BAB 4: Bid’ah yang dipermasalahkan


Kamera Digital Mini




Daftar isi Bab 4 ini diantaranya:


Apa yang dimaksud Bid'ah dalam hadits Rasulallah saw.?






  • Contoh-contoh Bid’ah yang diamalkan para Sahabat pada zaman Nabi saw.



  • Dalil-dalil yang berkaitan dengan Qadha dalam Sholat



  • Sholat sunnah Qabliyah (sebelum) sholat Jum’at



  • Dalil dan Sunnah memegang tongkat waktu berkhotbah



  • Mengangkat tangan waktu berdo'a



  • Menyebut nama Rasul saw.dengan awalan kata sayyidina



  • Mengusap wajah seusai berdo'a



  • Penggunaan Tasbih waktu berdzikir bukanlah bid’ah sesat.



  • Keterangan singkat membaca Qunut dalam sholat Shubuh dan dalil-dalinya



  • Tempat qunut, sesudah atau sebelum ruku'?



  • Hukum mengangkat tangan waktu qunut



  • Mengusap wajah sesudah qunut dalam shalat



  • Lafadh doa qunut



  • Alasan orang-orang yang membantah dan jawabannya 









  • {{ Buku baru yang berjudul Kamus Syirik (Edisi Revisi Telaah Kritis atas doktrin faham Wahabi/Salafi) ,sekitar 512 halaman ukuran 17x25cm, ALHAMDULILLAH, SUDAH TERBIT BULAN AGUSTUS 2009.  Buku ini belum beredar merata di Indonesia, bagi peminat mungkin bisa datang pada toko-toko kitab di jl. Sasak, Surabaya, toko Gramedia atau bisa hubungi pengedar buku tersebut, telefon nr. (62) 31 60604235}}. 

    Daftar Isi kitab kamus syirik ,mengingat jumlah halaman buku, tidak selengkap isi website kami ini, tetapi cukup untuk menjelaskan dalil-dalil amalan yang dikerjakan oleh golongan ahlus Sunnah wal jamaah dan amalan yang sering diteror oleh golongan pengingkar, misalnya tawassul/tabarruk, taklid imam madzhab, ziarah kubur, peringatan2 keagamaan, majlis dzikir dan lain sebagainya.  




    Sunnah dan bid’ah adalah dua soal yang saling berhadap-hadapan dalam memahami ucapan-ucapan Rasulallah saw. sebagai Shohibusy-Syara’ (yang berwenang menetapkan hukum syari’at). Sunnah dan bid’ah masing-masing tidak dapat ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali jika yang satu sudah ditentukan batas pengertian nya lebih dulu. Tidak sedikit orang yang menetapkan batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu batas pengertian sunnah 

    Karena itu mereka terperosok kedalam pemikiran sempit dan tidak dapat keluar meninggalkannya, dan akhirnya mereka terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan dengan pengertian mereka sendiri tentang bid’ah. Seandainya mereka menetapkan batas pengertian sunnah lebih dulu, tentu mereka akan memperoleh kesimpulan yang tidak berlainan. Umpamanya dalam hadits berikut ini tampak jelas bahwa Rasulallah saw. menekankan soal sunnah lebih dulu, baru kemudian memperingatkan soal bid’ah. 
    Hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim dalam shohihnya dari Jabir ra. bahwa Rasulallah saw. bila berkhutbah tampak matanya kemerah-merahan dan dengan suara keras bersabda: ‘Amma ba’du, sesungguhnya tutur kata yang terbaik ialah Kitabullah (Al-Qur’an) dan petunjuk (huda) yang terbaik ialah petunjuk Muhammad saw. Sedangkan persoalan yang terburuk ialah hal-hal yang diada-adakan (yang berlawanan dengan sunnah Rasulallah saw), dan setiap hal yang diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat’. (diketengahkan juga oleh Imam Bukhori hadits dari Ibnu Mas’ud ra).

    Makna hadits diatas ini diperjelas dengan hadits berikut ini, yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari Jarir ra bahwa Rasulallah saw bersabda: ‘Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kebajikan ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga. Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kejahatan ia memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga’ (Shohih Muslim V11 hal.61... Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan lainnya). Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah hasanah dan Bid’ah dhalalah.

    Nabi saw mengetahui bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman ─modernisasi, merajalela kemaksiatan, bermacam-macam adat istiadat dan lain sebagainya─ maka dibolehkannya hal-hal yang baru, yang diadakan ─selama berada dalam kebaikan dan tidak keluar dari garis-garis yang telah ditentukan oleh syariát Islam─, demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan. Demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini, yang tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman.

    Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits terakhir diatas ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman syariah, karena hadits diatas jelas sekali tidak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, ini terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah yang diamalkan oleh para Sahabat dan Tabi’in (baca uraian selanjutnya). Begitu juga kaidah pokok yang telah disepakati bulat oleh para ulama menetapkan; ‘Pengertian berdasarkan keumuman lafadh, bukan ber- dasarkan kekhususan sebab’.

    Dari hadits Jabir yang pertama diatas kita mengetahui dengan jelas bahwa Kitabullah dan petunjuk Rasulallah saw, berhadap-hadapan dengan bid’ah, yaitu sesuatu yang diada-adakan yang menyalahi Kitabullah dan petunjuk Rasulallah saw. Dari hadits berikutnya kita melihat bahwa jalan kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-hadapan dengan jalan kejahatan (sunnah sayyiah). Jadi jelaslah, bahwa yang pokok adalah Sunnah, sedangkan yang menyimpang dan berlawanan dengan sunnah adalah Bid’ah dholalah.

    - Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam kitab Mufradatul-Qur’an Bab Sunan hal.245 mengatakan: ‘Sunan adalah jamak dari kata sunnah. Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnah Rasulallah saw berarti Jalan Rasulallah saw. yaitu jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau saw. Sunnatullah dapat diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan mentaati-Nya. Contoh firman Allah swt dalam surat Al-Fatah : 23 : ‘Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu. Kalian tidak akan menemukan perubahan pada Sunnatullah itu’ . Penjelasannya ialah bahwa cabang-cabang hukum syari’at sekalipun berlainan bentuknya, tetapi tujuan dan maksudnya tidak berbeda dan tidak berubah, yaitu membersih- kan jiwa manusia dan mengantarkan kepada keridhoan Allah swt. Demikianlah Ar-Raghib Al-Ashfahani.

    - Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratul Mustaqim hal.76 mengatakan: ‘Sunnah Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat jahiliyyah. Jadi kata sunnah dalam hal itu berarti adat kebiasaan yaitu jalan atau cara yang berulang-ulang dilakukan oleh orang banyak, baik mengenai soal-soal yang dianggap sebagai peribadatan maupun yang tidak dianggap sebagai peribadatan’.

    - Demikian juga dikatakan oleh imam Al-Hafidh didalam Al-Fath dalam tafsirnya mengenai makna kata Fithrah. Ia mengatakan, bahwa beberapa riwayat hadits menggunakan kata sunnah sebagai pengganti kata fithrah, dan bermakna thariqah atau jalan. Imam Abu Hamid dan Al-Mawardi juga mengartikan kata sunnah dengan thariqah (jalan).

    Karena itu kita harus dapat memahami sunnah Rasulallah saw dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi pada zamannya, yaitu persoalan-persoalan yang tidak di lakukan, tidak diucapkan dan tidak diperintahkan oleh beliau saw., tetapi dipahami dan diamalkan oleh orang-orang yang berijtihad menurut kesanggupan akal pikirannya dengan tetap berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulallah saw. 
    Kita juga harus mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu agar kita dapat memahami jalan atau sunnah yang ditempuh Rasulallah saw dalam membenarkan, menerima atau menolak sesuatu yang diamalkan orang. Dengan mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu kita dapat mempunyai keyakinan yang benar dalam memahami sunnah beliau saw mengenai soal-soal baru  yang terjadi sepeninggal Rasulallah saw. Mana yang baik dan sesuai dengan Sunnah beliau saw., itulah yang kita namakan Sunnah, dan mana yang buruk, tidak sesuai dan bertentangan dengan Sunnah Rasulallah saw, itulah yang kita namakan Bid’ah dholalah. Ini semua baru dapat kita ketahui setelah kita dapat membedakan lebih dahulu mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.

    Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa sesuatu kejadian yang dibiarkan (tidak dicela dan tidak dilarang) oleh Rasulallah saw. termasuk kategori sunnah. Itu memang benar, akan tetapi kejadian yang dibiarkan oleh beliau itu merupakan petunjuk juga bagi kita untuk dapat mengetahui bagaimana cara Rasulallah saw. membiarkan atau menerima kenyataan yang terjadi. Perlu juga diketahui bahwa banyak sekali kejadian yang dibiarkan Rasulallah saw. tidak menjadi sunnah dan tidak ada seorangpun yang mengatakan itu sunnah. Sebab, apa yang diperbuat dan dilakukan oleh beliau saw. pasti lebih utama, lebih afdhal dan lebih mustahak di-ikuti. Begitu juga suatu kejadian atau perbuatan yang didiamkan atau dibiarkan oleh beliau saw merupakan petunjuk bagi kita bahwa beliau saw tidak menolak sesuatu yang baik, jika yang baik itu tidak bertentangan dengan tuntunan dan petunjuk beliau saw. serta tidak mendatangkan akibat buruk!  Itulah yang dimaksud oleh kesimpulan para ulama yang mengatakan, bahwa sesuatu yang diminta oleh syara’ ,baik yang bersifat khusus maupun umum, bukanlah bid’ah, kendati pun sesuatu itu tidak dilakukan dan tidak diperintahkan secara khusus oleh Rasulallah saw.!

    Mengenai persoalan itu banyak sekali hadits shohih dan hasan yang menunjukkan bahwa Rasulallah saw sering membenarkan prakarsa baik (umpama amal perbuatan, dzikir, do’a dan lain sebagainya, yang tidak pernah diperintahkan oleh beliau saw sebelumnya) yang diamalkan oleh para sahabatnya.(silahkan baca uraian selanjutnya).
    Tidak lain para sahabat mengambil prakarsa dan mengerjakannya berdasarkan pemikiran dan keyakinannya sendiri, bahwa yang dilakukannya itu merupakan kebajikan yang dianjurkan oleh agama Islam dan secara umum diserukan oleh Rasulallah saw. Mereka juga berpedoman pada firman Allah swt. dalam surat Al-Hajj:77: ‘Hendaklah kalian berbuat kebajikan, agar kalian memperoleh keberuntungan’ . 
    Walaupun para sahabat berbuat amalan atas dasar prakarsa masing-masing, itu tidak berarti setiap orang dapat mengambil prakarsa, karena agama Islam mempunyai kaidah-kaidah dan pedoman-pedoman yang telah ditetapkan batas-batasnya. Amal kebajikan yang prakarsanya diambil oleh para sahabat Nabi saw. berdasarkan ijtihad dapat dipandang sejalan dengan sunnah Rasulallah saw. jika amal kebajikan itu sesuai dan tidak bertentangan dengan syari’at. Jika menyalahi ketentuan syari’at maka prakarsa itu tidak dapat dibenarkan dan harus ditolak !
    Pada dasarnya semua amal kebajikan yang sejalan dengan tuntutan syari’at, tidak bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw, dan tidak mendatangkan madharat/akibat buruk, tidak dapat disebut Bid’ah menurut pengertian istilah syara’. Nama yang tepat adalah Sunnah Hasanah, sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rasulallah saw yang lalu. Amal kebajikan seperti itu dapat disebut ‘Bid’ah’ hanya menurut pengertian bahasa, karena apa saja yang baru diadakan disebut dengan nama Bid’ah.

    Ada orang berpegang bahwa istilah bid’ah itu hanya satu saja dengan berdalil sabda Rasulallah saw. “Setiap bid’ah adalah sesat...” (Kullu bid’atin dholalah), serta tidak ada istilah bid'ah hasanah, wajib dan sebagainya. Setiap amal yang dikategorikan sebagai bid'ah, mereka hukumkan haram untuk diamalkan, karena bid'ah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang haram dikerjakan secara mutlak. Sayangnya mereka ini tidak mau berpegang kepada hadits–hadits lain (ikutilah uraian selanjut nya), yang membuktikan sikap Rasulallah saw yang membenarkan dan meridhoi berbagai amal kebajikan tertentu (yang baru ‘diadakan’), yang diamalkan para sahabatnya, yang sebelum dan sesudahnya tidak ada perintah dari beliau saw.!
    Disamping itu banyak sekali amal kebajikan yang diamalkan ,setelah wafatnya Rasulallah saw, oleh isteri Nabi saw ,'Aisyah ra, Khalifah 'Umar bin Khattab serta para sahabat lainnya  yang mana amalan-amalan ini tidak pernah adanya petunjuk dari Rasulallah saw dan mereka kategorikan atau ucapkan sendiri sebagai amalan  bid'ah. Tidak ada satupun dari para sahabat yang mencela atau mengatakan kepada mereka ini, bahwa sebutan bid'ah itu adalah otomatis haram, sesat dan tidak ada kata bid'ah selain haram. Untuk mencegah timbulnya kesalah-pahaman mengenai kata Bid’ah itulah para Imam dan ulama Fiqih memisahkan makna Bid’ah menjadi beberapa jenis, misalnya:       

     Menurut imam Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang menjelaskannya.

    Pertama, riwayat Abu Nu’aim;

    اَلبِدْعَة ُبِدْعَتَانِ , بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوم                                                
                                              
    Artinya: ‘Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela’.

    Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :

                      . اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ
     وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْر مَذْمُوْمَةٌ                                           

    Artinya: 'Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang menyalahi Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’, inilah bid’ah dholalah/sesat. Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.

     Didalam kitab tafsir Imam Qurtubi juz. 2 halaman 86-87 mengatakan: “ Imam Syafi’i berkata, bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih: ‘inilah sebaik-baik bid’ah’ “. Selanjutnya Al-Hafidh Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubi rahimahullah berkata:
    “Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafi’i), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yg berbunyi: ‘seburuk buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah’ (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw., atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya: ‘Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barang siapa membuat-buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosa dan dosa orang yg mengikutinya’ (Shahih Muslim hadits no.1017--red), dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik (hasanah) dan bid’ah yang sesat (dholalah)”. (Tafsir Imam Qurtubi juz 2 hal. 87)

    Menurut kenyataan memang demikian, ada bid’ah yang baik dan terpuji dan ada pula bid’ah yang buruk dan tercela. Banyak sekali para Imam dan para pakar yang sependapat dengan Imam Syafi’i itu. Bahkan banyak lagi yang menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti; Imam Nawawi, Imam Ibnu ‘Abdussalam, Imam Al-Qurafi, Imam Ibnul-‘Arabi, Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar dan lain-lain.

     Al-Muhaddits Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawi rahimahullah (Imam Nawawi) “Penjelasan mengenai hadits: ‘Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang dosanya….’, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw: ‘semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua yang Bid’ah adalah sesat’, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid’ah yang tercela ” . (Syarh An-nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105).
    Dan berkata pula Imam Nawawi:
    “Bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi lima bagian, yaitu bid’ah wajib, bid’ah mandub, bid’ah mubah, bid’ah makruh dan bid’ah haram. Bid’ah wajib contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemungkaran, contoh bid’ah mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggal kan) adalah membuat buku-buku ilmu syariah, membangun majelis ta’lim dan pesantren. Contoh bid’ah mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan dan bid’ah makruh dan haram sudah jelas di ketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jama’ah tarawih bahwa ‘inilah sebaik-baik bid’ah’ ”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)         

     Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari 4/318 sebagai berikut: “Pada asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat bahwa bid’ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh syara’, maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima”.           
    Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini :
    Jalaluddin as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii ‘Amalil Maulid dan juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih; Az-Zarqooni dalam Syarah al Muwattho’ ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa’id ; As-Syaukani dalam Nailul Author ; Ali al Qoori’ dalam Syarhul Misykaat; Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan masih banyak lagi ulama lainnya yang senada dengan Ibnu Hajr ini, yang tidak kami kutip disini.

    Ada golongan lagi yang tidak mengakui adanya bid'ah hasanah/mahmudah, tetapi mereka sendiri ada yang membagi bid'ah menjadi beberapa macam. Ada bid'ah mukaffarah (bid'ah kufur),  bid'ah muharramah (bid'ah haram) dan bid'ah makruh (bid'ah yang tidak disukai). Mereka tidak menetapkan adanya bid'ah mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum syari'at, atau seolah-olah bid'ah diluar bidang ibadah tidak perlu dibicarakan.          
    Bila semua bid’ah (masalah yang baru) adalah dholalah/sesat atau haram, maka amalan-amalan para sahabat serta para ulama ,berikut ini, yang belum pernah dilakukan atau diperintahkan Rasulallah saw. semuanya itu akan menjadi sesat/dholalah atau haram, misalnya antara lain:

    a). Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an, penulisannya serta pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai Mushhaf  (Kitab) yang dilakukan oleh sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit [ra] adalah haram. Padahal tujuan mereka untuk menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir kemungkinan ada ayat-ayat Al-Qur’an yang hilang karena orang-orang yang menghafalnya meninggal.

    b). Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih bermakmum pada seorang imam adalah haram. Bahkan ketika itu beliau sendiri  berkata : ‘Bid’ah ini sungguh nikmat’. ( Shohih Bukhori hadits nr.1906)  

    c).  Pemberian gelar atau titel kesarjanaan seperti; doktor, drs dan sebagainya pada universitas Islam adalah haram, karena pada zaman Rasulallah saw. cukup banyak para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tidak satupun dari mereka memakai titel dibelakang namanya.

    d).  Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah sakit, panti asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara untuk mengurung orang  yang bersalah berbulan-bulan atau bertahun-tahun baik itu kesalahan kecil maupun besar dan sebagainya adalah haram. Sebab dahulu orang yang bersalah diberi hukumannya tidak harus dikurung dahulu. 

    e). Tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at, yang dilaksanakan pada zamannya khalifah Usman ra. Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat Jum’at baik di Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-negara Islam lainnya. Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman karena bertambah banyaknya ummat Islam (HR,Bukhori hadits nr.873) .

    f).  Menata ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada huruf-hurufnya, memberi nomer pada ayat-ayatnya. Mengatur juz dan rubu’nya dan tempat-tempat dimana dilakukan sujud tilawah, menjelaskan ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan sebagainya.

    g). Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah swt. kepada ummat Muhammad saw. Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa dilaku- kan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesawat-pesawat tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, roket-roket dan persenjataan modern lainnya.
               
    Masih banyak lagi contoh bid’ah ,yang berkaitan dengan peribadatan, seperti mengadakan bacaan syukuran waktu memperingati hari kemerdekaan, halal bihalal, memperingati hari ulang tahun berdirinya sebuah negara atau pabrik dan sebagainya (pada waktu memperingati semua ini, mereka sering mengadakan bacaan syukuran), yang mana semua ini belum pernah dilakukan pada masa hidupnya Rasulallah saw serta para pendahulu kita dimasa lampau. Juga didalam manasik haji banyak kita lihat dalam hal peribadatan tidak sesuai dengan zamannya Rasulallah saw atau pada zamannya para sahabat dan tabi'in, umpamanya; pembangunan hotel-hotel disekitar Mina dan tenda-tenda yang pakai full a/c sehingga orang tidak akan kepanasan dan nyenyak tidur, peluasan lokasi pelemparan jumrah, menaiki mobil/bis yang tertutup (beratap) untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat yang dituju untuk manasik Haji tersebut dan lain sebagainya. 
    Sesungguhnya bid'ah (masalah baru) tersebut ,walaupun tidak pernah dilakukan pada masa Nabi saw. serta para pendahulu kita, selama masalah ini tidak menyalahi syari’at Islam, bukan berarti otomatis haram untuk dilakukan. Kalau semua masalah baru tersebut dianggap bid’ah dholalah (sesat), maka akan tertutup pintu ijtihad para ulama, terutama pada zaman sekarang tehnologi yang sangat maju sekali serta agama islam tersebar hampir diseluruh dunia sehingga akan berhadapan dengan bermacam-macam adat istiadat umat setempat, tapi alhamdulillah pikiran dan akidah sebagian besar umat muslim tidak sedangkal itu.
    Semua amal kebaikan yang dilakukan para sahabat, kaum salaf sepeninggal Rasulallah saw telah diteliti para ulama dan diuji dengan Kitabullah, Sunnah Rasulallah saw dan kaidah-kaidah hukum syari’at. Dan setelah diuji ternyata baik, maka prakarsa tersebut dinilai baik dan dapat diterima. Sebaliknya, bila setelah diuji ternyata buruk, maka hal tersebut dinilai buruk dan dipandang sebagai bid’ah tercela.

    Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha'us Shiratil-Mustaqim banyak menyebutkan bentuk-bentuk kebaikan dan sunnah yang dilakukan oleh generasi-generasi yang hidup pada abad-abad permulaan Hijriyyah dan zaman berikutnya. Kebajikan-kebajikan yang belum pernah dikenal pada masa hidupnya Nabi Muhammad saw. itu diakui kebaikannya oleh Ibnu Taimiyyah. Beliau tidak melontarkan celaan terhadap ulama-ulama terdahulu yang mensunnahkan kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Abbas, Umar bin Khattab dan lain-lainnya. Diantara kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal diantaranya : Mensunnahkan orang berhenti sejenak disebuah tempat dekat gunung 'Arafah sebelum wukuf dipadang 'Arafah bukannya didalam masjid tertentu sebelum Mekkah , mengusap-usap mimbar Nabi saw. didalam masjid Nabawi di Madinah, dan lain sebagainya.
    Ibnu Taimiyyah membenarkan pendapat kaum muslimin di Syam yang mensunnahkan shalat disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha (Palestina), tempat khalifah Umar dahulu pernah menunaikan sholat. Padahal sama sekali tidak ada nash mengenai sunnahnya hal-hal tersebut diatas. Semuanya hanyalah pemikiran atau ijtihad mereka sendiri dalam rangka usaha memperbanyak kebajikan, hal mana kemudian diikuti oleh orang banyak dengan i’tikad jujur dan niat baik.
    Meskipun begitu, dikalangan muslimin pada masa itu tidak ada yang mengatakan: "Kalau hal-hal itu baik, tentu sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada zaman sebelumnya” (perkataan semacam ini sering diungkapkan oleh golongan pengingkar, terutama golongan Salafi/Wahabi)
    Masalah-masalah serupa itu banyak disebut oleh Ibnu Taimiyyah dikitab Iqtidha ini, antara lain soal tawassul (doa perantaran) yang dilakukan oleh isteri Rasulallah saw  ,Aisyah ra, yaitu; ketika ia membuka penutup makam Nabi saw lalu sholat istisqa (sholat mohon hujan) ditempat itu, tidak beberapa lama turunlah hujan di Madinah, padahal tidak ada nash sama sekali mengenai cara-cara seperti itu. Walaupun itu adalah hal yang baru (bid'ah) tapi dipandang baik oleh kaum muslimin, dan tidak ada sahabat yang mencela dan mengatakan bid’ah dholalah/sesat.

    Sebuah hadits yang diketengahkan oleh imam Bukhori dalam shohihnya jilid 1 halaman 304 dari Siti 'Aisyah ra., bahwasanya ia selalu sholat Dhuha, padahal Aisyah ra. sendiri berkata bahwa ia tidak pernah menyaksikan Rasulallah saw. sholat dhuha.
    Pada halaman 305 dibuku ini Imam Bukhori juga mengetengahkan sebuah riwayat yang berasal dari Mujahid yang mengatakan: "Saya bersama Úrwah bin Zubair masuk kedalam masjid Nabi saw.. Tiba-tiba kami melihat Abdullah bin Zubair sedang duduk dekat kamar 'Aisyah ra dan banyak orang lainnya sedang sholat dhuha. Ketika hal itu kami tanyakan kepada 'Abudllah bin Zubair (mengenai sholat dhuha ini) ia menjawab : "Bid'ah". 
    Kami hanya memberi contoh sholat dhuha, tetapi tidak bermaksud untuk membahasnya dalam website ini.

    Aisyah ra seorang isteri Nabi saw. yang terkenal cerdas, telah mengatakan sendiri bahwa dia sholat dhuha tetapi menurut kesaksiannya Nabi saw. tidak pernah mengamalkannya. Begitu juga 'Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mengucapkan kata-kata bid'ah untuk sholat dhuha, tetapi tidak seorangpun yang mengatakan bahwa bid'ah itu bid'ah dholalah, yang pelakunya akan dimasukkan keneraka! Dengan demikian masalah baru yang dinilai baik dan dapat diterima ini disebut bid’ah hasanah. Sesuatu amalan yang dikerjakan oleh isteri Nabi atau para sahabat yang tersebut diatas bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya itu bisa disebut bid’ah, tapi sebagai bid’ah hasanah. Semuanya ini dalam pandangan hukum syari’at bukan bid’ah melainkan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad.

    Dalam makalah As-Sayyid Muhammad bin Alawiy Al-Maliki Al-Hasani rh yang berjudul Haulal Ihtifal bil Mauliddin Nabawiyyisy Syarif tersebut disebutkan: Yang dikatakan oleh orang fanatik (extreem) bahwa apa-apa yang belum pernah dilakukan oleh kaum salaf, tidaklah mempunyai dalil bahkan tiada dalil sama sekali bagi hal itu. Ini bisa di jawab bahwa tiap orang yang mendalami ilmu ushuluddin mengetahui bahwa Asy-Syar’i (Rasulallah saw.) menyebutnya bid’ahtul hadyi (bid’ah dalam menentukan petunjuk pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya) sunnah, dan menjanjikan pahala bagi pelakunya.           
    Firman Allah swt. ‘Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung’.   (Ali Imran (3) : 104).
    Allah swt. berfirman : ‘Hendaklah kalian berbuat kebaikan agar kalian memperoleh keuntungan”. (Al-Hajj:77). Dan hadits riwayat imam Muslim dari Abu Mas’ud  (Uqbah) bin Amru Al-Anshory ra berkata; bersabda Rasulallah saw.;

                    وَعَنْ أبِي مَسْعُوْدِ (ر) عُقْبَةُ ِبنْ عَمْرُو الأ نْصَارِيُّ  قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله .صَ. : مَنْ دَلَّ عَلىَ خَيْرٍ فَلَهُ مِثْـلُ أَجْرُ فَاعِلُهُ(رواه مسلم)                                            

    Artinya: ‘Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala sama dengan yang mengerjakannya’.   ( HR.Muslim) .
    Masih banyak lagi hadits yang serupa/semakna, yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah dan dari Ibnu Mas’ud ra.
               
    Sebagian golongan memberi takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah dalam hadits riwayat imam Muslim dan lainnya adalah; Apa-apa yang telah ditetapkan oleh Rasulallah saw. dan para Khulafa’ur Roosyidin, bukan gagasan-gagasan baik yang tidak terjadi pada masa Rasulallah saw dan Khulafa’ur Rosyidin. Yang lain lagi memberikan takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah hasanah dalam hadits itu adalah; sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang mendatangkan manfaat, sedangkan maksud sunnah sayyiah/buruk adalah sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang mendatangkan bahaya dan kemudharatan.
    Dua macam pembatasan mereka diatas ini mengenai makna hadits yang telah kami kemukakan itu merupakan satu bentuk pembatasan hadits dengan tanpa dalil, karena secara jelas hadits tersebut membenarkan adanya gagasan-gagasan kebaikan pada masa kapanpun dengan tanpa ada pembatasan pada masa-masa tertentu. Juga secara jelas hadits itu menunjuk kepada semua perkara yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului, baik dia itu dari perkara-perkara dunia ataupun perkara-perkara agama!

    Sedangkan keterangan hadits Rasulallah saw. berikut ini: "Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidun sepeninggalku". (HR.Abu Daud dan Tirmidzi) ialah: Makna Sunnah dalam hadits itu adalah thariqah yakni jalan (baca keterangan sebelumnya), cara atau kebijakan; dan yang dimaksud Khalifah Rasyidun  ialah para penerus kepemimpinan beliau yang lurus .Sebutan itu tidak terbatas berlaku bagi empat Khalifah sepeninggal Rasulallah saw. saja, tetapi dapat diartikan lebih luas, berdasarkan makna Hadits yang lain : "Para ulama adalah ahli-waris para Nabi ".
    Dengan demikian hadits itu dapat berarti dan berlaku pula untuk para ulama dikalangan kaum muslimin berbagai zaman, mulai dari zaman kaum Salaf (dahulu), zaman kaum Tabi'in, Tabi'it-Tabi'in dan seterusnya; dari generasi ke generasi, mereka adalah Ulul-amri yang disebut dalam Al-Qur'an surat An-Nisa : 63 : "Sekiranya mereka menyerah- kan (urusan itu) kepada Rasulallah dan Ulul-amri (orang-orang yang mengurus kemaslahatan ummat) dari mereka sendiri, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui dari mereka (ulul-amri)”.

    Para alim-ulamabukan kaum awam adalah yang mengurus kemaslahatan ummat Islam, khususnya dalam kehidupan beragama. Sebab, mereka itulah yang mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum agama. Ibnu Mas'ud ra. menegaskan : "Allah telah memilih Muhammad saw. (sebagai Nabi dan Rasulallah) dan telah pula memilih sahabat-sahabatnya. Karena itu apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah " . Demikian yang diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnad-nya dan dinilainya sebagai hadits Hasan (hadits baik).

    Dengan pengertian penakwilan kalimat sunnah dalam hadits yang salah ini, golongan tertentu ini dengan mudah membawa keumuman hadits kullu bid’atin dholalah (semua bid’ah adalah sesat) terhadap semua perkara baru, baik yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at maupun yang tidak. Berarti mereka telah mencampur-aduk kata bid’ah itu antara penggunaannya yang syar’i dan yang lughawi (secara bahasa), dan mereka telah terjebak dengan ketidak pahaman bahwa keumuman yang terdapat pada hadits hanyalah terhadap bid’ah yang syar’i yaitu setiap perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar syari'at. Jadi bukan terhadap bid’ah yang lughawi yaitu setiap perkara baru yang diadakan dengan tanpa adanya contoh.

    Bid’ah lughawi inilah yang terbagi dua yang pertama adalah mardud yaitu perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang disebut bid’ah dholalah, sedangkan yang kedua adalah kepada yang maqbul yaitu perkara baru yang tidak bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at, dan inilah yang dapat diterima walaupun terjadinya itu pada masa-masa dahulu/pertama atau sesudahnya. Barangsiapa yang memasukkan semua perkara baru yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw, para sahabat dan mereka yang hidup pada abad-abad pertama itudalam bid’ah dholalah, maka dia haruslah mendatangkan terlebih dahulu nash-nash yang khos (khusus) untuk masalah yang baru itu maupun yang ‘am (umum), agar yang demikian itu tidak bercampur-aduk dengan bid’ah yang maqbul berdasarkan penggunaannya yang lughawi. Karena tuduhan bid’ah dholalah pada suatu amalan sama halnya dengan tuduhan mengharamkan amalan tersebut.
               
    Kalau kita baca hadits dan firman Ilahi baik yang tercantum maupun yang tidak tercantum diwebsite ini, kita malah diharuskan sebanyak mungkin menjalankan ma’ruf (kebaikan) yaitu semua perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah swt., dan menjauhi yang mungkar (keburukan) yaitu semua perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya, agar kita memperoleh keuntungan (pahala dan kebahagian didunia maupun diakhirat kelak). Begitupun juga orang yang menunjukkan kepada kebaikan tersebut akan diberi oleh Allah swt. pahala yang sama dengan orang yang mengerjakannya.

    Apakah kita hanya berpegang pada satu hadits yang kalimatnya: semua bid'ah dholalah dan kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain, yang menganjurkan manusia selalu berbuat kepada kebaikan? Sudah tentu Tidak!  Yang benar ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima kebenarannya oleh jumhurul-ulama serta tidak hanya melihat tekstual atau dhohir kalimatnya saja tapi memahami makna dan motif setiap ayat Ilahi dan sunnah Rasulallah saw., sehingga ayat ilahi dan sunnah ini satu sama lain tidak akan berlawanan maknanya.
    Berbuat kebaikan itu sangat luas sekali maknanya bukan hanya masalah peribadatan saja. Termasuk juga kebaikan adalah hubungan baik antara sesama manusia (toleransi) baik antara sesama muslimin maupun antara muslim dan non-muslim (yang tidak memerangi kita), antara manusia dengan hewan, antara manusia dan alam semesta. Sebagaimana para pakar Islam klasik pendahulu kita sudah menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak akan diampuni kecuali oleh orang yang bersangkutan, sementara hak asasi Tuhan diurus oleh diri-Nya sendiri. Manusia manapun tidak pernah diperkenankan membuat klaim-klaim yang dianggap mewakili hak Tuhan. Dalam konsep tauhid, Allah lebih dari mampu untuk melindungi hak-hak pribadi-Nya. Karena itu, kita harus berhati-hati untuk tidak melanggar hak-hak asasi manusia. Dalam Islam, Tuhan sendiri pun tidak akan mengampuni pelanggaran terhadap hak asasi orang lain, kecuali yang bersangkutan telah memberi maaf.
               
    Contoh-contoh bid’ah yang diamalkan para sahabat 
    Marilah kita sekarang rujuk hadits-hadits Rasulallah saw mengenai amal kebaikan yang diamalkan oleh para sahabat Nabi saw. atas prakarsa mereka sendiri, bukan perintah Allah swt. atau Nabi saw., dan bagaimana Rasulallah saw menanggapi masalah itu. Insya Allah dengan adanya beberapa hadits ini saja, para pembaca cukup jelas bahwa semua hal-hal yang baru (bid’ah) atau diada-adakan sebelum atau sesudahnya tidak pernah diamalkan, diajarkan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. selama tidak merubah dan keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at boleh diamalkan, apalagi dalam bidang kebaikan itu malah dianjurkan oleh agama.

    a. Hadits dari Abu Hurairah: “Rasulallah saw. bertanya pada Bilal ra seusai sholat Shubuh : ‘Hai Bilal, katakanlah padaku apa yang paling engkau harapkan dari amal yang telah engkau perbuat, sebab aku mendengar suara terompahmu didalam surga’. Bilal menjawab : Bagiku amal yang paling kuharapkan ialah aku selalu suci tiap waktu (yakni selalu dalam keadaan berwudhu) siang-malam sebagaimana aku menunaikan shalat “. (HR Bukhori, Muslim dan Ahmad bin Hanbal).

    Dalam hadits lain yang diketengahkan oleh Tirmidzi dan disebutnya sebagai hadits hasan dan shohih, oleh Al-Hakim dan Ad-Dzahabi yang mengakui juga sebagai hadits shohih ialah Rasulallah saw. meridhoi prakarsa Bilal yang tidak pernah meninggalkan sholat dua rakaat setelah adzan dan pada tiap saat wudhu’nya batal, dia segera mengambil air wudhu dan sholat dua raka’at demi karena Allah swt. (lillah).

    Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitab Al-Fath mengatakan: Dari hadits tersebut dapat diperoleh pengertian, bahwa ijtihad menetapkan waktu ibadah diperbolehkan. Apa yang dikatakan oleh Bilal kepada Rasulallah saw.adalah hasil istinbath (ijtihad)-nya sendiri dan ternyata dibenarkan oleh beliau saw. (Fathul Bari jilid 111/276).

    b. Hadits lain berasal dari Khabbab dalam Shahih Bukhori mengenai perbuatan Khabbab shalat dua rakaat sebagai pernyataan sabar (bela sungkawa) disaat menghadapi orang muslim yang mati terbunuh. (Fathul Bari jilid 8/313).

    Dua hadits tersebut kita mengetahui jelas, bahwa Bilal dan Khabbab telah menetapkan waktu-waktu ibadah atas dasar prakarsanya sendiri-sendiri. Rasulallah saw. tidak memerintahkan hal itu dan tidak pula melakukannya, beliau hanya secara umum menganjurkan supaya kaum muslimin banyak beribadah. Sekalipun demikian beliau saw. tidak melarang, bahkan membenarkan prakarsa dua orang sahabat itu.

    c.  Hadits riwayat Imam Bukhori dalam shohihnya II :284, hadits berasal dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi yang menerangkan bahwa:  
    “Pada suatu hari aku sesudah shalat dibelakang Rasulallah saw. Ketika berdiri (I’tidal) sesudah ruku’ beliau saw. mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’. Salah seorang yang ma’mum menyusul ucapan beliau itu dengan berdo’a: ‘Rabbana lakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubarakan fiihi’ (Ya Tuhan kami, puji syukur sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya atas limpahan keberkahan-Mu). Setelah shalat Rasulallah saw. bertanya : ‘Siapa tadi yang berdo’a?’. Orang yang bersangkutan menjawab: Aku, ya Rasul- Allah. Rasulallah saw. berkata : ‘Aku melihat lebih dari 30 malaikat ber-rebut ingin mencatat do’a itu lebih dulu’ “.
               
    Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Fath II:287 mengatakan:  ' Hadits tersebut dijadikan dalil untuk membolehkan membaca suatu dzikir dalam sholat yang tidak diberi contoh oleh Nabi saw. (ghair ma'tsur) jika ternyata dzikir tersebut tidak bertolak belakang atau bertentangan dengan dzikir yang ma'tsur dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad saw. Disamping itu, hadits tersebut mengisyaratkan bolehnya mengeraskan suara bagi makmum selama tidak mengganggu orang yang ada didekatnya...'. 
               
    Al-Hafidh dalam Al-Fath mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukkan juga diperbolehkannya orang berdo’a atau berdzikir diwaktu shalat selain dari yang sudah biasa, asalkan maknanya tidak berlawanan dengan kebiasaan yang telah ditentukan (diwajibkan). Juga hadits itu memperbolehkan orang mengeraskan suara diwaktu shalat dalam batas tidak menimbulkan keberisikan. 
    Lihat pula kitab Itqan Ash-Shan'ah Fi Tahqiq untuk mengetahui makna al-bid'ah karangan Imam Muhaddis Abdullah bin Shiddiq Al-Ghimary.  

    d. Hadits serupa diatas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik ra. “Seorang dengan terengah-engah (Hafazahu Al-Nafs) masuk kedalam barisan (shaf). Kemudian dia mengatakan (dalam sholatnya) al-hamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (segala puji hanya bagi Allah dengan pujian yang banyak, bagus dan penuh berkah). Setelah Rasulallah saw. selesai dari sholatnya, beliau bersabda : ‘Siapakah diantaramu yang mengatakan beberapa kata (kalimat) (tadi)’ ? Orang-orang diam. Lalu beliau saw. bertanya lagi: ‘Siapakah diantaramu yang mengatakannya ? Sesungguhnya dia tidak mengatakan sesuatu yang percuma’. Orang yang datang tadi berkata: ‘Aku datang sambil terengah-engah (kelelahan) sehingga aku mengatakannya’. Maka Rasulallah saw. bersabda:  ‘Sungguh aku melihat dua belas malaikat memburunya dengan cepat, siapakah diantara mereka (para malaikat) yang mengangkatkannya (amalannya ke Hadhirat Allah) “. (Shohih Muslim 1:419 ).

    e.  Dalam Kitabut-Tauhid Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra. yang mengatakan: Pada suatu saat Rasulallah saw. menugaskan seorang dengan beberapa temannya kesuatu daerah untuk menangkal serangan kaum musyrikin. Tiap sholat berjama’ah, selaku imam ia selalu membaca Surat Al-Ikhlas disamping Surah lainnya sesudah Al-Fatihah. Setelah mereka pulang ke Madinah, seorang diantaranya memberitahukan persoalan itu kepada Rasulallah saw. Beliau saw.menjawab : ‘Tanyakanlah kepadanya apa yang dimaksud’. Atas pertanyaan temannya itu orang yang bersangkutan menjawab : ‘Karena Surat Al-Ikhlas itu menerangkan sifat ar-Rahman, dan aku suka sekali membacanya’. Ketika jawaban itu disampaikan kepada Rasulallah saw. beliau berpesan : ‘Sampaikan kepadanya bahwa Allah menyukai nya’  .  
    Apa yang dilakukan oleh orang tadi tidak pernah dilakukan dan tidak pernah diperintahkan oleh Rasulallah saw.. Itu hanya merupakan prakarsa orang itu sendiri. Sekalipun begitu Rasulallah saw. tidak mempersalahkan dan tidak pula mencelanya, bahkan memuji dan meridhoinya dengan ucapan “Allah menyukainya”.

    f.  Bukhori dalam Kitabus Sholah hadits yang serupa diatas dari Anas bin Malik yang menceriterakan bahwa: “Beberapa orang menunaikan shalat dimasjid Quba. Orang yang mengimami shalat itu setelah membaca surah Al-Fatihah dan satu surah yang lain selalu menambah lagi dengan surah Al-Ikhlas. Dan ini dilakukannya setiap rakaat. Setelah shalat para ma’mum menegurnya: Kenapa anda setelah baca Fatihah dan surah lainnya selalu menambah dengan surah Al-Ikhlas? Anda kan bisa memilih surah yang lain dan meninggalkan surah Al-Ikhlas atau membaca surah Al-Ikhlas tanpa membaca surah yang lain ! Imam tersebut menjawab : Tidak !, aku tidak mau meninggalkan surah Al-Ikhlas kalau kalian setuju, aku mau mengimami kalian untuk seterusnya tapi kalau kalian tidak suka aku tidak mau mengimami kalian. Karena para ma’mum tidak melihat orang lain yang lebih baik dan utama dari imam tadi mereka tidak mau diimami oleh orang lain. Setiba di Madinah mereka menemui Rasulallah saw. dan menceriterakan hal tersebut pada beliau. Kepada imam tersebut Rasulallah saw. bertanya: ‘Hai, fulan, apa sesungguhnya yang membuatmu tidak mau menuruti permintaan teman-temanmu dan terus menerus membaca surat Al-Ikhlas pada setiap rakaat’?  Imam tersebut menjawab: ‘Ya Rasulallah, aku sangat mencintai Surah itu’. Beliau saw. berkata: ‘Kecintaanmu kepada Surah itu akan memasukkan dirimu ke dalam surga’ “..

    Mengenai makna hadits ini Imam Al-Hafidh dalam kitabnya Al-Fath mengatakan antara lain; ‘Orang itu berbuat melebihi kebiasaan yang telah ditentukan karena terdorong oleh kecintaannya kepada surah tersebut. Namun Rasulallah saw. menggembirakan orang itu dengan pernyataan bahwa ia akan masuk surga. Hal ini menunjukkan bahwa beliau saw. meridhainya’.

    Imam Nashiruddin Ibnul Munir menjelaskan makna hadits tersebut dengan menegaskan : ‘Niat atau tujuan dapat mengubah kedudukan hukum suatu perbuatan’. Selanjutnya ia menerangkan; ‘Seumpama orang itu menjawab dengan alasan karena ia tidak hafal Surah yang lain, mungkin Rasulallah saw. akan menyuruhnya supaya belajar menghafal Surah-surah selain yang selalu dibacanya berulang-ulang. Akan tetapi karena ia mengemukakan alasan karena sangat mencintai Surah itu (yakni Al-Ikhlas), Rasulallah saw. dapat membenarkannya, sebab alasan itu menunjukkan niat baik dan tujuan yang sehat’. Lebih jauh Imam Nashiruddin mengatakan ; ‘Hadits tersebut juga menunjukkan, bahwa orang boleh membaca berulang-ulang Surah atau ayat-ayat khusus dalam Al-Qur’an menurut kesukaannya. Kesukaan demikian itu tidak dapat diartikan bahwa orang yang bersangkutan tidak menyukai seluruh isi Al-Qur’an atau meninggalkannya’.

    Menurut kenyataan, baik para ulama zaman Salaf maupun pada zaman-zaman berikutnya, tidak ada yang mengatakan perbuatan seperti itu merupakan suatu bid’ah sesat, dan tidak ada juga yang mengatakan bahwa perbuatan itu merupakan sunnah yang tetap. Sebab sunnah yang tetap dan wajib dipertahankan serta dipelihara baik-baik ialah sunnah yang dilakukan dan diperintahkan oleh Rasulallah saw. Sedangkan sunnah-sunnah yang tidak pernah dijalankan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. bila tidak keluar dari ketentuan syari’at dan tetap berada didalam kerangka amal kebajikan yang diminta oleh agama Islam itu boleh diamalkan apalagi dalam persoalan berdzikir kepada Allah swt.

    g.   Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits tentang Fadha’il (keutamaan) Surah Al-Ikhlas berasal dari Sa’id Al-Khudriy ra. yang mengatakan, bahwa ia mendengar seorang mengulang-ulang bacaan Qul huwallahu ahad…. Keesokan harinya ia ( Sa’id Al-Khudriy ra) memberitahukan hal itu kepada Rasulallah saw., dalam keadaan orang yang dilaporkan itu masih terus mengulang-ulang bacaannya. Menanggapi laporan Sa’id itu Rasulallah saw.berkata : ‘Demi Allah yang nyawaku berada ditanganNya, itu sama dengan membaca sepertiga Qur’an’.

    Imam Al-Hafidh mengatakan didalam Al-Fathul-Bari; bahwa orang yang disebut dalam hadits itu ialah Qatadah bin Nu’man. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ahmad bin Tharif dari Abu Sa’id, yang mengatakan, bahwa sepanjang malam Qatadah bin Nu’man terus-menerus membaca Qul huwallahu ahad, tidak lebih. Mungkin yang mendengar adalah saudaranya seibu (dari lain ayah), yaitu Abu Sa’id yang tempat tinggalnya berdekatan sekali dengan Qatadah bin Nu’man. Hadits yang sama diriwayatkan juga oleh Malik bin Anas, bahwa Abu Sa’id mengatakan: ‘Tetanggaku selalu bersembahyang di malam hari dan terus-menerus membaca Qul huwallahu ahad’.

    h. Ashabus-Sunan, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban dalam Shohih-nya meriwayatkan sebuah hadits berasal dari ayah Abu Buraidah yang menceriterakan kesaksiannya sendiri sebagai berikut: ‘Pada suatu hari aku bersama Rasulallah saw. masuk kedalam masjid Nabawi (masjid Madinah). Didalamnya terdapat seorang sedang menunaikan sholat sambil berdo’a; Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau. Engkaulah Al-Ahad, As-Shamad, Lam yalid wa lam yuulad wa lam yakullahu kufuwan ahad’. Mendengar do’a itu Rasulallah saw. bersabda; ‘Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya, dia mohon kepada Allah dengan Asma-Nya Yang Maha Besar, yang bila dimintai akan memberi dan bila orang berdo’a kepada-Nya Dia akan menjawab’.

    Tidak diragukan lagi, bahwa do'a yang mendapat tanggapan sangat menggembirakan dari Rasulallah saw. itu disusun atas dasar prakarsa orang yang berdo’a itu sendiri, bukan do’a yang diajarkan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. kepadanya. Karena susunan do’a itu sesuai dengan ketentuan syari’at dan bernafaskan tauhid, maka beliau saw. menanggapinya dengan baik, membenarkan dan meridhoinya.

    i. Hadits dari Ibnu Umar ra katanya; “Ketika kami sedang melakukan shalat bersama Nabi saw ada seorang lelaki dari yang hadir yang mengucapkan ‘Allahu Akbaru Kabiiran Wal  Hamdu Lillahi Katsiiran Wa Subhaanallahi Bukratan Wa Ashiila’. Setelah selesai sholatnya, maka Rasulallah saw. bertanya; ‘Siapakah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi? Jawab seseorang dari kaum; Wahai Rasulallah, akulah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi. Sabda beliau saw.; ‘Aku sangat kagum dengan kalimat-kalimat tadi sesungguhnya langit telah dibuka pintu-pintunya karenanya'. Kata Ibnu Umar: Sejak aku mendengar ucapan itu dari Nabi saw maka aku tidak pernah meninggalkan untuk mengucapkan kalimat-kalimat tadi.” (HR. Muslim dan Tirmidzi). As-Shan’ani ‘Abdurrazzaq juga mengutipnya dalam Al-Mushannaf.

    Demikianlah bukti yang berkaitan dengan pembenaran dan keridhaan Rasulallah saw. terhadap prakarsa-prakarsa baru yang berupa do’a-do’a dan bacaan surah di dalam sholat, walaupun beliau saw sendiri tidak pernah melakukannya atau memerintahkannya. Kemudian Ibnu Umar mengamalkan hal tersebut bukan karena anjuran dari Rasulallah saw., tapi karena mendengar jawaban beliau saw mengenai bacaan itu.

    Pada hadits-hadits tadi Rasulallah saw. tidak melarang orang untuk berdo’a dalam waktu sholat dengan lafadz-lafadz do’a ,yang tidak pernah diajarkan atau diperintahkan oleh beliau saw., dan membaca surah Al-Ikhlas berulang-ulang baik dalam waktu sholat maupun diluar sholat, malah beliau memberi kabar gembira bagi orang yang mengamalkannya. Mengapa justru golongan pengingkar berani mengharamkan, membid’ahkan munkar orang membaca tahlil/yasinan berulang-ulang padahal dimajlis itu bukan hanya satu surat saja dari Al-Qur'an yang dibaca? Kalau mereka mengatakan sebagai pengikut para Salaf, mengapa tidak mencontoh bagaimana cara Rasulallah saw. Raja dan Guru terbesarnya para Salaf menanggapi amalan-amalan bid’ah (baru) atau yang diada-adakan,  yang telah dikemukakan tadi?

    j. Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri tentang Ruqyah yakni sistem pengobatan dengan jalan berdo’a kepada Allah swt. atau dengan jalan bertabarruk pada ayat-ayat Al-Qur’an. Sekelompok sahabat Nabi saw. yang sempat singgah pada pemukiman suku arab badui sewaktu mereka dalam perjalanan. Karena sangat lapar mereka minta pada orang-orang suku tersebut agar bersedia untuk menjamu mereka. Tapi permintaan ini ditolak. Pada saat itu kepala suku arab badui itu disengat binatang berbisa sehingga tidak dapat jalan. Karena tidak ada orang dari suku tersebut yang bisa mengobatinya, akhirnya mereka mendekati sahabat Nabi seraya berkata: Siapa diantara kalian yang bisa mengobati kepala suku kami yang disengat binatang berbisa? Salah seorang sahabat sanggup menyembuhkannya tapi dengan syarat suku badui mau memberikan makanan pada mereka. Hal ini disetujui oleh suku badui tersebut. Maka sahabat Nabi itu segera mendatangi kepala suku lalu membacakannya surah al-Fatihah, seketika itu juga dia sembuh dan langsung bisa berjalan. Maka segeralah diberikan pada para sahabat beberapa ekor kambing sesuai dengan perjanjian. Para sahabat belum berani membagi kambing itu sebelum menghadap Rasulallah saw.. Setiba dihadapan Rasulallah saw, mereka menceriterakan apa yang telah mereka lakukan terhadap kepala suku itu. Rasulallah saw. bertanya ; ‘Bagaimana engkau tahu bahwa surah al-Fatihah itu dapat menyembuhkan’? Rasulallah saw. membenarkan mereka dan ikut memakan sebagian dari daging kambing tersebut “.  (HR.Bukhori)

    k. Abu Daud, At-Tirmudzi dan An-Nasa’i mengetengahkan sebuah riwayat hadits berasal dari paman Kharijah bin Shilt yang mengatakan; “Pada suatu hari ia melihat banyak orang bergerombol dan ditengah-tengah mereka terdapat seorang gila dalam keadaan terikat dengan rantai besi. Kepada paman Kharijah itu mereka berkata: ‘Anda tampaknya datang membawa kebajikan dari orang itu (yang dimaksud Rasulallah saw.), tolonglah sembuhkan orang gila ini’. Paman Kharijah kemudian dengan suara lirih membaca surat Al-Fatihah, dan ternyata orang gila itu menjadi sembuh”. (Hadits ini juga diketengahkan oleh Al-Hafidh didalam Al-Fath)

    Masih banyak hadits yang tidak tercantum disini, yang meriwayatkan amal perbuatan para sahabat atas dasar prakarsa dan ijtihadnya sendiri, yang tidak dijalani serta dianjurkan oleh Rasulallah saw.. Semuanya itu diridhoi oleh Rasulallah saw. dan beliau memberi kabar gembira pada mereka. Kalau kita teliti lagi riwayat-riwayat tadi banyak yang berkaitan dengan masalah shalat yaitu suatu ibadah pokok dan terpenting dalam Islam. Sebagaimana Rasulallah saw. telah bersabda:

                                        صَلُُوْا كَمَا رَأيْتُمُوْنِي أصَلِي  (رواه البخاري                                  

    Artinya: ‘Hendaklah kamu sholat sebagaimana kalian melihat aku sholat’.  (HR Bukhori).

    Sekalipun demikian beliau saw dapat membenarkan dan meridhoi tambahan  tambahan tertentu yang berupa do’a dan bacaan surah atas prakarsa mereka itu. Karena beliau saw. memandang do’a dan bacaan surah tadi tidak keluar dari batas-batas yang telah ditentukan oleh syari’at dan juga bernafaskan tauhid. Bila ijtihad dan amalan para sahabat itu melanggar dan merubah hukum-hukum yang telah ditentukan oleh syari'at, pasti akan ditegur dan dilarang oleh Rasulallah saw.

    Mungkin ada orang yang bertanya-tanya lagi; Bagaimanakah pendapat orang tentang penetapan sesuatu yang disebut sunnah atau mustahab, yaitu penetapan yang dilakukan oleh masyarakat muslimin pada abad pertama Hijriyah, padahal apa yang dikatakan sunnah atau mustahab itu tidak pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.? 
    Memang benar, bahwa masyarakat yang hidup pada zaman abad pertama Hijriyah dan generasi berikutnya, banyak menetapkan hal-hal yang bersifat mustahab dan baik. Pada masa itu banyak sekali para ulama yang menurut kesanggupannya masing-masing dalam menguasai ilmu pengetahuan, giat melakukan ijtihad (studi mendalam untuk mengambil kesimpulan hukum) dan menetapkan suatu cara yang dipandang baik atau mustahab. 
    Untuk menerangkan hal ini baiklah kita ambil contoh yang paling mudah dipahami dan yang pada umumnya telah dimengerti oleh kaum muslimin, yaitu soal kodifikasi (pengitaban) ayat-ayat suci Al-Qur’an, sebagaimana yang telah kita kenal sekarang ini. Al-Quran waktu zaman Nabi saw. dan zaman khalifah Abubakar ra, masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para sahabat ra yang hanya sebagian dituliskan. Namun dengan adanya pengitaban tersebut, sekarang kita masih mengenal Al-Quran secara utuh dan dengan adanya bid’ah hasanah ini pula kita masih mengenal hadits-hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan abadi.
    Bila hal tersebut tidak terjadi, maka akan muncul beribu-ribu Versi Al-Quran di zaman sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al-Quran dan hancurlah Islam.

    Para sahabat Nabi saw. sendiri pada masa-masa sepeninggal beliau saw. berpendapat bahwa pengkodifikasian ayat-ayat suci Al-Qur’an adalah bid’ah sayyiah. Mereka khawatir kalau-kalau pengkodifikasian itu akan mengakibatkan rusaknya kemurnian agama Allah swt., Islam. ‘Umar bin Khattab ra. sendiri sampai merasa takut kalau-kalau dikemudian hari ayat-ayat Al-Qur’an akan lenyap karena wafatnya para sahabat Nabi saw. yang hafal ayat-ayat Al-Qur’an.  
    Ia mengemukakan kekhawatirannya itu kepada Khalifah Abu Bakra ra. dan mengusulkan supaya Khalifah memerintahkan pengitaban ayat-ayat Al-Qur’an. Tetapi ketika itu Khalifah Abu Bakar menolak usul ‘Umar dan berkata kepada ‘Umar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulallah saw.? ‘Umar bin Khattab ra. menjawab; Itu merupakan hal yang baik. Namun, tidak berapa lama kemudian Allah swt. membukakan pikiran Khalifah Abu Bakar ra seperti yang dibukakan lebih dulu pada pikiran ‘Umar bin Khattab ra, dan akhirnya bersepakatlah dua orang sahabat Nabi itu untuk mengitabkaan ayat-ayat Al-Qur’an. Khalifah Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit dan diperintahkan supaya melaksanakan pengitabatan ayat-ayat Al-Qur’an itu. Zaid bin Tsabit ra. juga menjawab kepada Abu Bakar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulallah saw.? Abu Bakar menjawab kepadanya; Itu  pekerjaan yang baik!

    Untuk lebih detail keterangannya sebagai berikut:
    Ketika terjadi pembunuhan besar-besaran atas para Huffadh (yang hafal) Alqur’an dan Ahli Alqur’an dari sahabat Rasulallah saw. (Ahlul yamaamah) di zaman Khalifah Abubakar Asshiddiq ra, berkata Abubakar Ashiddiq ra kepada Zaid bin Tsabit ra : “Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlul- yamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlul-qur’an, lalu ia menyarankan agar aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Al-qur’an, aku berkata: Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah..?, maka Umar berkata padaku; Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan engkau (zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!”. Berkata Zaid: “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung-gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw?”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Alqur’an”. (Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768). Riwayat ini juga  dikemukakan oleh Imam Bukhori dalam Shohih-nya jilid 4 halaman 243 mengenai pengitaban ayat-ayat suci Al-Qur’an.  Penulisan Al-qur’an selesai dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga Alqur’an kini dikenal dengan nama Mushaf  Utsmani, dan Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan menyetujui hal itu. 
    Jelaslah sudah, baik Abu Bakar, Umar maupun Zaid bin Tsabit [ra] pada masa itu telah melakukan suatu cara yang tidak pernah dikenal pada waktu Rasulallah saw masih hidup. Bahkan sebelum melakukan pengitaban Al-Qur’an itu Khalifah Abu Bakar dan Zaid bin Tsabit sendiri masing-masing telah menolak lebih dulu, tetapi akhirnya mereka dibukakan dadanya oleh Allah saw. sehingga dapat menyetujui dan menerima baik prakarsa Umar bin Khattab ra. Demikianlah antara lain contoh suatu amalan yang tidak pernah di kenal pada zaman hidupnya Nabi saw.

    Secara umum bid’ah adalah sesat karena berada diluar perintah Allah swt. dan Rasul-Nya. Akan tetapi banyak kenyataan membuktikan, bahwa Nabi  saw. membenarkan dan meridhoi banyak persoalan antara lain yang telah kami kemukakan dan prakarsa para sahabat setelah wafatnya beliau saw, yang berada diluar perintah Allah dan perintah beliau saw.  Dengan demikian hadits-hadits tadi mengisyaratkan adanya bid’ah hasanah.

    Dari semua riwayat ini, kita bisa ambil kesimpulan lagi bahwa semua bentuk amalan-amalan,  baik itu dijalankan atau tidak pada masa Rasulallah saw. atau zaman dahulu setelah zaman Nabi saw. selama tidak melanggar syari'at serta mempunyai tujuan atau niat mendekatkan diri untuk mendapatkan ridha Allah swt., itu adalah bagian dari agama dan dapat diterima.

    Sebagaimana hadits Rasulallah saw.:

    اِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْنـِّيَّاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى, فَمَنْ كَانَتْ                                                              
                                                                                                                                                            هجْرَتُهُ الَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ (رواه البخاري           

    Artinya: ‘Sesungguhnya segala perbuatan tergantung kepada niat, dan setiap manusia akan mendapat sekadar apa yang diniatkan, siapa yang hijrahnya (tujuannya) karena Allah  dan Rasul-Nya, hijrahnya itu adalah karena Allah dan Rasul-Nya (berhasil)’. (HR. Bukhori).  

    Sekiranya orang-orang yang gemar melontarkan tuduhan bid’ah dapat memahami hikmah apa yang ada pada sikap Rasulallah saw. dalam menghadapi amal kebajikan yang dilakukan oleh para sahabatnya sebagaimana yang telah kami kemukakan dalil-dalil haditsnya tentu mereka mau dan akan menghargai orang lain yang tidak sependapat atau sepaham dengan mereka.  
    Tetapi sayangnya golongan pengingkar ini tetap sering mencela dan mensesatkan para ulama yang tidak sepaham dengannya. Mereka ini malah mengatakan; ‘Bahwa para ulama dan Imam yang memilah-milahkan bid’ah menjadi beberapa jenis telah membuka pintu selebar-lebarnya bagi kaum Muslim untuk berbuat segala macam bid’ah!! Kemudian mereka ini tanpa pengertian yang benar mengatakan, bahwa semua bid’ah adalah dhalalah (sesat) dan semua kesesatan didalam neraka!". 
      
    Dalil-dalil yang membantah dan jawabannya  
    Seperti yang telah dikemukakan dalam bab 2 diwebsite ini, bahwa golongan pengingkar ini selalu menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah secara tekstual/dhohir teks, oleh karenanya sering mencela semua amalan yang tidak sesuai dengan paham mereka. Misalnya, mereka melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil hadits Rasulallah saw. ,berikut ini, secara tekstual:
      
                                                             كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةُ

    Artinya:"Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’.

    Juga hadits Nabi saw.:

          مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)                   

    Artinya: 'Barangsiapa yang didalam agama kami mengadakan sesuatu yang tidak dari agama ia tertolak’.

    Hadits-hadits tersebut oleh golongan pengingkar dipandang sebagai pengkhususan hadits Kullu bid’atin dhalalah yang bersifat umum, karena terdapat penegasan dalam hadits tersebut, yang tidak dari agama ia tertolak, yakni  dholalah/sesat. Dengan adanya kata Kullu (setiap/semua) pada hadits tersebut, mereka menetapkan apa saja yang terjadi setelah zaman Rasulallah saw. serta sebelumnya tidak pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw adalah bi’dah dholalah. Mereka tidak memandang apakah hal yang baru itu membawa maslahat/kebaikan dan termasuk yang dikehendaki oleh agama atau tidak. Mereka juga tidak mau meneliti dan membaca contoh-contoh hadits diatas mengenai prakarsa para sahabat yang menambahkan bacaan-bacaan dalam sholat yang mana sebelum dan sesudahnya tidak pernah diperintahkan Rasulallah saw. Mereka juga tidak mau mengerti bahwa memperbanyak kebaikan adalah kebaikan. Jika ilmu agama sedangkal itu orang tidak perlu bersusah-payah memperoleh kebaikan.

    Ada lagi kaidah yang dipegang dan sering dipakai oleh golongan pengingkar dan pelontar tuduhan-tuduhan bid’ah mengenai suatu amalan, adalah kata-kata sebagai berikut: 
    “Rasulallah saw. tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya tidak ada satupun diantara mereka yang mengerjakannya. Demikian pula para tabi'in dan tabi'ut-tabi'in. Dan kalau sekiranya amalan itu baik, mengapa hal itu tidak dilakukan oleh Rasulallah, sahabat dan para tabi'in?"

    Atau ucapan mereka : “Kita kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru kita yang melakukannya..? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi saw., para sahabat, ulama-ulama salaf..? Karena melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah bid’ah”.
               
    Kaidah-kaidah seperti itulah yang sering dijadikan pegangan dan dipakai sebagai perlindungan oleh golongan pengingkar ini juga sering mereka jadikan sebagai dalil/ hujjah untuk melegitimasi tuduhan bid’ah mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru termasuk tahlil/yasinan, peringatan Maulid Nabi saw dan sebagainya. Terhadap semua ini mereka langsung menghukumnya dengan ‘sesat, haram, mungkar, syirik dan sebagainya’,  tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok/asal agama.
               
    Ucapan mereka seperti diatas ini adalah ucapan yang awalnya haq/benar namun akhirnya batil atau awalnya shohih namun akhirnya fasid. Yang benar adalah keadaan Nabi saw. atau para sahabat yang tidak pernah mengamalkannya (umpamanya; berkumpul untuk tahlil/yasinan, peringatan keagamaan dan lain sebagainya).
    Sedangkan yang batil/salah atau fasid adalah penghukuman mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru itu dengan hukum haram, sesat, syirik, mungkar dan sebagainya. Yang demikian itu karena Nabi saw. atau salafus sholih yang tidak mengerjakan satu perbuatan bukanlah termasuk dalil, bahkan penghukuman dengan ber- dasarkan kaidah diatas tersebut adalah penghukuman tanpa dalil/nash. Dalil untuk mengharamkan sesuatu perbuatan haruslah menggunakan nash yang jelas, baik itu dari Al-Qur’an maupun hadits yang melarang dan mengingkari perbuatan tersebut. Dengan demikian tidak bisa suatu perbuatan diharamkan hanya karena Nabi saw. atau salafus sholih tidak pernah melakukannya. 
    Sekali lagi, telitilah lagi hadits-hadits diatas yakni amalan-amalan bid'ah yang diada-adakan para sahabat, yang belum pernah dikerjakan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. dan bagaimana Rasulallah saw. menanggapinya. Cara penanggapan Rasulallah saw. inilah yang harus kita contoh !

    Kalau kita teliti perbedaan paham setiap ulama atau setiap madzhab selalu ada, dan tidak bisa disatukan. Sebagaimana yang sering kita baca dikitab-kitab fiqih para pakar Islam yaitu Satu hadits bisa dishohihkan oleh sebagian ulama hadits dan hadits yang sama ini bisa dilemahkan atau dipalsukan oleh ulama hadits lainnya. Kedua kelompok ulama ini sama-sama berdalil kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw., tetapi berbeda cara penguraiannya. Dengan demikian status keshahihan itu masih bersifat subjektif kepada yang mengatakannya. Dari sini saja kita sudah bisa ambil kesimpulan; Kalau hukum atas derajat suatu hadits itu masih berbeda-beda diantara para ulama, tentu saja ketika para ulama mengambil kesimpulan apakah suatu amal itu merupakan sunnah dari Rasulullah saw. pun berbeda juga !!

    Para ulama pun berbeda pandangan ketika menyimpulkan hasil dari sekian banyak hadits yang berserakan. Umpamanya mereka berbeda dalam mengambil kesimpulan hukum atas suatu amal, walaupun amal ini disebutkan didalam suatu hadits yang shohih. Para ulama juga mengenal beberapa macam sunnah yang sumbernya langsung dari Rasulallah saw., umpamanya;  Sunnah Qauliyyah, Sunnah Fi’liyyah dan Sunnah Taqriyyah.  

    Sunnah Qauliyyah ialah sunnah di mana Rasulullah saw. sendiri menganjurkan atau mensarankan suatu amalan, tetapi belum tentu kita mendapatkan dalil bahwa Rasulllah saw. pernah mengerjakannya secara langsung. Jadi sunnah Qauliyyah ini adalah sunnah Rasulallah saw. yang dalilnya/riwayatnya sampai kepada kita bukan dengan cara dicontohkan, melainkan dengan diucapkan saja oleh beliau saw. Dimana ucapan itu tidak selalu berbentuk fi'il amr (kata perintah), tetapi bisa saja dalam bentuk anjuran, janji pahala dan sebagainya. Contoh sunnah qauliyyah yang mudah saja: Ada hadits Rasulallah saw. yang menganjurkan orang untuk belajar berenang, tetapi kita belum pernah mendengar bahwa Rasulallah saw. atau para sahabat telah belajar atau kursus berenang !

    Sunnah Fi'liyah ialah sunnah yang ada dalilnya dan pernah dilakukan langsung oleh Rasulallah saw. Misalnya ibadah shalat sunnah seperti shalat istisqa’, puasa sunnah Senin Kamis, makan dengan tangan kanan dan lain sebagainya. Para shahabat melihat langsung beliau saw. melakukannya, kemudian meriwayatkannya kepada kita.

    Sedangkan Sunnah Taqriyyah ialah sunnah di mana Rasulullah saw tidak melakukannya langsung, juga tidak pernah memerintahkannya dengan lisannya, namun hanya mendiamkannya saja. Sunnah yang terakhir ini seringkali disebut dengan sunnah taqriyyah. Contohnya ialah beberapa amalan para sahabat yang telah kami kemukakan sebelumnya.

    Begitu juga dengan amalan-amalan ibadah yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw. atau para sahabatnya, tetapi diamalkan oleh para ulama salaf (ulama terdahulu) atau ulama khalaf (ulama belakangan) misalnya mengadakan majlis maulidin Nabi saw., majlis tahlil/yasinan dan lain sebagainya (baca keterangannya pada bab Maulid Nabi saw.dan bab Ziarah kubur). Tidak lain para ulama yang mengamalkan ini mengambil dalil-dalil ,baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasulallah saw, yang menganjur kan agar manusia selalu berbuat kebaikan atau dalil-dalil tentang pahala bacaan, hadiah pahala bacaan  dan lain sebagainya. Berbuat kebaikan ini banyak macam dan caranya, semuanya baik untuk diamalkan, asalkan tidak tidak bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.  
    Apalagi didalam majlis-majlis (maulidin-Nabi, tahlil/yasinan, Istighotsah dll.) yang sering diteror oleh golongan tertentu, disitu sering didengungkan kalimat Tauhid, Tasbih, Takbir dan Sholawat kepada Rasulallah saw. ,yang semuanya itu dianjurkan oleh Allah swt. dan Rasul-Nya. Semuanya ini tidak lain bertujuan untuk mendekatkan/taqarrub kita kepada Allah swt.!

    Firman Allah swt. dalam ayat Al-Hasyr : 7):

    وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا                                                            

    Artinya: ‘Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang daripadanya, maka berhentilah (mengerjakan- nya). (QS. Al-Hasyr : 7).
    Dalam ayat ini jelas bahwa perintah untuk tidak mengerjakan sesuatu itu adalah apabila telah tegas dan jelas larangannya dari Rasulallah saw. !

    Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan : 

    وَماَلَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا                                                      
                                                         
    Artinya: Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakannya (oleh Rasulallah), maka berhentilah (mengerjakannya)’.

    Juga dalam hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Bukhori:

                   فَاجْتَنِبُوْهُ اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ
                 
    Artinya:‘Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah dia !‘ 

    Dalam hadits ini Rasulallah saw. tidak mengatakan:

                                        وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
                                      
    Artinya: ‘Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia!’

    Jadi pemahaman golongan yang melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil dua hadits yang telah kami kemukakan, 'Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah..dst.nya. dan hadits Barangsiapa yang didalam agama..dst.nya.' adalah tidak benar. Karena adanya beberapa keterangan dari Rasulallah saw. didalam hadits-hadits yang lain dimana beliau merestui banyak perkara yang merupakan prakarsa para sahabat sedangkan beliau saw. sendiri tidak pernah melakukan apalagi memerintahkan. Maka para ulama menarik kesimpulan bahwa bid’ah (prakarsa) yang dianggap sesat ialah yang mensyari’atkan sebagian dari agama yang tidak di izinkan Allah swt. (QS Asy-Syura :21), serta prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah digariskan oleh syari’at Islam baik yang termaktub dalam Al-Qur’an maupun sunnah Rasulallah saw., contohnya yang mudah ialah:
    Sengaja sholat tidak menghadap kearah kiblat, Shalat dimulai dengan salam dan diakhiri denga takbir ; Melakukan sholat dengan satu sujud saja; Melakukan sholat Shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan lain sebagainya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
    Makna hadits Rasulallah saw. diatas yang mengatakan,  ...mengada-adakan sesuatu itu... adalah masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah. Kami ambil perumpamaan lagi yang mudah saja, ada orang mengatakan bahwa sholat wajib itu setiap harinya dua kali, padahal agama menetapkan lima kali sehari. Atau orang yang sanggup tidak berhalangan karena sakit, musafir dan lain-lain berpuasa wajib pada bulan Ramadhan mengatakan bahwa kita tidak perlu puasa pada bulan tersebut tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apapun saja. Inilah yang dinamakan menambah dan mengada-adakan agama. Jadi bukan masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama dan tidak berlawanan dengan syariat..

    Telitilah isi hadits Qudsi berikut ini, yang diriwayatkan Bukhori dari Abu Hurairah :

                                         ...... وَمَا تَقَرَّبَ اِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْئٍ أحَبَّ اِلَيَّ مِمَّا افْتَرَطْتُ عَلَيْهِ,
     وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ أِلَيَّ بِالنّـَوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ فَاِذَا أحْبَبْتهُ كُنْتُ سَمْـعَهُ الَّذِي يَسمَعُ بِهِ           
    وَبَصَرَهُ اَلَّذِي يُبْصِرُبِهِ, وَيَدَهُ اَلَّتِي يَبْـطِشُ بِهَا وَرِجْلـَهُ اَلَّتِي يَمْشِي بِهَا                              
     وَاِنْ سَألَنِي أعْطَيْتهُ وَلَئِنِ اسْتَعَـاذَنِي لاُ عيْذَنَّهُ.   (رواه البخاري)                                    

    Artinya: “.... HambaKu yang mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih Ku sukai daripada yang telah Kuwajibkan kepadanya, dan selagi hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan nawafil (amalan-amalan atau sholat sunnah) sehingga Aku mencintainya, maka jika Aku telah mencintainya. Akulah yang menjadi pendengarannya dan dengan itu ia mendengar, Akulah yang menjadi penglihatannya dan dengan itu ia melihat, dan Aku yang menjadi tangannya dengan itu ia memukul (musuh), dan Aku juga menjadi kakinya dan dengan itu ia berjalan. Bila ia mohon kepadaKu itu pasti Kuberi dan bila ia mohon perlindungan kepadaKu ia pasti Ku lindungi”. 
    Dalam hadits qudsi ini Allah swt. mencintai orang-orang yang menambah amalan sunnah disamping amalan wajibnya.

    Mari kita rujuk ayat-ayat ilahi yang ada kata-kata Kullu, yang mana kata ini tidak harus berarti semua/setiap, tapi bisa berarti khusus untuk beberapa hal saja.

    - Dalam surat Al-Ahqaf ayat 25 Allah swt.berfirman,  yang artinya:
    [Angin taufan] itu telah menghancurkan segala sesuatu atas perintah Tuhannya”. Namun demikian keumuman pada ayat diatas ini tidak terpakai karena pada saat itu gunung-gunung, langit dan bumi tidak ikut hancur.

    - Dalam surat An-Naml ayat 23 Allah swt.berfirman yang artinya:
     “Ratu Balqis itu telah diberikan segala sesuatu”. Keumuman pada ayat ini juga tidak terpakai karena Ratu Balqis tidak diberi singgasana dan kekuasaan seperti yang diberikan kepada Nabi Sulaiman as.

    - Begitupun juga dalam surat An-Najm ayat 39 Allah swt.berfirman, yang artinya:
    “Bahwasanya setiap manusia itu tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. Kalimat ‘selain apa yang telah diusahakannya’ pada ayat ini bersifat umum, namun keumumannya itu tidak terpakai, karena banyak sekali hadits shohih yang menunjukkan bahwa seorang muslim yang telah wafat masih dapat memperoleh kebaikan dan manfaat dari muslim yang masih hidup,seperti sholat jenazah, do’a, sedekah dan lain-lain.

    - Dalam surat Thoha ayat 15 Allah swt. berfirman, yang artinya:
    Agar setiap manusia menerima balasan atas apa yang telah diusahakannya”. Kalimat ‘apa yang telah diusahakannya’ mencakup semua amal baik yang hasanah (baik) maupun yang sayyiah (jelek). Namun demikian amal yang sayyiah yang telah diampuni oleh Allah swt. tidaklah termasuk yang akan memperoleh balasannya (siksa).

    - Dalam surat Aali 'Imran : 173 Allah swt. berfirman mengenai suatu peristiwa dalam perang Uhud, yang artinya: 
    "Kepada mereka (kaum Muslimin) ada yang mengatakan bahwa semua orang (di Mekkah) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang...." Yang dimaksud semua orang (an-naas) dalam ayat ini tidak bermakna secara harfiahnya, tetapi hanya untuk kaum musyrikin Quraisy di Mekkah yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb, yang memerangi Rasulallah saw. dan kaum Muslimin didaratan tinggi Uhud, jadi bukan semua orang Mekkah atau semua orang Arab.

    - Dalam surat Al-Anbiya : 98, yang artinya:
    "Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Alah adalah umpan neraka jahannam..".  Ayat ini sama sekali tidak boleh ditafsirkan bahwa Nabi 'Isa as dan bundanya yang dipertuhankan oleh kaum Nasrani akan menjadi umpan neraka. Begitu juga para malaikat yang oleh kaum musyrikin lainnya dianggap sebagai tuhan-tuhan mereka.

    - Dalam surat Aali 'Imran : 159, yang artinya:
     "Ajaklah mereka bermusyawarah dalam suatu urusan...". Kalimat dalam suatu urusan (fil amri) tidak bermakna semua urusan  termasuk urusan agama dan urusan akhirat ,  yang dimaksud urusan dalam hal ini ialah urusan duniawi. Allah swt. tidak memerintahkan Rasul-Nya supaya memusyawarahkan soal-soal keagamaan atau keukhrawian dengan para sahabatnya atau dengan ummatnya.

    - Dalam surat Al-An'am : 44, yang artinya:
    'Kami bukakan bagi mereka pintu segala sesuatu'. Akan tetapi pengertian ayat ini terkait, Allah tidak membukakan pintu rahmat bagi mereka (orang-orang kafir durhaka). Kalimat segala sesuatu adalah umum, tetapi kalimat itu bermaksud khusus. 

    - Dalam surat Al-Isra : 70, yang artinya:
    "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam....dan seterusnya ". Firman Allah ini bersifat umum, sebab Allah swt. juga telah berfirman, bahwa ada manusia-manusia yang mempunyai hati tetapi tidak memahami ayat-ayat Allah, mempunyai mata tetapi tidak menggunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mempunyai telinga tetapi tidak menggunakannya untuk mendengarkan firman-firman Allah; mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi (QS.Al-A'raf : 179). Jadi jelaslah, bahwa secara umum manusia adalah makhluk yang mulia, tetapi secara khusus banyak manusia yang setaraf dengan binatang ternak, bahkan lebih sesat. 


    - Firman Allah swt dalam Al-Kahfi: 79, kisah Nabi Musa as. dengan Khidir (hamba Allah yang sholeh), yang artinya sebagai berikut:
    “Adapun perahu itu, maka dia adalah miliknya orang orang miskin yang bermata pencaharian dilautan dan aku bertujuan merusaknya karena dibelakang mereka terdapat seorang raja yang suka merampas semua perahu”.

    Ayat ini menunjukkan tidak semua perahu yang akan dirampas oleh raja itu, melainkan perahu yang masih dalam kondisi baik saja. Oleh karenanya Khidir/seorang hamba yang sholeh sengaja membocorkan perahu orang-orang miskin itu agar terlihat sebagai perahu yang cacat/jelek sehingga tidaklah dia ikut dirampas oleh raja itu. Dengan demikian maka kata safiinah dalam Al-Qur’an itu maknanya adalah safiinah hasanah atau perahu yang baik. Ini berarti safiinah diayat ini tidak bersifat umum dalam arti tidak semua safiinah/perahu yang akan dirampas oleh raja melainkan safiinah hasanah saja walaupun didalam ayat itu disebut Kullu safiinah (semua/setiap perahu).

    - Al-Qu’an surat Al-Anbiya’ ; 30 :

                          وَجَعَلْنَا مِنَ الْْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلاَ يُؤْمِنُونَ
     
    Artinya: “Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” QS. Al-Anbiya’:30.
    Meskipun ayat ini menggunakan kalimat kullu, namun tidak berarti semua makhluk hidup diciptakan dari air.

    - Dalam ayat al-Qur’an Ar-Rahman:15:

                              وَخَلَقَ الْْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ
      
    Artinya: “Dan Allah SWT menciptakan Jin dari percikan api yang menyala”. QS.

    Begitu juga para malaikat, tidaklah Allah ciptakan dari air.

    - Hadits riwayat Imam Ahmad :

    عَنِ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ
     
    Artinya: Dari al-Asyari berkata: “ Rasulullah saw bersabda: “setiap mata berzina” (musnad Imam Ahmad)

    Sekalipun hadits di atas menggunakan kata kullu, namun bukan bermakna keseluruhan/semua, akan tetapi bermakna sebagian, yaitu mata yang melihat kepada wanita ajnabiyah (yang bukan muhrim).

    Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy ,rahimahullah, berkata: ”Mengenai hadits ‘Bid’ah Dhalalah’ ini bermakna ‘Aammun makhsush’, [sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya], seperti firman Allah: ‘… yang menghancurkan segala sesuatu’ [QS Al-Ahqaf 25] dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (atau ayat: ‘Sungguh telah kupastikan ketentuan-Ku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya’ QS Assajdah-13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim--.pen) atau hadits: ‘Aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini ’ [dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw.] (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
    Masih banyak lagi ayat Ilahi yang walaupun didalamnya terdapat keumuman, namun ternyata keumumannya itu tidak terpakai untuk semua hal atau masalah. !!

    Sebuah hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh imam Muslim, Rasulallah saw. bersabda, yang artinya: "Orang yang menunaikan sholat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk neraka".
    Hadits ini bersifat umum, tidak dapat diartikan secara harfiah. Yang dimaksud oleh hadits tersebut bukan berarti bahwa seorang Muslim cukup dengan sholat shubuh dan ashr saja, tidak diwajibkan menunaikan sholat wajib yang lain seperti dhuhur, maghrib dan isya !

    Ibnu Hajar mengatakan; ' Hadits-hadits shahih yang mengenai satu persoalan harus dihubungkan satu sama lain untuk dapat diketahui dengan jelas maknanya yang mutlak dan yang muqayyad. Dengan demikian maka semua yang di-isyaratkan oleh hadits-hadits itu semuanya dapat dilaksanakan'. 

    Dalam shohih Bukhori dan juga dalam Al-Muwattha terdapat penegasan Rasulallah saw. yang menyatakan bahwa jasad semua anak Adam akan hancur dimakan tanah. Mengenai itu Ibnu 'Abdul Birr ,rahimahullah, dalam At-Tamhid  mengatakan: Hadits mengenai itu menurut lahirnya dan menurut keumuman maknanya adalah, bahwa semua anak Adam sama dalam hal itu. Akan tetapi dalam hadits yang lain Rasulallah saw. menegaskan pula, bahwa jasad para Nabi dan para pahlawan syahid tidak akan di makan tanah (hancur) !

    Dengan demikian hadits nabi saw. “kullu bid’atin dholalah’ itu bersifat umum, namun demikian tidak semua dalil –baik dari Al-Qur’an maupun hadits– yang bersifat umum itu akan otomatis terpakai diatas keumumannya. Hal itu sangat ditentukan oleh ada tidaknya dalil-dalil lain atau qoroo’inul ahwal (indikasi-indikasi) yang menolak keumumannya.

    Golongan pengingkar ada yang mengajukan firman Allah swt berikut ini:
    كُلّ نفس ذَا ئٍقَة  المَوْتِ                              
    Artinya: ‘Setiap yang bernyawa itu akan merasakan mati’.

    Mereka mengatakan bahwa kata ‘kullu’ pada firman Allah diatas harus diartikan dengan ‘setiap’ yakni bersifat umum, karena kalau arti kullu itu diartikan dengan ‘sebagian’, maka akan timbullah makna bahwa ‘sebagian yang bernyawa akan merasakan mati dan sebagiannya lagi tidak’. Kata mereka selanjutnya, begitu pula halnya makna kullu pada hadits ‘kullu bid’atin dholalah, wa kullu dholalatin fin naar’. Mereka yang mengajukan ayat diatas sebagai alasan untuk menguatkan tuduhan-tuduhan bid’ahnya, jelas termasuk orang yang berwawasan keagamaan sempit dan tidak mengetahui kaidah-kaidah mantiq. Kami katakan berwawasan sempit karena mereka hanya mengandalkan ayat yang diajukan nya itu, yang menunjukkan bahwa Al-qur’an dan hadits kalau memang mengandung kata-kata umum (seperti kullu), maka haruslah dipakai keumumannya.
    Dan ,sebagai kebiasaan golongan ini, mereka mengabaikan ayat-ayat Al-qur’an maupun hadits-hadits lainnya, yang mengandung kata-kata umum tapi tidak terpakai keumuman nya, seperti yang telah kami kemukakan contoh-contohnya. Begitu juga dikatakan tidak mengetahui kaidah-kaidah mantiq, karena bagi mereka kata-kata kullu itu harus bermakna ‘setiap’ dan tidak ada yang bermakna ‘sebagian’. Padahal menurut ilmu mantiq, kullu itu ada dua macam, yaitu: Kullu majmu’ dan Kullu jami’.  

    Kullu majmu’ adalah kullu yang berarti sebagian atau sekumpulan, bukan berarti setiap atau keseluruhan. Dialah yang dimaksud dengan bab: Kulli. Sebagian contohnya telah kami kemukakan. Begitu juga contoh lainnya ialah:

    كُلّ رَجُل مِن  بِنى تَمِيْم يحمِل الَصُّخْرَةً الْعَظيْمَةً                                               

    Artinya:Sebagian atau sekumpulan orang dari bani Tamim membawa batu yang besar’.

    Pada contoh diatas, kata kullu itu harus diartikan dengan sebagian atau sekumpulan orang, bukan setiap orang. Karena pada kenyataannya ada saja orang dari bani tamim yang tidak ikut membawa membawa batu besar itu.

    Sedangkan Kullu jami’ adalah kullu yang berarti setiap atau keseluruhan, artinya melibatkan semua orang. Dan dialah yang dimaksud dengan bab: Kulliyah. Contohnya ialah ayat ‘Kullu nafsin dzaaiqotul maut’. Karenanya kullu disitu diartikan dengan setiap atau keseluruhan yang bernyawa. Tidak bisa kullu diayat ini dijadikan sebagai kullu majmu’, karena pada kenyataannya dan juga didukung oleh ayat-ayat Al-qur’an yang lain, bahwa memang semua yang bernyawa akan mati.

    Untuk membuktikan adanya dua macam makna ‘kullu’ ini, dua bait syair yang tercantum dalam kita mantiq ‘Sullamul Munauruq’ oleh Imam Al-Akhdhori yang telah diberi syarah oleh Syeikh Ahmad al-Malawi dan diberi Hasyiah oleh Syeikh Muhamad bin Ali as-Shobban: 

     الَكُلّ  حكمنَا عَلَى الْمجْموْع      ككل ذَاكَ لَيْسَ  ذَا وقَوْع                                                                                          
    حيْثمَا لكُلّ فَرْد حُكمَا        فَإنَّهُ كُلّيّة قَدْ علمَا              

    Artinya: Kullu itu kita hukumkan untuk majmu’ (sebagian atau sekelompok) seperti ‘Sebagian itu tidak pernah terjadi’. Dan jika kita hukumkan untuk tiap-tiap satuan, maka dia adalah kulliyyah (jami’atau keseluruhan) yang sudah dimaklumi.

    Sebagaimana ucapan Nabi saw ketika ditanya oleh Zulyadain pada waktu beliau sholat dhohor dan melakukan salam ketika baru mendapat dua rakaat. Saat itu Zulyadain bertanya: ’Apakah shalat ini telah diringkas ataukah engkau lupa wahai Rasulallah’?

    Mendengar itu Nabi saw menjawab: كُلٌّ ذَالِكَ لَمْ يَكُنْ    

    Artinya: ‘Sebagian yang engkau tanyakan itu tidak terjadi’.                                                                                 

    Dengan demikian maka kata kullu pada jawaban Nabi saw itu tidak bermakna ’setiap atau semua’ melainkan dia bermakna ‘sebagian’, karena kullu disitu adalah kullu majmu’, bukan kullu jami’. Alasannya sebagai kullu majmu’ ialah karena pada kenyataannya ada yang terjadi pada diri Nabi saw, yakni lupa. Adapun sholat dhuhur tetap empat rakaat karena memang tidak diringkas. 
    Namun demikian, menurut penafsiran yang lain kata kullu pada jawaban Nabi saw itu bisa juga dijadikan kullu jami’, sehingga menimbulkan arti ‘Setiap yang demikian (diringkas atau kelupaan) tidak pernah terjadi’. Hal ini karena dua alasan, yaitu:
    1.Pertanyaan Zulyadain yang menggunakan kalimat ‘am nasiita’ itu berfungsi untuk ta’yin (penentuan) salah satu dari dua perkara atau untuk menafikan semuanya yakni kedua-dua perkara itu. Karena Nabi saw tidak menjawab dengan ta’yin, maka jadilah jawabannya itu untuk menafikan semuanya.

    2. Adanya riwayat bahwa Nabi saw sesudah menjawab dengan ‘kullu zaalika lam yakun’, Zulyadain lalu berkata kepada beliau:بَعْض ذَالِكَ قَدْ كَانَ    artinya Sebagian itu telah terjadi’. Ini menunjukkan bahwa kata kullu pada jawaban Nabi saw itu adalah kullu jami’ (menafikan keseluruhan) atau termasuk bab Kulliyah. Karena kalau tidak demikian, maka apa arti nya ucapan Zulyadain dengan بَعْض ذَالِكَ قَدْ كَانَ    .
    Dengan demikian dapat kita pahami berdasarkan penafsiran ini bahwa walaupun kullu disitu termasuk kullu jami’ yakni bersifat  umum, namun tidak lama sesudah itu dia di takhsish dengan ucapan Zulyadain berikutnya ‘sebagian yang demikian itu telah terjadi’. Maka termasuklah dia itu ‘am makhsush’ yakni umum yang sudah dikhususkan.

    Kesimpulannya ialah bahwa kullu itu ada yang majmu’, ada pula yang jami’. Kalau dia majmu’, maka jelas yang ditunjuk adalah sebagian atau sekelompok, bukan keseluruhan. Sedangkan kalau dia jami’, maka adakalanya dia ditakhsish, adakalanya pula tidak. Kalau dia ditakhsish, maka jadilah dia ‘am makhsush dan kalau tidak, maka terpakailah dia diatas keumumannya yakni bermakna keseluruhan.
    Kata kullu pada hadits ‘kullu bid’atin dholalah’ bisa saja sebagai kullu jami’ yang telah ditakhsish oleh dalil-dalil lainnya ––sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Dan bisa juga sebagai kullu majmu’ sehingga artinya adalah ‘sebagian bid’ah itu sesat’ dan itulah dia bid’ah yang sayyiah. Namun demikian kata kullu pada ‘wa kullu dholalatin fin naar’  tidak bisa dijadikan sebagai kullu majmu’melainkan dia tetap sebagai kullu jami’, sehingga artinya adalah ‘dan setiap yang sesat itu didalam neraka’. Sebabnya demikian karena tidak terdapat dalil-dalil lain yang mentakhsish keumumannya.

    Ada lagi orang yang mengatakan bahwa kalau kullu pada  “kullu bíd’atin dholalah” itu diartikan dengan sebagian, maka begitulah pula halnya dengan kullu pada hadits ‘wa kullu dhoalatin fin naar’  sehingga menimbulkan arti “dan sebagian kesesatan itu didalam neraka”. Orang yang mengatakan hal ini jelas-jelas tidak mengetahui perbedaan antara kulli dan kulliyah, tidak juga tahu bahwa kullu itu ada yang majmu’ dan ada pula yang jami’. Seperti halnya yang kita ketahui banyak sekali ayat Ilahi dan hadits yang menurut kalimatnya bersifat umum, dan dalam ayat atau hadits yang lain di khususkan maksud dan maknanya. Begitu banyaknya sehingga ada sekelompok ulama mengatakan; 'Hal yang umum hendaknya tidak diamalkan dulu sebelum dicari kekhususan-kekhususannya'. Begitu juga halnya dengan hadits Nabi  ‘Kullu bid’ atin dholalah’ walaupun sifatnya umum tapi berdasarkan dalil hadits lainnya maka disimpulkanlah bahwa tidak semua bid’ah (prakarsa) itu dholalah/sesat !
    Mereka juga lupa yang disebut agama bukan hanya masalah peribadatan saja. Allah swt. menetapkan agama Islam bagi umat manusia mencakup semua perilaku dan segi kehidupan manusia. Yang kesemuanya ini bisa dimasuki bid’ah baik yang hasanah maupun yang sayyiah/buruk. Untuk itu tidak ada jalan yang lebih tepat daripada yang telah ditunjukkan oleh para imam dan ulama Fiqih, yaitu sebagaimana yang telah dipecahkan oleh Imam Syafi'i dan lain-lain, yang antara lain telah kami kemukakan. Wallahua'lam. 
    Insya Allah dengan keterangan singkat masalah Bid’ah, akan bisa membuka pikiran kita untuk mengetahui bid’ah mana yang haram dan bid’ah yang hasanah/baik.


    Qadha (penggantian) Sholat yang ketinggalan dan dalil-dalil yang berkaitan dengannya:
    Sebagian golongan muslimin telah membid'ahkan, mengharamkan/membatalkan mengqadha/mengganti sholat yang sengaja tidak dikerjakan pada waktunya. Mereka ini berpegang antara lain pada wejangan Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah, yang mengatakan tidak sah orang yang ketinggalan sholat fardhu dengan sengaja untuk menggantinya/qadha pada waktu sholat lainnya, mereka harus menambah sholat-sholat sunnah untuk menutupi kekurangannya tersebut. Tetapi pendapat Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah ini telah terbantah oleh hadits-hadits berikut ini dan ijma’ (kesepakatan) para pakar diantaranya imam Hanafi, imam Malik dan imam Syafi’i dan lainnya, tentang kewajiban qadha bagi yang meninggalkan sholat baik dengan sengaja maupun tidak sengaja.

    Mari kita ikuti beberapa hadits yang berkaitan dengan qadha sholat :

    1). HR.Bukhori, Muslim dari Anas bin Malik ra.: “Siapa yang lupa (melaksanakan) suatu sholat atau tertidur dari (melaksanakan)nya, maka kifaratnya (tebusannya) adalah melakukannya jika dia ingat”.
    Ibnu Hajr Al-‘Asqalany dalam Al-Fath II:71 ketika menerangkan makna hadits ini berkata; ‘Kewajiban menggadha sholat atas orang yang sengaja meninggalkannya itu lebih utama. Karena hal itu termasuk sasaran Khitab (perintah) untuk melaksanakan sholat, dan dia harus melakukannya…’. 
    Yang dimaksud Ibnu Hajr ialah kalau perintah Rasulallah saw. bagi orang yang ketinggalan sholat karena lupa dan tertidur itu harus diqadha, apalagi untuk sholat yang disengaja ditinggalkan itu malah lebih utama/wajib untuk menggadhanya. Begitu juga hadits itu menunjukkan bahwa orang yang ketinggalan sholat karena lupa atau tertidur tidak berdosa hanya wajib menggantinya. Tetapi orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja dia berdosa besar karena kesengajaannya meninggalkan sholat, sedang kan kewajiban qadha tetap berlaku baginya. Maka bagaimana dan darimana dalilnya orang bisa mengatakan bahwa sholat yang sengaja ditinggalkan itu tidak sah (baca:batal) untuk diqadha ? 

    2). Rasulallah saw. setelah sholat Dhuhur tidak sempat sholat sunnah dua raka’at setelah dhuhur, beliau langsung membagi-bagikan harta, kemudian sampai dengar adzan sholat Ashar. Setelah sholat Ashar beliau saw sholat dua rakaat ringan, sebagai ganti/qadha sholat dua rakaat setelah dhuhur tersebut.  (HR.Bukhori, Muslim dari Ummu Salamah).

    3). Rasulallah saw. bersabda: ‘Barangsiapa tertidur atau terlupa dari mengerjakan shalat witir maka lakukanlah jika ia ingat atau setelah ia terbangun’. (HR.Tirmidzi dan Abu Daud).(dikutip dari at-taj 1:539)

    4). Rasulallah saw. bila terhalang dari shalat malam karena tidur atau sakit maka beliau saw. menggantikannya dengan shalat dua belas rakaat diwaktu siang. (HR. Muslim dan Nasa’i dari Aisyah ra).(dikutip dari at-taj 1:539).

    Nah kalau ,menurut riwayat-riwayat tadi, sholat sunnah muakkad setelah dhuhur, sholat witir dan sholat malam yang tidak dikerjakan pada waktunya itu boleh diganti/diqadha oleh Rasulallah saw. pada waktu setelah sholat Ashar dan waktu-waktu lainnya, maka sholat fardhu yang sengaja ketinggalan itu lebih utama diganti dari- pada sholat-sholat sunnah ini.

    5). HR Muslim dari Abu Qatadah, mengatakan bahwa ia teringat waktu safar pernah Rasulallah saw. ketiduran dan terbangun waktu matahari menyinari punggungnya. Kami terbangun dengan terkejut. Rasulallah saw. bersabda: Naiklah (ketunggangan masing-masing) dan kami menunggangi (tunggangan kami) dan kami berjalan. Ketika matahari telah meninggi, kami turun. Kemudian beliau saw. berwudu dan Bilal adzan untuk melaksanakan sholat (shubuh yang ketinggalan). Rasulallah saw. melakukan sholat sunnah sebelum shubuh kemudian sholat shubuh setelah selesai beliau saw. menaiki tunggangannya.

    Ada sementara yang berbisik pada temannya; ‘Apakah kifarat (tebusan) terhadap apa yang kita lakukan dengan mengurangi kesempurnaan shalat kita (at-tafrith fi ash-sholah)? Kemudian Rasulallah saw. bersabda: ’Bukankah aku sebagai teladan bagi kalian’?,  dan selanjutnya beliau bersabda : ‘Sebetulnya jika karena tidur (atau lupa) berarti tidak ada tafrith (kelalaian atau kekurangan dalam pelaksanaan ibadah, maknanya juga tidak berdosa). Yang dinamakan kekurangan dalam pelaksanaan ibadah (tafrith) yaitu orang yang tidak melakukan (dengan sengaja) sholat sampai datang lagi waktu sholat lainnya….’. (Juga Imam Muslim meriwayatkan  dari Abu Hurairah, dari Imaran bin Husain dengan kata-kata yang mirip, begitu juga Imam Bukhori dari Imran bin Husain). 
    Hadits ini tidak lain berarti bahwa orang yang dinamakan lalai/menggampangkan sholat ialah bila meninggalkan sholat dengan sengaja dan dia berdosa, tapi bila karena tertidur atau lupa maka dia tidak berdosa, kedua-duanya wajib menggadha sholat yang ketinggalan tersebut. Dan dalam hadits ini tidak menyebutkan bahwa orang tidak boleh/haram menggadha sholat yang ketinggalan kecuali selain dari yang lupa atau tertidur, tapi hadits ini menyebutkan tidak ada kelalaian (tidak berdosa) bagi orang yang meninggalkan sholat karena tertidur atau lupa. Dengan demikian tidak ada dalam kalimat hadits larangan untuk menggadha sholat!

    6). Jabir bin Abdullah ra.meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab ra. pernah datang pada hari (peperangan)  Khandaq setelah matahari terbenam. Dia mencela orang kafir Quraisy, kemudian berkata; ‘Wahai Rasulallah, aku masih melakukan sholat Ashar hingga (ketika itu) matahari hampir terbenam’. Maka Rasulallah saw. menjawab : ‘Demi Allah aku tidak (belum) melakukan sholat Ashar itu’. Lalu kami berdiri (dan pergi) ke Bith-han. Beliau saw. berwuduk untuk (melaksanakan) sholat dan kami pun berwuduk untuk melakukannya. Beliau saw. (melakukan) sholat Ashar setelah matahari terbenam. Kemudian setelah itu beliau saw. melaksanakan sholat Maghrib. (HR.Bukhori dalam Bab ‘orang yg melakukan sholat bersama orang lain secara berjama’ah setelah waktunya lewat’, Imam Muslim I ;438 hadits nr. 631, meriwayatkannya juga, didalam Al-Fath II:68, dan pada bab ‘menggadha sholat yang paling utama’ dalam Al-Fath Al-Barri II:72)

    7).  Begitu juga dalam kitab Fiqih empat madzhab atau Fiqih lima madzhab bab 25 sholat Qadha’ menulis: Para ulama sepakat (termasuk Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan lainnya) bahwa barangsiapa ketinggalan shalat fardhu maka ia wajib menggantinya/menggadhanya. Baik shalat itu ditinggalkannya dengan sengaja, lupa, tidak tahu maupun karena ketiduran. Memang terdapat perselisihan antara imam madzhab (Hanafi, Malik, Syafi’i dan lainnya), perselisihan antara mereka ini ialah apakah ada kewajiban qadha atas orang gila, pingsan dan orang mabuk.

    8). Dalam kitab fiqih Sunnah Sayyid Sabiq (bahasa Indonesia) jilid 2 hal. 195 bab Menggadha Sholat diterangkan: Menurut madzhab jumhur termasuk disini Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i mengatakan orang yang sengaja meninggalkan sholat itu berdosa dan ia tetap wajib menggadhanya. Yang menolak pendapat qadha dan ijma’ ulama ialah Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah, mereka ini membatalkan (tidak sah) untuk menggadha sholat !! Dalam buku ini diterangkan panjang lebar alasan dua imam ini. (Tetapi alasan dua imam ini terbantah juga oleh hadits-hadits diatas dan ijma’ para ulama pakar termasuk disini Imam Hanafi, Malik, Syafi’i dan ulama pakar lain- nya yang mewajibkan qadha atas sholat yang sengaja ditinggalkan. Mereka ini juga bathil dari sudut dalil dan berlawanan dengan madzhab jumhur—pen.).

    Kalau kita baca hadits-hadits diatas semuanya masalah qadha sholat, dengan demikian buat kita insya Allah sudah jelas bahwa menggadha/menggantikan sholat yang ke tinggalan baik secara disengaja maupun tidak disengaja menurut ijma’ ulama hukumnya wajib, sebagaimana yang diutarakan oleh para pakar islam ,yang telah diakui oleh para ulama, yaitu Imam Hanafi, Imam Malik dan Imam Syafi’i. Hanya perbedaan antara yang disengaja dan tidak disengaja ialah masalah dosanya jadi bukan masalah qadhanya.  
    Semoga dengan adanya dalil-dalil yang cukup jelas ini, bisa menjadikan manfaat bagi kita semua. Semoga kita semua tidak saling cela-mencela atau merasa pahamnya/ anutannya yang paling benar.  

    Sholat sunnah Qabliyah (sebelum) sholat Jum’at
    Sebagian orang telah membid’ahkan sholat sunnah qabliyah jum’at ini. Menurut pandangan mereka, hal ini tidak pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw. atau para sahabat. Padahal kalau kita teliti cukup banyak hadits serta wejangan para pakar ahli fiqih dalam madzhab Syafi’i dan lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan sunnahnya sholat qabliyah jum’at ini. Mari kita ikuti hadits-hadits yang berkaitan dengan sholat sunnah sebelum sholat wajib dan sholat qabliyah jum'at, di antaranya:

     Hadits riwayat Bukhori dan Muslim : Dari Abdullah bin Mughaffal al-Muzanni, ia berkata; Rasulallah saw. bersabda: ‘Antara dua adzan itu terdapat shalat’”. Menurut para ulama yang dimaksud antara dua adzan ialah antara adzan dan iqamah.

    Mengenai hadits ini tidak ada seorang ulamapun yang meragukan keshohihannya karena dia disamping diriwayatkan oleh Bukhori Muslim, juga diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Ya’la dalam kitab Musnadnya. Dari hadits ini saja kita sudah dapat memahami bahwa Nabi saw. menganjurkan diantara adzan dan iqamah itu dilakukan sholat sunnah dahulu, termasuk dalam katergori ini sholat sunnah qabliyah jum’at. Tetapi nyatanya para golongan pengingkar  tidak mengamalkan amalan sunnah ini karena mereka anggap sebagai amalan bid’ah.

     Riwayat dalam sunan Turmudzi II/18: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwasanya beliau melakukan shalat sunnah qabliyah jum’at sebanyak empat raka’at dan sholat ba’diyah (setelah) jum’at sebanyak empat raka’at pula”.

    Abdullah bin Mas’ud merupakan sahabat Nabi saw. yang utama dan tertua, dipercayai oleh Nabi saw sebagai pembawa amanah sehingga beliau selalu dekat dengan nabi saw. Beliau wafat pada tahun 32 H. Kalau seorang sahabat Nabi yang utama dan selalu dekat dengan beliau saw. mengamalkan suatu ibadah, maka tentu ibadahnya itu di ambil dari sunnah Nabi saw.  
    Penulis kitab Hujjatu Ahlis Sunnah Wal-Jama’ah setelah mengutip riwayat Abdullah bin Mas’ud tersebut mengatakan:Secara dhohir (lahiriyah) apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Mas’ud itu adalah berdasarkan petunjuk langsung dari Nabi Muhammad saw.”
    Dalam kitab Sunan Turmudzi itu dikatakan pula bahwa Imam Sufyan ats-Tsauri dan Ibnul Mubarak beramal sebagaimana yang diamalkan oleh Abdullah bin Mas’ud ( Al-Majmu’ 1V/10).

      Hadits riwayat Abu Daud: “Dari Ibnu Umar ra. bahwasanya ia senantiasa memanjangkan shalat qabliyyah jum’at. Dan ia juga melakukan shalat ba’diyyah jum’at dua raka’at. Ia menceriterakan bahwasanya Rasulallah saw. senantiasa melakukan hal yang demikian”.(Nailul Authar III/313). 
    Penilaian beberapa ulama mengenai hadits terakhir diatas ialah:
    Imam Syaukani berkata: ‘Menurut Hafidz al-Iraqi, hadits Ibnu Umar itu isnadnya shohih’
    Hafidz Ibnu Mulqin dalam kitabnya yang berjudul Ar-Risalah berkata: ‘Isnadnya shohih tanpa ada keraguan’. 
    Imam Nawawi dalam Al-Khulashah mengatakan : Hadits tersebut shohih menurut persyaratan Imam Bukhori. Juga telah dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam shohihnya’.

      Hadits riwayat Ibnu Majah : “Dari Abu Hurairah dan Abu Sufyan dari Jabir, keduanya berkata; Telah datang Sulaik al-Ghathfani diketika Rasulallah saw. tengah berkhutbah (khotbah jum’at). Lalu Nabi saw bertanya kepadanya: ‘Apakah engkau sudah shalat dua raka’at sebelum datang kesini ?’ Dia menjawab; Belum. Nabi saw. bersabda; ‘Shalatlah kamu dua raka’at dan ringkaskan shalatmu itu’ “. (Nailul Authar III/318). 

    Jelas sekali dalam hadits ini bagaimana Rasulallah saw menganjurkan (pada orang itu) shalat sunnah qabliyyah jum’at dua raka’at sebelum duduk mendengarkan khutbah. Juga dalam menerangkan hadits ini Syeikh Syihabuddin al-Qalyubi wafat 1070Hmengatakan; bahwa hadits ini nyata dan jelas berkenaan dengan shalat sunnah qabliyah jum’at, bukan shalat tahiyyatul masjid. Hal ini dikarenakan tahiyyatul masjid tidak boleh dikerjakan dirumah atau diluar masjid melainkan harus dikerjakan di masjid. 
    Syeikh Umairoh berkata: Andai ada orang yang mengatakan bahwa yang disabdakan oleh Nabi itu mungkin sholat tahiyyatul masjid, maka dapat dijawab “Tidak Mungkin”. Sebab shalat tahiyyatul masjid tidak dapat dilakukan diluar masjid, sedangkan nabi saw. (waktu itu) bertanya; Apakah engkau sudah sholat sebelum (dirumahnya) datang kesini ? (Al-Qalyubi wa Umairoh 1/212).

    Begitu juga Imam Syaukani ketika mengomentari hadits riwayat Ibnu Majah tersebut mengatakan dengan tegas:
    Sabda Nabi saw. ‘sebelum engkau datang kesini’ menunjukkan bahwa sholat dua raka’at itu adalah sunnah qabliyyah jum’at dan bukan sholat sunnah tahiyyatul masjid“.(Nailul Authar III/318). 
    Mengenai derajat hadits riwayat Ibnu Majah itu, Imam Syaukani berkata; ‘Hadits Ibnu Majah ini perawi-perawinya adalah orang kepercayaan’. Begitu juga Hafidz al-Iraqi berkata: ‘Hadits Ibnu Majah ini adalah hadits shohih’.

      Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Thabrani: “Dari Abdullah bin Zubair, ia berkata, Rasulallah saw. bersabda: ‘Tidak ada satupun sholat yang fardhu kecuali disunnahkan sebelumnya shalat dua raka’at’ “. Menurut kandungan hadits ini jelas bahwa disunnahkan juga shalat qabliyyah jum’at sebelum sholat fardhu jum’at dikerjakan.  
    Mengenai derajat hadits ini Imam Hafidz as-Suyuthi mengatakan: ‘Ini adalah hadits shohih’  dan Ibnu Hibban berkata ; ‘Hadits ini adalah shohih’.  Sedangkan Syeikh al-Kurdi berkata: “Dalil yang paling kuat untuk dijadikan pegangan dalam hal disyariatkannya sholat sunnah dua raka’at qabliyyah jum’at adalah hadits yang dipandang shohih oleh Ibnu Hibban yakni hadits Abdullah bin Zubair yang marfu’ (bersambung sanadnya sampai kepada Nabi saw.) yang artinya: ‘Tidak ada satupun shalat yang fardhu kecuali disunnahkan sebelumnya shalat dua raka’at’ “.

    Demikianlah beberapa hadits shohih diatas sebagai dalil disunnahkannya sholat qabliyyah jum’at. Sedangkan kesimpulan beberapa ulama ahli fiqih khususnya dalam madzhab Syafi’i tentang hukum sholat sunnah qabliyyah jum’at yang tertulis dalam kitab-kitab mereka ialah :

    Hasiyah al-Bajuri 1/137 :
    “Shalat jum’at itu sama dengan shalat Dhuhur dalam perkara yang disunnahkan untuknya. Maka disunnahkan sebelum jum’at itu empat raka’at dan sesudahnya juga empat raka’at”.

    Al-Majmu’ Syarah Muhazzab 1V/9 :
    “Disunnahkan shalat sebelum dan sesudah jum’at. Minimalnya adalah dua raka’at qabliyyah dan dua raka’at ba’diyyah (setelah sholat jum’at). Dan yang lebih sempurna adalah empat raka’at qabliyyah dan empat raka’at ba’diyyah’.

    Iqna’ oleh Syeikh Khatib Syarbini 1/99 :
    “Jum’at itu sama seperti shalat Dhuhur.Disunnahkan sebelumnya empat raka’at dan sesudahnya juga empat raka’at”.

    Minhajut Thalibin oleh Imam Nawawi :
    “Disunnahkan shalat sebelum Jum’at sebagaimana shalat sebelum Dzuhur”.

    Begitu juga masih banyak pandangan ulama pakar berbagai madzhab mengenai sunnahnya sholat qabliyyah jum'at ini. Dengan keterangan-keterangan singkat mengenai kesunnahan sholat qabliyyah jum’at, kita akan memahami bahwa ini semua adalah sunnah Rasulallah saw., bukan sebagai amalan bid’ah. Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah swt. Wallahua'lam.

    Dalil dan Sunnah memegang tongkat waktu berkhotbah
    Sebaigamana biasa ada golongan muslimin yang membid’ahkan pegang tongkat waktu khutbah jumat. Terutama golongan salafi (baca:Wahabi) membid’ahkan masalah ini, dan golongan ini bila membid’ahkan suatu amalan berarti mengharamkan amalan tersebut, karena menurut paham mereka bahwa semua bid’ah adalah sesat dan semua kesesatan didalam neraka, maka dari itu amalan bid’ah tidak boleh (haram) untuk diamalkan. Mereka meniadakan adanya bid’ah hasanah, bid’ah mubah dan lain sebagainya (lebih mendetail silahkan rujuk keterangan yang lalu).

    Kita seringkali menyaksikan di masjid-masjid khususnya masjid syafi’iyyah, masjid hanafiyyah dan lainnya, seorang khatib Jum'at sambil memegang tongkat ketika berkhutbah. Amalan demikian itu mempunyai dasar dalil dari Rasullah saw. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami hadits Rasulallah saw yang berkaitan dengan masalah ini. Sebagian mengatakan bahwa memegang tongkat itu bagian dari sunnah atau kesempurnaan khutbah Jum'at. Sedangkan sebagian lainnya memandang bahwa hal itu bukan bagian dari urusan khutbah Jum'at, sebab di luar khutbah pun Rasulullah saw pada masa tuanya sering memegang tongkat. Walaupun dengan alasan yang berbeda-beda ini, tapi dinyatakan juga bahwa Rasulallah saw memegang tongkat waktu berkhotbah! 
    Kami kutip beberapa hadits berikut ini:
    — Dari Al-Hakim bin Hazn Al-Kalafi ra berkata: "Aku datang kepada nabi saw dan tinggal bersamanya beberapa hari hingga melakukan shalat Jum'at bersamanya. Beliau berdiri (khutbah) dengan berpegangan pada busur panah atau tongkat." (HR Abu Daud dan Ahmad). Berdasarkan hadits ini, Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-fiqhul Islami Wa Adillatuhu menyebutkan jumhur ulama menetapkan bahwa berpegangan pada tongkat saat khubat Jum'at merupakan bagian dari sunnah khutbah. Adapun dari sisi derajat kekuatan hadits diatas, kita bisa telaah pula di dalam kitab Nailul Authar karya Asy-Syaukani. Salah seorang perawi hadits tersebut  yaitu Syihab bin Harasy Abu As-Shalt yang oleh Ibnul Mubarak dikomentari sebagai perawi Tsiqah. Demikian pula dengan Ahmad, Yahya bin Mu'in serta Abu Hatim mengatakan bahwa Syihab itu perawi yang "la ba'sa bihi", yakni tidak ada masalah dengannya. Ibnu Hibban berkata, Syihab adalah seorang yang shalih meski seringkali salah hingga keluar dari tumpuannya. Adapun Ibnu Huzaimah dan Ibnu Sakan menyatakan bahwa derajat hadits ini shahih. Al-Hafidz Ibnu Hajar pensyarah Shahih Bukhari mengomentarinya bahwa orang-orang mempercayai perawi ini (Syihab). Maka AL-Hafidz menghasankan isnad nya dan menegaskan bahwa hadits ini ada syahid (penguatnya) yaitu hadits Al-Barra' bin 'Azib. Al-Barra' bin Azib mengatakan bahwa Nabi saw memegang busur panah pada hari 'Ied dan berkhutbah dengan memegangnya (HR Ahmad, At-Thabarani dan Abu Daud). Derajat hadits ini dinyatakan shahih oleh Ibnu as-Sakan.

    — Dari Syu’aib bin Zuraidj at-Tha’ifi ia berkata ”Kami menghadiri shalat jum’at pada suatu tempat bersama Rasulullah saw. Maka beliau berdiri berpegangan pada sebuah tongkat atau busur”. (Sunan Abi Dawud hal. 824). As Shan’ani mengomentari hadits ini bahwa hadits itu menjelaskan tentang “sunnahnya khatib memegang pedang atau semacamnya pada waktu menyampaikan khutbahnya”. (Subululus Salam, juz II, hal 59)

    — Apabila muadzin telah selesai (adzan), maka khatib berdiri menghadap jama’ ah dengan wajahnya. Tidak menoleh ke kanan dan ke kiri. Dan kedua tangannya memegang pedang yang ditegakkan atau tongkat pendek serta (tangan yang satunya memegang) mimbar. Supaya dia tidak mempermainkan kedua tangannya. (Kalau tidak begitu) atau dia menyatukan tangan yang satu dengan yang lain”. (Ihya’ ‘Ulum al-Din, jilid I, hal 180).

    —Dalil hadits yang ditulis dalam kitab Al-Umm jilid 1, hal. 272 bahwa Imam Syafi’i ra berkata: Telah sampai kepada kami (berita) bahwa ketika Rasulullah saw berkhuthbah, beliau berpegang pada tongkat. Ada yang mengatakan, beliau berkhutbah dengan memegang tongkat pendek dan anak panah. Semua benda-benda itu dijadikan tempat pegangan. Ar-Rabi’ mengabarkan dari imam Syafi’i dari Ibrahim, dari Laits dari ‘Atha’, bahwa Rasulullah saw jika berkhutbah memegang tongkat pendek untuk dijadikan pegangan”. (al-Umm, juz I, hal 272). Kita semua telah mengenal pribadi dan ilmu hadits imam Syafi’i, golongan syafi’iyyah yang mengamalkan sunnah ini antara lain berpegang pula pada hadits yang ditulis imam Syafi’i ini.
    Ada sebagian ulama mengatakan di dalam hadits terakhir diatas ini terdapat perawi yang dhaif (lemah) yaitu Laits bin Abi Salim. Umpamanya benar demikian, tidak ada salahnya untuk mengamalkan hadits dho’if selama amalan ini tidak dilarang oleh Rasulallah saw,  apalagi kenyataannya masih ada hadits yang kuat ,sebagaimana yang telah kami kemukakan tadi, tentang berpegang dengan tongkat waktu berkhotbah.
    Jumhur ulama menjadikan hadits-hadits tadi sebagai dasar masyru'iyah kesunnahan memegang tongkat saat berkhutbah Jumat. Dan sebagian dari mereka menyebutkan hikmahnya, antara lain untuk mengikat hati (agar lebih konsentrasi) dan agar tidak mempermainkan tangannya, demikian pula yang ditulis dalam kitab Subulus Salam, juz II, hal 59). Dengan demikian kesunnahan memegang tongkat saat berkhutbah adalah sunnah Rasulallah saw. Wallahua’lam..

    Keterangan singkat mengenai mengangkat tangan waktu berdo'a
    Sebagian golongan ada yang membid’ahkan mengangkat kedua tangan waktu berdo’a. Sebenarnya ini sama sekali tidak ada larangan dalam agama, malah sebaliknya ada hadits bahwa Rasulallah saw. mengangkat tangan waktu berdo’a. Begitupun juga ulama-ulama pakar dari berbagai madzhab (Hanafi, Maliki , Syafi’i dan lain sebagai nya) selalu mengangkat tangan waktu berdo’a, karena hal ini termasuk adab atau tata tertib cara berdo’a kepada Allah swt.

      Dalam kitab Riyaadus Shalihin jilid 2 terjemahan bahasa Indonesia oleh Almarhum H.Salim Bahreisj cetakan keempat tahun 1978, meriwayatkan sebuah hadits : 
    "Sa’ad bin Abi Waqqash ra.berkata: Kami bersama Rasulallah saw. keluar dari Makkah menuju ke Madinah, dan ketika kami telah mendekati Azwara, tiba-tiba Rasulallah saw. turun dari kendaraannya, kemudian mengangkat kedua tangan berdo’a sejenak lalu sujud lama sekali, kemudian bangun mengangkat kedua tangannya berdo’a, kemudian sujud kembali, diulanginya perbuatan itu tiga kali. Kemudian berkata: ‘Sesungguhnya saya minta kepada Tuhan supaya di-izinkan memberikan syafa’at (bantuan) bagi ummatku, maka saya sujud syukur kepada Tuhanku, kemudian saya mengangkat kepala dan minta pula kepada Tuhan dan diperkenankan untuk sepertiga, maka saya sujud syukur kepada Tuhan, kemudian saya mengangkat kepala berdo’a minta untuk ummatku, maka diterima oleh Tuhan, maka saya sujud syukur kepada Tuhanku’ ". (HR.Abu Dawud).
    Dalam hadits ini menerangkan bahwa Rasulallah saw. tiga kali berdo’a sambil mengangkat tangannya setiap berdo’a, dengan demikian berdo’a sambil mengangkat tangan adalah termasuk sunnah Rasulallah saw..

      Dalam Kitab Fiqih Sunnah Sayid Sabiq (bahasa Indonesia) buku yang sering diandalkan juga oleh golongan pengingkar  jilid 4 cetakan pertama tahun 1978 halaman 274-275 diterbitkan oleh PT Alma’arif, Bandung Indonesia, dihalaman ini ditulis sebagai berikut : 
    Berdasarkan riwayat Abu Daud dari Ibnu Abbas ra., katanya: “Jika kamu meminta (berdo’a kepada Allah swt.) hendaklah dengan mengangkat kedua tanganmu setentang kedua bahumu atau kira-kira setentangnya, dan jika istiqhfar (mohon ampunan) ialah dengan menunjuk dengan sebuah jari, dan jika berdo’a dengan melepas semua jari-jemari tangan”.
    Malah dalam hadits ini, kita diberi tahu sampai dimana batas sunnahnya mengangkat tangan waktu berdo’a, dan waktu mengangkat tangan tersebut disunnahkan dengan menunjuk sebuah jari waktu mohon ampunan, melepas semua jari-jari tangan (membuka telapak tangannya) waktu berdo’a selain istiqfar.

      Diriwayatkan dari Malik bin Yasar bahwa Rasulallah saw. bersabda: 
    “Jika kamu meminta Allah, maka mintalah dengan bagian dalam telapak tanganmu, jangan dengan punggungnya !” Sedang dari Salman, sabda Nabi saw : “Sesungguhnya Tuhanmu yang Mahaberkah dan Mahatinggi adalah Mahahidup lagi Mahamurah, ia merasa malu terhadap hamba-Nya jika ia menadahkan tangan (untuk berdo’a) kepada-Nya, akan menolaknya dengan tangan hampa”.
    Lihat hadits ini Allah swt. tidak akan menolak do’a hamba-Nya waktu berdo’a sambil menadahkan tangan kepadaNya, dengan demikian do’a kita akan lebih besar harapan dikabulkan oleh-Nya!

      Sedangkan hadits yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim dari Anas bin Malik ra.  menuturkan : 
    “Aku pernah melihat Rasulallah saw. mengangkat dua tangan keatas saat berdo’a sehingga tampak warna keputih-putihan pada ketiak beliau”.

    Masih ada hadits yang beredar mengenai mengangkat tangan waktu berdo’a. Dengan hadits-hadits diatas ini, cukup buat kita sebagai dalil atas sunnahnya mengangkat tangan waktu berdo’a kepada Allah swt. Bagi saudaraku muslim yang tidak mau angkat tangan waktu berdo’a, silahkan, tapi janganlah mencela atau membid’ahkan saudara muslim lainnya yang mengangkat tangan waktu berdo’a! Karena mengangkat tangan waktu berdo’a adalah sebagai adab atau sopan santun cara berdo’a kepada Allah swt. dan hal ini diamalkan juga oleh para salaf dan para ulama (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Imam Ahmad –radhiyallahu ‘anhum– dan para imam lainnya).Wallahua'lam.

    Janganlah kita cepat membid’ahkan sesuatu amalan karena membaca satu hadits dan mengenyampingkan hadits lainnya. Semuanya ini amalan-amalan sunnah, siapa yang mengamalkan tersebut akan dapat pahala, dan yang tidak mengamalkan hal tersebut juga tidak berdosa. Karena membid'ahkan sesat sama saja mengharamkan amalan tersebut.

    Sekelumit tentang mengusap wajah setelah berdo'a.  
    Salah satu kebiasaan yang sering kita lihat, setiap selesai berdoa ,baik setelah sholat maupun diluar waktu sholat, umat Islam mengusapkan tangannya kewajahnya. Hal mengusap wajah setelah berdoa ini berdasarkan beberapa hadits, bahwa Rasulullah saw setelah berdoa mengusapkan kedua tangan ke wajahnya. Umpama hadits dari Saib bin Yazid dari ayahnya, “Apabila Rasulullah saw  berdoa, beliau selalu mengangkat kedua tangannya, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya”(HR Abu Dawud, no1275, 1492). Dan hadits-hadits lainnya yang serupa dan semakna, dari Umar bin Khattab, Ibnu Abbas dan lainnya, yang antara lain diriwayatkan oleh Abu Dawud, At Tirmidzi Ibnu ‘Asakir , Ibnu Majah, Ath Thabarani dan lain-lain.

    Memang benar ada beberapa riwayat tentang masalah tersebut lemah, karena diantara rawinya terdapat seorang yang dipandang lemah oleh pakar hadits. Namun karena terdapat syawahid/para saksi atau penguatnya dan diriwayatkan dengan berbagai jalan, maka menurut ulama hadits dhoif ini menjadi hadits hasan lighairih (Hasan disebab kan adanya riwayat yang lain). Sebagaimana diterangkan dalam kitab Bulughul Maram min Adillatil Ahkam oleh al-Hafiz Shaikh Ibn Hajar al-Asqolani, berikut ini: “Diriwayatkan Umar ra yang katanya: Rasulullah saw menadah tangannya ketika berdoa, beliau tidak menurunkan tangan itu hingga menyapu dengan tangannya kewajah nya”. (HR at-Tirmidzi, sebagai syawahid hadits dari Ibn Abbas ra disisi Abu Daud dan lainnya, dengan banyaknya beredar hadits itu maka membuat hadits ini (naik derajat) Hasan).
    Imam as-Son’ani ketika memberi komentar kata-kata Ibn Hajar didalam kitabnya Subulus Salam Syarh Bulughul Maram: “Dan padanya (hadits tersebut) menjadi dalil atas disyariatkan menyapu wajah dengan kedua tangan setelah selesai berdoa…”.     
    Imam as-Son’ani berkata: “Ada ulama yang berkata bahwa hikmahnya adalah karena kedua tangan yang diangkat ketika berdoa itu tidak kosong dari rahmat Allah. Maka wajarlah kalau kedua tangan yang penuh dengan rahmat Allah itu disapukan terlebih dahulu kewajahnya sebelum diturunkan, karena wajah itu dianggap sebagai anggota tubuh manusia yang paling mulia dan paling terhormat”.

    Hadits-hadits shohih ,berikut ini, mengenai mengusap wajah seusai berdo’a:
      “Rasulallah saw bila telah menuju pembaringannya nafatsa (meniup disertai butiran kecil airliur) pada kedua telapak tangannya dengan Qulhuwallahu ahad dan Mu’awwidzatain (QS Alfalaq dan Annaas), lalu mengusapkan kewajahnya dan anggota tubuhnya yang terjangkau dengan kedua tangan beliau saw. Berkata Aisyah ra, ketika beliau sakit maka beliau menyuruhku untuk melakukannya untuk beliau saw (Bukhari hadits no.5416). Sedangkan dalam kitab Bukhori hadits no.4729: bahwa Rasulallah saw ketika dipembaringannya, merapatkan kedua telapak tangannya lalu nafatsa (meniup dengan sedikit meludah) pada kedua telapak tangannya, lalu membaca surat Al Ikhlas, Alfalaq dan Annaas, lalu mengusapkan kewajahnya, dan seluruh tubuh yang mungkin dicapainya, beliau mengulanginya tiga kali.       

      Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha dalam kitab I’anatut Thalibin juz I, hal 184-185 menyatakan: Imam Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar (hal. 69), dan kami juga meriwayatkan hadits dalam kitab Ibnus Sunni dari sahabat Anas bahwa Rasulullah saw apabila selesai melaksanakan shalat, beliau mengusap wajahnya dengan tangan kanannya. Lalu berdoa: “Saya bersaksi tiada Tuhan kecuali Dia Dzat Yang maha Pengasih dan penyayang. Ya Allah Hilangkan dariku kebingungan dan kesusahan”.

      Juga didalam kitab al-Adzkar ini pada bab adab-adab ketika berdoa, disebutkan: “Dan telah berkata Abu Hamid al-Ghazali didalam ihya, adab/cara berdo’a itu ada sepuluh..... Yang ketiga: menghadap qiblat, dan mengangkat kedua belah tangan dan menyapu keduanya kewajah pada akhir do’a (setelah berdoa) …”.        

      Didalam kitab Fathul Muin (Al-Malibary): “Dan (disunahkan waktu berdoa itu) mengangkatkan kedua tangan yang bersih sampai sejajar dengan dua bahu, dan disunnahkan menyapu muka dengan kedua tangan itu seusai berdoa …”

      Didalam Hasyiah al-Baijuri juga disebutkan sunnahnya menyapu wajah setelah berdo’a diluar waktu sholat.        

    Insya Allah jelas buat kita bahwa Nabi saw pernah mencontohkan mengusap tangan kewajahnya setelah berdoa, terutama saat akan tidur. Beliau saw sedang sakitpun menyuruh isterinya Aisyah ra untuk melakukannya. Ini semua merupakan sunnah dan sebagai salah satu etika berdoa. Begitu jug sebagai bukti bagi orang yang meniadakan dan membid’ahkan munkar mengusap wajah setelah berdoa. Begitupun juga tidak ada satu dalil pun dari Nabi saw yang mengharamkan mengusap wajah setelah berdoa! Janganlah kita mudah menvonnis bid’ah munkar (baca: haram), sesat, dan lain sebagainya, yang mengamalkan amalan-amalan sunnah atau mubah. Jangan lagi yang masih ada dalilnya, umpama saja tidak ada satu haditspun dari Nabi saw tentang mengusap wajah setelah berdoa diluar waktu sholat, itupun bukan berarti haram untuk di lakukan. Orang boleh melakukan amalan apapun setelah selesai sholat selama hal itu tidak berlawanan yang telah digariskan oleh syari’at Islam. Dan yang penting lagi orang tidak boleh mewajibkan/mensyariatkan amalan yang sunnah atau mubah, dan sebaliknya mensunnahkan suatu amalan padahal amalan ini wajib hukumnya. Wallahu’alam.

    Menyebut nama Rasulallah saw. dengan awalan kata sayyidina atau maulana
    Sebagian orang membid’ahkan panggilan Sayyidinaa atau Maulana didepan nama Muhammad Rasulallah saw., dengan alasan bahwa Rasulallah saw. sendiri yang menganjurkan kepada kita tanpa mengagung-agungkan dimuka nama beliau saw. Memang golongan ini mudah sekali membid’ahkan  sesuatu amalan tanpa melihat motif makna yang dimaksud Bid’ah itu apa. Mari kita rujuk ayat-ayat Ilahi dan hadits-hadits Rasulallah saw. yang berkaitan dengan kata-kata sayyid.

    Syeikh Muhammad Sulaiman Faraj dalam risalahnya yang berjudul panjang yaitu Dala’ilul-Mahabbah Wa Ta’dzimul-Maqam Fis-Shalati Was-Salam ‘AN Sayyidil-Anam dengan tegas mengatakan: Menyebut nama Rasulallah saw. dengan tambahan kata Sayyidina (junjungan kita) didepannya merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim yang mencintai beliau saw. Sebab kata tersebut menunjukkan kemuliaan martabat dan ketinggian kedudukan beliau. Allah swt.memerintahkan ummat Islam supaya menjunjung tinggi martabat Rasulallah saw., menghormati dan memuliakan beliau, bahkan melarang kita memanggil atau menyebut nama beliau dengan cara sebagaimana kita menyebut nama orang diantara sesama kita. Larangan tersebut tidak berarti lain kecuali untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan Rasulallah saw. Allah swt.berfirman, yang artinya: “Janganlah kalian memanggil Rasul (Muhammad) seperti kalian memanggil sesama orang diantara kalian”. (S.An-Nur : 63).

     Dalam tafsirnya mengenai ayat An-Nur : 63 ini, Ash-Shawi mengatakan: Makna ayat itu ialah janganlah kalian memanggil atau menyebut nama Rasulallah saw. cukup dengan nama beliau saja, seperti Hai Muhammad atau cukup dengan nama julukannya saja Hai Abul Qasim. Hendaklah kalian menyebut namanya atau memanggilnya dengan penuh hormat, dengan menyebut kemuliaan dan keagungannya. Demikianlah yang dimaksud oleh ayat tersebut diatas. Jadi, tidak patut bagi kita menyebut nama beliau saw.tanpa menunjukkan penghormatan dan pemuliaan kita kepada beliau saw., baik dikala beliau masih hidup didunia maupun setelah beliau kembali keharibaan Allah swt. Yang sudah jelas ialah bahwa orang yang tidak mengindahkan ayat tersebut berarti tidak mengindahkan larangan Allah dalam Al-Qur’an. Sikap demikian bukanlah sikap orang beriman.

    Menurut Ibnu Jarir, dalam menafsirkan ayat tersebut Qatadah mengatakan : Dengan ayat itu (An-Nur:63) Allah memerintahkan ummat Islam supaya memuliakan dan mengagungkan Rasulallah saw.

    Dalam kitab Al-Iklil Fi Istinbathit-Tanzil  Imam Suyuthi mengatakan: Dengan turunnya ayat tersebut Allah melarang ummat Islam menyebut beliau saw. atau memanggil beliau hanya dengan namanya, tetapi harus menyebut atau memanggil beliau dengan Ya Rasulallah atau Ya Nabiyullah. Menurut kenyataan sebutan atau panggilan demikian itu tetap berlaku, kendati beliau telah wafat.

    Dalam kitab Fathul-Bari syarh Shahihil Bukhori juga terdapat penegasan seperti tersebut diatas, dengan tambahan keterangan sebuah riwayat berasal dari Ibnu ‘Abbas ra. yang diriwayatkan oleh Ad-Dhahhak, bahwa sebelum ayat tersebut turun kaum Muslimin memanggil Rasulallah saw. hanya dengan Hai Muhammad, Hai Ahmad, Hai Abul-Qasim dan lain sebagainya. Dengan menurunkan ayat itu Allah swt. melarang mereka menyebut atau memanggil Rasulallah saw. dengan ucapan-ucapan tadi. Mereka kemudian menggantinya dengan kata-kata : Ya Rasulallah, dan Ya Nabiyullah.

    Hampir seluruh ulama Islam dan para ahli Fiqih berbagai madzhab mempunyai pendapat yang sama mengenai soal tersebut, yaitu bahwa mereka semuanya melarang orang menggunakan sebutan atau panggilan sebagaimana yang dilakukan orang sebelum ayat tersebut diatas turun.  
    Didalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat yang mengisyaratkan makna tersebut diatas. Antara lain firman Allah swt. dalam surat Al-A’raf : 157 ; Al-Fath : 8-9, Al-Insyirah : 4 dan lain sebagainya. Dalam ayat-ayat ini Allah swt. memuji kaum muslimin yang bersikap hormat dan memuliakan Rasulallah saw., bahkan menyebut mereka sebagai orang-orang yang beruntung. Juga firman Allah swt. mengajarkan kepada kita tatakrama, yang mana dalam firman-Nya tidak pernah memanggil atau menyebut Rasul-Nya dengan kalimat Hai Muhammad, tetapi memanggil beliau dengan kalimat Hai Rasul  atau Hai Nabi.  
    Firman-firman Allah swt. tersebut cukup gamblang dan jelas membuktikan bahwa Allah swt. mengangkat dan menjunjung Rasul-Nya sedemikian tinggi, hingga layak disebut sayyidina atau junjungan kita Muhammad Rasulallah saw. Menyebut nama beliau saw. tanpa diawali dengan kata yang menunjukkan penghormatan, seperti sayyidina tidak sesuai dengan pengagungan yang selayaknya kepada kedudukan dan martabat beliau. 

    Ayat-ayat lain yang berkaitan dengan gelar sayid untuk pribadi seseorang, antara lain:  
    Dalam surat Aali-‘Imran:39 Allah swt. menyebut Nabi Yahya as. dengan predikat sayyid :
    “…Allah memberi kabar gembira kepadamu (Hai Zakariya) akan kelahiran seorang puteramu, Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang dari) Allah, seorang sayyid (terkemuka, panutan), (sanggup) menahan diri (dari hawa nafsu) dan Nabi dari keturunan orang-orang sholeh”.

    Para penghuni neraka pun menyebut orang-orang yang menjerumuskan mereka dengan istilah saadat (jamak dari kata sayyid), yang berarti para pemimpin. Penyesalan mereka dilukiskan Allah swt.dalam firman-Nya, yang artinya: 
    “Dan mereka (penghuni neraka) berkata : ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati para pemimpin (sadatanaa) dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar”. (S.Al-Ahzab:67).

    Juga seorang suami dapat disebut dengan kata sayyid, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah swt. dalam surat Yusuf : 25, yang artinya:  
    “Wanita itu menarik qamis (baju) Yusuf dari belakang hingga koyak, kemudian kedua-duanya memergoki sayyid (suami) wanita itu didepan pintu”. Dalam kisah ini yang dimaksud suami ialah raja Mesir.

    Demikian juga kata Maula yang berarti pengasuh, penguasa, penolong dan lain sebagainya. Banyak terdapat didalam Al-Qur’anul-Karim kata-kata ini, antara lain dalam surat Ad-Dukhan: 41 Allah berfirman, yang artinya:
    “…Hari (kiamat) dimana seorang maula (pelindung) tidak dapat memberi manfaat apa pun kepada maula (yang dilindunginya) dan mereka tidak akan tertolong”.
    Juga dalam firman Allah swt. dalam Al-Maidah : 55 disebutkan juga kalimat Maula untuk Allah swt., Rasul dan orang yang beriman.

    Jadi kalau kata sayyid itu dapat digunakan untuk menyebut Nabi Yahya putera Zakariya, dapat digunakan untuk menyebut raja Mesir, bahkan dapat juga digunakan untuk menyebut pemimpin yang semuanya itu menunjuk kan kedudukan seseorangalasan apa yang dapat digunakan untuk menolak sebutan sayyid  bagi junjungan kita Nabi Muhammad saw. Demikian pula soal penggunaan kata maula . Apakah bid’ah jika seorang menyebut nama seorang Nabi yang diimani dan dicintainya dengan awalan sayyidina atau maulana ?!

    Mengapa orang yang menyebut nama seorang pejabat tinggi pemerintahan, kepada para presiden, para raja atau menteri, atau kepada diri seseorang dengan awalan ‘Yang Mulia’ , Pemimpin kita yang mulia, dan lain sebagainya, tidak dituduh berbuat bid’ah? Tidak salah kalau ada orang yang mengatakan, bahwa sikap menolak penggunaan kata sayyid atau maula untuk mengawali penyebutan nama Rasulallah saw. itu sesungguhnya dari pikiran meremehkan kedudukan dan martabat beliau saw. Atau sekurang-kurang hendak menyamakan kedudukan dan martabat beliau saw. dengan manusia awam/biasa.

    Sebagaimana kita ketahui, dewasa ini masih banyak orang yang menyebut nama Rasulallah saw. tanpa diawali dengan kata sayyidina dan tanpa dilanjutkan dengan kalimat sallahu ‘alaihi wasallam (saw). Menyebut nama Rasulallah dengan cara demikian menunjukkan sikap tak kenal hormat pada diri orang yang bersangkutan. Cara demikian itu lazim dilakukan oleh orang-orang diluar Islam, seperti kaum orientalis barat dan lain sebagainya. Sikap kaum orientalis ini tidak boleh kita tiru.

    Hadits-hadits yang berkaitan dengan kata sayyid, beberapa diantaranya ialah :
    “Setiap anak Adam adalah sayyid. Seorang suami adalah sayyid bagi isterinya dan seorang isteri adalah sayyidah bagi keluarganya (rumah tangga nya)”. (HR Bukhori dan Adz-Dzahabi). 
    Jadi kalau setiap anak Adam saja dapat disebut sayyid, apakah anak Adam yang paling tinggi martabatnya dan paling mulia kedudukannya disisi Allah yaitu junjungan kita Nabi Muhammad saw. tidak boleh disebut sayyid ?

    Hadits riwayat Imam Bukhori, Rasulallah saw bersabda: "Janganlah kalian berkata (kepada seorang budak kepada majikannya), 'beri makan Rabb mu, wudhu kan Rabb mu, tapi ucapkanlah Sayyidi dan Maulaya (tuanku dan junjunganku)', dan jangan pula kalian (para pemilik budak) berkata pada mereka,'wahai Hambaku, tapi ucapkanlah : wahai anak, wahai pembantu" (shahih Bukhari hadits no.2414) hadits semakna dalam Shahih Muslim hadits no.2249). 

    Rasulallah saw. membolehkan ucapan sayyidi (tuanku) atau maulaya (tuan muliaku) seorang budak terhadap tuannya, dan berkata para ahli hadits, kalau antara tuan yg memiliki budak saja boleh menggunakan Sayyidi wa Maulaya., atau sayyidina wa maulana, maka sungguh Nabi saw jauh lebih berhak dari semua pemilik budak itu.Didalam shohih Muslim terdapat sebuah hadits, bahwasanya Rasulallah saw. memberitahu para sahabatnya, bahwa pada hari kiamat kelak Allah swt. akan menggugat hamba-hambaNya : “Bukankah engkau telah Ku-muliakan dan Ku-jadikan sayyid ?” (alam ukrimuka wa usawwiduka?)

    Makna hadits itu ialah, bahwa Allah swt. telah memberikan kemuliaan dan kedudukan tinggi kepada setiap manusia. Kalau setiap manusia dikarunia kemuliaan dan kedudukan tinggi, apakah manusia pilihan Allah yang diutus sebagai Nabi dan Rasul tidak jauh lebih mulia dan lebih tinggi kedudukan dan martabatnya daripada manusia lainnya ? Kalau manusia-manusia biasa saja dapat disebut sayyid , mengapa Rasulallah saw. tidak boleh disebut sayyid atau maula ?

    Dalil-dalil orang yang membantah dan jawabannya
    Ada sementara orang terkelabui oleh pengarang hadits palsu yang berbunyi: “Laa tusayyiduunii fis-shalah” artinya “Jangan menyebutku (Nabi Muhammad saw) sayyid di dalam sholat”. Tampaknya pengarang hadits palsu yang mengatas namakan Rasulallah saw. untuk mempertahankan pendiriannya itu lupa atau memang tidak mengerti bahwa didalam bahasa Arab tidak pernah terdapat kata kerja tusayyidu. Tidak ada kemungkinan sama sekali Rasulallah saw.mengucapkan kata-kata dengan bahasa Arab gadungan seperti yang dilukiskan oleh pengarang hadits palsu tersebut. Dilihat dari segi bahasanya saja, hadits itu tampak jelas kepalsuannya.
    Namun untuk lebih kuat membuktikan kepalsuan hadits tersebut baiklah kami kemukakan ,berikut ini, beberapa pendapat yang dinyatakan oleh para ulama.

    Dalam kitab Al-Hawi , atas pertanyaan mengenai hadits tersebut Imam Jalaluddin As-Suyuthi menjawab tegas : “Tidak pernah ada (hadits tersebut), itu bathil !”.

    Imam Al-Hafidz As-Sakhawi dalam kitab Al-Maqashidul-Al-Hasanah menegaskan : “ Hadits itu tidak karuan sumbernya ! “

    Imam Jalaluddin Al-Muhli, Imam As-Syamsur-Ramli, Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami, Imam Al-Qari, para ahli Fiqih madzhab Sayfi’i dan madzhab Maliki dan lain-lainnya, semuanya mengatakan : “Hadits itu sama sekali tidak benar”.

    Selain hadits palsu diatas tersebut, masih ada hadits palsu lainnya yang semakna, yaitu yang berbunyi : “La tu’adzdzimuunii fil-masjid” artinya ;  “Jangan mengagungkan aku (Nabi Muhammad saw.) di masjid”.

    Dalam kitab Kasyful Khufa Imam Al-Hafidz Al-‘Ajluni dengan tegas mengatakan: “Itu bathil !”.
    Demikian pula Imam As-Sakhawi dalam kitab Maulid-nya yang berjudul Kanzul-‘Ifah menyatakan tentang hadits ini: “Kebohongan yang diada-adakan”.

    Memang masuk akal kalau ada orang yang berkata seperti itu yakni jangan mengagungkan aku  di masjid kepada para hadirin didalam masjid, sebab ucapannya itu merupakan tawadhu’ (rendah hati). Akan tetapi kalau dikatakan bahwa perkataan tersebut diucapkan oleh Rasulallah saw. atau sebagai hadits beliau saw., jelas hal itu suatu pemalsuan yang terlampau berani.

    Mari kita lanjutkan tentang hadits-hadits yang menggunakan kata sayyid berikut ini: 
    Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dalam Shohihnya bahwa Rasulallah saw.bersabda : “Aku sayyid anak Adam…” . Jelaslah bahwa kata sayyid dalam hal ini berarti pemimpin ummat, orang yang paling terhormat dan paling mulia dan paling sempurna dalam segala hal sehingga dapat menjadi panutan serta teladan bagi ummat yang dipimpinnya. 
    Ibnu ‘Abbas ra mengatakan, bahwa makna sayyid  dalam hadits tersebut ialah orang yang paling mulia disisi Allah. Qatadah ra. mengatakan, bahwa Rasulallah saw. adalah seorang sayyid yang tidak pernah dapat dikalahkan oleh amarahnya.

    Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Majah dan At-Turmudzi, Rasulallah saw. bersabda :
    “Aku adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat”. Surmber riwayat lain yang diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhori dan Imam Muslim, mengatakan bahwa Rasulallah saw. bersabda : “Aku sayyid semua manusia pada hari kiamat”.  
    Hadit tersebut diberi makna oleh Rasulallah saw. sendiri dengan penjelasannya: ‘Pada hari kiamat, Adam dan para Nabi keturunannya berada dibawah panjiku”. 
    Sumber riwayat lain mengatakan lebih tegas lagi, yaitu bahwa Rasulallah saw. bersabda : “Aku sayyid dua alam”.

    Riwayat yang berasal dari Abu Nu’aim sebagaimana tercantum didalam kitab Dala’ilun-Nubuwwah mengatakan bahwa Rasulallah saw. bersabda : “Aku sayyid kaum Mu’minin pada saat mereka dibangkitkan kembali (pada hari kiamat)”.

    Hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Khatib mengatakan, bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Aku Imam kaum muslimin dan sayyid kaum yang bertaqwa”.

    Sebuah hadits yang dengan terang mengisyaratkan keharusan menyebut nama Rasulallah saw. diawali dengan kata sayyidina diketengahkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Hadits yang mempunyai isnad shohih ini berasal dari Jabir bin ‘Abdullah ra. yang mengatakan sebagai berikut:
    “Pada suatu hari kulihat Rasulallah saw. naik keatas mimbar. Setelah memanjatkan puji syukur kehadirat Allah saw. beliau bertanya : ‘Siapakah aku ini ?’ Kami menyahut: Rasulallah ! Beliau bertanya lagi: ‘Ya, benar, tetapi siapakah aku ini ?’. Kami menjawab : Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul-Mutthalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf ! Beliau kemudian menyatakan : ‘Aku sayyid anak Adam….’.”   
    Riwayat hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa Rasulallah saw. lebih suka kalau para sahabatnya menyebut nama beliau dengan kata sayyid. Dengan kata sayyid itu menunjukkan perbedaan kedudukan beliau dari kedudukan para Nabi dan Rasul terdahulu, bahkan dari semua manusia sejagat.

    Semua hadits tersebut diatas menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulallah saw. adalah sayyid anak Adam, sayyid kaum muslimin, sayyid dua alam (al-‘alamain), sayyid kaum yang bertakwa. Tidak diragukan lagi bahwa menggunakan kata sayyidina untuk mengawali penyebutan nama Rasulallah saw. merupakan suatu yang dianjurkan bagi setiap muslim yang mencintai beliau saw.

    Demikian pula soal kata Maula, Imam Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, Imam Turmduzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah mengetengahkan sebuah hadits, bahwa Rasulallah saw. bersabda :
    “Man kuntu maulahu fa ‘aliyyun maulahu” artinya : “Barangsiapa aku menjadi maula-nya (pemimpinnya). ‘Ali (bin Abi Thalib) adalah maula-nya…”

    Dari hadits semuanya diatas tersebut kita pun mengetahui dengan jelas bahwa Rasulallah saw. adalah sayyidina dan maulana (pemimpin kita). Demikian juga para ahlu-baitnya (keluarganya), semua adalah sayyidina. Al-Bukhori meriwayatkan bahwa Rasulallah saw. pernah berkata kepada puteri beliau, Siti Fathimah ra : 



                                                                                                           يَا فَاطِمَة أَمَا تَرْضيْنَ أَنْ تَكُوْنِي سَيِّدَةَ نِسَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ اَوْ سَيِّدَةَ نِسَاءِ هَذِهِ الأُمَّةِ

    Artinya: “Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum mu’minin (kaum orang-orang yang beriman) atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?”

    Dalam shohih Muslim hadits tersebut berbunyi: 


                                                                                                         يَا فَاطِمَة أَمَا تَرْضيْنَ أَنْ تَكُوْنِي سَيِّدَةَ نِسَاءِ الْمُؤْمِناَتِ اَوْ سَيِّدَةَ نِسَاءِ هَذِهِ الأُمَّةِ  

    Artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah mu’mininat (kaum wanitanya orang-orang yang beriman) atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?”

    Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad, Rasulallah saw. berkata kepada puterinya (Siti Fathimah ra) :

     أَمَا تَرْضيْنَ أَنْ تَكُوْنِي سَيِّدَةَ نِسَاء هَذِهِ الأُمَّةِ اَوْ نِسَاءِ الْعَالَمِينَ                                             

    Artinya : “…Apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum wanita ummat ini, atau sayyidah kaum wanita sedunia ?”

    Demikianlah pula halnya terhadap dua orang cucu Rasulallah saw. Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma. Imam Bukhori dan At-Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits yang berisnad shohih bahwa pada suatu hari Rasulallah saw. bersabda :

     الحَسَنُ وَ الحُسَيْنُ سَيِّدَا شَبَابِ أَهْلِ الْجَنَّةِ                                     
    Artinya : “Al-Hasan dan Al-Husain dua orang sayyid pemuda ahli surga”.

    Berdasarkan hadits-hadits diatas itu kita menyebut puteri Rasulallah saw. Siti Fathimah Az-Zahra dengan kata awalan sayyidatuna. Demikianlah pula terhadap dua orang cucu Rasulallah saw. Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma.

    Ketika Sa’ad bin Mu’adz ra. diangkat oleh Rasulallah saw. sebagai penguasa kaum Yahudi Bani Quraidah (setelah mereka tunduk kepada kekuasaan kaum muslimin), Rasulallah saw. mengutus seorang memanggil Sa’ad supaya datang menghadap beliau. Sa’ad datang berkendaraan keledai, saat itu Rasulallah saw. berkata kepada orang-orang yang hadir: “Guumuu ilaa sayyidikum au ilaa khoirikum” artinya : “Berdirilah menghormati sayyid (pemimpin) kalian, atau orang terbaik diantara kalian”.  
    Rasulallah saw. menyuruh mereka berdiri bukan karena Sa’ad dalam keadaan sakit sementara fihak menafsirkan mereka disuruh berdiri untuk menolong Sa’ad turun dari keledainya, karena dalam keadaan sakit  sebab jika Sa’ad dalam keadaan sakit, tentu Rasulallah saw. tidak menyuruh mereka semua menghormat kedatangan Sa’ad, melainkan menyuruh beberapa orang saja untuk berdiri menolong Sa’ad.

    Sekalipun –misalnya– Rasulallah saw. melarang para sahabatnya berdiri menghormati beliau saw, tetapi beliau sendiri malah memerintahkan mereka supaya berdiri menghormati Sa’ad bin Mu’adz, apakah artinya ? Itulah tatakrama Islam. Kita harus dapat memahami apa yang dikehendaki oleh Rasulallah saw. dengan larangan dan perintahnya mengenai soal yang sama itu. Tidak ada ayah, ibu , kakak dan guru yang secara terang-terangan minta dihormati oleh anak, adik dan murid, akan tetapi si anak, si adik dan si murid harus merasa dirinya wajib menghormati ayahnya, ibunya, kakaknya dan gurunya. Tidak ada juga seorang yang bertitel prof., Drs dan lain-lain, waktu mengenalkan namanya pada seseorang sambil menyebut titelnya tersebut. Demikian juga Rasulallah saw. sekalipun beliau menyadari kedudukan dan martabatnya yang sedemikian tinggi disisi Allah swt, beliau tidak menuntut supaya ummatnya memuliakan dan mengagung-agungkan beliau. Akan tetapi kita, ummat Rasulallah saw., harus merasa wajib menghormati, memuliakan dan mengagungkan beliau saw.

    Allah swt. berfirman dalam Al-Ahzab: 6, yang artinya : “Bagi orang-orang yang beriman, Nabi (Muhammad saw.) lebih utama daripada diri mereka sendiri, dan para isteri nya adalah ibu-ibu mereka”. 
    Ibnu ‘Abbas ra. menyatakan: Beliau adalah ayah mereka’ yakni ayah semua orang beiman! Ayat suci diatas ini jelas maknanya, tidak memerlukan penjelasan apa pun juga, bahwa Rasulallah saw. lebih utama dari semua orang beriman dan para isteri beliau wajib dipandang sebagai ibu-ibu seluruh ummat Islam ! Apakah setelah keterangan semua diatas ini orang yang menyebut nama beliau dengan tambahan kata awalan sayyidina atau maulana pantas dituduh berbuat bid’ah? Semoga Allah swt. memberi hidayah kepada kita semua. Amin 

    – Ibnu Mas’ud ra. mengatakan kepada orang-orang yang menuntut ilmu kepadanya: “Apabila kalian mengucapkan shalawat Nabi hendaklah kalian mengucapkan shalawat dengan sebaik-baiknya. Kalian tidak tahu bahwa sholawat itu akan disampaikan kepada beliau saw., karena itu ucapkanlah : ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu, rahmat-Mu dan berkah-Mu kepada Sayyidul-Mursalin (pemimpin para Nabi dan Rasulallah) dan Imamul-Muttaqin (Panutan orang-orang bertakwa)”

    – Para sahabat Nabi juga menggunakan kata sayyid untuk saling menyebut nama masing-masing, sebagai tanda saling hormat-menghormati dan harga-menghargai. Didalam Al-Mustadrak Al-Hakim mengetengahkan sebuah hadits dengan isnad shohih, bahwa “Abu Hurairah ra. dalam menjawab ucapan salam Al-Hasan bin ‘Ali ra. selalu mengatakan “Alaikassalam ya sayyidi”. Atas pertanyaan seorang sahabat ia menjawab: ‘Aku mendengar sendiri Rasulallah saw. menyebutnya (Al-Hasan ra.) sayyid’ “.

    – Ibnu ‘Athaillah dalam bukunya Miftahul-Falah mengenai pembicaraannya soal sholawat Nabi mewanti-wanti pembacanya sebagai berikut: “Hendaknya anda berhati-hati jangan sampai meninggalkan lafadz sayyidina dalam bersholawat, karena didalam lafadz itu terdapat rahasia yang tampak jelas bagi orang yang selalu mengamalkannya”. Dan masih banyak lagi wejangan para ulama pakar cara sebaik-baiknya membaca sholawat pada Rasulallah saw. yang tidak tercantum disini.

    Nah, kiranya cukuplah sudah uraian diatas mengenai penggunaan kata sayyidina atau maulana untuk mengawali penyebutan nama Rasulallah saw. Setelah orang mengetahui banyak hadits Nabi yang menerangkan persoalan itu yakni menggunakan kata awalan sayyid, apakah masih ada yang bersikeras tidak mau menggunakan kata sayyidina dalam menyebut nama beliau saw.?, dan apanya yang salah dalam hal ini ?
    Apakah orang yang demikian itu hendak mengingkari martabat Rasulallah saw. sebagai Sayyidul-Mursalin (penghulu para Rasulallah) dan Habibu Rabbil-‘alamin (Kesayangan Allah Rabbul ‘alamin) ?

    Bagaimana tercelanya orang yang berani membid’ahkan penyebutan sayyidina atau maulana dimuka nama beliau saw.? Yang lebih aneh lagi sekarang banyak diantara golongan pengingkar ini sendiri yang memanggil nama satu sama lain diawali dengan sayyid atau minta juga agar mereka dipanggil sayyid dimuka nama mereka! Begitu juga orang yang ekstrim ini, bila duduk disatu majlis kemudian datang seorang ulama dimajlis tersebut, mereka ini sampai-sampai berani mengharamkan orang untuk berdiri penghormatan kepada ulama ini. Padahal banyak contoh dalam hadits antara lain yang telah kami kemukakan, para sahabat berdiri untuk para pemimpinnya atau untuk orang yang dipandang mulia oleh mereka. Berdiri untuk penghormatan itu bukan suatu yang wajib tetapi tata krama yang diajarkan oleh Rasulallah saw, untuk seorang yang berilmu atau para wauliya sholihin. Sekali lagi untuk mengharamkan sesuatu itu harus ada dalilnya yg jelas dan tegas masalah tsb.  


    Penggunaan Tasbih bukanlah bid’ah sesat.  
    Sering yang kita dengar dari golongan muslimin diantaranya dari madzhab Wahabi/Salafi dan pengikutnya yang melarang orang menggunakan Tasbih waktu berdzikir. Sudah tentu sebagaimana kebiasaan golongan inialasan mereka melarang dan sampai-sampai berani membid’ahkan sesat karena menurut paham mereka bahwa Rasulallah saw. para sahabat tidak ada yang menggunakan tasbih waktu berdzikir !

    ‘Tasbih’ atau yang dalam bahasa Arab disebut dengan nama ‘Subhah’ adalah butiran-butiran yang dirangkai untuk menghitung jumlah banyaknya dzikir yang diucapkan oleh seseorang, dengan lidah atau dengan hati. Dalam bahasa Sanskerta kuno, tasbih disebut dengan nama Jibmala yang berarti hitungan dzikir.

    Orang berbeda pendapat mengenai asal-usul penggunaan tasbih. Ada yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari orang Arab, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari India yaitu dari kebiasaan orang-orang Hindu. Ada pula orang yang mengatakan bahwa pada mulanya kebiasaan memakai tasbih dilakukan oleh kaum Brahmana di India. Setelah Budhisme lahir, para biksu Budha menggunakan tasbih menurut hitungan Wisnuisme, yaitu 108 butir. Ketika Budhisme menyebar keberbagai negeri, para rahib Nasrani juga menggunakan tasbih, meniru biksu-biksu Budha. Semuanya ini terjadi pada zaman sebelum islam.

    Kemudian datanglah Islam, suatu agama yang memerintahkan para pemeluk nya  untuk berdzikir (ingat) juga kepada Allah swt. sebagai salah satu bentuk peribadatan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.. Perintah dzikir bersifat umum, tanpa pembatasan jumlah tertentu dan tidak terikat juga oleh keadaan-keadaan tertentu. Banyak sekali firman Allah swt. dalam Al-Qur’an agar orang banyak berdzikir dalam setiap keadaan atau situasi, umpama berdzikir sambil berdiri, duduk, berbaring dan lain sebagainya.

    Sehubungan dengan itu terdapat banyak hadits yang menganjurkan jumlah dan waktu berdzikir, misalnya seusai sholat fardhu yaitu tiga puluh tiga kali dengan ucapan Subhanallah, tiga puluh tiga kali Alhamdulillah dan tiga puluh tiga kali Allahu Akbar, kemudian dilengkapi menjadi seratus dengan ucapan kalimat tauhid ‘Laa ilaaha illallahu wahdahu….’. Kecuali itu terdapat pula hadits-hadits lain yang menerangkan keutamaan berbagai ucapan dzikir bila disebut sepuluh atau seratus kali. Dengan adanya hadits-hadits yang menetapkan jumlah dzikir seperti itu maka dengan sendirinya orang yang berdzikir perlu mengetahui jumlahnya yang pasti.

    Hadits-hadits yang berkaitan dengan cara menghitung dzikir  
    Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Al-Hakim berasal dari Ibnu Umar ra. yang mengatakan:
    “Rasulallah saw. menghitung dzikirnya dengan jari-jari dan menyarankan para sahabatnya supaya mengikuti cara beliau saw.”. Para Imam ahli hadits tersebut juga meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Bisrah, seorang wanita dari kaum Muhajirin, yang mengatakan bahwa Rasulallah saw. pernah berkata:  
    “Hendaklah kalian senantiasa bertasbih (berdzikir), bertahlil dan bertaqdis (yakni berdzikir dengan menyebut ke–Esa-an dan ke-Suci-an Allah swt.). Janganlah kalian sampai lupa hingga kalian akan melupakan tauhid. Hitunglah dzikir kalian dengan jari, karena jari-jari kelak akan ditanya oleh Allah dan akan diminta berbicara” .

    Perhatikanlah: Anjuran menghitung dengan jari dalam hadits itu tidak berarti melarang orang menghitung dzikir dengan cara lain !!!. Untuk mengharamkan atau memunkarkan suatu amalan haruslah mendatangkan nash yang khusus tentang itu, tidak seenaknya sendiri saja !

    Imam Tirmidzi, Al-Hakim dan Thabarani meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Shofiyyah yang mengatakan: “Bahwa pada suatu saat Rasulallah saw. datang kerumahnya. Beliau melihat empat ribu butir biji kurma yang biasa digunakan oleh Shofiyyah untuk menghitung dzikir. Beliau saw. bertanya; ‘Hai binti Huyay, apakah itu ?‘ Shofiyyah menjawab ; ‘Itulah yang kupergunakan untuk menghitung dzikir’. Beliau saw. berkata lagi; ‘Sesungguhnya engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu’. Shofiyyah menyahut; ‘Ya Rasulallah, ajarilah aku’. Rasulallah saw. kemudian berkata; ‘Sebutlah, Maha Suci Allah sebanyak ciptaan-Nya’ ”. (Hadits shohih).

    Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang dinilai sebagai hadits hasan/baik oleh An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim yaitu hadits yang berasal dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra. yang mengatakan: 
    “Bahwa pada suatu hari Rasulallah saw. singgah dirumah seorang wanita. Beliau melihat banyak batu kerikil yang biasa dipergunakan oleh wanita itu untuk menghitung dzikir. Beliau bertanya; ‘Maukah engkau kuberitahu cara yang lebih mudah dari itu dan lebih afdhal/utama ?’ Sebut sajalah kalimat-kalimat sebagai berikut :

                                                                                                                                سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلـَقَ فِى السَّماَءِ, سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا
    خَلَـقَ فِى الأَرْضِ, سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ, اَللهُ أَكْيَرُ                                                
     مِثْـلُ ذَلِكَ, وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلُ ذَلِكَ,وَ لإِلَهَ إلاَّ الله مِثْلُ ذَلِكَ,                                                   
    وَلاَقُوَّةَ إلاَّ بِالله مِثْلُ ذَلِكَ                                                                                         
    Yang artinya : ‘Maha suci Allah sebanyak makhluk-Nya yang dilangit, Maha suci Allah sebanyak makhluk-Nya yang dibumi, Maha suci Allah sebanyak makhluk ciptaan-Nya. (sebutkan juga) Allah Maha Besar, seperti tadi, Puji syukur kepada Allah seperti tadi, Tidak ada Tuhan selain Allah, seperti tadi dan tidak ada kekuatan kecuali dari Allah, seperti tadi !’ “.

    Lihat dua hadits diatas ini, Rasulallah saw. melihat Shofiyyah menggunakan biji kurma untuk menghitung dzikirnya, beliau saw. tidak melarangnya atau tidak mengatakan bahwa dia harus berdzikir dengan jari-jarinya, malah beliau saw. berkata kepadanya engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu !! Begitu juga beliau saw. tidak melarang seorang wanita lainnya yang menggunakan batu kerikil untuk menghitung dzikirnya dengan kata lain beliau saw. tidak mengatakan kepada wanita itu, buanglah batu kerikil itu dan hitunglah dzikirmu dengan jari-jarimu !

    Beliau saw. malah mengajarkan kepada mereka berdua bacaan-bacaan yang lebih utama dan lebih mudah dibaca. Sedangkan berapa jumlah dzikir yang harus dibaca, tidak ditentukan oleh Rasulallah saw. jadi terserah kemampuan mereka.

    Banyak riwayat bahwa para sahabat Nabi saw. dan kaum salaf yang sholeh pun menggunakan biji kurma, batu-batu kerikil, bundelan-bundelan benang dan lain sebagai nya untuk menghitung dzikir yang dibaca. Ternyata tidak ada orang yang menyalahkan atau membid’ahkan sesat mereka !!

    Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnadnya meriwayatkan bahwa seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Shofiyyah menghitung dzikirnya dengan batu-batu kerikil. Riwayat ini dikemukakan juga oleh Imam Al-Baihaqi dalam Mu’jamus Shahabah;  ”‘bahwa Abu Shofiyyah, maula Rasulallah saw. menghamparkan selembar kulit kemudian mengambil sebuah kantong berisi batu-batu kerikil, lalu duduk berdzikir hingga tengah hari. Setelah itu ia menyingkirkannya. Seusai sholat dhuhur ia mengambilnya lagi lalu berdzikir hingga sore hari “.

    Abu Dawud meriwayatkan; ‘bahwa Abu Hurairah ra. mempunyai sebuah kantong berisi batu kerikil. Ia duduk bersimpuh diatas tempat tidurnya ditunggui oleh seorang hamba sahaya wanita berkulit hitam. Abu Hurairah berdzikir dan menghitungnya dengan batu-batu kerikil yang berada dalam kantong itu. Bila batu-batu itu habis dipergunakan, hamba sahayanya menyerahkan kembali batu-batu kerikil itu kepadanya’.

    Abu Syaibah juga mengutip hadits ‘Ikrimah yang mengatakan; ‘bahwa Abu Hurairah mempunyai seutas benang dengan bundelan seribu buah. Ia baru tidur setelah berdzikir dua belas ribu kali’.

    Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya bab Zuhud mengemukakan; ‘bahwa Abu Darda ra. mempunyai sejumlah biji kurma yang disimpan dalam kantong. Usai sholat shubuh biji kurma itu dikeluarkan satu persatu untuk menghitung dzikir hingga habis’.

    Abu Syaibah juga mengatakan; ‘bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash ra menghitung dzikirnya dengan batu kerikil atau biji kurma. Demikian pula Abu Sa’id Al-Khudri ’.

    Dalam kitab Al-Manahil Al-Musalsalah Abdulbaqi mengetengahkan sebuah riwayat yang mengatakan; ‘bahwa Fathimah binti Al-Husain ra mempunyai benang yang banyak bundelannya untuk menghitung dzikir ’.

    Dalam kitab Al-Kamil , Al-Mubarrad mengatakan;  “bahwa ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas ra (wafat th 110 H) mempunyai lima ratus butir biji zaitun. Tiap hari ia menghitung raka’at-raka’at sholat sunnahnya dengan biji itu, sehingga banyak orang yang menyebut namanya dengan ‘Dzu Nafatsat’ “.

    Abul Qasim At-Thabari dalam kitab Karamatul-Auliya mengatakan: ‘Banyak sekali orang-orang keramat yang menggunakan tasbih untuk menghitung dzikir, antara lain Syeikh Abu Muslim Al-Khaulani dan lain-lain’.

    Menurut riwayat bentuk tasbih yang kita kenal pada zaman sekarang ini baru dipergunakan orang mulai abad ke 2 Hijriah. Ketika itu nama ‘tasbih’ belum digunakan untuk menyebut alat penghitung dzikir. Hal itu diperkuat oleh Az-Zabidi yang mengutip keterangan dari gurunya didalam kitab Tajul-‘Arus . Sejak masa itu tasbih mulai banyak dipergunakan orang dimana-mana. Pada masa itu masih ada beberapa ulama yang memandang penggunaan tasbih untuk menghitung dzikir sebagai hal yang kurang baik. Oleh karena itu tidak aneh kalau ada orang yang pernah bertanya pada seorang Waliyullah yang bernama Al-Junaid: ‘Apakah orang semulia anda mau memegang tasbih ?. Al-Junaid menjawab: ‘Jalan yang mendekatkan diriku kepada Allah swt. tidak akan kutinggalkan’.(Ar-Risalah Al-Qusyariyyah).

    Sejak abad ke 5 Hijriah penggunaan tasbih makin meluas dikalangan kaum muslimin, termasuk kaum wanitanya yang tekun beribadah. Tidak ada berita riwayat, baik yang berasal dari kaum Salaf maupun dari kaum Khalaf (generasi muslimin berikutnya) yang menyebutkan adanya larangan penggunaan tasbih, dan tidak ada pula yang memandang penggunaan tasbih sebagai perbuatan munkar!!

    Pada zaman kita sekarang ini bentuk tasbih terdiri dari seratus buah butiran atau tiga puluh tiga butir, sesuai dengan jumlah banyaknya dzikir yang disebut-sebut dalam hadits-hadits shohih. Bentuk tasbih ini malah lebih praktis dan mudah dibandingkan pada masa zamannya Rasulallah saw. dan masa sebelum abad kedua Hijriah. Begitu juga untuk menghitung jumlah dzikir agama Islam tidak menetapkan cara tertentu. Hal itu diserahkan kepada masing-masing orang yang berdzikir.

    Cara apa saja untuk menghitung bacaan dzikir itu asalkan bacaan dan alat menghitung yang tidak yang dilarang menurut Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw..itu mustahab/baik untuk diamalkan. Berdasarkan riwayat-riwayat hadits yang telah dikemukakan diatas jelaslah, bahwa menghitung dzikir bukan dengan jari adalah sah/boleh. Begitu juga benda apa pun yang digunakan sebagai tasbih untuk menghitung dzikir, tidak bisa lain, orang tetap menggunakan tangan atau jarinya juga, bukan menggunakan kakinya!! Dengan demikian jari-jari ini juga digunakan untuk kebaikan !! Malah sekarang banyak kita para ulama pakar maupun kaum muslimin lainnya sering menggunakan tasbih bila berdzikir.

    Jadi masalah menghitung dengan butiran-butiran tasbih sesungguhnya tidak perlu dipersoalkan, apalagi kalau ada orang yang menganggapnya sebagai ‘bid’ah dholalah’. Yang perlu kita ketahui ialah : Manakah yang lebih baik, menghitung dzikir dengan jari tanpa menggunakan tasbih ataukah dengan menggunakan tasbih ?

    Menurut Ibnu ‘Umar ra. menghitung dzikir dengan jari (daripada dengan batu kerikil, biji kurma dll) lebih afdhal/utama. Akan tetapi Ibnu ‘Umar juga mengatakan jika orang yang berdzikir tidak akan salah hitung dengan menggunakan jari, itulah yang afdhal. Jika tidak demikian maka menggunakan tasbih lebih afdhal.

    Perlu juga diketahui, bahwa menghitung dzikir dengan tasbih disunnahkan menggunakan tangan kanan, yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Salaf. Hal itu disebut dalam hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lain-lain. Dalam soal dzikir yang paling penting dan wajib diperhatikan baik-baik ialah kekhusyu’an, apa yang diucapkan dengan lisan juga dalam hati mengikutinya. Maksudnya bila lisan mengucapkan Subhanallah maka dalam hati juga memantapkan kata-kata yang sama yaitu Subhanallah. Allah swt. melihat apa yang ada didalam hati orang yang berdzikir, bukan melihat kepada benda (tasbih) yang digunakan untuk menghitung dzikir!! Wallahu a’lam.
    Insya Allah dengan keterangan singkat ini, para pembaca bisa menilai sendiri apakah benar yang dikatakan golongan pengingkar bahwa penggunaan Tasbih adalah munkar, bid’ah dholalah/sesat dan lain sebagainya ??? Semoga Allah swt. memberi hidayah kepada semua kaum muslimin. Amin.

    Keterangan singkat mengenai membaca Qunut dalam Sholat Shubuh
    Golongan pengingkar berpendapat lebih jauh lagi, yaitu menganggap qunut dalam sholat shubuh sebagai bid’ah mungkar yang harus dihindari. Karena ke-egoisan memegang pahamnya ini, mereka ini tanpa segan-segan mencela orang yang mengamalkannya, dan melontarkan ucapan-ucapan yang justru bisa mendatangkan dosa dan bertentangan dengan akhlak yang diajarkan Nabi saw!!
    Bagaimana mungkin doa qunut yang masih ada haditsnya itu dikatakan bid’ah mungkar?, sedangkan para sahabat menambah bacaan dalam sholat ,yang telah kami kemukakan, yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi saw, tidak dipersalahkan oleh Nabi saw, malah diridhoi dan diberi kabar gembira bagi pembacanya? 
    Sebelum kami mengutip beberapa hadits tentang qunut, kami tekankan dahulu, bahwa menurut para pendukungnya, qunut pada shalat shubuh itu mempunyai dasar dari amaliyah Rasulullah saw dan beliau saw melakukannya, bukan hanya untuk qunut nazilah (bencana) saja. Kedudukan riwayatnya pun cukup kuat, karena diriwayatkan para rawi yang terpercaya, antara lain Al-Bukhari dan Muslim, dan diamalkan para Salaf, Imam Syafi’i, Imam Malik dan lainnya. 

    Dalil-dalil kesunnatan yang berkaitan membaca Qunut ketika sholat, khususnya sholat Subuh.
    Dalam buku Fiqih Sunnah, oleh Sayid Sabiq ,bhs.Indonesia, jilid 2, edisi kedua th.1977 hal.41 dan 43 disebutkan, bahwa Imam Syafi’i mensunnahkan qunut dalam sholat shubuh, dengan berdalil hadits, dari Anas bin Malik ra. Anas ra pernah ditanya, ‘apakah Nabi saw berqunut dalam sholat shubuh? Ia (Anas ra) menjawab, Ya. Ditanya pula, ‘sebelum rukuk atau sesudahnya’? Ia menjawab, ‘sesudah rukuk’ (HR.Jama’ah, kecuali Turmudzi, dari Ibnu Sirin). Juga imam Syafi'i berdalil dengan hadits lainnya, dari Anas bin Malik ra: “Rasulallah saw itu selalu berqunut dalam sholat shubuh, hingga meninggalkan dunia” (HR. Ahmad, Bazzar, Daruquthni, dan dishohihkan oleh Al-Baihaqi dan Al-Hakim). Imam Nawawi dalam kitabnya Adzkarun-Nawawiyyah mengomentari, bahwa hadits tersebut shohih.
    Adapun Ibn Hajar Al-Asqolani berkomentar dalam takhrij-nya bahwa hadits tersebut hasan lighoirihi (baik, karena didukung riwayat lainnya). Sedangkan lafadh qunut shubuh menurut Imam Syafi’i, ialah  yang diajarkan Nabi saw kepada Al-Hasan bin Ali ketika qunut witir, yaitu “Allahummah  diini fiiman hadaita …dan seterusnya”(HR. At-Tirmidzi,  Abu Daud, dan lain-lain). 

    Hadits dari Al-Barra’ bin Azib ra yang berkata, bahwa ‘Nabi saw dahulu melakukan qunut pada shalat maghrib dan shubuh’ (HR Ahmad, Muslim dan At-Tirmidzi). At-Tirmidzi menshahihkan hadits ini. Hadits ini diriwayatkan juga oleh Abu Daud dengan tanpa penyebutan shalat maghrib.
    Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ II/505 mengatakan: “ Tidaklah mengapa meninggalkan qunut pada shalat maghrib karena qunut bukanlah suatu yang wajib atau karena ijmak ulama telah menunjukkan bahwa qunut pada shalat maghrib itu sudah mansukh yakni terhapus hukumnya”.

    Abubakar Jabir Al-Jazairi dalam kitabnya Minhajul Muslim mengatakan, bahwa disunnahkan qunut subuh setelah rukuk dan dikomentari dalam tahkik kitab tersebut, bahwa qunut subuh telah tsabit dalam shahihain!

    Al-Hafidh Al-Iraqi ,guru dari Ibnu Hajar, sebagaimana dikutip oleh Al-Qasthalani dalam Irsyadussariy syarah shahih Bukhari menjelaskan, bahwa qunut shubuh itu diriwayat kan oleh Abubakar, Umar, Utsman, Ali dan Ibnu Abbas [ra]. Kemudian beliau (al-Hafidh) berkomentar, ‘telah sah dari mereka ( para shahabat ) dalil tentang qunut tatkala terjadi pertentangan antara pendapat yang menetapkan dan meniadakan, maka didahulukan pendapat yang menetapkan’. 

    Sebagian ulama yang mengingkari hadits qunut shubuh,antara lain Ibnu Taimiyah, mengatakan sanad hadits itu lemah, karena melalui seorang rawi yang bernama Abu Ja’far Ar-Razi, yang nama aslinya Isa bin Abi Isa. Padahal menurut pakar hadits lainnya, bahwa Abu Ja’far Ar-Razi, nama aslinya adalah Isa Bin Maahaan, layak diterima haditsnya. Yahya bin Ma’in ,guru dari Imam Bukhori, mengatakan bahwa Abu Ja’far adalah orang Tsiqoh.  Abu Hatim pun berkata demikian, bahwa Abu Ja’far itu adalah Tsiqotun Shoduq (terpercaya lagi jujur). Juga berdasarkan amalan para Salaf, para pakar fiqih,, maka hadits qunut sholat shubuh dapat diterima!

    – Hadits dari Anas ra.:“Bahwa Nabi saw pernah qunut selama satu bulan sambil mendoakan kecelakaan atas mereka kemudian Nabi meninggalkannya. Adapun pada shalat subuh, maka Nabi senantiasa melakukan qunut hingga beliau meninggal dunia”. Diantara ulama yang mengakui kesahihan hadits ini adalah Hafiz Abu Abdillah Muhamad Ali al-Bakhi dan Al-Hakim Abu Abdillah pada beberapa tempat didalam kitabnya serta imam Baihaqi. Hadits ini juga diriwayatkan pula oleh Daraquthni dari beberapa jalan dengan sanad-sanad yang sahih.

    – Hadits dari Awam bin Hamzah dimana beliau berkata: “Aku bertanya kepada Utsman tentang qunut pada shalat subuh. Beliau berkata: ‘Qunut itu sesudah ruku’. Aku bertanya : ‘Fatwa siapa ? Beliau menjawab : ‘Fatwa Abubakar, Umar dan Utsman radhiallahu’anhum’“. (HR.Baihaqi dan berkata hadits ini hasan). Baihaqi meriwayatkan hadits ini dari Umar dengan beberapa jalan.

    – Hadits dari Abdullah bin Ma’qil at-Thabi’i: “Ali ra qunut pada shalat subuh“. (HR.Baihaqi dan berkata hadits ini sahih lagi masyhur).

    – Hadits riwayat Baihaqi dari Abu Rofi’ : “ Umar melakukan qunut pada shalat subuh sesudah ruku’ “.     

    Demikianlah beberapa dalil yang dipakai oleh para ulama Syafi’iyah tentang qunut subuh.

    Dalil-dalil tempat qunut (sesudah atau sebelum ruku’?)
    Didalam Al-Majmu’ jilid III/506 bahwa: “Tempat qunut itu adalah sesudah mengangkat kepala dari ruku’. Ini adalah ucapan Abubakar as Shiddiq, Umar bin Khattab dan Utsman serta Ali radhiyallahu’anhum“. 

    – Hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah: “ Bahwa Nabi saw qunut sesudah ruku “. 

    – Hadits diriwayatkan juga oleh Bukhori dan Muslim dari Ibnu Sirin, beliau berkata:    “Aku berkata kepada Anas : ‘Apakah Rasulallah saw melakukan qunut pada shalat subuh’? Anas menjawab: ’Ya, begitu selesai ruku’ ’“.

    – Hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Anas ra: Bahwa Nabi saw melakukan qunut selama satu bulan sesudah ruku’ pada shalat subuh sambil mendoakan kecelakaan atas Bani ‘Ushayyah “.

    – Hadits riwayat dari Ashim al-Ahwal dari Anas: “ Bahwa Anas berfatwa tentang qunut sesudah ruku’“.

    – Hadits dari Abu Hurairah ra yang diriwayatkan Hakim dan disahihkan olehnya: “Rasulallah saw jika beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ pada rakaat kedua shalat subuh beliau mengangkat kedua tangannya lalu berdoa: Allahummah dinii fiiman hadait ...hingga akhirnya ‘“.

    –  Hadits riwayat dari Salim dari Ibnu Umar ra: “ Bahwasanya ibnu Umar mendengar Rasulallah saw apabila beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ pada rakaat terakhir shalat subuh, beliau berkata : ‘Ya, Allah! Laknatlah si fulan dan si fulan’!, sesudah beliau mengucapkan sami’allahu liman hamidah robbana walakal hamdu. Maka Allah menurunkan ayat ‘Tidak ada bagimu sesuatu pun dari urusan mereka itu atau dari pemberian taubat terhadap mereka atau juga daripada penyiksaan mereka karena sesungguhnya mereka itu ada lah orang-orang yang dzalim’ “. (HR.Bukhori).
    Hadits ini menunjukkan qunut nazilah yang pernah dilakukan oleh Nabi, juga dilakukan setelah ruku’ seperti halnya qunut dalam shalat subuh.

    Memang ada hadits yang menunjukkan pelaksanaan qunut sebelum ruku’, namun dikatakan oleh Imam Baihaqi dalam kitab Al-Majmu’ : “ Dan orang-orang yang meriwayatkan qunut sesudah ruku’ lebih banyak dan lebih kuat menghafal hadits, maka dialah yang lebih utama dan inilah jalannya para khalifah yang memperoleh petunjuk ---semoga Allah meridhoi mereka--- pada sebagian besar riwayat dari mereka, wallahu’alam“

    Hukum mengangkat tangan waktu qunut
    Dalam masalah ini ada dua pendapat:
    a.Tidak disunnatkan mengangkat tangan pada waktu qunut. Pendapat ini dipilih oleh as-Syairozi, al-Qaffal dan al-Baghawi serta dihikayatkan oleh Imam Haramain dari mayoritas sahabat Syafi’i. Alasan mereka: ‘Karena doa didalam shalat tidak pakai angkat tangan seperti doa sujud, doa tasyahhud dan doa iftitah.

    b. Disunnatkan mengangkat tangan pada waktu qunut. Pendapat inilah yang sahih dikalangan madzhab Syafi’i dan dialah pilihan Abu Daud al-Mawazi, al-Qadhi Abu Thayib di dalam ta’liqnya dan dalam al-Minhaj, Syeikh Abu Muhamad, Ibnu Shabbag, al-Mutawalli, al-Ghazali, Syeikh Nasrun al-Maqdisi dalam tiga kitabnya yakni Al-Intikhab, At-Tahzib dan Al-Kafi. Begitu juga dengan para ulama yang lain. Pengarang al-Bayan berkata: ‘Imam Hafiz Abubakar al-Baihaqi yang merupakan ulama ahli fiqh dan hadits, juga memilih pendapat ini dan beliau berhujjah dengan riwayat Anas ra sewaktu menceriterakan para qurro’yang terbunuh. Anas berkata: “Sesungguhnya aku melihat Rasulallah saw, setiap kali beliau shalat subuh, beliau mengangkat kedua tangannya sambil mendoakan kecelakaan atas mereka yakni orang membunuh para qurro”. (Hadits ini isnadnya sahih atau hasan).
    Imam Baihaqi mengatakan: “Dan karena sekelompok sahabat Nabi radhiyallahu ’anhum mengangkat tangan mereka pada waktu qunut”.(Al-Baihaqi II/211)         

    Diriwayatkan dari Rofi’, beliau berkata: “Aku pernah shalat dibelakang Umar bin Khattab ra. Beliau qunut sesudah ruku’ dan mengangkat kedua tangannya serta membaca doa dengan bersuara”. (Imam Baihaqi berkata: Hadits tentang Umar ini sahih).
    Dengan demikian dapatlah ditarik satu kesimpulan bahwa pendapat yang sahih dikalangan madzhab Syafi’i adalah: ‘Sunnat mengangkat tangan pada waktu qunut, baik itu qunut subuh, qunut nazilah maupun qunut witir dipertengahan bulan ramadhan sebagaimana yang akan dijelaskan berikutnya’.

    Mengusap wajah sesudah qunut dalam shalat
    Adapun mengusap wajah sesudah qunut ketika sholat, maka menurut pendapat yang sahih tidak disunnatkan. Dalam kitab al-Majmu’ III/501 imam Baihaqi mengatakan: “Aku tidak pernah menghafal dari seorang ulama salaf perihal mengusap wajah sesudah qunut, walaupun mengusap wajah itu ada diriwayatkan dari sebagian mereka (para salaf) pada waktu berdoa diluar shalat. Adapun didalam shalat, maka mengusap wajah adalah satu perbuatan yang tidak ada keterangannya baik dari hadits, atsar maupun qiyas. Maka yang utama adalah tidak mengamalkannya dan mencukupkan saja dengan apa yang telah dinukil dari para ulama salaf yakni ‘mengangkat dua tangan dengan tanpa mengusap wajah’ ”.

    Lafadh doa qunut
    Sebuah hadits dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra., beliau berkata: “Aku telah diajari oleh Rasulallah sw, beberapa kalimat yang aku ucapkan pada waktu witir yakni: ’Allahummahdinii fiiman hadait, wa’aafinii fiimaan ‘aafait, watawallanii fiiman tawallait wabaariklii fiima a’thoit waginii syaara maagodhoit fainnaka taqdhi walaa yugdha ‘alaik wainnahu laa yadzillu man waalait tabaarakta rabbanaa wata’aalait ’ ”. (HR.Abudaud, Turmudzi, Nasa’I dan selain mereka dengan isnad sahih) .

    Imam Baihaqi meriwayatkan dari Muhamad bin Hanafiah dan beliau adalah ibnu Ali bin Abi Thalib ra. Beliau berkata: “Sesungguhnya doa ini (doa qunut diatas) ialah  yang dipakai berdoa oleh ayahku (yakni Ali bin Abi Thalib kw) pada waktu qunut dishalat subuh”.(HR.Al-Baihaqi II/209).

    Imam Baihaqi juga meriwayatkan dari beberapa jalan yakni dari Ibnu Abbas dan selainnya: “Bahwasanya Nabi saw, mengajarkan doa ini (yakni Allahummahdinii fiiman hadait ....hingga akhirnya) kepada para sahabat agar mereka berdoa dengannya pada waktu qunut dishalat subuh”. Dalam satu riwayat disebutkan: “Bahwasanya Nabi saw melakukan qunut pada shalat subuh dan pada witir dimalam hari dengan doa ini”.
    Kemudian imam Baihaqi menyimpulkan: “Semua riwayat ini menunjukkan bahwa Nabi mengajarkan doa Allahummahdinii fiiman hadait... hingga akhirnya itu, adalah untuk qunut subuh dan qunut witir”. 

    Doa qunut dengan delapan kalimat seperti tsb. ,yang diajarkan Nabi saw kepada Al-Hasan bin Ali ketika qunut witir, diatas itulah yang dinashkan oleh imam Syafi’i didalam Mukhtashar al-Muzanni. Kalau ditambah pada doa itu dengan وَلا يَعِزُّمَنْ عَادَيْتَ  (Dan tidaklah mulia orang yang Engkau musuhi) sebelum تَبَارَكْت رَبّنَاوَتَعَالَيْتَ dan ditambah dengan فَلكََ الحمْد عَلَى مَاقَضيْتَ اسْتَغفِرُكَ وَاَتوْبُ اليْكَ  
    sesudahnya, maka tidak mengapa. Berkata Syeikh Abu Hamid, Syeikh al-Bandanij dan yang lainnya bahwa tambahan ini bagus.
    Abu Thayyib tidak menyetujui penambahan وَلا يَعِزُّمَنْ عَادَيْتَ  itu, namun ibnu Shabbagh dan para sahabat yang lain membantahnya dengan firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuhKu dan musuhmu sebagai teman-teman setia” (QS al-Mumtahanah:1).Begitu juga firman Allah: “Sesungguhnya Allah menjadi musuh bagi orang-orang kafir” (QS  al-Baqarah:98).

    Seorang ulama golongan tabi’in, Imam Hasan Basri, berkata, ‘aku pernah sholat dibelakang dua puluh delapan orang dari pahlawan Badar (Ahlul Badar), mereka semua melakukan qunut shubuh sesudah ruku’ (Irsyadussariy syarah Bukhori juz 3).

    Kemudian sesudah doa ini, disunnatkan membaca sholawat atas Nabi saw, berdasarkan hadits al-Hasan ra. Beliau berkata: “Rasulallah saw mengajariku kalimat pada waktu qunut witir yakni Allahummahdinii, lalu disebutlah hingga delapan kalimat itu dan berkata pada akhirnya dengan : ‘tabaarakta wa ta’aalait washollahu ‘alan nabi’ “.(Lafadh hadits ini terdapat pada riwayat Nasa’i dengan isnad yang sahih atau hasan).
    Begitu juga disunnatkan membaca salam kepada Rasulallah saw dan keluarganya diakhir qunut, hal ini menurut Asnawi berdasarkan firman Allah swt: ‘Sesungguhnya Allah dan para MalaikatNya menyampaikan shalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman sampaikanlah shalawat dan salam kepadanya’. Sedangkan shalawat dan salam kepada keluarga Rasulallah saw adalah berdasarkan hadits antara lain riwayat Ka’ab bin Ajroh yang bertanya kepada Nabi tentang bagaimana mengucapkan shalawat kepada beliau, lalu beliau saw bersabda: “Ucapkanlah Allahumma sholli ‘alaa Muhamad wa ‘ala aali Muhamad”. 

    Dengan demikian tambahan-tambahan bacaan yang baik dalam waktu qunut, seperti yang telah dikemukan diatas, itu adalah mustahab. Sebagaimana yang telah kami kemukakan terdahulu, bahwa para sahabat telah menambah bacaan iftitah dan waktu i'tidal ketika sholat, yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi saw. dan Nabi saw meridhoinya.

    Alasan orang-orang yang membantah
    a. Ada orang yang membid’ahkan qunut sholat subuh dengan dalil bahwa Nabi saw melakukan qunut satu bulan saja berdasarkan hadits Anas ra: “Bahwasanya Nabi saw melakukan qunut selama satu bulan sesudah ruku’ sambil mendoakan atas beberapa suku arab kemudian beliau meninggalkannya”. (HR.Bukhori dan Muslim).



    Jawaban

    Memang hadits Anas ra diatas tersebut kita akui sebagai hadits sahih karena terdapat dalam sahih Bukhori dan Muslim. Akan tetapi yang menjadi permasalahan sekarang adalah kata-kata ‘Thumma tarakahu’ (kemudian Nabi meninggalkannya) dalam hadits tersebut. Apakah yang ditinggalkan oleh Nabi itu qunutnya atau doanya yang mengandung kecelakaan atas suku arab?
    Untuk menjawab permasalahan ini marilah kita ikuti ,berikut ini, penjelasan para pakar hadits.
    − Imam Nawawi dalam Al-Majmu’  III/505: “Adapun jawaban terhadap hadits Anas dan Abu Hurairah dalam hal ucapannya dengan ‘Thumma tarakahu’ , maksudnya adalah meninggalkan doa kecelakaan atas orang-orang kafir itu dan meninggalkan pelaknatan terhadap mereka saja. Jadi bukan berarti meninggalkan seluruh qunut, atau meninggalkan qunut subuh. Penafsiran seperti ini harus dilakukan, karena hadits Anas (yang lain) yang menyebutkan: ‘ Senantiasa Nabi qunut dalam shalat subuh sampai beliau meninggal dunia’, adalah hadits sahih lagi jelas, maka wajiblah menggabungkan diantara keduanya”.

    − Imam Baihaqi meriwayatkan dari Abdurrahman bin Madiyyil imam bahwasanya beliau berkata: “ ‘Innamaa tarakal la’nu’ (hanyalah yang beliau tinggalkan itu adalah melaknat).
    Lebih-lebih lagi penafsiran seperti ini dijelaskan oleh riwayat Abu Hurairah ra yang berbunyi: ‘Thumma tarakad du’a lahum’ (Kemudian Nabi menghentikan doa kecelakaan atas mereka).
    Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa qunut Nabi yang satu bulan itu adalah qunut nazilah (bencana) dan qunut inilah yang ditinggalkan, bukan qunut pada shalat subuh.

    b. Ada lagi yang mengajukan dalil yakni hadits Sa’ad bihn Thariq, yang juga bernama Abu Malik al-Asja’i: “Dari Abu Malik al-Asja’i, beliau berkata: Aku pernah bertanya kepada ayahku; ‘wahai ayah! Sesungguhnya engkau pernah shalat dibelakang Rasulallah saw, Abubakar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib disini di Kufah selama kurang lebih lima tahun. Apakah mereka melakukan qunut’? Dijawab oleh ayahnya: ‘Wahai anakku, itu adalah bid’ah’ ”. (HR.Turmudzi).


    Jawaban
    Kalau benar Saad bin Thariq mengatakan demikian, maka sungguh suatu hal yang mengherankan karena hadits-hadits tentang Nabi dan para khalifah Rosyidin yang mengamalkan qunut sangatlah banyak baik dalam kitab Bukhori, Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud, Nasa’i dan Baihaqi. Oleh karena itu, ucapan Saad bin Thariq tersebut tidaklah di akui dan tidak terpakai dalam madzhab Syafi’i dan juga madzhab Maliki. Hal ini disebabkan karena beribu-ribu orang telah melihat Nabi mengamalkan qunut, begitu pula dengan para sahabat beliau saw. Sedangkan hanya Thariq sendiri yang mengatakan qunut itu sebagai amalan bid’ah. Maka dalam kasus ini berlakulah kaidah ushul fiqih yakni: ‘Al-Mutsbit muqaddam ‘alan naafi’ (orang yang menetapkan didahulukan atas orang yang menafikan). Terlebih lagi bahwa orang yang mengatakan ‘ada’, jauh lebih banyak dibanding orang yang mengatakan ‘tidak ada’.

    Seperti inilah jawaban Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ III/505. Beliau berkata: “Dan jawaban kita terhadap hadits Saad bin Thariq adalah bahwa riwayat orang-orang yang menetapkan qunut terdapat pada mereka itu tambahan ilmu dan juga mereka lebih banyak. Oleh karenanya wajiblah mendahulukan mereka”.

    Pensyarah hadits Turmudzi yakni Ibnul Arabi juga memberikan komentar yang sama terhadap hadits Saad itu. Beliau mengatakan:”Telah tetap bahwa Nabi Muhamad saw melakukan qunut dalam shalat subuh. Telah tetap pula pula bahwa Nabi pernah melakukan qunut sebelum ruku’ atau sesudah ruku’. Telah tetap pula bahwa Nabi pernah melakukan qunut nazilah dan para khalifah di Madinah pun melakukan qunut serta sayidina Umar mengatakan bahwa qunut itu sunnah, telah pula diamalkan dimasjid Madinah. Oleh karena itu janganlah kamu ambil perhatian terhadap ucapan yang lain daripada itu”.

    Seorang ulama ahli fiqih dari Jakarta ,KH Syafi’i Hazami dalam kitabnya ‘Taudhiihul Adillah mengatakan ketika mengomentari hadits Saad itu: “Sudah jelas bahwa qunut itu bukan bid’ah menurut segala riwayat yang ada, maka yang bid’ah itu adalah yang meragukan kesunnatannya sehingga masih bertanya pula”.
    Imam Uqaili mengatakan dengan tegas bahwa Abu Malik itu jangan diikuti haditsnya dalam hal qunut. (Mizanul I’tidal II/122).

    c. Ada juga yang mengetengahkan dalil riwayat dari Ibnu Mas’ud yang mengatakan: “Rasulallah saw tidak pernah qunut didalam shalat apapun”.

    Jawaban
    Riwayat ini menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’  sangatlah lemah, karena diantara para perawinya terdapat Muhamad bin Jabir as-Suahili yang ucapannya selalu ditinggalkan oleh ahli hadits.
    Dalam kitab Mizanul I’tidal  karangan Az-Zahabi disebutkan bahwa Muhamad bin Jabir as-Suahili adalah orang yang dhaif menurut perkataan Ibnu Mu’in dan Imam Nasa’i, imam Bukhori mengatakan: ‘Ia tidak kuat’. Imam Hatim mengatakan:’Ia dalam waktu terakhirnya menjadi pelupa dan kitabnya telah hilang’.(Mizanul I’tidal III/492).
    Dan juga dapat kita jawab dengan jawaban yang telah dikemukakan terdahulu yakni orang yang mengatakan ‘ada’ lebih didahulukan daripada orang yang mengatakan ‘tidak ada’ berdasarkan kaidah ‘Al-Mutsbit muqaddam ‘alan naafi’.

    d. Ada lagi yang mengajukan dalil bahwa Ibnu Abbas berkata: “Qunut pada shalat subuh itu bid’ah”.

    Jawaban
    Hadits ini dhaif sekali, karena Baihaqi meriwayatkannya dari Abi Laila al-Kufi dan beliau sendiri mengatakan bahwa hadits ini tidak sahih, karena Abu Laila itu adalah matruk (Orang yang ditinggalkan haditsnya). Terlebih lagi pada haditsnya yang lain, Ibnu Abbas sendiri mengatakan: ‘Annahu qunut fis subhi’ (Bahwasanya Nabi saw melakukan qunut pada shalat subuh). Hadits ini juga bertentangan dengan hadits-hadits yang kuat bahwa qunut shubuh adalah amalan Nabi saw dan para sahabatnya.

    e. Ada juga yang mengetengahkan dalil bahwa Ummu Salamah berkata: “Bahwasanya Nabi saw melarang qunut pada shalat subuh”.

    Jawaban 
    Hadits ini juga dhaif, karena diriwayatkan dari Muhamad bin Ya’la dari Anbasah bin Abdurrahman dari Abdullah bin Nafi’ dari ayahnya dari Ummu Salamah. Berkata Daraqutni: ‘Ketiga-tiga orang itu lemah dan tidak benar kalau Nafi’ mendengar hadits itu dari Ummu Salamah’. Dalam Mizanul I’tidal disebutkan: ‘Muhamad bin Ya’la itu diperkatakan oleh Imam Bukhori bahwa ia banyak menghilangkan hadits. Abu Hatim mengatakannya bahwa ia matruk’.(Mizanul I’tidal IV/70).
    Anbasah bin Abdurrahman menurut Imam Bukhori haditsnya matruk. Sedangkan Abdullah bin Nafi’ adalah orang yang banyak meriwayatkan hadits mungkar.( Mizanul I’tidal II/422).

    Pendapat empat madzhab tentang Qunut:
    − Madzhab Hanafi: Disunnatkan qunut pada shalat witir dan tempatnya adalah sebelum ruku’. Adapun qunut pada shalat subuh tidak disunnatkan. Sedangkan qunut nazilah disunnatkan tetapi pada shalat yang jahriyah saja.

    − Madzhab Maliki: Disunnatkan qunut pada shalat subuh dan tempatnya yang lebih utama adalah sebelum ruku’, tetapi boleh juga dilakukan sesudah ruku’. Adapun qunut pada selain subuh yakni qunut witir dan qunut nazilah, maka keduanya dimakruhkan.

    − Madzhab Syafi’i: Disunnatkan qunut pada shalat subuh dan tempatnya sesudah ruku’. Begitu juga disunnatkan qunut nazilah dan qunut witir pada pertengahan bulan ramadhan.

    − Madzhab Hambali: Disunnatkan qunut pada shalat witir dan tempatnya sesudah ruku’. Adapun qunut pada shalat subuh tidak disunnatkan.
    Sedangkan qunut nazilah disunnatkan dan dilakukan pada shalat subuh saja.Qunut ini bukan amalan wajib, itu merupakan dzikir dan doa yang dibaca ketika sholat. Demikianlah keterangan singkat mengenai qunut subuh. Wallahua’lam. 

    Semoga dengan keterangan dalam bid’ah yang singkat ini, insya-Allah bisa membuka hati kita masing-masing agar tidak mudah mensesatkan, mengkafirkan dan sebagainya pada saudara muslim kita sendiri, yang sedang melakukan ritual-ritual Islam begitu juga yang berlainan madzhab dengan madzhab kita.Semoga Allah swt mengampunkan dosa kaum muslimin semuanya. Amin

    Sebagai manusia yang penuh kekurangan, kami mengharap masukan dan saran dari segenap para pembaca budiman silahkankirim via email syafii_ali55@yahoo.com.

     






    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar