Dalam realitasnya, ulama-ulama Indonesia sejak awal memiliki karya
tulis yang menunjukan produktifitas mereka dalam bidang hukum Islam atau
Fiqh. Sebut saja misalnya, Nuruddin Ar-Raniry yang menulis kitab
Siratal Mustaqim, Abdur Rauf As- Sinkili yang menulis Mir’atut Tulab fi
Tasyi’ al Ma’rifah al Ahkam As-Syar’iyah li al-malaik al-wahab, Muhammad
Arsyad al- Banjari dengan karyanya Sabil Al Muhtadin dan masih banyak
ulama lainnya. Khasanah Fiqh lokal yang banyak tersebut menunjukan bahwa
ulama Indonesia memiliki pendapat-pendapat dalam bidang Fiqh yang
memiliki kearifan lokal.
Dalam konteks kekinian, kearifan lokal dalam
fiqh sangat penting dalam rangka merumuskan hukum islam yang
kontekstual dan fungsional bagi penataan kehidupan keagamaan umat islam.
Demikianlah yang disampaikan oleh Fuad Mustafid, M.Ag , selaku ketua
panitia dalam Seminar Nasional dengan tema “ Kitab Fiqh Nusantara:
Menggali Tradisi Membangun Harmony ” yang diselenggarakan di gedung
Convention Hall, 14 November 2012. Dalam Seminar Nasional ini di buka
oleh Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Noor Haidi Hasan, Ph.D.
Seminar Nasional ini diadakan oleh Prodi Perbandingan Mahdzab dan Hukum
(PMH) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam
seminar ini mengundang Dr. Fakhriyati (Peneliti di Litbang Kemenag RI
Jakarta), Dr. Ahmad Baso (Lakpesdam NU Jakarta), Dr. Islah Gusmian
(STAIN Surakarta), Dr. Ali Sodiqin (Kaprodi PMH Fakultas Syariah dan
Hukum) dan Fathorrahman, M.Si sebagai Moderator.
“ Fiqh Nusantara adalah bagian dari konstruksi Islam Nusantara, jika
kita berbicara tentang Islam Nusantara, maka Islam sebagai ajaran
normatif diamalkan dan diistifadah dalam “bahasa-bahasa-ibu” penduduk
nusantara. Jadi, sebutan Nusantara bukan menunjukan sebuah teritori,
tapi sebuah paradigma pengetahuan, kerja-kerja kebudayaan dan
kreatifitas intelektual. Media menulis para ulama Nusantara menulis
karyanya, bukan hanya dalam bahasa arab atau melayu, tapi juga memakai
bahasa Nusantara seperti bahasa Jawa, Aceh, Bugis-Makasar, dst. Semua
bahasa itu dikomunikasikan dengan berbagai konstituen di berbagai
belahan dunia, contohnya saja Serat Ambiya yang dicetak di
Bombay India dalam bahasa Jawa aksara pegon, menunjukan bahwa
karya-karya penulis-penulis pesantren di Nusantara sudah memiliki
reputasi internasional”, tutur Ahmad Baso.
Menurut Islah Gusmian, pemetaan tentang keragaman naskah-naskah
keislaman di Nusantara, penting didefinisikan tentang pengertian atas
”naskah Keislaman”. Jika pengertian “keislaman” dipahami sebagai tulisan
yang membicarakan bukan hanya tentang topik yang terkait dengan
ortodoksi islam tetapi juga terkait dengan sejarah sosial dan politik
umat islam yang terkait dengan nilai-nilai islam, maka menjadi sangat
luas dan kompleks pembahasannya. Pada kenyataannya dalam peradaban teks
di Nusantara yang ditulis bukan hanya masalah-masalah yang terkait
dengan keilmuan di bidang fiqh, hadis,tafsir, tauhid atau ilmu kalam dan
tasawuf, tetapi juga sejarah, doa dan mantra, ilmu mujarabat, sastra
dan yang lain. Memasuki era awal abad ke-17 M, diwilayah Sumatra, Jawa
dan Makasar, sejumlah ulama muncul dengan tradisi penulisan teks-teks
keislaman di Nusantara. Mereka itu adalah Hamzah Fansuri, Syamsuddi
Al-Sumatrani, Muhammad Yusuf al maqqasari, Nuruddin al Raniri dan masih
banyak lagi. Memasuki era awal abad ke-18 M, sejumlah ulama yang populer
melahirkan sejumlah teks-teks keagamaan Islam di Nusantara,
diantaranya, Tuang Rammpang, Abd al Samad al Palembang, Syekh Arsyad
Al-Banjari dan Muhammad Nafis Al-Banjari. Ada pula teks keagamaan islam
yang lahir dari tangan seorang ulama banten, ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhar
al-Bantani. Melihat betapa besarnya karya-karya yang lahir pada masa
lampau, sudah saatnya perguruan Tinggi Agama Islam (UIN/ IAIN/ STAIN)
mengambil peran di dalam pengkajian teks-teks keagamaan yang diwariskan
para ulama Nusantara tersebut.
Melihat hal ini Ali Sodiqin berpendapat bahwa penerimaan dan pembaruan
budaya lokal oleh Al- Quran menjadi argumentasi teologis bagi ulama,
khususnya para Fuqaha. Nilai-nilai universal Al-Quran khususnya dalam
masalah hukum, diterjemahkan kedalam realitas sosial yang dihadapi para
fuqaha. Dari sinilah muncul ijtihad yang menjadi ikon dinamika
perkembangan hukum islam. Tingkat ijtihad juga berfungsi sebagai metode
untuk menunjukan kemampuan adaptabilitas hukum Islam dalam menghadapi
problematika sosial. Berkaca dari model dialektika Al-Qur’an, maka
fuqahapun merumuskan konsep dan kaidah tentang pengintegrasian budaya
lokal ke dalam hukum islam. Maka muncullah konsep ‘Urf dan kaidah
al-‘adah al muhakkamah dalam kajian fiqh dan ushul fiqh. (Doni Tri
Wijayanto-Humas UIN Sunan Kalijaga).
Sumber:http://www.uin-suka.ac.id/berita/dberita/662
Tidak ada komentar:
Posting Komentar