Minggu, 30 April 2023

Menelisik Sejarah Islam di Jepara

Sering kita dengar bahwa Jepara merupakan salah satu persinggahan Islam tertua di bumi nusantara. Jepara memiliki keunikan wilayah yang sangat potensial yaitu mempunyai wilayah pesisiran, kelautan dan wilayah pegunungan sekaligus juga wilayah kepulauan yang indah yaitu pulau Karimunjawa. 

Pertama kita awali dengan dakwah Rasulullah saw ke seluruh dunia setelah beliau diangkat menjadi Rasul terlebih setelah beliau mengadakan perjanjian Hudaibiyah. Beliau banyak mengutus sahabat-sahabat beliau untuk menyebar ke seantero jagad untuk mengantar surat beliau ke raja-raja di dunia.

Jepara dengan kerajaan Kalingganya yang dipimpin oleh Ratu Agung Shima salah satunya. Pelabuhan besar kerajaan keling sekarang di desa Bumiharjo Keling yang didirikan Ratu Shima menjadikan Jepara sebagai jalur perdagangan sutera yang diperhitungkan dunia internasional ketika itu.

Wilayah yang strategis di mana Kerajaan Kalingga tepatnya sekarang di desa Tulakan begitu diperhitungkan sedangkan pusat kotanya adalah tepatnya sekarang di desa Keling Bumiharjo. Banyak para pedagang-pedagang di seluruh dunia singgah untuk berdagang termasuk berdakwah oleh para Sahabat-sahabat Rasulullah saw.

Pertama kedatangan sahabat Sayyidina Ja’far bin Abi Thalib RA, berdakwah di Jepara, Kerajaan Kalingga, Jawa Tengah (Jawa Dwipa), Indonesia, sekitar tahun 626 M/ 4 H. Yang mengantarkan surat resmi dari Rasulullah saw kepada Ratu Shima (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, hlm.33).

Kedua, pada tahun 648-649 M yang sangat mencengangkan adalah Kartikeyasingha II memimpin Kalingga bersama Sri Ratu Sima, dinikahkan sendiri dan langsung oleh Sayyidina Ali bin Abi Tholib KW yang dibimbing bersama oleh Sayyidina Ali dan Sahabat Abdullah ibn Mas'ud RA.

Kemudian pada tahun 650-655 M di bawah bimbingan Sayyidina Ali bin Abi Tholib KW terbentuk jaringan silaturahmi Tace, Kalingga dan Tiongkok. Tace adalah sebutan dan panggilan penduduk Kalingga kepada ulama-ulama pada masa itu yang secara arab adalah Ustadz Syech atau disingkat Tace.

Ketiga, sebagaimana dicatat oleh buya Hamka adalah disinggahi oleh Sahabat Muawwiyah bin abi Sofyan RA yang pada tahun 674 M dengan diam-diam melanjutkan perjalanannya menuju tanah Jawa yaitu ke kerajaan Kalingga menyamar sebagai pedagang untuk melihat secara langsung kondisi riil pulau jawa khususnya kerajaan Kalingga Jepara yang dipimpin oleh Ratu Shima yang menerapkan hukuman potong tangan.

Keempat, dilanjutkan pada masa Khulafaurrosyidin terlebih pada masa kholifah Sayidina Umar bin Khotthob dan Kholifah Sayyidina Usman bin Affan jalinan dakwah dan perdagangan dengan kerajaan Kalingga semakin besar dan lancar.

Kelima pada tahun 732 M - Syekh Subakir (Muhammad Al-Baqir) datang ke pulau Jawa yang singgah dulu di pulau Karimunjawa untuk berdakwah dan menanam pohon yang terkenal sebagai salah satu jimat tanah Jawa yaitu pohon Kalimosodo, Dewadaru, Setigi yang kemudian diteruskan oleh mbah Sunan Nyamplungan atau di kenal dengan mbah Amir Hasan dan Mbah Sayyid Abdullah serta mbah Maulana Makdum Umar.

Selanjutnya beliau meneruskan perjalanan menuju Jepara singgah di beberapa tempat termasuk sekarang di desa Semat Teluk Awur yang juga beliau jimati tanah Jepara dengan Kayu Jati Lanang. Kemudian beliau meneruskan perjalanan ke bukit Tidar dan mendirikan pesantren di Bukit Tidar, Magelang, Jawa Tengah.

Keenam, pada zaman kerajaan Majapahit hadir seorang Muballig langsung dari persia ke Jepara, beliau adalah Syech Abdul Kholiq al Idrus bin Muhammad Al-Alsiy bin Abdul Muhyi Al-Khoiri bin Muhammad Akbar Al-Anshori bin Abdul Wahab bin Yusuf Al-Mukhrowi bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqoddam bin Ali bin Muhammad Shohibus Saumiah bin Alawi (Alwi) Awwal bin Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Isa Ar-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uroidhi bin Ja’far Ash-Shoddiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain As-Sabith bin Sayyidina Ali bin Abi Tholib + Sayyidah Fathimah Az-Zahro binti Nabi Muhammad saw.
 
Beliau menikahi Siti ‘Aisyah (Ratna Kusuma), putri dari Syekh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini. Dari pernikahan tersebut melahirkan Raden Muhammad Yunus yang kemudian menikah dengan seorang putri pembesar Majapahit di Jepara dipanggil dengan gelar Wong Agung Jepara. Dari pernikahan ini lahirlah seorang putra yang kemudian terkenal sangat cerdas dan pemberani bernama Abdul Qadir yang setelah menjadi menantu Sultan Demak I Raden Patah diberi gelar Adipati bin Yunus atau terkenal lagi sebagai Pati Unus yang kelak setelah gugur di Malaka di kenal masyarakat dengan gelar Pangeran Sabrang Lor.

Ketujuh, kedatangan Syech Sunan Mondoliko di Keling yang makamnya di pulau Mondoliko dan sekarang menjadi wilayah kecamatan Donorojo. Mbah Sunan Mondoliko adalah saudara mbah Asmorokondi. Jadi antara syech Abdul Kholiq al Idrus dengan Mbah Sunan Mondoliko adalah saudara peripian. Beliau merupakan ayah Sunan Ngudung Panglima Besar Kerajaan Demak. Beliau mbah Sunan Mondoliko mempunyai murid kesayangan adalah mbah Sunan Muria yang membantu beliau berdakwah di lereng gunung muria.

Kedelapan, setelah gugurnya Pangeran Sabrang lor, Jepara di pimpin oleh Sultan Hadirin beliau adalah Rois Wali Abdal zaman itu adalah putra dari Syech Maulana Ishaq beliau adalah seorang sultan yang menjadi lokomotif pemikiran sinergitas antara peningkatan ekonomi kerakyatan (ukir-ukiran, tenun, rotan, kemasan, monel, pertanian, kelautan) dan religiusitas yang di dampingi oleh Syech Abdul Jalil Sunan Jepara bin Sunan Ampel.

Kesembilan, setelah Sultan Hadirin wafat digantikan oleh Ratu Kalinyamat yang sangat cerdas dan pemberani beliau dengan gagah berani ikut berjuang mengusir portugis di malaka melalui ekspedisi angkatan lautnya.

Perjuangan beliau meningkatkan ekonomi rakyat begitu besar dengan mendirikan desa-desa sentra ekonomi yang mandiri serta masjid-masjid pathok negoro seperti masjid di kalinyamatan dan di mantingan.

Kesepuluh, pada zaman Pajang yang dipimpin oleh Pengeran Hadiwijoyo Joko Tingkir, Jepara menjadi penopang utama proses kesejahteraan rakyat melalui pelabuhannya untuk perdagangan, suplai kebutuhan baik ekspor dan impor kerajaan Pajang adalah melalui pelabuhan besar Jepara.

Kesebelas, setelah kerajaan Pajang dilanjutkan kerajaan Mataram Islam. Pada zaman Sultan Agung, Jepara menjadi bagian dari pengiriman kayu damar dari palembang ke Jawa  bahkan Istana kerajaan Mataram pertama kali yang membuat seluruh ornamennya adalah para pengukir pengukir handal dari Jepara.

Keduabelas, perjuangan dakwah Islam di Jepara tidak pernah berhenti dari abad ke 19 hingga abad ke 21 kita bisa mencatat guru para ulama Jawa Mbah sholeh Darat dari Mayong dan para alim dari wilayah Mayong, mbah Raden Ajeng Kartini, Mbah Yek De dari kalinyamatan, Mbah Hasbullah Balekambang, mbah yai Ridlwan dari Sowan Kidul, mbah Ali Pontren Darus Salam Potroyudan dll dilanjutkan Mbah Abdullah Hadziq Balekambang, Mbah Mawardi Bugel, mbah Abdul Qodir Potroyudan, Habib Ali mayong, Mbah Sahil, Mbah Aqib, mbah Masykuri, mbah Yasin Gleget, mbah Rosyid, mbah Fauzan, mbah Umar Bandungharjo dll dilanjutkan mbah Mahfudz Asmawi, mbah Amin Sholeh, mbah Afif Klomo, mbah Jauhar, mbah Ali Ahmadi, mbah Obed, mbah Mahfudz Shiddiq, mbah Kholil, mbah Khumaid, mbah Muhsin Ali, mbah Makmun Balekambang, mbah Masduqi Ridwan, mbah Ahmad Mawardi, mbah Miftah Abu, mbah Faqih, mbah Mudhofar, mbah Ali Irfan, mbah Mahmudi, mbah Tahrir, mbah Mustain, Habib Anis, Habib Ali, Habib Farid, Habib Abdurrahman, Habib Ahmad, Habib Abdullah al Hindwan, Habib Abdul Qodir, Habib Muhdhor, Habib Ismail dan lain lain.

Jadi, kesinambungan sanad perjuangan islam di tanah kadipaten Jepara merupakan modal dan kekuatan untuk membangun Jepara menjadi wilayah yang Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur gemah ripah loh jinawe nir ing sambi-kolo.

Sejarah ini yang harus kita ajarkan kepada anak-anak dan siswa-siswi kita di rumah maupun di sekolah/ madrasah agar mereka tahu perjuangan Islam di tanah Jepara tercinta. Jepara adalah bumi kita tempat mengabdi kita dan berjuang kita. Mari kita bergerak bersama, Jepara bisa.

__Hisyam Zamroni, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Keling Jepara

Sumber: http://www.soearamoeria.com/2015/08/menelisik-sejarah-islam-di-jepara.html?m=1

Minggu, 16 April 2023

Secara Jasmani di Badan 99% Orang Jawa Mengalir Darah Rasul SAW

Pada bulan Ramadhan tahun 2016 lalu, ada kajian rutin di laman YouTube bertajuk Ngaji Hikam – Spesial Ramadhan – bersama Gus Fuad Plered.

Ngaji Hikam yang dimaksud adalah forum kajian atas kitab Al Hikam karya Syekh Al Mukasysyaf Al Wali Abul Fadl Tajuddin Ahmad bin Muhammad bin Abdil Karim bin Athaillah Asakandari, yakni ulama asal Aleksandria, Mesir.

Ada beberapa hal menarik yang disampaikan oleh pemateri kajian, yakni Gus Fuad, khususnya pada kajian #9, sebagaimana yang juga disampaikan lewat akun Twitter NegeriSolawatNabi‏ @gus_fuad7093 bahwa:  Jk ditelusur dr jalur Ayah & Ibu, scr jasmani di badan 99% orang Jawa mengalir darah Rasul SAW (ngaji asal-usul kita)

Meski tak menjelaskan lebih lanjut terkait pernyataannya tersebut, namun Gus Fuad menegaskan bahwa apa yang disampaikannya merupakan sesuatu yang diyakininya, sebagaimana keyakinan bahwa dalam diri atau raga setiap manusia, sejak Nabi Adam hingga saat ini, ada ruh atau Nur Muhammad.

Lalu apa maksud sebenarnya dari pernyataan Gus Fuad yang menyebutkan, “jika ditelusur dari jalur Ayah dan Ibu, secara jasmani di badan 99% orang Jawa mengalir darah Rasul saw”? Bagaimana cara menelusuri bukti-bukti pendukung yang cukup dari pernyataan ini?

Di dalam Mitologi Jawa diceritakan bahwa salah satu leluhur Bangsa Sunda (Jawa) adalah Batara Brahma atau Sri Maharaja Sunda, yang bermukim di Gunung Mahera.

Selain itu, nama Batara Brahma, juga terdapat di dalam Silsilah Babad Tanah Jawi. Di dalam Silsilah itu, bermula dari Nabi Adam yang berputera Nabi Syits, kemudian Nabi Syits menurunkan Sang Hyang Nur Cahya, yang menurunkan Sang Hyang Nur RasaSang Hyang Nur Rasa kemudian menurunkan Sang Hyang Wenang, yang menurunkan Sang Hyang Tunggal. Dan Sang Hyang Tunggal, kemudian menurunkan Batara Guru, yang menurunkan Batara Brahma.

Berdasarkan pemahaman dari naskah-naskah kuno bangsa Jawa, Batara Brahma merupakan leluhur dari raja-raja di tanah Jawa.

Di dalam Kitab ‘al-Kamil fi al-Tarikh‘ tulisan Ibnu Athir, menyatakan bahwa Bani Jawi (yang di dalamnya termasuk Bangsa Sunda, Jawa, Melayu Sumatera, Bugis… dsb), adalah keturunan Nabi Ibrahim.

Bani Jawi sebagai keturunan Nabi Ibrahim, semakin nyata, ketika baru-baru ini, dari penelitian seorang Profesor Universiti Kebangsaaan Malaysia (UKM), diperoleh data bahwa, di dalam darah DNA Melayu, terdapat 27% Variant Mediterranaen (merupakan DNA bangsa-bangsa EURO-Semitik).

Variant Mediterranaen sendiri terdapat juga di dalam DNA keturunan Nabi Ibrahim yang lain, seperti pada bangsa Arab dan Bani Israil.

Sekilas dari beberapa pernyataan di atas, sepertinya terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Akan tetapi, setelah melalui penelusuran yang lebih mendalam, diperoleh fakta, bahwa Brahma yang terdapat di dalam Mitologi Jawa identik dengan Nabi Ibrahim.

Mitos atau Legenda, terkadang merupakan peristiwa sejarah. Akan tetapi, peristiwa tersebut menjadi kabur, ketika kejadiannya dilebih-lebihkan dari kenyataan yang ada.

Mitos Brahma sebagai leluhur bangsa-bangsa di Nusantara, boleh jadi merupakan peristiwa sejarah, yakni mengenai kedatangan Nabi Ibrahim untuk berdakwah, kemudian beliau beristeri Siti Qanturah (Qatura/Keturah), yang kelak akan menjadi leluhur Bani Jawi (Melayu Deutro).

Dan kita telah sama pahami bahwa, Nabi Ibrahim berasal dari bangsa ‘Ibriyah. Kata ‘Ibriyah berasal dari ‘ain, ba, ra atau ‘abara yang berarti menyeberang. Nama Ibra-him (alif ba ra-ha ya mim), merupakan asal dari nama Brahma (ba ra-ha mim).

Beberapa fakta yang menunjukkan bahwa Brahma yang terdapat di dalam Mitologi Jawa adalah Nabi Ibrahim, di antaranya:

  1. Nabi Ibrahim memiliki isteri bernama Sara, sementara Brahma pasangannya bernama Saraswati.
  2. Nabi Ibrahim hampir mengorbankan anak sulungnya yang bernama Ismail, sementara Brahma terhadap anak sulungnya yang bernama Atharva (Muhammad in Parsi, Hindoo and Buddhist, tulisan A.H. Vidyarthi dan U. Ali)
  3. Brahma adalah perlambang Monotheisme, yaitu keyakinan kepada Tuhan Yang Esa (Brahman), sementara Nabi Ibrahim adalah Rasul yang mengajarkan ke-Esa-an Allah.

Ajaran Monotheisme di dalam Kitab Veda, antara lain:

Yajurveda Ch. 32 V. 3 menyatakan bahwa tidak ada rupa bagi Tuhan, Dia tidak pernah dilahirkan, Dia yg berhak disembah

Yajurveda Ch. 40 V. 8 menyatakan bahwa Tuhan tidak berbentuk dan dia suci

Atharvaveda Bk. 20 Hymn 58 V. 3 menyatakan bahwa sungguh Tuhan itu Maha Besar

Yajurveda Ch. 32 V. 3 menyatakan bahwa tidak ada rupa bagi Tuhan

Rigveda Bk. 1 Hymn 1 V. 1 menyebutkan : kami tidak menyembah kecuali Tuhan yang satu

Rigveda Bk. 6 Hymn 45 V. 6 menyebutkan “sembahlah Dia saja, Tuhan yang sesungguhnya”

Dalam Brahama Sutra disebutkan: “Hanya ada satu Tuhan, tidak ada yg kedua. Tuhan tidak berbilang sama sekali”.

Ajaran Monotheisme di dalam Veda, pada mulanya berasal dari Brahma (Nabi Ibrahim). Jadi makna awal dari Brahma bukanlah Pencipta, melainkan pembawa ajaran dari yang Maha Pencipta.

  1. Nabi Ibrahim mendirikan Baitullah (Ka’bah) di Bakkah (Makkah), sementara Brahma membangun rumah Tuhan, agar Tuhan diingat di sana (Muhammad in Parsi, Hindoo and Buddhist, tulisan A.H. Vidyarthi dan U. Ali).

Bahkan secara rinci, kitab Veda menceritakan tentang bangunan tersebut:

Tempat kediaman malaikat ini, mempunyai delapan putaran dan sembilan pintu… (Atharva Veda 10:2:31)

Kitab Veda memberi gambaran sebenarnya tentang Ka’bah yang didirikan Nabi Ibrahim.


httpsTempat kediaman malaikat ini, mempunyai delapan putaran dan sembilan pintu… (Atharva Veda 10:2:31)

Kitab Veda memberi gambaran sebenarnya tentang Ka’bah yang didirikan Nabi Ibrahim.

Makna delapan putaran adalah delapan garis alami yang mengitari wilayah Bakkah, diantara perbukitan, yaitu Jabl Khalij, Jabl Kaikan, Jabl Hindi, Jabl Lala, Jabl Kada, Jabl Hadida, Jabl Abi Qabes dan Jabl Umar.

Sementara sembilan pintu terdiri dari : Bab Ibrahim, Bab al Vida, Bab al Safa, Bab Ali, Bab Abbas, Bab al Nabi, Bab al Salam, Bab al Ziarat dan Bab al Haram.

Peninggalan Nabi Ibrahim, sebagai Rasul pembawa ajaran Monotheisme, jejaknya masih dapat terlihat pada keyakinan suku Jawa, yang merupakan suku terbesar dari Bani Jawi.

Suku Jawa sudah sejak dahulu, mereka menganut monotheisme, seperti keyakinan adanya Sang Hyang Widhi atau Sangkan Paraning Dumadi.

Selain suku Jawa, pemahaman monotheisme juga terdapat di dalam masyarakat Sunda Kuno. Hal ini bisa kita jumpai pada Keyakinan Sunda Wiwitan. Mereka meyakini adanya ‘Allah Yang Maha Kuasa‘, yang dilambangkan dengan ucapan bahasa ‘Nu Ngersakeun‘ atau disebut juga ‘Sang Hyang Keresa‘.

Dengan demikian, adalah sangat wajar jika kemudian mayoritas Bani Jawi (khususnya masyarakat Jawa) menerima Islam sebagai keyakinannya. Karena pada hakikatnya, Islam adalah penyempurna dari ajaran Monotheisme (Tauhid) yang dibawa oleh leluhurnya, Nabi Ibrahim, yang juga merupakan leluhur Nabi Muhammad saw.

Mungkinkah ini pula yang dimaksud oleh Gus Fuad, baik secara tersurat maupun tersirat, bahwa di badan 99% orang Jawa mengalir darah Rasul saw? Wallahu ‘a’lam…

Sumber:

https://islamindonesia.id/kajian/secara-jasmani-di-badan-99-orang-jawa-mengalir-darah-rasul-saw.htm

Senin, 03 April 2023

Islam Masuk ke Nusantara Saat Rasulullah Hidup

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Banyak orang meyakini, Islam mulai masuk ke Indonesia pada abad ke-14 Masehi dibawa oleh para pedagang dari Gujarat, India. Teori itu pun tertulis di berbagai buku sejarah.

Teori yang dibawa oleh seorang orientalis Belanda bernama Snouck Hurgronje itu tidak sepenuhnya tepat. Pasalnya, sejumlah pakar sejarah dan arkeolog membuktikan, Islam sudah masuk ke Nusantara sejak Rasulullah SAW masih hidup.

Arkeolog dari Australia National University, Peter Bellwood, menemukan bukti-bukti yang menunjukkan telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Indonesia, dan Arab sebelum abad kelima Masehi. Pada tahun ini, Rasulullah belum lahir.

Bellwood menyebutkan, beberapa jalur perdagangan utama sudah berkembang sehingga dapat menghubungkan nusantara dengan Cina. Hal itu dibuktikan dengan adanya temuan tembikar Cina dan benda berbahan perunggu dari zaman Dinasti Han di Selatan Sumatra serta Jawa Timur.

Sejarawan GR Tibbetts turut mengakui keberadaan jalur perdagangan utama itu. Ia kemudian meneliti lebih dalam mengenai perdagangan yang terjadi antara pedagang asal Arab dengan pedagang dari kawasan Asia Tenggara sebelum Nabi Muhammad menyebarkan Islam.

Ia menemukan bukti-bukti adanya kontak perniagaan antara Jazirah Arab dan nusantara kala itu. Tibbets menulis, perdagangan terjadi karena kepulauan Indonesia menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke Cina sejak abad kelima Masehi. Maka, peta perdagangan utama di Selatan saat itu meliputi Arab-Nusantara-Cina.

Kemudian, sekitar 625 M atau 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama, di sebuah pesisir pantai Sumatra sudah ada perkampungan Arab Muslim. Waktu itu masih dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya.

Di perkampungan tersebut banyak orang Arab tinggal. Mereka menikahi perempuan-perempuan lokal dan beranak pinak di sana.

Tempat belajar Alquran dan Islam yang merupakan cikal bakal lahirnya madrasah dan pesantren pun didirikan di perkampungan itu. Tempat tersebut dianggap pula sebagai rumah ibadah atau masjid.

Profesor Hamka memperkuat temuan di atas dengan menyebut seorang pencatat sejarah asal Cina yang mengembara pada 674 M. Ia mengatakan, pengembara itu menemukan satu kelompok bangsa Arab yang mendirikan perkampungan sekaligus bermukim di pesisir barat Sumatra.

Dijelaskan, kampung bernama Barus itu terletak di antara Kota Singkil dan Sibolga atau sekitar 414 kilometer dari Medan. Pada masa Sriwijaya, Kota Barus masuk dalam wilayahnya.

Namun, setelah Sriwijaya mengalami kemunduran lalu digantikan oleh kerajaan Aceh Darussalam, Barus masuk ke wilayah Aceh. Kabarnya, para pedagang Arab hidup berkecukupan serta memiliki kedudukan baik di Barus.

Menurut Hamka, penemuan tersebut mengubah pandangan orang mengenai sejarah masuknya Islam ke Tanah Air. Penemuan ini, kata dia, sudah dipastikan pula kebenarannya oleh para sejarawan dunia Islam di Princetown University di Amerika Serikat.

Sumber:

https://khazanah.republika.co.id/berita/pywgei313/islam-masuk-ke-nusantara-saat-rasulullah-hidup

Minggu, 02 April 2023

Kisah Ratu Shima dan Masuknya Islam di Tanah Jawa

Nama Ratu Shima cukup dikenal karena ketegasan dan keadilannya dalam memerintah Kerajaan Kalingga di Abad ke 7 masehi. Ratu Shima merupakan penguasa Kerajaan Kalingga terletak di pantai utara Jawa Tengah, sekitar Jepara sekarang.

Berdasarkan literatur Ratu Shima lahir tahun 611 M di sekitar Musi Banyuasin, Sumatera Selatan dia merupakan isteri Raja Kartikeyasinga yang menjadi Raja Kalingga (648 - 674) M. 

Ketika suaminya, Raja Kartikeyasinga meninggal, Sang Ratu naik tahta Kerajaan Kalingga dengan gelar Sri Maharani Mahissasuramardini Satyaputikeswara. Dari Perkawinan Kartikeyasingha dengan Shima melahirkan dua orang anak, yaitu Parwati dan Jay Sima.

Berdasarkan dokumentasi surat menyurat milik Kekhalifahan Bani Umayyah yang disimpan di Museum Granada, Spanyol. Diketahui jika Khalifah Utsman bin Affan ketika itu sempat mengutus armada lautnya yang dipimpin Muawiyah bin Abu Sufyan untuk melakukan ekspedisi mengenalkan Islam ke daratan China termasuk ke Nusantara (Kepulauan Indonesia tempo dulu). 

Lalu armada laut yang dipimpin Muawiyah bin Abu Sufyan ini sempat singgah di Pantai Utara Jawa yang ketika itu berada dalam wilayah Kerajaan Kalingga. 

Muawiyah bin Abu Sufyan yang dikemudian hari menjadi Khalifah Islam (pendiri Bani Umayyah) ini sebelumnya mendengar kabar ada Kerajaan Hindu di seberang lautan yang diperintah oleh seorang raja wanita yang bijaksana. Namun walau bercorak Hindu, Agama Budha juga berkembang secara harmonis di tanah Kalingga pada saat dipimpin ratu Shima. 

Pamor Ratu Shima dalam memimpin kerajaannya sangat luar biasa, amat dicintai rakyat jelata hingga lingkaran para elit kekuasaan. Bahkan konon tak ada satu warga anggota kerajaan pun yang berani berhadapan muka dengannya, apalagi menantang. Hal itu disebabkan oleh kharisma dari sang ratu sendiri yang luarbiasa, sehingga siapapun amat segan kepadanya.


Sang Ratu juga telah menerapkan hukum yang keras dan tegas untuk memberantas pencurian dan kejahatan, serta untuk mendorong agar rakyatnya senantiasa jujur. 

Kabar mengenai kebijakan dan kejujuran Ratu Shima ini diperoleh dari para pedagang Arab yang telah sampai ke Kerajaan Kalingga.

Konon dari para pedagang Arab inilah Ratu Shima juga mendengar ajaran tauhid yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Hal ini dimungkinkan karena Kerajaan Kalingga memiliki hubungan perdagangan dengan Bangsa Arab dan Gujarat lewat pesisir Pantai Utara Jawa.

Bahkan konon hasil kunjungan damai dan persahabatan dari rombongan armada laut yang dipimpin Muawiyah bin Abu Sufyan ini adalah, Pangeran Jay Sima, putra Ratu Shima, masuk memeluk agama Islam. (Sumber : Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya sampai sekarang; Karangan H Zainal Abidin Ahmad, Bulan Bintang, 1979). 

Salah satu cerita yang populer mengenai kebijaksanaan Ratu Shima dan banyak diketahui masyarakat hingga kini adalah ketika ada seorang raja asing yang meletakkan kantung berisi emas di tengah-tengah persimpangan jalan dekat alun-alun ibu kota Kerajaan Kalingga. 

Raja asing tersebut melakukan hal itu karena dia mendengar kabar tentang kejujuran dari rakyat Kalingga dan berniat menguji kebenaran kabar itu. 

Tidak seorangpun berani menyentuh kantung yang bukan miliknya itu selama lebih dari tiga tahun, hingga pada suatu hari ada seorang putra Ratu Shima, secara sengaja menyentuh kantung itu – bukan untuk mencurinya, namun hanya sebatas menyentuh saja. 

Mengetahui hal tersebut Ratu Shima lalu menjatuhkan hukuman mati untuk putranya, akan tetapi para pejabat dan menteri kerajaan memohon agar Sang Ratu mau mengurungkan niatnya itu dan mengampuni sang pangeran. Maka Ratu pun menjatuhkan hukuman memotong satu ruas jari tangan sang pangeran.

Sumber:

https://www.google.com/amp/s/daerah.sindonews.com/beritaamp/1204745/29/kisah-ratu-shima-dan-masuknya-islam-di-tanah-jawa

Temuan Kapal Arab di Rembang Menjadi Bukti Kehadiran Pedagang Islam pada Abad VII

Oleh : Dr Kasori Mujahid 
    (Pemerhati Sejarah) 

REPUBLIKA.CO.ID, Saya bersama Tim Lontar Nusantara melakukan rihlah ilmiah ke Rembang pada 6-7 Oktober 2021. Di Desa Punjulharjo, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, kami berkunjung ke museum perahu kuno yang oleh Balai Arkeologi Yogyakarta perahu ini diperkirakan dipakai pada Abad VII-VIII Masehi. Perahu kuno ditemukan di pantai Desa Punjulharjo, yang terletak tujuh kilometer dari Kota Rembang, pada tahun 2008. Kapal ini berukuran panjang 15 meter, lebar 4,6 m dan dapat memuat kapasitas 24 orang. 

Kita mengetahui bahwa pada abad-abad ini hubungan antara Jawa dan Jazirah Hindia (sebutan Indonesia di masa lalu hingga penjajah Belanda terusir) dengan China (Dinasti Tang) dan Muslim Arab (di masa Kekhalifahan Abbasiyah, 750-1258M) sangat maju. Banyak kapal Arab yang berlayar dan berlabuh di China dan Nusantara (demikian juga sebaliknya) membawa barang-barang dagangan dan dipasarkan ke Arab, Afrika, dan Eropa. 

Melihat bentuk, ukuran dan arsitektur dari perahu kuno ini dimungkinkan bahwa kapal ini adalah perahu Arab. Seperti yang ditulis Guillan dalam Documents de L'Historie Le Geodraphie, Sauqi Abdul Qowi Utsman dalam Tijarah al-Muhith al-Hindi, dan Buzurk Ibnu Syahriyan dalam "Ajaib al-Hindi yang menyatakan bahwa sejak lama orang-orang Arab telah memegang kendali perdagangan maritim seluruhnya, terutama ke Timur. 

Hanya kapal-kapal Arab yang mengarungi Samudera Hindia umumnya. Menurut Sauqi, pada masa Abassiyah, Samudera Hindia layaknya danau bagi kapal-kapal Arab. Di bawah otoritas Abbasiyah, kota-kota pelabuhan di sepanjang pesisir Arab, India, Kepulauan Melayu, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku, Filipina hingga Kanton menjadi kota-kota metropolitan. 

Pelancong Arab (Oman) yang terkenal pada masa ini, Abu Obaida Abdullah Bin Al Qassim yang berlayar ke pelabuhan Guangzhou (Kanton) di China pada tahun 750 M. Sejak Oman menjadi bagian dari kerajaan perdagangan maritim Samudra Hindia yang kuat, maka pada 2010 otoritas Oman Maritime membentuk proyek The Jewel of Muscat, dengan membangun kembali kapal kayu tradisional yang dipakainya pada Abad VIII-IX.

Kapal ini dibangun dengan cara tradisional menggunakan sabut (ijuk) kelapa sebagai tali (tetapi tanpa paku) untuk menyatukan kapal. Tali ini cukup elastis untuk bertahan dalam perjalanan laut, dan cenderung mengembang saat basah (terkena air). Sebagai perekat (lem), pembuat kapal Oman mengoleskan minyak hati ikan hiu pada bagian kayu kapal. 

Dengan mengendarai replika kapal dagang Oman Abad IX yang ditemukan di lepas pantai Indonesia, kapal ini berlayar mengikuti rute lama yang digunakan oleh para pedagang Arab untuk melestarikan warisan maritim negara itu. Membaca perdagangan maritim yang sangat maju sejak Abad VII Masehi antara Arab, India, Kepulauan Hindia (Nusantara), dan China, maka sangat mungkin jika penemuan kapal Arab di Rembang menjadi "bukti" sudah hadirnya para pedagang Islam pada Abad VII-VIII di Kerajaan Kalingga (Keling) yang berpusat di Jepara. 

Sumber:
https://m.republika.co.id/berita/r24rcn483/jepara-dan-dunia-islam-abad-ke-7