berlipat ganda dari tahun ke
tahun. Dan, mereka ini memunculkan berbagai perkembangan yang bahkan
tidak pernah terbayangkan pada masa sebelumnya, baik pada lingkungan
umat Islam sendiri maupun negara-bangsa secara keseluruhan.
Pendidikan; tidak ragu lagi bidang ini
merupakan prasyarat utama bagi mobilitas intelektual, sosial, ekonomi,
dan agama. Berkat pendidikan umum dan agama yang kian universal sejak
akhir 1970-an, makin banyak pula anak-anak umat yang mendapatkan akses
ilmu pengetahuan dan keterampilan sejak dari tingkat dasar, menengah,
sampai tinggi.
Kian banyak pula mereka yang tidak hanya
bergelar S1, tetapi juga S2 dan S3, baik dari program pascasarjana
dalam negeri (yang mulai tumbuh sejak awal 1980-an) dan luar negeri.
Hasilnya, timbullah 'eksplosi' inteligensia dan intelektual yang mengisi
berbagai ruang dan lembaga negeri dan swasta. Mereka pun menjadi pakar
dan narasumber dalam berbagai bidang akademis, agama, politik, ekonomi,
sosial, dan budaya di tingkat nasional ataupun internasional.
Mobilitas pendidikan dan intelektual
hampir secara progresif menghasilkan mobilitas ekonomi dan sosial.
Mereka yang beroleh pendidikan, khususnya perguruan tinggi, dapat
mengisi berbagai lapangan kerja pada beragam sektor, yang sebelumnya
tidak pernah diduduki kaum santri. Dengan memiliki pekerjaan formal dan
profesional, mereka memperoleh penghasilan tetap yang memungkinkan
mereka memenuhi berbagai kebutuhan dasar: pangan, sandang, papan, dan
selanjutnya kendaraan bermotor-kemudian juga menikmati liburan dengan
keluarga.
Perkembangan baik dalam ekonomi dan
keuangan ini menimbulkan berbagai dampak perubahan yang mungkin tidak
pernah terbayangkan. Sekali lagi, lihatlah dalam bidang pendidikan.
Berkat kondisi ekonomi dan keuangan keluarga yang kian stabil, mereka
dapat menabung untuk pendidikan anak-anak mereka.
Mereka menjadi mampu mengirim anak-anak
mereka ke 'sekolah/madrasah elite' Islam berbiaya mahal, semacam
al-Azhar, al-Izhar, atau Madrasah Pembangunan; atau sekolah dan madrasah
swasta yang mencakup juga program keislaman yang baik semacam Lab
School atau Dwiwarna, atau sekolah negeri bermutu tinggi yang juga
mengenakan biaya relatif mahal.
Daftar sekolah/madrasah ini bisa sangat
panjang yang kian banyak, tidak hanya di Jakarta dan ibu kota provinsi
lain, tetapi juga di kota setingkat kabupaten. Sekolah dan madrasah
elite ini segera menjadi 'status simbol' baru kelas menengah Muslim.
Ketika nama sebuah sekolah atau madrasah semacam ini disebut sebagai
tempat belajar seorang anak, secara instan orang tahu kelas ekonomi
keluarga tersebut.
Simbolisme Islam dalam konteks ini
menjadi kebanggaan yang tidak harus berarti riya, apalagi takabur. Semua
ini berlangsung secara alamiah belaka, tetapi ada dampak lebih jauh. Di
tengah bangkitnya sekolah/madrasah elite Islam, praktis kian sedikit
orang tua Muslim yang mengirim anak ke sekolah non-Muslim, yang pernah
menjadi simbol kualitas dan sekaligus simbol stratifikasi
sosial-ekonomi.
Memang perlu survei tentang hal terakhir
ini, tetapi terdapat kesan kuat bahwa jumlah pelajar sekolah-sekolah
non-Muslim ini merosot secara signifikan sehingga terpaksa tutup atau
merger. Apalagi, pada saat yang sama sekolah non-Muslim ini juga
tersaingi sekolah 'non-sektarian' yang umumnya menjadi lahan baru bisnis
pendidikan warga keturunan semacam sekolah Binus, misalnya.
Lepas dari hal terakhir,
sekolah/madrasah elite Islam memunculkan dampak lain yang tidak kurang
pentingnya. Dari sinilah juga bermula apa yang saya sebut 'santrinisasi'
atau 'resantrinisasi' keluarga Muslim yang menemukan momentum sejak
awal 1990-an. Banyak orang tua Muslim yang mengirim anak mereka ke
sekolah/madrasah elite bukan dari kalangan santri. Mereka lemah dalam
pengetahuan dan praktik keislaman, tetapi ingin anak mereka tidak
seperti ayah ibunya yang lemah keislamannya.
Mereka mau anak mereka lebih tahu
tentang Islam di samping memiliki ilmu pengetahuan berkualitas sehingga
dapat lanjut ke perguruan tinggi papan atas, baik di dalam maupun luar
negeri. Anak-anak yang belajar di sekolah dan madrasah elite ini pada
gilirannya menjadi 'guru' bagi orang tua masing-masing.
Ketika di sekolah/madrasah, misalnya,
belajar dan hafal berbagai macam doa-seperti doa sebelum makan-mereka
selanjutnya juga meminta orang tua masing-masing membaca doa. Kalangan
orang tua yang merasa 'malu' pada anak mereka sendiri, misalnya, karena
tidak bisa menjadi imam shalat dengan baik, tidak bisa memimpin doa,
atau tidak bisa membaca Alquran dengan baik. Akhirnya, mereka 'terpaksa'
kembali belajar Islam apakah secara sendiri atau mendatangkan guru
privat agama. Inilah persisnya 'santrinisasi' atau 'resantrinisasi'
keluarga.
Mengingat amat pentingnya peran
pendidikan dalam mobilitas intelektual, ekonomi, sosial, dan keagamaan,
tantangan dan tuntutan ke depan adalah meningkatkan mutu dan
keterjangkauan sekolah/madrasah, khususnya swasta. Hal ini tidak lain
karena masih banyak sekolah/madrasah yang bukan hanya bermutu rendah,
bahkan prasarana belajarnya saja sangat memprihatinkan.
Akhirnya, anak-anak bangsa yang terpaksa
belajar di sekolah/madrasah semacam ini terjebak dalam lingkaran
keterbelakangan pendidikan dan kemiskinan yang seolah tidak pernah
terpecahkan.
Sumber:
http://www.uinjkt.ac.id/index.php/section-blog/28-artikel/2145-kelas-menengah-muslim-indonesia-1.html
http://www.uinjkt.ac.id/index.php/section-blog/28-artikel/2148--kelas-menengah-muslim-indonesia-2-.html
|
Sabtu, 05 Januari 2013
Kelas Menengah Muslim Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar