Merayakan hari
kelairan Rasulullah saw yang dalam tradisi kita sering disebut
maulid/maulidan, merupakan amal kebajikan. Jika amal ini disetai dengan
keihklasan dan niat yang lurus akan menjelma sebagai sebuah ibadah yang
nilai pahalanya dijanjikan oleh Allah swt.
Maksud niat yang lurus adalah merayakan dengan penuh rasa kegembiraan
dan kecintaan atas kelahiran Rasulullah saw. Sebagaimana keterangan Ibn
Taimiyah yang dikutip Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki , yaitu:
يَقُوْلُ اِبْنُ
تَيْمِيَّة قَدْ يُثَابُ بَعْضُ النَّاسِ عَلَي فِعْلِ الْمَوْلِدِ
وَكَذَلِكَ مَا يُحْدِثُهُ بَعْض النَّاسِ إمَّا مُضَاهَاة لِلنَّصَارَى
فِى مِيْلاَدِ عِيْسَى عليه السلام وَإمَّا مَحَبَّةٌ لِلنَّبي صلي الله
عليه وسلم وَتَعْظِيْمًالَهُ وَالله قَدْ يُثِيْبُهُمْ عَلَى هَذِهِ
الْمَحَبَّةِ وَالاجْتِهَادِ لاَ عَلَى الْبِدَعِ.
Ibn Taimiyyah berkata, “orang-orang yang melaksanakan perayaan
Maulid Nabi akan diberi pahala. Demikian pula apa yang dilakukan oleh
sebagian orang. Adakalanya bertujuan meniru di kalangan Nasrani yang
memperingati kelahiran Isa AS, dan adakalanya juga dilakukan sebagai
ekspresi rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi Muhammad. Allah Ta’ala
akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi
mereka, bukan atas bid’ah yang mereka lakukan.”(Manhajus Salaf fi Fahmin Nushush Bainan Nadzariyyat wat Tathbiq, h. 399).
Sebagai amal yang baik tentunya perayaan maulid harus bersih dari
hal-hal yang berbau negative, buruk dan dosa. Seperti tradisi yang telah
berlaku di Nusantara ini maulidan biasa dilakukan secara bersama-sama
dalam satu majlis. Biasanya dalam majlis tersebut akan dikumandangkan
ayat al-Qur’an sebagai pembukaan lantas pembacaab maulid dhiba’, atau
al-barzanji atau syaraful anam dan berbagai puji-pujian kepada
Rasulullah saw yang lain.
Tidak hanya itu saja, malahan disebagian tempat ada ta’lim yang diisi
oleh seorang muballigh yang berdawah menuturkan dan mengelu-elukan
Rasulullah saw sebagai uswah hasanah.
Tentunya berbagai bentuk kreatifitas perayaan ini sangat tergantung
pada tradisi masing-masing daerah. Hanya saja standar yang harus ada
dalam sebuah perayaan maulid adalah pembacaan al-Qur’an, penuturan kisah
Rasulullah saw dan tidak lupa hidangan sebagai bentuk rasa syukur atas
rahmat Allah swt akan diutusnya Rasululla saw.
Hidangan ini juga menjadi ruang berbagi sedekah bagi mereka yang
mampu. Sehingga akan tercipta suasana kebersamaan antar umat. Bentuk
perayaan seperti inilah yang diisyaratkan oleh Imam al-Suyuthy (849-910
H/ 1445-1505 M) dalam Husnul Maqshad fi Amalil Maulid :
أنَّ أصْلَ عَمَلِ
الْمَوْلدِ الَّذِى هُوَ اِجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ
مِنَ الْقُرْآنِ. وَرِواَيَةُ الأخْبَارِ الوَارِدَة فِى مَبْدَءِ أمْرِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا وَقَعَ فِى مَوْلِدِهِ
مِنَ الآيَاتِ ثُمَّ يَمُدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأكُلُوْنَهُ
وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَلِكَ مِنَ الْبِدَعِ
الْحَسَنَةِ الَّتِى يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ
تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاِظْهَارِ
الْفَرَحِ وَالاِسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ.
"Bahwa asal perayaan Maulid Nabi Muhammad, yaitu
manusia berkumpul, membaca al-Qur’an dan kisah-kisah teladan kemudian
menghidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang.
Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah
hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan
derajat Nabi dan menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran
Nabi Muhammad yang mulia. (Al-Hawy Lil Fatawa, Juz I, h. 189-197 )
Sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,10-id,42000-lang,id-c,ubudiyyah-t,Rambu+Rambu+Perayaan+Maulid+Nabi-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar