Mungkin banyak yang belum tahu kalau dasar-dasar Heliosentris
itu muncul ketika zaman kejayaan astronomi Islam di jazirah Arab. Pelajaran di sekolah mendoktrin bahwa heliosentris itu dirumuskan oleh
Copernicus. Dari mana Copernicus
dapat ide (matematis) tentang matahari sebagai pusat tata surya
(heliosentris)? Apakah apel jatuh di atas kepala-nya? Menurut
pakar-pakar sejarah astronomi, ada kemiripan ide matematika antara buku
Copernicus yang berjudul “De Revolutionibus” dengan sebuah buku yang
pernah ditulis sebelumnya oleh seseorang arab. Judul bukunya “Kitab Nihayat Al-Sul Fi Tashih Al-Usul”. Buku ini ditulis sekitar seratus tahun sebelum jaman Copernicus oleh Ibnu Al-Shatir (1304-1375 CE).
Ibnu Al-Shatir adalah seorang pakar Muwaqqit di Mesjin Umayyad, Damaskus, sekaligus sebagai orang yang membangun sundial (ter)besar. Dari pengalamannya di dunia astronomi, Ibnu Al-Shatir menulis buku tersebut yang merombak habis teori geosentris Ptolemeus. Walaupuni belum beranjak dari teori geosentris, tapi secara matematis Al-Shatir memperkenalkan adanya epicycle yang rumit (sistem lingkaran dalam lingkaran). Digambar tersebut, Al-Shatir mencoba menjelaskan bagaimana gerak Merkurius jika Bumi menjadi pusat alam semestanya dan Merkurius bergerak mengitari Bumi.
Matematika adalah bahasa yang universal, mempunyai kebenaran ilmiah yang tidak terbantahkan. Jadi apakah geosentris atau heliosentris, maka itu semua hanya menjadi perkara titik pangkal koordinat. Demikian pula dengan pemikir-pemikir di masa tersebut akan selalu berpegang pada kebenaran matematika, alih-alih berdebat kusir tentang yang mana yang benar. Perumusan matematika oleh Ibnu Al-Shatir ini yang kemudian, (dipercaya?) menjadi pondasi perumusan matematis Copernicus untuk memperkenalkan model Heliosentris-nya.
Dengan demikian, apakah memang bapak-bapak dari masa lalu tersebut mempunyai keberpihakan pada geo/helio-sentris? Yang pasti adalah bapak-bapak tersebut akan selalu berpegang pada adanya kebenaran-kebenaran ilmiah (matematika), untuk bisa menjelaskan apa yang mereka amati. Tidak penting lagi geo/helio-sentris, tetapi lebih penting untuk bisa dijelaskan, sehingga bisa diterima sebagai suatu kebenaran yang ilmiah. Lalu apakah kebenaran ilmiah tersebut merupakan kebenaran absolut?
Ibnu Al-Shatir adalah seorang pakar Muwaqqit di Mesjin Umayyad, Damaskus, sekaligus sebagai orang yang membangun sundial (ter)besar. Dari pengalamannya di dunia astronomi, Ibnu Al-Shatir menulis buku tersebut yang merombak habis teori geosentris Ptolemeus. Walaupuni belum beranjak dari teori geosentris, tapi secara matematis Al-Shatir memperkenalkan adanya epicycle yang rumit (sistem lingkaran dalam lingkaran). Digambar tersebut, Al-Shatir mencoba menjelaskan bagaimana gerak Merkurius jika Bumi menjadi pusat alam semestanya dan Merkurius bergerak mengitari Bumi.
Matematika adalah bahasa yang universal, mempunyai kebenaran ilmiah yang tidak terbantahkan. Jadi apakah geosentris atau heliosentris, maka itu semua hanya menjadi perkara titik pangkal koordinat. Demikian pula dengan pemikir-pemikir di masa tersebut akan selalu berpegang pada kebenaran matematika, alih-alih berdebat kusir tentang yang mana yang benar. Perumusan matematika oleh Ibnu Al-Shatir ini yang kemudian, (dipercaya?) menjadi pondasi perumusan matematis Copernicus untuk memperkenalkan model Heliosentris-nya.
Dengan demikian, apakah memang bapak-bapak dari masa lalu tersebut mempunyai keberpihakan pada geo/helio-sentris? Yang pasti adalah bapak-bapak tersebut akan selalu berpegang pada adanya kebenaran-kebenaran ilmiah (matematika), untuk bisa menjelaskan apa yang mereka amati. Tidak penting lagi geo/helio-sentris, tetapi lebih penting untuk bisa dijelaskan, sehingga bisa diterima sebagai suatu kebenaran yang ilmiah. Lalu apakah kebenaran ilmiah tersebut merupakan kebenaran absolut?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar