BAB 7: Sekelumit Macam-Macam Makalah


Panel Solar

Daftar isi bab 7 ini antara lain :






  • Benarkah sayidah Aisyah ra umur 9 th waktu dinikahi Rasulallah saw?



  • Fatwa-fatwa para ulama tentang paham Hulul atau Ittihad (menyatunya Allah swt dengan hamba-Nya)



  • Fatwa-fatwa para ulama mengenai ilmu Tarekat, Hakekat, Ma’rifat



  • Fatawa-fatwa para ulama tentang pengertian Wali (waliyullah)



  • Berjabatan tangan antara lelaki dan wanita yang bukan muhrim



  • Sekelumit tentang berjabat tangan seusai sholat 



  • Dalil cium tangan dan kaki Rasullallah saw dan antara para sahabat 



  • Membaca ushalli sebelum takbiratul ihram 



  • Dalil-dalil yang berkaitan dengan talaffudh bin niyyah (mengucapkan niat dengan lisan)



  • Fatwa-fatwa para ulama yang berkaitan dengan talaffudh bin niyyah



  • Pendapat para ulama madzhab yang empat masalah Talaffudh bin niyyah  



  • Kewajiban membaca Al-Fatihah didalam sholat baik untuk ma’mum maupun imam.



  • Kewajiban Membaca Basmalah di Awal surat Al-Fatihah



  • Tidak mengerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahhud



  • Mencukur jenggot atau memelihara jenggot



  • Fatwa-fatwa para ulama yang berkaitan dengan memelihara jenggot



  • Dalil mereka yang mewajibkan memelihara jenggot dan jawabannya



  • Hukum menjatuhkan talak tiga sekaligus



  • Dalil-dalil yang berkaitan dengan masalah talak tiga sekaligus



  • Fatwa dalam madzhab Maliki.



  • Fatwa dalam madzhab Syafi'i



  • Fatwa dalam madzhab Hambali



  • Dalil-dalil mereka yang membantah dan jawabannya



  • Tata cara singkat haji dan ‘umrah dan urutannya



  • Keterangan singkat mengenai ru'ya hilal Ramadhan/Syawal 



  • Keterangan singkat mengenai ibadah puasa Ramadhan



  • Sekelumit tentang shalat tarawih



  • Dalil-dalil yang berkaitan dengan shalat pada bulan ramadhan



  • Jumlah rakaat shalat tarawih



  • Dalil-dalil para imam Mujtahid shalat tarawih 20 rakaat



  • Dalil orang yang membantah shalat tarawih 20 rakaat dan jawabannya








  • {{Buku baru yang berjudul Kamus Syirik (Edisi Revisi Telaah Kritis atas doktrin faham Wahabi/Salafi) ,sekitar 512 halaman, Alhamdulillah sudah terbit bulan Agustus 2009. Buku ini belum beredar merata di Indonesia, bagi peminat mungkin bisa datang pada toko-toko kitab di jl. Sasak, Surabaya, ditoko Gramedia atau bisa hubungi langsung pengedar buku tersebut, telefon nr. (62) 031 60604235}}. 

    Daftar Isi kitab kamus syirik ,mengingat jumlah halaman buku, tidak selengkap isi website kami ini, tetapi insya Allah cukup untuk menjelaskan dalil-dalil amalan yang dikerjakan oleh golongan ahlus Sunnah wal jamaah dan amalan yang sering diteror oleh golongan pengingkar, misalnya tawassul/tabarruk, taklid imam madzhab, ziarah kubur, peringatan2 keagamaan, majlis dzikir dan lain sebagainya.  


      
    Benarkah sayidah Aisyah ra umur 9 th waktu dinikahi Rasulallah saw?


    Para orientalis biasanya sering mengkritik kehidupan Rasulallah saw dengan wanita. Rasulallah yang mulia saw selalu digambarkan sebagai seorang -ma'af- budak sex. (naudzubillahi min dzalik). Diantaranya dikatakan bahwa Nabi saw istrinya banyak karena gairah seksualnya terlalu tinggi,  dikatakan juga dalam satu malam semua istrinya dikumpuli semua, Nabi saw suka wanita muda, gadis kecil dst.nya 
    Kita jangan kaget dengan perkataan-perkataan mereka seperti itu, karena ironisnya rujukan-rujukan mereka adalah hadits-hadits yang kita shahihkan termasuk dari kitab Imam Bukhori dan Muslim.
    Didalam harian "Sydney Morning Herald" melaporkan tentang Islam di Australia. Dalam laporan khusus tersebut seorang muslim ,Dr. Zacharia Matthews, diberi kesempatan menjawab pertanyaan orang-orang yang note-bene non muslim. Dari salah satu pertanyaan mereka ialah tentang prilaku Nabi saw yang tidur dengan seorang wanita yang masih kanak-kanak (yang dimaksud adalah Aisyah ra). Karena berita yang masyhur ,sesuai riwayat imam Bukhori-Muslim, dikatakan bahwa Aisyah ra berumur 9 tahun ketika dikawin oleh Rasulallah saw.

    Mungkin kita akan membela bahwa pada zaman itu, gadis seusia 9 tahun sudah  baligh dan berpikir dewasa. Akan tetapi alasan kita ini akan terbantahkan juga oleh hadits Bukhori-Muslim yang mengatakan bahwa Aisyah ra masih suka bermain boneka ketika sudah dikawin oleh Rasulallah saw. Hal ini menunjukkan bahwa Aisyah ra masih berperangai sebagai kanak-kanak, bahkan suka digendong oleh Nabi saw.
    Pertanyaannya sekarang: Sesuaikah hal ini dengan pribadi Rasulallah saw. yang disebutkan oleh al-Qur'an bahwa beliau saw adalah manusia yang paling mulia dan berperangai serta berkepribadian agung?

    Dibawah ini kutipan pertanyaan di harian "Sydney Morning Herald" tersebut!

    {{ How are Islamic men ever going to respect women when the Koran states that a woman' s word is worth half that of a man, a man is allowed to lightly beat his wife and the prophet married and slept with a 9 year girl? Is it not time for an intelligent Muslim to stand up and say maybe the prophet and the Koran aren't so perfect?
    When it comes to the testimony or witness of a man versus a women, it is conditional upon qualification and roles assigned by Islam. For example as some scholars have ruled, if a Muslim woman is an expert on Islamic Finance then she is qualified to act as a witness or give testimony within her filed of expertise.
    With regard to the Prophet marrying a nine year old, he did not incur any sanction from the people of his time including his enemies since it was an accepted practice. The age of puberty differed esepcially in warmer climates. Standards have changed over time.}}

    Untuk membaca soal -jawab yang legkap di harian "Sydney Morning Herald" silahkan meng-klik dibawah ini:

    Mari kita teliti riwayat-riwayat dibawah ini yang menjawab masalah diatas:

    Artikel di bawah ini adalah terjemahan tulisan dari situs "The Institute of Islamic Information and Education (III&E )"
    [judul asli artikel: Was Ayesha A Six-Year -Old Bride? The Ancient Myth Exposed ] sedangkan tulisan asli berbahasa Inggris silahkan klik disini : http://www .iiie.net/ node/58
    Artikel berkaitan: What Was The Age of Ummul Mo'mineen Ayesha (May Allah be pleased with her ) When She Married To Prophet Muhammad (Peace be upon him)?
    --------------------------------------------------------------------------
    Seorang beragama kristen pernah bertanya: "Akankah anda menikahkan saudara perempuanmu yang berumur 7 tahun dengan seorang tua berumur 50 tahun?" Lebih lanjut tanyanya: "Jika anda tidak akan melakukannya, bagaimana bisa anda menyetujui pernikahan gadis polos berumur 7 tahun, Aisyah, dengan Nabi anda?"
    Kebanyakan muslim akan menjawab pertanyaan semacam itu ialah: Pernikahan seperti itu diterima masyarakat pada saat itu, jika tidak, orang-orang akan merasa keberatan dengan pernikahan Nabi saw dengan Aisyah ra. Bagaimanapun, penjelasan seperti ini tidak cukup puas dan akan mudah menipu bagi orang-orang yang naif dalam mempercayainya. Marilah kita membaca uraian jawaban berikut ini:

    Nabi merupakan manusia tauladan, semua tindakannya paling patut di contoh sehingga kaum muslimin dapat meneladaninya. Bagaimanapun, kebanyakan orang tidak akan berpikir untuk menunangkan saudara perempuannya yang berumur 7 tahun dengan seorang laki-laki berumur 50 tahun. Jika orang tua wanita tsb. setuju dengan pernikahan seperti itu ,kebanyakan orang walaupun tidak semuanya, akan memandang rendah terhadap orang tua dan suami tua tersebut.

    Tahun 1923, pencatat pernikahan di Mesir diberi intruksi untuk menolak pendaftaran dan menolak mengeluarkan surat nikah bagi calon suami berumur di bawah 18 tahun, dan calon isteri dibawah 16 tahun. Tahun 1931, Sidang dalam oraganisasi-oraganisi hukum dan syariah menetapkan untuk tidak merespon pernikahan bagi pasangan dengan umur diatas  (Women in Muslim Family Law, John Esposito, 1982). Ini memperlihatkan bahwa walaupun di negara Mesir yang mayoritas Muslim pernikahan usia anak-anak adalah tidak dapat diterima.

    Jadi, tanpa bukti yang solidpun selain perhormatan kita terhadap Nabi saw, bahwa riwayat pernikahan gadis berumur 7 tahun dengan Nabi berumur 50 tahun adalah sangat diragukan kebenarannya. Bagaimanapun perjalanan panjang dalam menyelelidiki kebenaran atas hal ini membuktikan intuisi benar adanya.
    Nabi memang seorang yang gentleman, beliau saw tidak akan menikahi gadis polos berumur 7 atau 9 tahun. Kalau menurut riwayat, umur Aisyah ra telah dicatat secara salah dalam literatur hadits. Lebih jauh, bahwa riwayat yang menyebutkan umur Aisyah ra ini sangatlah diragukan. 

    Kita akan menyajikan beberapa bukti yang berlawanan dengan riwayat dari Hisham ibnu `Urwah dan untuk membersihkan nama Nabi saw dari sebutan seorang tua yang tidak bertanggung jawab, yang menikahi gadis polos berumur 7 tahun .

    Bukti-bukti: 
    #1: Pengujian Terhadap Sumber
    Sebagian besar riwayat hadits masalah ini diriwayatkan hanya oleh Hisham ibn `Urwah, yang mencatat atas otoritas dari bapaknya, yang mana seharusnya minimal 2 atau 3 orang harus mencatat hadits serupa juga. Lebih aneh lagi bahwa tidak ada seorangpun yang di Medinah ,dimana Hisham ibn `Urwah tinggal, sampai usia 71 tahun baru menceritakan hal ini. Padahal kenyataannya waktu itu banyak para ulama di Medinah ,antara lain yang terkenal Imam Malik ibn Anas, tidak menceritakan hal ini.
    Asal dari riwayat ini adalah dari orang-orang Iraq, dimana Hisham tinggal disana dan pindah dari Medinah ke Iraq pada usia tua.

    Dalam Tehzibu'l -Tehzib, Yaqub ibn Shaibah mencatat : "Hisham sangat bisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq " (Tehzi'bu'l-tehzi'b, Ibn Hajar Al-`asqala'ni , Dar Ihya al -turath al-Islami , 15th century. Vol 11, p.50).

    Dalam pernyataan lebih lanjut bahwa Malik ibn Anas menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang -orang Iraq: "Saya pernah diberi tahu bahwa Malik menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq" (Tehzi'b u'l -tehzi'b, IbnHajar Al - `asqala'ni, Dar Ihya al-turath al -Islami, Vol.11, p. 50).

    Dalam Mizanu'l-ai`tidal, mencatat: "Ketika masa tua, ingatan Hisham mengalami kemunduran yang menyolok" ( Mizanu'l-ai`tidal, Al-Zahbi, Al-Maktabatu'l -athriyyah, Sheikhupura, Pakistan, Vol. 4, p . 301).

    Kesimpulan:
    Berdasarkan referensi ini, ingatan Hisham sangatlah buruk dan riwayatnya setelah pindah ke Iraq sangat tidak bisa dipercaya, sehingga riwayatnya mengenai umur pernikahan Aisyah adalah tidak kredibel.  

    KRONOLOGI:
    Adalah vital untuk mencatat dan mengingat tahun penting dalam sejarah Islam:
    610 M: Jahiliyah (pra-Islamic era ) sebelum turun wahyu
    610 M: turun wahyu pertama, Abu Bakr menerima Islam
    613 M: Nabi Muhammad mulai mengajar ke Masyarakat
    615 M: Hijrah ke Abyssinia.
    616 M: Umar bin al Khattab menerima Islam.
    620 M: dikatakan Nabi meminang Aisyah
    622 M: Hijrah ke Yathrib, kemudian dinamai Medina
    623/624 M: Diriwayatkan Nabi saw berumah tangga dengan Aisyah  ra

    #2: Meminang
    Menurut Tabari (juga menurut Hisham ibn `Urwah, Ibn Hunbal and Ibn Sad), Aisyah dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9 tahun. Tetapi, dibagian lain, Al-Tabari mengatakan: "Semua anak Abu Bakr (4 orang) dilahirkan pada masa jahiliyahh dari dua isterinya" (Tarikhu'l-umam wa'l -mamlu'k, Al-Tabari (died 922), Vol. 4,p. 50, Arabic, Dara'l-fikr, Beirut, 1979).
    Jika Aisyah dipinang 620M (Aisyah umur 7 tahun) dan berumah tangga tahun 623/ 624 M (usia 9 tahun), ini mengindikasikan bahwa Aisyah dilahirkan pada 613 M . Sehingga berdasarkan tulisan Al-Tabari, Aisyah seharusnya dilahirkan pada 613M, Yaitu 3 tahun sesudah masa Jahiliyahh usai (610 M).
    Tabari juga menyatakan bahwa Aisyah dilahirkan pada saat Jahiliyah. Jika Aisyah dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya minimal Aisyah berumur 14 tahun ketika dinikah. Tetapi intinya Tabari mengalami kontradiksi dalam periwayatannya.

    Kesimpulan:
    Al-Tabari tidak reliable mengenai umur Aisyah ketika menikah .

    # 3: Umur Aisyah jika dihubungkan dengan umur Fatimah
    Menurut Ibn Hajar , "Fatimah dilahirkan ketika Ka`bah dibangun kembali, ketika Nabi saw berusia 35 tahun… Fatimah 5 tahun lebih tua dari Aisyah" (Al-isabah fi tamyizi'l-sahabah, Ibn Hajar al-Asqalani, Vol. 4, p. 377 , Maktabatu'l-Riyadh al -haditha, al-Riyadh ,1978).
    Jika statement Ibn Hajar adalah factual, berarti Aisyah dilahirkan ketika Nabi berusia 40 tahun. Jika Aisyah dinikahi Nabi pada saat usia Nabi 52 tahun, maka usia Aisyah ketika menikah adalah 12 tahun.  

    Kesimpulan:
    Ibn Hajar, Tabari, Ibn Hisham, dan Ibn Humbal kontradiksi satu sama lain. Tetapi tampak nyata bahwa riwayat Aisyah menikah usia 7 tahun adalah riwayat yang sangat diragukan kebenarannya dan tidak dibenarkan.

    # 4: Umur Aisyah dihitung dari umur Asma'
    Menurut Abdal-Rahman ibn abi zanna'd: "Asma lebih tua 10 tahun di banding Aisyah” (Siyar A`la'ma'l-nubala', Al -Zahabi, Vol. 2 , p. 289, Arabic , Mu'assasatu'l-risalah, Beirut , 1992).

    Menurut Ibn Katsir: "Asma lebih tua 10 tahun dari adiknya [Aisyah]"
    (Al-Bidayah wa'l -nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 371,Dar al- fikr al-`arabi, Al-jizah , 1933).

    Menurut Ibn Katsir : "Asma melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan 5 hari kemudian Asma meninggal. Menurut riwayat lainya, dia wafat 10 atau 20 hari kemudian, atau beberapa hari lebih dari 20 hari , atau 100 hari kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari kemudian. Pada waktu Asma Meninggal, dia berusia 100 tahun" (Al-Bidayah wa'l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8 , p. 372, Dar al-fikr al-` arabi, Al- jizah, 1933 )

    Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani : "Asma hidup sampai 100 tahun dan wafat pada 73 atau 74 H." (Taqribu'l-tehzib, Ibn Hajar Al-Asqalani, p. 654, Arabic, Bab fi'l-nisa', al -harfu'l-alif, Lucknow ).

    Menurut sebagian besar ahli sejarah, Asma, saudara tertua dari Aisyah berselisih usia 10 tahun. Jika Asma wafat pada usia 100 tahun di tahun 73 H, Asma seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah 622M.
    Jika Asma berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (ketika Aisyah berumah tangga), Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun. Jadi, Aisyah, berusia 17 atau 18 tahun ketika hijrah pada taun dimana Aisyah berumah tangga.

    Berdasarkan Ibn Hajar, Ibn Katsir, and Abdal-Rahman ibn abi zanna'd, usia Aisyah ketika beliau berumah tangga dengan Rasulallah adalah 19 atau 20 tahun.
    Dalam bukti # 3, Ibn Hajar memperkirakan usia Aisyah 12 tahun dan dalam bukti #4 Ibn Hajar mengkontradiksi dirinya sendiri dengan pernyataannya usia Aisyah 17 atau 18 tahun. Jadi mana usia yang benar ? 12 atau 18 ..?

    Kesimpulan:
     Ibn Hajar tidak valid dalam periwayatan usia Aisyah.

    #5: Perang BADAR dan UHUD
    Sebuah riwayat mengenai partisipasi Aisyah dalam perang Badr dijabarkan dalam hadits Muslim, (Kitabu'l-jihad wa'l -siyar, Bab karahiyati'l -isti`anah fi'l- ghazwi bikafir). Aisyah, ketika menceritakan salah satu moment penting dalam perjalanan selama perang Badar, mengatakan: "ketika kita mencapai Shajarah". Dari pernyataan ini tampak jelas, Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju Badar.

    Sebuah riwayat mengenai pastisipasi Aisyah dalam Uhud tercatat dalam Bukhari (Kitabu'l-jihad wa'l-siyar, Bab Ghazwi'l -nisa' wa qitalihinnama `a'lrijal):. [pada hari itu,] Saya melihat Aisyah dan Umm-i-Sulaim dari jauh, Mereka "Anas mencatat bahwa pada hari Uhud, Orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulallah menyingsingkan sedikit pakaian-nya [untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tsb]."
    Lagi-lagi, hal ini menunjukkan bahwa Aisyah ikut berada dalam perang Uhud dan Badr.

    Diriwayatkan oleh Imam Bukhari (Kitabu'l-maghazi , Bab Ghazwati'l-khandaq wa hiya'l-ahza'b ): "Ibn `Umar menyatakan bahwa Rasulallah tidak mengizinkan dirinya berpastisispasi dalam Uhud, pada ketika itu, Ibnu Umar berusia 14 tahun . Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengijinkan Ibnu Umar ikut dalam perang tsb."
    Berdasarkan riwayat diatas, ( a) anak-anak berusia dibawah 15 tahun akan dipulangkan dan tidak diperbolehkan ikut dalam perang, dan (b) Aisyah ra ikut dalam perang badar dan Uhud.

    Kesimpulah:
    Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud jelas mengindikasikan bahwa beliau tidak berusia 9 tahun ketika itu, tetapi minimal berusia 15 tahun. Disamping itu, wanita-wanita yang ikut menemani para pria dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu, bukan untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti lain dari kontradiksi usia pernikahan Aisyah.

    #6: Surat al-Qamar (Bulan)
    Menurut beberapa riwayat, Aisyah dilahirkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah. Tetapi menurut sumber lain dalam riwayat Bukhari, Aisyah  mengatakan hal ini: "Saya seorang gadis muda (jariyah dalam bahasa arab)" ketika Surah Al- Qamar diturunkan” (Sahih Bukhari, Kitabu'l-tafsir, Bab Qaulihi Bal al -sa`atu Maw `iduhum wa'l-sa` atu adha' wa amarr).
    Surat 54 dari Al-qur'an diturunkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah (The Bounteous Koran, M.M . Khatib, 1985), ini menunjukkan bahwa surat tsb diturunkan pada tahun 614 M. jika Aisyah ra memulai berumah tangga dengan Rasulallah pada usia 9 di tahun 623 M atau 624 M, Aisyah masih bayi yang baru lahir (sibyah in Arabic) pada saat Surah Al-Qamar diturun kan. Menurut riwayat diatas, secara aktual tampak bahwa Aisyah adalah gadis muda, bukan bayi yang baru lahir, ketika pewahyuan Al-Qamar. Jariyah berarti gadis muda yang masih suka bermain (Lane's Arabic English Lexicon).
    Jadi, Aisyah, telah menjadi jariyah bukan sibyah (bayi), jadi telah berusia 6 -13 tahun pada saat turunnya surah Al -Qamar, dan oleh karena itu sudah pasti berusia 14-21 tahun ketika dinikah Nabi.

    Kesimpulan:
     Riwayat ini juga berlawanan riwayat pernikahan Aisyah yang berusia 9 tahun .

    #7: Terminologi bahasa Arab
    Menurut riwayat dari Ahmad ibn Hanbal, sesudah meninggalnya isteri pertama Rasulallah, Khadijah, Khaulah datang kepada Nabi dan menasehati Nabi untuk menikah lagi. Nabi bertanya kepadanya tentang pilihan yang ada dipikiran Khaulah. Khaulah berkata : "Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang wanita yang pernah menikah (thayyib)". Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis tersebut (bikr), Khaulah menyebutkan nama Aisyah.
    Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat bahwa kata bikr dalam bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 9 tahun. Kata yang tepat untuk gadis belia yang masih suka bermain-main adalah , seperti dinyatakan dimuka, adalah jariyah.

    Bikr disisi lain, digunakan untuk seorang wanita yang belum menikah serta belum punya pertautan pengalaman dengan pernikahan, sebagaimana kita pahami dalam bahasa Inggris "virgin". Oleh karena itu, tampak jelas bahwa gadis belia 9 tahun bukanlah "wanita" (bikr) (Musnad Ahmad ibn Hanbal, Vol . 6, p. .210, Arabic, Dar Ihya al-turath al-`arabi, Beirut).

    Kesimpulan:
    Arti literal dari kata, bikr (gadis), dalam hadits diatas adalah "wanita dewasa yang belum punya pengalaman sexual dalam pernikahan." Oleh karena itu, Aisyah adalah seorang wanita dewasa pada waktu menikahnya.

    #8. Teks Qur'an
    Seluruh muslim setuju bahwa Quran adalah buku petunjuk. Jadi, kita perlu mencari petunjuk dari Qur'an untuk membersihkan kabut kebingungan yang diciptakan oleh para periwayat pada periode klasik Islam mengenai usia Aisyah dan pernikahannya. Apakah Quran mengizinkan atau melarang pernikahan dari gadis belia berusia 7 tahun?

    Tidak ada ayat yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat ,yang bagaimanapun, yang menuntun muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Petunjuk Qur'an mengenai perlakuan anak Yatim juga valid diaplikasikan ada anak kita sendiri sendiri.
    Ayat tersebut mengatakan: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”. (Qs. 4 :5)

    “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.’”   ( Qs. 4:6)

    Dalam hal seorang anak yang ditingal orang tuanya, Seorang muslim di perintahkan untuk ( a) memberi makan mereka , (b) memberi pakaian, (c) mendidik mereka, dan (d) menguji mereka terhadap kedewasaan "sampai usia menikah" sebelum mempercayakan mereka dalam pengelolaan keuangan .
    Disini, ayat Qur'an menyatakan tentang butuhnya bukti yang teliti terhadap tingkat kedewasaan intelektual dan fisik melalui hasil test yang objektif sebelum memasuki usia nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan harta-harta kepada mereka.
    Dalam ayat yang sangat jelas diatas, tidak ada seorangpun dari muslim yang bertanggungjawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan pada seorang gadis belia berusia 7 tahun. Jika kita tidak bisa mempercayai gadis belia berusia 7 tahun dalam pengelolaan keuangan, maka gadis tersebut tidak memenuhi syarat secara intelektual maupun fisik untuk menikah.
    Ibn Hambal (Musnad Ahmad ibn Hambal, vol.6 , p. 33 and 99) menyatakan bahwa Aisyah yang berusia 9 tahun lebih tertarik untuk bermain dengan mainannya daripada mengambil tugas sebagai isteri .

    Oleh karena itu sangatlah sulit untuk mempercayai , bahwa Abu Bakar ra, seorang tokoh muslim, akan menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 tahun dengan Nabi yang berusia 50 tahun. Sama sulitnya untuk membayangkan bahwa Nabi menikahi seorang gadis belia berusia 7 tahun. Sebuah tugas penting lain dalam menjaga anak adalah mendidiknya.

    Kita akan bertanya pula: "Berapa banyak diantara kita dapat mendidik anak dengan hasil memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 atau 9 tahun?" 
    Logika kita berkata, adalah tidak mungkin tugas mendidik anak kita dengan memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 tahun, lalu bagaimana mungkin kita percaya bahwa Aisyah telah dididik secara sempurna pada usia 7 tahun seperti diklaim sebagai usia pernikahannya?
    Abu Bakr ra merupakan seorang yang jauh lebih bijaksana dari kita semua, dia tidak mungkin akan menikahkan Aisyah dalam usia tsb. kepada seorangpun. Abu Bakar ra akan merasa dalam hatinya bahwa Aisyah masih seorang anak-anak yang belum sempurna sebagaimana yang telah dinyatakan dalam al-Qur'an. Jika sebuah proposal pernikahan dari gadis belia dan belum terdidik secara memuaskan datang kepada Nabi, beliau saw akan menolak dengan tegas karena itu menentang hukum-hukum Quran.

    Kesimpulan:
    Pernikahan Aisyah pada usia 7 tahun akan menentang hukum kedewasaan yang dinyatakan Quran. Oleh karena itu, riwayat pernikahan Aisyah gadis belia berusia 7 tahun adalah sangat diragukan kebenarannya dan tidak dibenarkan.

    #9: Izin dalam pernikahan
    Seorang wanita harus ditanya dan diminta persetujuan agar pernikahan yang dia lakukan menjadi sah (Mishakat al Masabiah, translation by James Robson, Vol. 1, p. 665). Secara Islami, persetujuan yang kredible dari seorang wanita merupakan syarat dasar bagi pengesahan sebuah pernikahan. Dengan mengembangkan kondisi logis ini, persetujuan yang diberikan oleh gadis belum dewasa berusia 7 tahun tidak dapat diautorisasi sebagai validitas sebuah pernikahan.
    Adalah tidak terbayangkan bahwa Abu Bakr, seorang laki-laki yang cerdas, akan berpikir dan mananggapi secara keras tentang persetujuan pernikahan gadis 7 tahun (anaknya sendiri ) dengan seorang laki -laki berusia 50 tahun.
    Serupa dengan ini , Nabi tidak mungkin menerima persetujuan dari seorang gadis yang menurut hadith dari Muslim, masih suka bermain -main dengan bonekanya ketika berumah tangga dengan Rasulallah saw.

    Kesimpulan:
    Rasulallah saw tidak menikahi gadis berusia 7 tahun karena akan tidak memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan islami tentang klausa persetujuan dari pihak isteri. Oleh karena itu , hanya ada satu kemungkinan Nabi saw. menikahi Aisyah ra seorang wanita yang dewasa secara intelektual maupun fisik.

    Summary:
    Tidak ada tradisi Arab untuk menikahkan anak perempuan atau laki-laki yang berusia 9 tahun, Demikian juga tidak ada pernikahan Rasulallah saw dan Aisyah ra ketika berusia 9 tahun. Jelas nyata, riwayat pernikahan Aisyah pada usia 9 tahun oleh Hisham ibn `Urwah tidak bisa dianggap sebagai kebenaran, karena kontradisksi dengan riwayat-riwayat lain. Lebih jauh, tidak ada alasan yang nyata untuk menerima riwayat Hisham ibn `Urwah sebagai kebenaran ketika para pakar lain, termasuk Malik ibn Anas, melihat riwayat Hisham ibn 'Urwah selama di Iraq adalah tidak reliable.

    Pernyataan dari Tabari, Bukhari dan Muslim menunjukkan mereka kontradiksi satu sama lain mengenai usia menikah bagi Aisyah. Lebih jauh , beberapa pakar periwayat mengalami internal kontradiksi dengan riwayat-riwayatnya sendiri. Jadi, riwayat usia Aisyah 9 tahun ketika menikah adalah tidak reliable karena adanya kontradiksi yang nyata pada catatan klasik dari pakar sejarah Islam.
    Oleh karena itu , tidak ada alasan orang untuk menerima dan mempercayai usia Aisyah 9 tahun ketika menikah sebagai sebuah kebenaran disebabkan cukup banyak latar belakang untuk menolak riwayat tsb dan lebih layak disebut sebagai mitos semata. Lebih jauh, Qur'an menolak pernikahan gadis dan lelaki yang belum dewasa sebagaimana tidak layak membebankan kepada mereka tanggung jawab-tanggung jawab. Wallahu a'lam.

    Note: The Ancient Myth Exposed
    By T.O. Shanavas , di Michigan.
    © 2001 Minaret
    from The Minaret Source: http:// www.iiie.net /


    Fatwa-fatwa para ulama tentang paham Hulul atau Ittihad (menyatunya Allah swt dengan hamba-Nya) :
     Fatwa As-Sayid Alwi bin Abbas Al-Maliki (mufti Mekkah) dalam Majmu’ Fatawi Wa Rosail As-Sayid Alwi bin Abbas Al-Maliki, hal. 185-186, tentang perkataan orang “yang menyembah adalah yang disembah dan yang disembah adalah yang menyembah”.
    Pertanyaan: “Apa pendapat Tuan –semoga anugerah Allah menyertai– tentang seorang lelaki beriman yang mengaku berpegang tauhid mengatakan; ‘Bahwa antara yang menyembah dan yang disembah itu hakekatnya satu jua’. Apakah dengan perkataan ini, ia tergolong murtad atau perlu dibedakan antara seorang sufi dan yang lainnya? Ketika kita menghukumi murtad, apakah boleh dikubur dipekuburan kaum muslimin atau tidak diperbolehkan? Semoga Allah membalas Tuan dengan balasan yang baik “.

    As-Sayid Alwi menjawab:
    "Segala puji untuk Allah atas anugerahnya dan puji syukur atas pemberiannya. Sholawat dan salam semoga tetap tercurah untuk baginda Muhamad, keluarga dan sahabat-sahabatnya yang menempuh jalannya. Wa ba’du: “Ketahuilah, sesungguhnya jawaban atas persoalan ini mencakup dua sub bahasan. Pertama; keterangan mengenai segala sesuatu yang terkait dengan ucapan diatas. Kedua; mengenai segala sesuatu yang terkait dengan hukum orang yang mengucapkannya. Akupun akan menjawab dengan memohon pertolongan dari curahan ‘dzat pemberi nikmat’ dan juga terbukanya hati dari dzat yang memberikan bisikan ilham untuk pembahasan pertama bahwa termasuk sesuatu yang maklum dan tidak perlu dipikir panjang yaitu mengenai perbedaan yang sangat jelas antara pencipta dan yang diciptakan. Karena yang namanya pencipta adalah dahulu tanpa permulaan, Maha Kaya dan Maha Agung sedangkan makhluk adalah sesuatu yang baru datang dan penuh kehinaan. Apakah bisa disamakan antara bekas dan yang memberikan bekas, antara ciptaan dan yang menciptakan? Tidak akan berkata seperti itu kecuali orang bodoh, yang buta mata hatinya dan terhapus cahaya hatinya. Dengan perkataan seperti ini, berarti dia memproklamirkan diri sebagai pelaku zindiq, kesesatan lepas dari kendali taklif dan keluar dari wilayah syari’at yang disucikan. Dia pun menyangka termasuk kedalam golongan sufi agung, yang berpaham wahdah al-wujud. Padahal tasawuf yang terdapat pada dirinya hanya tinggal nama dan agama, yang dipegang pun tinggal tanda-tandanya belaka. Dengan begitu, setan pun tak henti-hentinya meniup kedua rahang mulutnya, memberitahukan keindahan permainan berkata-kata sebagai tipu daya, dengan sesuka hatinya memuji-muji hal-hal yang sebenarnya belum diketahui, mengucapkan ucapan-ucapan yang tidak bisa diterima akal dan tanpa terasa sebenarnya ia telah ke  masukan aqidah orang-orang nasrani yang berpendapat adanya penyatuan antara ketuhanan dan wujud kemanusiaan. Dengan demikian ia termasuk orang-orang yang sesat”.  

     Fatwa Al-Mawardi ( Al-Haawi Al-Kabir).:
    Orang yang mempunyai paham hulul atau ittihad (bahasa jawanya ‘manunggaling kawula gusti’ artinya menyatunya Allah dengan hamba) bukan termasuk orang-orang muslim. Mereka Islam, cuma menurut lahirnya dan sebutannya saja. Mereka mengatakan Allah Maha Suci, namun juga berpendapat bahwa Allah itu menyatu dengan makhluk-Nya. Paham semacam itu jelas-jelas sesat. Dikarenakan bersatunya Allah ini, jika diartikan menyatunya sifat kepada yang lain berarti Allah itu sifat. Atau jika diartikan menyatunya jasmani-jasmani, berarti menganggap Allah itu jisim. Padahal pengertian semacam ini jelas-jelas keliru. Kemudian jika yang dimaksud dengan hulul ini seluruh dzatnya, maka berarti Allah dibatasi oleh badan kasar manusia. Atau hanya hulul sebagian saja, maka berarti dzatnya Allah terbagi-bagi. Ini semua jelas merupakan kesalahan dan kesesatan. 

    Fatwa-fatwa para ulama mengenai ilmu Tarekat, Hakekat, Ma’rifat :
    Fatwa Syeikh Abdul Qadir Al-Jaelani (Sirr Al-Asraar Wa Madhhar Al-Abraar, hal.140-142) tentang aliran sunni dan 12 aliran yang sesat :
    Aliran-aliran tasawuf itu ada dua belas golongan, salah satunya adalah kaum Suni, yaitu orang-orang yang perbuatan dan perkataannya sesuai dengan syari’at dan tarekat (ini yang bukan termasuk aliran sesat). Mereka itu dinamakan ‘kelompok ahl as-sunnah wal jamaah’ , sebagian masuk surga tanpa hisab dan sebagian yang lain masuk surga setelah merasakan adzab/siksa.
    Dua belas aliran sesat tersebut antara lain: Al-Huluwiyah, Al-Haliyah, Al-Auliyaiyah, Ats-tsamrokhiyah, Al-Hububiyah, Al-Huriyah, Al-Ibaahiyah, Al-Mutakaasilah, Al-Haddiyah, Al-Mutajahilah, Al-Waqifiyah  dan Al-Haamiyah.

    Aliran Al-Hulwiyah: yaitu, sesuatu sekte yang mengatakan bahwa melihat wajah wanita cantik atau amrod (pemuda tampan yang belum mencapai usia tumbuhnya bulu wajah, jenggot) tampan hukumnya halal dan dibalik wajah itu tersembunyi sifat-sifat Tuhan yang Maha Haq. Mereka itu suka menari-nari, saling berciuman dan berpelukan. Sekte ini termasuk kafir murni.

    Aliran Al-Haliyah: Suatu sekte yang mengatakan bahwa menari (berjoget) dan tepuk tangan hukumnya halal. Mereka juga mengatakan bahwa guru tarekat itu punya tingkatan spritual yang tidak bisa dijangkau hukum syara’. Paham seperti ini jelas bid’ah, yang tidak dijumpai pada sunnah Rasulallah saw.

    Aliran Al-Auliyaiyah: Suatu sekte yang mengatakan; ketika seorang hamba mencapai martabat Auliya, maka terbebas dari semua tuntutan syar’i. Selain itu mereka mengatakan; seorang wali lebih utama dari pada Nabi. Karena ilmunya nabi dengan perantaraan Jibril as, sedangkan ilmunya para wali dengan tanpa perantaraan (dengan ilham langsung dari Allah), penafsiran seperti ini jelas keliru. Mereka ini termasuk golongan celaka, karena I’tiqod/keyakinan yang mengandung kekufuran.

    Aliran Atstsamrokhiyah: Suatu sekte yang mengatakan bahwa kebersamaan dengan Allah adalah sesuatu yang azali, dengan sebab kebersamaan inilah perintah Allah dan larangannya menjadi gugur. Mereka menghalalkan rebana, rebab dan alat musik lainnya (menurut mereka halalnya memang secara Syar’i). Dan anak perempuan bagi mereka, halal dikawini sendiri karena menurut mereka asalkan berjenis kelamin perempuan—halal dinikahi. Mereka ini termasuk golongan orang-orang kafir, dan halal darahnya.

    Aliran Al-Hububiyah: suatu sekte yang mengatakan bahwa, seorang hamba ketika mencapai derajat mahabbah disisi Allah, akan bebas dari segala tuntutan syar’i, selain itu mereka tidak menutup aurat diantara sesama mereka.

    Aliran Al-Huriyah: sekte ini hampir sama dengan aliran Al-Haliyah, hanya ada sedikit perbedaan bahwa, mereka mengaku menyetubuhi bidadari (alhuur) dalam keadaan terbual dzikir, kemudian setelah sadar mereka mandi wajib/jenabat. Mereka ini pembohong dan akan celaka.

    Aliran Al-Ibaahiyah: sekte ini tidak mau melakukan amar ma’ruf, menghalalkan perkara haram dan juga memperbolehkan menggauli wanita (bukan isterinya).

    Aliran Al-Mutakaasilah (kelompok pemalas): golongan ini mengemis dari pintu kepintu sementara itu, mereka mengaku meninggalkan urusan dunia dan merekapun kelak akan celaka.

    Aliran Al-Mutajahilah: suatu sekte yang lahiriyahnya memakai pakaian orang-orang fasik dan mereka mengaku mementingkan urusan bathin/hati. Mereka juga akan celaka. Seperti difirmankan Allah swt.: Dan janganlah kalian condong kepada orang-orang dzalim, yang menyebabkan kalian tersentuh oleh api neraka (QS.Hud:113).

    Aliran Al-Waqifiyah: suatu sekte yang mengatakan, bahwa selainnya Allah tidak akan bisa mengenali Allah. Mereka tidak mau berusaha untuk mencapai ma’rifat. Dan merekapun akan celaka.

    Aliran Al-Haamiyah: sekte ini mengabaikan ilmu, melarang pengajian, mereka hanya mengikuti Hukama’ dan mengatakan; Bahwa Al-Qur’an itu menjadi hijab sedangkan syair-syair itu sebagai al-Qur’annya ahli tarekat sehingga merekapun meninggalkan Al-qur’an dan mengajarkan syair-syair kepada anak-anak mereka. Selain itu juga mereka tidak mau membaca wirid. Dengan paham seperti ini mereka akan celaka. Sementara dalam hati kecilnya yang rusak, mereka selalu mengatakan; Kami ini ahlu sunnah wal jama’ah, yang mana sebenarnya mereka itu bukan golongan ahli sunnah waljama’ah. Demikianlah pendapat syeikh Abdul Kadir Al-jailani -rahimahullah-.

     Al-Bujairomi, Alal-khotib hal.8 juz 1 cet.Darul Fikr :
    {{ Hakekat tanpa Syari’at batal (tidak diterima), Syari’at tanpa Hakekat berakibat fatal (sia-sia).
    Contoh yang pertama (hakekat tanpa syari’at batal) adalah:
    Ketika engkau berkata kepada seseorang; Sholatlah dzhuhur!, kemudian dia menjawab; ‘Jika Allah menakdirkan aku beruntung, maka aku akan dimasukkan surga meskipun aku tidak mengerjakan sholat’. Atau ia menjawab; ‘Jika Allah menakdirkan aku sholat, maka aku pasti melaksanakannya’. Orang seperti ini, hanya melihat urusan dari tinjauan bathin saja (hakekat).
    Contoh yang kedua (syari’at tanpa hakekat berakibat fatal) adalah :
    Ketika ada orang mengatakan; Saya tidak mengerjakan sholat kecuali supaya masuk surga. Atau mengatakan; Saya tidak akan masuk surga kecuali dengan mengerjakan sholat. Pelaksanaan syari’at seperti ini akan sia-sia menurut pandang Kaum ‘Arifin. Maksud sia-sia adalah; Keberadaan syari’at itu seolah-olah seperti tidak ada (tidak mendapat pahala) karena masuk surga itu semata-mata anugerah Allah, bukan karena perantaraan amal, meskipun pelaksanaan syari’at tersebut sudah menggugurkan kewajiban (menurut ilmu fiqih sudah sah). }}

     Syeikh Zainuddin bin Ali Al-Malaybari dalam Hidayatul-Adzkiya ilaa Thoriqotil-Auliya hal.8-13, maktabah al-Hidayah:
    “Sesungguhnya jalan terang itu, terdiri dari: Syari’at, Tarekat dan Hakekat, dengarlah perumpamaan berikut ini: Syari’at  itu ibarat perahu, Tarekat itu ibarah samudera dan Hakekat itu ibarat mutiara yang tak ternilai harganya.
    Syari’at adalah: Berpegang teguh pada agama Allah Sang Pencipta, melakukan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Tarekat adalah: Berpegang pada kehati-hatian, seperti berperilaku wira’i, dan juga menahan keadaan yang berat, seperti terus menerus mengekang nafsu kesenangan.
    Hakekat adalah: Sampainya seorang saalik pada maksud tujuan (ma’rifat kepada Allah), seraya menyaksikan kilatan cahaya ilahiyyah. Barangsiapa ingin mendapatkan mutiara, hendaknya naik perahu, menyelam kedasar samudera dan kemudian mengambilnya.
    ‘Wahai saudaraku! Tarekat dan Hakekat itu tidak akan bisa engkau raih kecuali dengan menjalani Syari’at’. Hendaknya seorang saalik menghiasi lahiriahnya dengan syari’at supaya kalbunya bercahaya. Kegelapan sirna, dan tarekat pun bersemayam dalam kalbu.
    ‘Mereka kaum Sufi, masing-masing punya tarekat yang dipilih untuk mengantarkannya menuju jalan terang. Ada yang duduk mengajar dan membimbing umat manusia dan adapula yang memperbanyak wirid-wirid seperti puasa dan sholat. Sebagian lagi berkhidmah melayani kepentingan masyarakat...bahkan diantara mereka ada yang mencari kayu bakar dan menjualnya untuk disedekahkan kepada sesama’.

     Syeikh Abdul Wahhab As-Sya’roni (Kifayatul Atqiya’, syarh hidayatul Adzkiya hal.27): Para guru tarekat telah sepakat bahwa, tidak diperbolehkan bagi seseorang memberikan bimbingan kepada murid-murid tarekat kecuali ilmu syari’at dan alatnya laksana samudera, sebagaimana difatwakan para guru tarekat Syadziliyah. Oleh karena itu Syeikh Abu Hasan Asy-Sadzili, Syeikh Abbul Abbas Al-Mursyi, Syeikh Yaqut Al-Ursyi dan Tajuddin Ibnu ‘Athoilah tidak mau menerima murid Tarekat kecuali telah betul-betul menguasai ilmu syari’at, sekira bisa mengalahkan para ulama dalam majlis munadzoroh. Jika tidak memenuhi syarat ini, mereka tidak mau membaiatnya. Yang demikian ini untuk zaman sekarang (zamannya Syeikh Abdul Wahhab ini) lebih langka dari pada belerang merah. 

     Fatwa As-Sayid Abdurrahman bin Mushtofa Alaydrus tentang amalan yang bisa menyebabkan wushul kepada Allah di akhir zaman. Allamah sayid Mushtofa ini (tinggal di Mesir) menyatakan dalam penjelasan beliau tentang sholawatnya sayid Ahmad Al-Badawi. Komentar ini ditulis dalam kitab Manaqibi Aali Al-Idrus :
    Bahwa di akhir zaman nanti, ketika sudah tidak ditemukan seorang murobbi (mursyid) yang memenuhi syarat, tidak ada satupun amalan yang bisa mengantarkan seseorang wushul (ma’rifat) kepada Allah kecuali bacaan sholawat kepada Nabi saw, baik dalam keadaan tidur maupun terjaga. Kemudian setiap amal itu mungkin diterima dan mungkin juga ditolak, kecuali bacaan sholawat kepada Nabi saw (ini) yang pasti diterima, karena memuliakan Nabi saw. Sayid Abdurrahman meriwayatkan keterangan tersebut berdasarkan kesepakatan/ijma’ ulama.

    Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malaibari (Fathul Mu’in, Hamisy Ianah Ath-Tholibin hal.134 juz 4, syirkah Al-Maarif, Bandung) tentang membaca buku-buku yang menerangkan Ilmu Hakekat yang ditulis oleh para Sufi:
    “Bagi orang yang tidak paham istilah-istilah ahli ma’rifat dan tarekat yang dijalani mereka, sama sekali tidak diperbolehkan membaca kitab-kitab karya mereka. Karena banyak sekali orang yang terjerumus dengan hanya melihat dhohirnya kata-kata para Sufi”.

     Fatwa Ibnu Hajar (Al-Fatawi Al-Haditsiyyah, hal. 210) tentang membaca kitab-kitab karya Ibnu ‘Arobi:
    (Ditanyakan kepada Ibnu Hajar), semoga Allah melimpahkan berkahnya kepada kita, tentang bagaimana hukumnya membaca kitab-kitab karya syeikh muhyidin Ibnu ‘Arabi? Beliau menjawab:
    “Menurut keterangan yang aku kutip dari guru-guruku, para ulama yang bijak, yang menjadi penyebab diturunkannya hujan, yang menjadi tumpuan dan rujukan segenap umat dalam memecahkan hukum-hukum agama dan didalam menjelaskan ahwal, ma’arif, maqomaat dan isyarat-isyarat”. Sesungguhnya Syeikh Muhyidin bin ‘Arobi itu termasuk golongan Auliya Arifin, ulama ‘Amilin dan merekapun telah sepakat mengenai predikat beliau (Ibnu ‘Arobi) sebagai orang paling alim pada zamannya. Sehingga beliau menjadi panutan dalam segala cabang ilmu dan bukan sebagai pengikut.
    Didalam masalah pendalaman ilmu kasyf dan pembicaraan terkait dengan pembedaan maupun penyamaan, beliau ini laksana gelombang lautan yang tidak mungkin di-ikuti sebagai seorang imam, yang tidak pernah bersalah dan tidak pula terbantahkan hujah-hujahnya. Selain itu Ibnu ‘Arobi terkenal sebagai ulama paling wira’i pada zamannya, paling konsisten dengan Asu-Sunnah dan juga paling kuat mujahadahnya. Termasuk tanda kebesaran itu adalah ketika beliau menulis kitabnya yang berjudul “Al-Futuhaat Al-Makiyyah”. Kitab ini diletakkan diatas Ka’bah dengan tanpa penutup dan setelah kurang lebih selama satu tahun ternyata kitab ini sama sekali tidak tersentuh air hujan dan juga tidak pernah terlempar oleh angin. Padahal waktu itu di Mekkah sering turun hujan dan bertiup angin kencang. Penjagaan Allah dari hujan dan angin ini cukup sebagai bukti, bahwa kitab ini diterima disisi-Nya, mendapatkan pahala dan pujian yang layak. Oleh karena sebaiknya jangan sekali-kali ingkar terhadap isi kitab ini. Karena hal itu akan menjadi racun yang siap membinasakan pada waktu itu juga. Saya (Ibnu Hajar) sendiri telah melihat dan menyaksikan bencana dan keburukan adzab/siksa yang ditimpakan kepada mereka yang ingkar terhadap isi kitab-kitab karya Ibnu ‘Arobi. Adapun mengenai membaca kitab-kitab karya beliau, sebaiknya dihindari saja baik dengan alasan apapun. Sebab didalam kitab-kitab itu terdapat pembahasan-pembahasan hakekat, yang hanya bisa dipahami oleh para ulama yang sudah mempelajari secara mendalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dan sudah mencapai hakekatnya ma’rifat dan ma’rifatnya hakekat" .

     Ibnu Hajar dalam Al-Fatawi Al-Haditsiyah, hal.56 menulis tentang perbedaan antara murid Tabaruk dan murid Suluk:
    “Mengambil ijazah dari para guru yang lebih dari satu, harus dibedakan antara seorang murid yang hanya sekedar menginginkan tabaruk dan seorang murid yang menginginkan bimbingan suluk. Untuk macam murid yang pertama (yakni sekedar tabaruk) diperbolehkan memcari ijazah dari siapapun, karena sama sekali tidak ada larangan baginya. Sedangkan untuk murid yang kedua (menginginkan bimbingan suluk) merupakan suatu keharusan baginya menurut istilahnya kaum sufi yang bersih dari segala larangan dan cercaan. Untuk memulai suluknya dengan bimbingan seorang guru yang halnya bisa menawan hatinya. Sekira hatinya mengagumi keagungan hal sang guru yang jelas-jelas berada dijalan yang benar, selain itu dia sangat menyukai dan menginginkan berguru kepadanya. Ketika itu, ia harus berpegang teguh pada petunjuknya, siap menerima perintah-perintah, larangang-larangan dan isyarat-isyaratnya. Sehingga ia diumpamakan seperti mayit di hadapan orang yang memandikannya (yang siap dibolak-balik menurut keinginan orang yang memandikannya).

    Dan jika belum ada seorang gurupun yang halnya menawan hatinya, maka ia harus memilih guru yang paling mengerti hukum-hukum syari’at dan hakekat. Dan setelah itu ia harus siap menerima isyarat dan perintahnya. Barangsiapa mendapatkan guru suluk, baik dengan kriteria pertama maupun kedua, maka haram baginya meninggalkan guru tersebut (pindah pada guru lainnya) meskipun hati kecilnya mengatakan ada guru lain yang lebih sempurna. Karena bisa jadi murid tersebut merasa bosan untuk memenuhi hak-hak seorang guru sehingga nafsunya menginginkan pindah pada yang lainnya. Memilih seorang guru yang paling ‘arif, ‘alim, wira’i dan sholeh hanya diperbolehkan ketika ia pertama kali suluk. Adapun setelah bai’at dibawah pengawasan seorang guru yang ‘arif, maka sama sekali tidak ada kemurahan untuk berpindah kepada guru yang lain. Begitu juga menurut kaum Sufi bagi guru kedua yaitu ketika seorang murid telah mengambil guru yang sempurna tidak diperbolehkan memberikan bimbingan suluk kepada murid tersebut. Namun ia harus memerintahkan murid tersebut kembali kepada guru pertama”.

     Ibnu Hajar dalam Al-Fatawi Al-Haditsiyah hal.226 tentang Pengikut Malamatiyyah :
    “ Mereka (pengikut Malamatiyah) itu adalah kaum yang selalu menjaga kebaikan hatinya untuk Allah semata. Mereka tidak menyukai orang lain melihat amal-amalnya. Dan ketika seseorang mengetahui amal kebaikannya, maka segera merusak amal tersebut yaitu dengan melakukan perbuatan atau perkataan yang kelihatannya tercela, seperti contoh pencurian yang dilakukan oleh sebagian para wali antara lain Ibrohim bin Khowash semoga Allah memberikan manfaat dengannyadan kejadian ini cukup untuk dipetik sebagai ilmu pengetahuan. Ketika itu penduduk kampungnya menganggap Ibrohim bin Khowash telah mencuri beberapa potong baju kepunyaan seorang pangeran dari sebuah pemandian air hangat. Mereka menjumpai Ibrohim dengan bangga keluar dari permandian, kemudian ditangkap ramai-ramai oleh penduduk, dipukul dan baju-baju itu diambil kembali. Kemudian ia (Ibrohim) mendapat julukan Pencuri pemandian air hangat, setelah kejadian itu Ibrohim pun berkata : ‘Sekarang baru dikatakan baik berdiam dikampung ini’.  
    Jika kamu bertanya apa alasan yang tepat untuk diperbolehkan memakai pakaian orang lain (dalam peristiwa itu)? Saya (Ibnu Hajar) katakan, bahwa kemungkinan besar Ibrohim bin Khowash telah mengetahui kadar kemarahan dan kerelaan pemiliknya (seorang pangeran tersebut). Bahkan kejadian itu bisa menyebabkan kerelaannya. Meskipun hatinya tidak mengetahui secara pasti namun hal itu bisa berdasar pada kebiasaan. Karena jika si pangeran tadi mengetahui kebaikan seorang hamba (Ibrohim ini) yang memakai pakaiannya dalam waktu sebentar dengan tujuan membersihkan hati supaya tidak dipandang simpati oleih para makhluk niscaya ia (pangeran) akan merelakannya. (Imam) Syafi’i telah menerangkan: ‘Bahwa diperbolehkan mengambil satu atau dua cukil gigi dari harta orang lain, karena pada umumnya kejadian seperti ini, bisa dimaafkan’. Sementara itu masalah yang sedang kita bicarakan ini lebih penting dari hanya sekedar mengambil cukil gigi. Lagi pula kebanyakan manusia sangat menyukai kaum sufi atau bahkan menjadi pengikut setia dari kelompok mereka. Kemudian aku mengamati sebagian Fugoha memberikan jawaban lain ketika ditanya oleh seorang Fagih tentang peristiwa/riwayat diatas. Sebelumnya ia mengatakan : ‘Aku tidak akan menerima kecuali dengan jawaban yang sesuai dengan pendapat Fugoha’. Maka merekapun memberikan jawaban: ‘Bukankah menurut dhohirnya Fiqih diperbolehkan berobat dengan sebagian dari barang-barang yang diharamkan?’. Maka Fagih tersebut menjawab: ‘Ya memang benar demikian’ “.

     Fatwa Ibnu Hajar (Al-Fatawi Al-Haditsiyah, hal.213) tentang Tarian para Sufi :
    “Ditanyakan kepada beliau –semoga Allah memberikan manfaat–  tentang tarian yang dilakukan para sufi ketika dibuai lezatnya dzikir apakah ada dalilnya? Beliau (Ibnu Hajar) menjawab:
     ‘Memang benar ada dalilnya. Sesungguhnya telah diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa sesungguhnya Jakfar bin Abi Thalib ra (saudara Imam Ali bin Abi Thalib kw) menari-nari dihadapan Nabi saw, ketika beliau (saw) mengatakan kepadanya (Jakfar); ‘ Wahai Jakfar, sungguh rupa dan tabiatmu mirip denganku’. Jakfar menari sedemikian ini tidak lain karena terbuai rasa lezat atas ucapan Nabi dan Nabi pun tidak mengingkari perbuatan Jakfar tersebut. Lagi pula sungguh benar-benar terjadi tarian-tarian sambil berdiri pada majlis dzikir seperti yang di lakukan segolongan imam-imam besar termasuk diantaranya Syeikh Al-Islam ‘Izzudin bin Abd.Salam”.
            
    Fatwa Imam Al-Ghozali (Ihya ‘Ulum Ad-din, juz III bab Riya’ hal.281) tentang Tarekat Malamatiah:
    “Cara menghilangkan Hubbul-jah dengan amaliyah, yaitu dengan mengerjakan perbuatan-perbuatan yang mendatangkan kecaman dan cercaan khalayak ramai, sehingga martabatnya jatuh dihadapan mereka. Kemudian tidak lagi merasakan enaknya mendapatkan simpati, merasa puas dengan penyamarannya dan merasa cukup dengan penerimaan Allah Sang Pencipta. Yang demikian ini adalah aliran kaum Malamatiyyah. Mereka mengerjakan berbagai bentuk keburukan dan kenistaan supaya jatuh harga dirinya dihadapan manusia, pada akhirnya mereka selamat dari malapetaka Jah (pangkat, kehormatan). Perbuatan seperti ini tidak boleh dilakukan oleh orang yang menjadi panutan, dikarenakan  akan menimbulkan perasaan meremehkan agama dihati kaum muslimin. Sedangkan untuk orang yang tidak menjadi panutan, tidak diperbolehkan mengerjakan hal-hal yang diharamkan, untuk tujuan diatas. Mereka hanya diperbolehkan melakukan perkara-perkara mubah, yang bisa menjatuhkan martabatnya. Diantara mereka ini ada yang minum minuman halal, dengan menggunakan cawan yang warnanya mirip warna arak, sehingga ia disangka peminum arak. Dengan demikian jatuhlah martabatnya dihadapan manusia. Diperbolehkannya perbuatan semacam ini ,menurut fiqih, masih perlu ditinjau lebih mendalam. Hanya saja kaum Sufi lebih mementingkan perbaikan hati meskipun perbuatan tersebut bertentangan dengan fatwa ulama fiqih. Kemudian setelah usaha (penyamaran) tersebut berhasil, segera ia (kaum aliran malamatiyyah) kembali dari kecerobohan yang telah dilakukannya”.

    Fatwa Abu Ath-Thoyib dan Ibnu Atho’illah (Salaalim Al-Fudlolaa’ hal.112, cet.Al-Hidayah dan Kifayah Al-Atqiya’ hal. 111, cet. tAl-Hidayah) tentang Pengertian Ma’rifat sejati atau sejatinya Ma’rifat:
    “Abu Ath-Thoyib mengatakan; “Ma’rifat adalah menyaksikan atas rahasia-rahasia dari yang maha haq dengan perantaraan cahaya ilahi”.
    Ibnu Atho’illah mengatakan: “Ma’rifat itu harus memenuhi tiga rukun; merasa segan, malu dan selalu merasa senang/puas dalam keadaan apapun”.
    Dzun An-Nuun mengatakan : “Tanda tanda seseorang itu telah mencapai ma’rifat ada tiga; a) Cahaya kema’rifatannya tidak memadamkan cahaya wira’inya. b) Tidak mengi’tiqotkan bahwa ilmu bathin itu bisa merusak hukum dhohir. c) Banyaknya nikmat yang dilimpahkan Allah kepadanya tidak mendorong untuk melanggar apa-apa yang diharamkannya. Ma’rifat kepada Allah, adalah seberkas cahaya yang di tempatkan oleh Allah didalam hati seorang hamba dan dengan cahaya tersebut ia bisa melihat rahasia-rahasia kerajaan bumi dan bisa menyaksikan hal-hal ghaib dari kerajaan langit”

    Keterangan mengenai pengertian Wali (Waliyullah):
    Para waliyullah adalah hamba-hamba ,diluar para Nabi dan Rasul, yang dicintai juga oleh Allah swt. Mereka benar-benar manusia sejarah bukan manusia dongeng, sebagai- mana yang dikatakan oleh sementara orang yang tidak mempercayai adanya kekeramatan (karomah) yang dilimpahkan Allah swt kepada para Wali. Allah swt telah memberikan penjelasan kepada kita tentang para Wali itu, sebagaimana firman-Nya:
    Artinya: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya para Wali Allah itu tidak khawatir terhadap mereka dan tidak pula mereka itu bersedih hati. Mereka adalah orang-orang beriman dan senantiasa bertakwa” (QS Yunus:62-63).

    Waliyullah adalah orang yang berpegang teguh pada kebenaran Allah, menjauhkan diri dari segala bentuk maksiat (kedurhakaan) dari yang besar hingga yang kecil, dari yang bersifat lahir sampai yang bersifat bathin. Waliyullah adalah orang yang sholeh dan besar takwanya kepada Allah swt. Allah swt menganugerahkan kehormatan atau kemuliaan (karomah),menurut kehendak-Nya, kepada siapa saja dari kalangan hamba-hambaNya yang sholeh baik mereka yang dari kalangan umat Muhamad saw maupun dari kalangan para pengikut para Nabi dan Rasul sebelum beliau saw. Allah swt memberi keampunan kepada pihak yang satu demi kemaslahatan pihak yang lain, memaafkan kesalahan pihak yang satu untuk kebaikan pihak yang lain, dan menolong pihak yang satu untuk keselamatan yang lain. Demikianlah sebagaimana yang terdapat didalam hadits-hadits Arafat.
    Menurut salah satu dari hadits tersebut, Allah swt berfirman kepada para Malaikat mengenai orang-orang yang berwuquf dipadang Arafat dan berdoa: “Kukabulkan doa mereka dan Aku karunia maaf orang-orang yang buruk dari mereka demi kemaslahatan orang-orang yang baik dari mereka”. Demikianlah yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la.

    Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani, Rasulallah saw menyatakan: “Allah mengarunia maaf kepada orang yang buruk diantara kalian untuk kemaslahatan orang yang baik diantara kalian, dan Allah pun akan memberi apa yang diminta oleh orang yang baik. Karenanya hendaklah kalian berangkat (menunaikan ibadah haji) dengan nama Allah”.
    Setelah mereka berkumpul (siap berangkat haji) Rasulallah saw menerangkan: ‘Allah ‘Azza wa Jalla telah memberikan ampunan kepada orang-orang yang baik dari kalian dan menerima permintaan syafaat (pertolongan) mereka bagi orang-orang yang buruk dikalangan kalian’.

    Hadits mengenai hal itu yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi adalah sebagai berikut:  ‘Aku (Allah) telah mengampuninya dan telah memberi syafaat kepadanya bagi dirinya sendiri. Jika ada hamba-Ku yang mohon hal itu kepada-Ku tentu ia Kuberi syafaat ditempat wuquf ini’.   

    Hadits-hadits tersebut diatas dikemukakan oleh Al-hafidh Al-Mundziri dalam At-Targhib wat Targhib bab ibadah haji jilid III hal. 323). Hadits-hadits tersebut baik dijadikan  di jadikan argumentasi dan pada umumnya dipandang sebagai hadits-hadits shohih.

    Bahkan ada pula hadits-hadits yang menegaskan bahwa diantara para hamba Allah yang sholeh, ada yang justru karena kemuliaan (karomah) para waliyullah itu, Allah menurunkan rizki dalam kehidupan dialam wujud. Karena mereka, Allah menurunkan air hujan, memberikan pertolongan kepada hamba-hambaNya, mencegah datangnya bencana, mendatangkan kebajikan serta menyayangi semua penghuni bumi (hadits-hadits semacam itu antara lain yang diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan rawi-rawinya adalah para perawi hadits shohih dan diriwayatkan juga oleh Anas bin Malik ra dan Thabrani didalam Al-Ausath.).

    Sayidina Ali bin Abi Thalib kw menuturkan: “Di negeri Syam terdapat orang-orang sholeh, mereka berjumlah empat puluh orang. Bila ada seorang diantara mereka yang wafat, Allah menggantinya dengan orang lain yang menempati kedudukannya. Karena mereka itulah Allah menurunkan air hujan, memenangkan mereka dalam menghadapi musuh dan menghindarkan penduduk negeri itu (Syam) dari bencana adzab/siksa”. Hadits ini di ketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan rawi-rawinya adalah para perawi hadits shohih. Syarih bin ‘Ubaid –ia dapat dipercaya– mengatakan bahwa ia sudah mendengar hadits tersebut dari Al-Miqdad lebih dulu.

    Hadits lain yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah bin Shamit menuturkan bahwasanya Rasulallah saw pernah menyatakan: “Orang-orang Sholeh dikalangan ini (umat Muhamad saw) berjumlah tiga puluh orang. (Mereka itu) seperti Khalilur-Rahman (orang yang amat dekat dengan Allah) ‘Azza wa Jalla. Bila seorang dari mereka wafat, Allah menggantikan pada kedudukannya dengan orang lain”. Hadits ini dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dengan rawi-rawi shohih. Al-“Ijli dan Abu Zar’ah menilainya sebagai hadits tsiqat (yang boleh dipercaya). Sedangkan selain dua orang ahli hadits ini menilainya lemah.

    ‘Ubadah bin As-Shamt menuturkan bahwa Rasulallah saw. menyatakan:
    “Ditengah ummatku akan senantiasa terdapat tiga pulu orang yang karena mereka itu bumi ini tetap terbentang, karena mereka hujan masih turun dan karena mereka pula kalian beroleh pertolongan’”. Menanggapi pernyataan beliau itu Qatadah berkata: ‘Kuharap Al-Hasan termasuk diantara mereka’ .
    Hadits-hadits yang semakna dengan berbeda teks diriwayatkan juga oleh Anas bin Malik ra dan Thabrani didalam Al-Ausath. Bahkan Abu Darda ra juga meriwayatkan bahwasanya Rasulallah saw menegaskan: “Barangsiapa mohon ampunan bagi kaum mu’minin pria dan wanita, duapuluh tujuh kali sehari, ia akan termasuk orang-orang yang dikabulkan permohonannya dan karena orang-orang seperti itulah Allah melimpahkan rizki kepada penghuni bumi”. Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dan dinilainya sebagai hadits hasan/baik, demikian didalam Al-Jami’.

    Allah swt mengaruniakan kemuliaan kepada suatu umat termasuk seorang Nabi yang berada ditengah mereka, demi kemaslahatan hidup seekor semut. Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa ia mendengar Rasulallah saw pernah menceriterakan:
    “Seorang Nabi pada zaman dahulu mengajak rombongan pengikutnya untuk mohon (kepada Allah) agar diturunkan hujan. Tiba-tiba ada seekor semut mengangkat beberapa kaki (depannya) kearah langit. Melihat hal itu Nabi tersebut memberitahu para pengikutnya; ‘Pulang sajalah kalian! Demi semut itu doa permohonan kalian telah dikabulkan”. (HR. Darquthni dalam Misykatul-Mashabih juz 1 hal. 478). 
    Demi kemaslahatan hidup seekor semut saja Allah swt berkenan mengabulkan permohonan suatu umat bersama nabinya dan menurunkan hujan, apa lagi dengan kemaslahatan hidup para auliya sholihin. Begitu juga apa salahnya jika dikatakan Allah menciptakan Adam as demi habibuna Muhammad saw? Sebagaimana diketahui, yang dimaksud Muhamad saw adalah dzat beliau, syari’at (agama) beliau dan risalah beliau saw yang bersifat menyeluruh (universal) lengkap dan sempurna.

    Fatwa-fatwa para ulama tentang pengertian wali (waliyullah) :
    Fatwa Ibnu Hajar Al-Haitami (Al-Fatawi Al-Haditsiyah, hal. 93 cet.Dar Al-Fikr) tentang Tidak mungkin wali itu seorang yang bodoh dan ilmu syari’at hanya bisa didapat dengan belajar’:
    “Ditanyakan kepada beliau (Ibnu Hajar) semoga Allah memberikan manfaat tentang arti ucapan para ulama; ‘Bahwa Allah tidak akan menjadikan wali yang bodoh dan jika seandainya dijadikan wali pasti diajarkan ilmu kepadanya’.
    Beliau menjawab: ‘Pengertian dari perkataan diatas adalah bahwa sesungguhnya Allah itu akan melimpahkan karunia berupa ilham, taufik, pengalaman-pengalaman spiritual dan ilmu kasunyatan kepada wali-walinya, melebihi manusia lainnya, setelah mereka mengukuhkan hukum-hukum dhohir dan amal-amal yang ikhlas. Barangsiapa menyandang pangkat kewalian dimana kesempurnaannya tidak mungkin didapat kecuali syarat diatas, maka ia akan memperoleh ilmu-ilmu dan kema’rifatan seperti yang diterangkan diatas. Dengan demikian Allah tidak akan mengangkat wali yang bodoh mengenai hal-hal diatas. Dan seandainya Allah menjadikan atau memberikan derajat kewalian kepada para Auliya, niscaya ia akan diajari (diberi ilham) pengetahuan-pengetahuan (kema’rifatan-kema’rifatan) sehingga bisa menyamai yang lainnya.

    Dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud bodoh disini adalah bodoh mengenai ilmu yang langsung diberikan Allah (ilmu laduni) dan pengalaman spiritual yang sempurna, bukan orang yang bodoh mengenai ilmu-ilmu syari’at dhohir yang memang wajib dipelajari. Karena orang yang seperti ini (bodoh ilmu syari’at) tidak akan bisa menjadi wali dan selama masih dalam kebodohan tidak akan dikehendaki mendapat pangkat kewalian. Namun ketika Allah menghendaki seseorang untuk menjadi wali, niscaya akan di berikan hasrat untuk mau mempelajari ilmu syari’at dhohir. Karena ilmu syari’at tidak bisa diajarkan melalui ilham. Dan ketika ia mempelajari ilmu dhohir dan memperkuat amal ibadahnya, maka akan mendapat limpahan ilmu-ilmu ghaib yang tidak bisa didapat dengan usaha dan kesungguhan. Dengan keterangan diatas maka bisa diketahui bahwa sesungguhnya ilmu syari’at itu tidak bisa diperoleh kecuali dengan pendidikan yang nyata”.

    Fatwa Syeikh Abu Utsman Al-Maghrobi (ibid) tentang Wali yang terkenal kewaliannya:
    “Abu Utsman berkata:Wali itu terkadang masyhur, namun tidak menjadikan ia terfitnah atas kemasyhurannya. Justru kemasyhuran itu menjadi berkah bagi dirinya dan bagi orang lain”. 
    Fatwa Syeikh Sa’id yang dinukil oleh Syeikh Ibnu Mudabighi (Sirojut-tholibin, Syeikh Ihsan bin Dahlan Al-Jampesi hal. 16, juz 1, cet.Al-Hidayah) tentang pengertian Wali:
    “Auliya itu jamaknya Wali, yaitu orang yang ma’rifat terhadap Allah dan sifat-sifatnya dengan istiqomah, menjalani taat (perintah Allah), menjauhi larangan dan berpaling dari bujukan lezatnya dunia dan syahwat”.

    Fatwa Al-Yuusi (Syarh Kifayatul Awam, hal. 42) tentang Syarat-syarat seseorang bisa mencapai derajat wali:
    “Al-Yuusi dengan mengutip pendapat sebagian A’immah (para imam) mengatakan;

    Seseorang tidak bisa mencapai derajat wali, kecuali dengan empat syarat:
    a). Mengetahui ushul ad-din, sehingga bisa membedakan antara pencipta dan makhluk yang diciptakan, juga antara Nabi dan orang yang mengaku menjadi Nabi.
    b). Mengetahui hukum-hukum syari’at baik secara Naqli (nash) maupun dalam pemaham an dalil dengan perumpamaan, seandainya Allah mencabut ilmunya penduduk bumi, niscaya akan bisa ditemukan pada orang tersebut.
    c). Mempunyai sifat-sifat terpuji . Seperti: wira’i dan ikhlas dalam setiap amal.
    d). Selama-lamanya dalam keadaan takut , tidak pernah merasa tenang sekejap pun, karena ia merasa tidak tahu apakah tergolong orang-orang beruntung ataukah orang-orang celaka?

    Fatwa Syeikh Ihsan bin Dahlan (Sirojut Tholibin, Syeikh Ihsan bin Dahlan Al-Jampesi juz 1, hal.17) tentang Tanda-tanda seorang wali:
    “Dikatakan bahwa tanda-tanda wali itu ada tiga: 1.Selalu sibuk dengan Allah. 2. lari kepada Allah 3. tujuannya semata-mata hanya kepada Allah.

    Fatwa Abu Turob An-Nakhsya’i (ibid) tentang ‘Sifat Wali’ :
    “Seperti yang dikomentarkan para ulama; bahwa kriteria seorang wali harus tidak mempunyai perasaan cemas. Karena perasaan cemas itu berasal dari penantian akan terjadinya sesuatu yang tidak disenangi pada masa-masa mendatang atau penyesalan akan hilangnya kesenangan pada masa-masa yang sudah lewat. Sedangkan Wali adalah anak waktu ia tidak pernah berandal-andal tentang masa-masa mendatang, juga tidak mempunyai rasa cemas dan tidak punya harapan. Karena yang namanya harapan adalah sebuah penantian akan tercapainya kesenangan atau akan hilangnya kesusahan”.

    Fatwa Abul Qosim (ibid) tentang ‘Khilafiyah ulama apakah seorang wali mengetahui bahwa dirinya wali’?:
    “Abul Qasim berkata: ‘Para ulama berselisih pendapat, apakah seorang Wali mengetahui bahwa dirinya itu termasuk Wali? Sebagian ulama mengatakan tidak mengetahui, karena seorang Wali selalu memandang rendah dirinya. Dan jika nampak karomah pada diri mereka, justru menimbulkan rasa takut, jangan-jangan hal itu termasuk tipu daya setan. Dan sebagian Ulama mengatakan; seorang wali bisa mengetahui bahwa dirinya itu wali”.  

    Fatwa Al-Imam As-Sayid Abdullah bin Alwi bin Muhamad Al-Haddad (Risalatul Mu’awanah hal.13,cet.Al-Hidayah) tentang ‘Orang-orang yang mempunyai Khowariqul adat namun perilakunya tidak sesuai dengan syari’at’ :
    “Barangsiapa tidak bersungguh-sungguh berpegang dengan Al-Qur’an dan sunnah, juga tidak mengerahkan kemampuan untuk mengetahui jejak Rasul, kemudian dia mengaku mempunyai derajat tinggi dihadapan Allah, maka jangan sampai engkau berpaling kepadanya dan mengikutinya meskipun dia bisa terbang, berjalan diatas air, bisa meringkas jarak perjalanan atau mempunyai keanehan-keanehan lain. Karena peristiwa-peristiwa semacam itu bisa dilakukan setan, tukang sihir, juru ramal, orang-orang yang mengetahui keadaan yang samar dan para ahli perbintangan. Mereka (yang tidak berpegang pada Al-Qur’an dan sunnah Rasul) semua ini termasuk orang-orang yang sesat”.

    Fatwa Al-Imam As-Sayid Alwi bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani (Majmu’u Fatawi wa Rosail, hal.200) tentang Ilham dan Firasat:
    “Berkata para ‘Arifin: bahwa Ilham dan firasat dari orang yang amal-amalnya dijaga oleh Allah baik dhohir maupun bathinnya (para wali) bisa dibuat pegangan (dalil/hujjah). Sedangkan para Ushuliyyin (ahli ushul fiqih) mengatakan: ‘Ilham atau firasat tidak bisa dibuat pegangan’. Pendapat kaum ushuliyyin ini diarahkan untuk ilham dan firasat dari selain orang-orang yang telah disebutkan diatas (yakni orang yang terjaga amalnya) dan keluar dari kaidah-kaidah firasat yang dibenarkan menurut syari’at. Hal itu bisa diketahui dengan tanda-tanda dan pembuktian”.

    Fatwa Abi Bakr Al-Kattani (Karomatul Auliya’, Muqodimah, Yusuf bin Ismail An-Nabhani) tentang ‘Derajat para wali dan tempat tinggalnya’:
    “Disebutkan dalam kitab tarikhnya Imam Khotib, dari Abi Bakar Al-Kattani. Beliau berkata: ‘Bahwa Wali Nuqoba’ berjumlah tiga ratus. Wali Nujaba’ berjumlah tujuh puluh. Wali Abdal berjumlah empat puluh. Wali Akhyar ada tujuh. Wali ‘Amd ada empat dan Wali Ghouts ada satu. Tempat tinggal wali Nuqoba’ dinegeri maghribi (maroko), Wali Nujaba’ di Mesir, Wali Abdal di Syam (syria), Wali Akhyar berkelana diatas bumi. Wali ‘Amd berada diempat penjuru bumi dan Wali Ghouts berdiam di Mekkah”.

    Fatwa Yusuf An-Nabhani (Ibid) tentang ‘Pengertian Wali Qutb’ :
    “Diantara auliya itu ada yang disebut dengan istilah wali-wali qutb (aqthob), mereka adalah wali-wali yang menguasai segenap ahwaal dan maqomaat (tahapan-tahapan dan pengalaman spiritual dalam dunia tashawwuf). Wali yang mempunyai derajat ini (Qutb) hanya ada satu pada setiap zaman. Wali Qutb juga disebut wali Ghouts. Wali Qutb termasuk golongan muqorrobin dan sekaligus menjadi pemimpin mereka. Wali-wali qutb ini ada yang menguasai pemerintahan dhohir dan juga pemerintahan bathin seperti Abubakar (as-shiddiq), Umar (bin khattab), Utsman (bin ‘affan), Ali (bin abi Thalib), Hasan (bin Ali bin Abi Thalib), Muawiyah bin Yazid dan (khalifah) Umar bin Abdul Aziz. Kemudian juga ada yang menguasai khilafah batin saja seperti Ahmad bin Harun Ar-Rosyid as-Sibti, Abi Yazid Al-Basytomi. Kebanyakan dari wali-wali Qutb ini tidak menguasai pemerintahan dhohir”.

    Fatwa Syeikh Ali Al-Kowash (Rosail Ibnu ‘Abidin juz II,hal. 274) tentang ‘Wali Qutb sebagai poros alam dan segala ahwalnya’:
    “Keterangan terdahulu telah menjelaskan bahwa Wali Qutb bermukim di Mekkah atau Yaman. Kelihatannya keterangan ini memandang pada sebagian waktu saja atau memandang pada kebanyakan waktunya (tidak terus-terusan berada di Mekkah atau Yaman). Hal ini dikuatkan oleh keterangan yang dikutip oleh Al-Imam Al-Arif Sayidi Abd.Wahhab Asy-Sya’roni dari gurunya Al-Arif dzil Imdad Ar-Robbani sayyidi Al Al-Khowaash. Dimana Asy-Sya’roni mengatakan didalam kitabnya yang berjudul Al-jawahir wa ad-durar: ‘Aku pernah bertanya kepada guruk Rodhiyallahu anhu, apakah wali Qutb, Ghouts selalu bermukim di Mekkah?, seperti yang sering dikomentarkan para ulama’.
    Guruku menjawab: ‘Bahwa hatinya seorang wali Qutb selalu bertawaf mengelilingi Hadratillah dan tidak pernah lepas darinya seperti halnya manusia bertawaf mengelilingi Baitul Haram. Wali Qutb selalu syuhud pada dzat yang Maha Haq dalam segala arah dan dari segala arahdan tidak berarti yang Maha Haq itu bersemayam pada dirinya!! Seperti halnya ketika manusia itu melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah sungguh Allah swt. itu punya sifat yang Maha Tinggi!! Selain itu seorang wali Qutb selalu menghadang apa yang diberikan Allah swt untuk para makhluk-Nya, baik berupa bencana maupun berbagai macam pertolongan (menjadi perantara). Wali Qutb selalu merasakan sakit kepala bukan kepalang, karena beratnya beban yang ia terima. Sedangkan Raqanya tidak harus berada di Mekkah saja”.

    Fatwa Syeikh Ali Al-Khowaash (dalam Rosaail Ibnu Abidin juz II hal.275-276) tentang ‘wali Qutb yang selalu tersembunyi’ :
    “Sungguh engkau telah mengetahui dari keterangan yang telah lewat, bahwa sesungguhnya seorang wali Qutb selalu menyembunyikan diri dari kebanyakan manusia, tidak ada yang pernah melihat kecuali orang-orang tertentu. Karena besarnya beban yang ditanggung, yang datang silih berganti dan juga beratnya muatan musibah yang tidak akan mampu disandang para makhluk dan juga karena agungnya wibawa dan ketenangan yang dianugerahkan Allah swt. kepadanya, maka hampir-hampir tidak ada mata yang menangkapnya. Imam Asy-Sya’roni memberikan penjelasan secara gambling didalam kitabnya beliau mengatakan bahwa gurunya (Ali Al-Khowash) ra pernah mengatakan; Kebanyakan Auliya tidak pernah bisa ketemu dengan wali Qutb dan juga tidak mengenalnya. Apalagi untuk selain mereka, sebab keadaan wali Qutb tersembunyi. Seandainya wali Qutb itu menampakkan diri, niscaya tak seorangpun mampu mengangkat kepalanya ketika berada dihadapannya. Kecuali orang-orang yang diberi keistemewaan, untuk berjumpa dengannya”.

    Tentang Para Wali A’Immah (Ibid):
    “Diantara para Wali itu ada yang disebut dengan istilah Wali-wali A’immah. Setiap zaman tidak lebih dari dua, yang satu berjuluk Abdur Robbi, yang lain berjuluk Abul Malik, sedangkan wali qutb berjuluk Abdullah. Dua wali Aimmah ini akan menggantikan kedudukan wali Qutb yang wafat. Salah satu diantara mata hatinya hanya tertambat dialam malakut sedangkan yang lainnya menyaksikan alam dunia”.

    Syeikh Ihsan bin Dahlan dalam Siroj Ath-Tholibin juz. II hal. 426 mengatakan: “Bahwa semua ilmu para Aimmah (para Imam) mujtahidin merupakan ilmu Al-Mukasyafah (ilmu laduni). Hanya saja mereka itu pandai sekali mengungkapkan kasynya dalam kata-kata yang mudah dipahami oleh orang-orang awam”.

    Fatwa Ibnu Hajar (Al-Fatawi Al-Haditsiyah hal.232) tentang ‘kedudukan Asy-Syafi’i sebagai Wali Autad dan sempat menjabat sebagai wali Qutb sebelum wafat’:
    “Imam Ahmad (bin Hanbal) ra berkata: ‘Kalau bukan ahli hadits siapa lagi mereka (para wali Abdal) itu’.  Yang dimaksud ahli hadits adalah orang-orang yang pengetahuannya menyamai para ahli hadits. Yaitu orang-orang menguasai ilmu dhohir dan ilmu bathin dan juga sangat menguasai hukum-hukum syari’at, hikmah, ma’rifat dan rahasia-rahasia kehidupan. Mereka itu seperti Asy-Syafi’i, Imam Malik, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal dan orang-orang yang menyamainya. Mereka itu termasuk pilihan dari para wali Abdal, Nujaba’ dan Autad. Untuk itu hindarilah persangkaan yang buruk tentang mereka, jangan sampai tergoda setan dan orang-orang yang dikuasainya sehingga tidak mendapat cahaya Hidayah, dimana mereka berpendapat bahwa para imam Mujtahid tidak mencapai tingkatan ini. Sungguh para ulama telah sepakat bahwa Asy-Syafi’i ra termasuk golongan wali Autad. Dan menurut satu riwayat beliau menjabat sebagai wali Qutb sebelum wafatnya. Demikian ini keterangan yang diperoleh dari sebagian fuqoha yang menjadi pengikut beliau, seperti An-Nawawi atau yang lainnya”.

    Fatwa Yusuf An-Nabhani (ibid) tentang ‘Wali Autad’:  “Diantara para wali itu ada yang disebut Wali Autad. Pada setiap zaman hanya ada empat, tidak lebih dan tidak kurang. Mereka berjuluk Abdul Hayyi, Abdul Alin, Abdul Qadir dan Abdul Murid”.

    Fatwa Syeik Akbar (Sirojut-Tolibin Syeikh Ihsan Bin Dahlan Al-Jampesi, juz.1 hal. 263, cet.Al-Hidayah) tentang ‘para wali Autad’:
    “Wali Autad ialah: ‘Wali yang digunakan Allah untuk menjaga alam ini, mereka berjumlah empat dan mereka lebih khusus dari Abdal.      
    Wali Abdal: Diantara para wali itu ada yang disebut wali Abdal mereka berjumlah tujuh orang tidak kurang dan tidak lebih. Mereka ditugaskan Allah untuk menjaga tujuh kawasan. Setiap orang menguasai satu wilayah.(Karomatul Auliya, Muqoddimah, An-Nabhani)
    Ciri-ciri wali Abdal: “Sebagian ulama berkata; ciri-ciri wali itu tidak mempunyai anak” (Sirojut-Tholibin, syeikh Ihsan bin Dahlan Al-Jampesi juz 1, hal. 262)

    Fatwa Imam Ahmad (bin Hanbal): Beliau berkata; Wali-wali Abdal itu siapa lagi kalau bukan ahli hadits” (ibid).

    Menurut Abu Darda (ibid): “Wali abdal adalah para kholifah Nabi. Mereka adalah tiang-tiang bumi, ketika derajat kenabian sirna (dicabut), maka Allah menggantikan dengan segolongan dari umat Muhamad saw. Mereka mendapat keistemewaan ini bukan karena banyak berpuasa atau sholat atau karena melakukan amal-amal dzikir, namun hanya dengan bersungguh-sungguh dalam wira’i, baiknya/tulusnya niat, lapang dada kepada kaum muslimin, memberi nasehat kepada mereka dengan mengharap ridho Allah swt dengan disertai kesabaran bukan karena takut dan tawadhu’ tanpa merendahkan martabat” .

    Wali Nuqaba: “Diantara para wali itu ada yang disebut Wali Nuqaba, mereka berjumlah dua belas orang pada setiap zamannya tidak lebih dan tidak kurang. Jumlah ini sesuai dengan jumlah kumpulan bintang-bintang dicakrawala. Karena masing-masing dari wali nuqoba’ menguasai rahasia-rahasia dari kumpulan bintang-bintang itu” (Karomatul Auliya’, Muqoddimah, An-Nabhani). Wallahua'lam.

    Dalil berjabatan tangan antara lelaki dan wanita yang bukan muhrim 

    Sebuah persoalan yang sering dihadapi oleh kaum muslimin zaman sekarang yaitu masalah berjabatan tangan antara laki-laki  dengan wanita yang bukan muhrim, khususnya terhadap kerabat sendiri yang bukan muhrimnya, seperti anak paman atau anak bibi (saudara misan/sepupu), semenda (besan), istri paman atau suami bibi, saudara wanita dari isteri (ipar) atau saudara lelaki dari suami (ipar) atau wanita-wanita lainnya ,yang bukan muhrim, yang masih ada hubungan kekerabatan. Lebih-lebih dalam waktu-waktu tertentu, seperti datang dari bepergian, sembuh dari sakit, datang dari haji atau umrah, atau saat-saat lainnya yang biasanya para kerabat, semenda, tetangga, dan teman-teman lantas menemuinya dan bertahni'ah (mengucapkan selamat atasnya) dan berjabat tangan antara yang satu dengan yang lain, malah ada lagi yang berpeluk-pelukan atau peluk cium.
    Sedangkan kalau kita tidak mau berjabat tangan atau berpeluk-pelukan, maka mereka memandang kita sebagai seorang beragama yang kuno, terlalu ketat, tidak saling menghargai, merendahkan wanita, tidak sopan, selalu berprasangka buruk dan sebagainya dan sebagainya. 

    Berjabatan tangan sesama jenisnya itu memang dianjurkan oleh syari’at, karena banyak riwayat hadits yang menyebutkan para sahabat bila bertemu sering berjabatan tangan. Anjuran agama ini berlaku untuk sesama jenisnya yaitu lelaki dengan lelaki dan wanita dengan wanita atau dengan sesama muhrimnya, jadi bukan antara lelaki dan wanita yang bukan muhrim ! Orang yang mengira bahwa bila kita tidak berjabat-tangan dengan yang bukan muhrim berarti kurang sopan atau tidak saling menghargai, ini adalah pikiran yang salah. Karena keramahan dan kesopanan yang dimaksud oleh syari’at Islam bukanlah terletak pada jabatan tangan antara wanita dan lelaki yang bukan muhrim. Kita sebenar- nya juga tidak perlu bingung dengan kritikan orang lain (kolot, kurang sopan dll) mengenai amalan kita, karena kritikan ini tidak ada habis-habisnya, yang penting sebagai seorang muslim atau muslimah ialah sebaik mungkin menjalani perintah Allah swt. dan Rasul-Nya dan menjauhi larangan yang telah digariskan oleh syari’at Islam. 

    Bagaimana bila kondisinya darurat ? 
    Islam memang mengenal darurat yang akan meringankan suatu hukum. Ada kaidah Idzaa dhoogal amr ittasi’ (jika kondisi sulit, maka Islam memberikan kemudahan dan kelonggaran). Bahkan Kaedah lain menyebutkan: ‘Kondisi darurat menjadikan sesuatu yang haram menjadi mubah’. Namun darurat itu bukan sesuatu yang bersifat rutin dan gampang dilakukan! Umumnya darurat baru dijadikan pilihan manakala memang kondisinya akan menjadi kritis dan tidak ada alternatif lain. Itu pun masih di-iringi dengan resiko fitnah dan sebagainya. Sekarang kita akan bertanya-tanya 'apakah berjabatan tangan antara muslim-muslimah yang bukan muhrim termasuk darurat'? Sudah tentu tidak !
    Sebelum kami mengutip dan mengumpulkan dalil-dalil dan makalah-makalah ,yang ditulis para pakar islam, ingin memberitahukan dan menekankan lebih dahulu bahwa dalil-dalil syara’ yang berkaitan pengharaman jabat tangan dengan ajnabiyah (wanita bukan muhrim) adalah jauh lebih banyak daripada dalil yang memperbolehkannya. 

    Dalil yang memperbolehkannya pun belum mutlak tetapi masih mempunyai  syarat-syarat tertentu,umpamanya:
    Pertama: Berjabat  tangan   antara   laki-laki   dan perempuan  itu  hanya  diperbolehkan  apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat)  dari  salah  satu pihak (apalagi  keduanya;  penj.) maka keharaman berjabatan tangan tidak diragukan lagi. Bahkan seandainya kedua syarat itu tidak terpenuhi yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnahmeskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan muhrimnya sendiri seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya atau lainnya, maka berjabatan tangan pada kondisi seperti itu adalah haram. Bahkan berjabat tangan dengan anak yang masih kecilpun hukumnya juga haram, jika kedua syarat itu tidak terpenuhi!

    Kedua: Hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan (keperluan) saja, seperti yang disebutkan dalam pertanyaan diatas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi hubungan erat dan akrab diantara mereka, dan tidak baik hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati dan meneladani sikap Nabi saw. Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah yang komitmen pada agamanya ialah tidak memulai berjabat tangan dengan lain jenis!
    Demikianlah sebagian syarat yang diajukan oleh golongan yang membolehkannya. Syarat-syarat itu cukup berat bagi orang yang mau memahaminya, karena sentuhan anggota badan ke anggota badan yang lain lebih kuat dan besar pengaruhnya terhadap naluri, watak dan lebih dahsyat mengajak kepada fitnah daripada sekedar memandang dengan mata. Apakah kita yakin bahwa syahwat dan fitnah tidak akan muncul dari diri saudara dan saudari tersebut? Tetapi sayangnya orang hanya melihat dan mengamalkan pemboleh annya saja, tetapi mengabaikan syarat-syaratnya !

    Ada lagi orang yang mengatakan; Yang penting niat kita, karena ada hadits yang mengatakan bahwa ‘segala sesuatu amalan itu tergantung dari niatnya...’.
    Padahal hadits ini tidak berlaku untuk sesuatu amalan yang sudah digariskan dalam syari’at Islam atas kewajibannya ataupun haramnya. Maksudnya ialah  bila sudah ada perintah dan larangan dalam syari’at Islam, maka kita tidak boleh melanggarnya walaupun niat kita baik untuk amalan tersebut. Kami akan berikan contoh yang mudah saja:
    Syari’at Islam memerintahkan kita agar sholat dimulai dengan ucapan takbir dan diakhiri dengan salam. Bila ada orang yang sholat tanpa memulai dengan ucapan takbir maka sholatnya batal/tidak sah harus diulangi, walaupun orang itu sudah berniat untuk sholat. Contohnya lagi Sholat Shubuh dalam syari’at Islam jumlahnya dua raka’at. Ada orang yang sengaja ingin menambah amal kebaikan maka dia sholat Shubuh tiga raka’at. Maka sholatnya orang itu batal dan tidak sah, walaupun niatnya dia baik yaitu lebih banyak ber- ibadah kepada Allah swt.! Lain halnya dengan amalan-amalan yang tidak diwajibkan atau tidak dilarang oleh syari’at Islam.
    Banyak para ulama yang mengatakan bahwa dalil atau hukum yang berkaitan dengan larangan itu harus lebih didahulukan daripada hukum yang membolehkannya. Begitu juga sebagian besar ulama ,baik zaman dahulu maupun sekarang, tidak melakukan berjabatan tangan dengan wanita yang bukan muhrimnya. Tidak lain para ulama ini memahami makna ayat-ayat ilahi dan hadits-hadits yang berkaitan dengan etika cara berhubungan antara lelaki dan wanita yang bukan muhrimnya. 

    Tujuan kami untuk mengutip masalah jabat tangan ini tidak lain agar kita tidak marah, mencela atau bersangka buruk kepada orang muslimin yang tidak mau berjabatan tangan (umpama hanya dengan mengatupkan telapak tangannya sendiri atau meletakkan tangannya didada dan semisalnya) dengan orang yang bukan muhrimnya. Tidak lain mereka ini mengikuti perintah Allah swt. dan sunnah Rasulallah saw. Karena didalam praktek sehari-hari masih ada orang yang memaksa teman atau kerabatnya yang bukan muhrim untuk berjabatan tangan atau peluk cium satu sama lain. Walaupun sesama kaum muslimin berbeda pendapat tetapi kita tetap bersaudara, tidak boleh dengan adanya perbedaan pendapat tersebut, sesama muslim saling menfitnah dan menjelek-jelekan orang yang berbeda dengan mereka, masing-masing mempunyai tanggung jawab sendiri kepada Allah swt mengenai amalan yang dilakukannya tersebut.

    Berikut ini kami ingin mengutip dan mengumpulkan antara lain sumbernya dari website atau dari sumber lainnya dalil-dalil orang yang melarang berjabatan tangan antara lelaki dan wanita yang bukan muhrim, dan dalil-dalil orang yang membolehkannya dengan bersyarat. Kemudian kami kutip kajian berikutnya yaitu jawaban atau tanggapannya yang ditulis oleh Abu Salma, yang kami ringkas dan anggap perlu diutarakan. Semoga semuanya ini bisa bermanfaat kepada kami sekeluarga khususnya dan kaum muslimin lainnya. Amin

    Dalil-dalil dari Al-Qur’an:
    Perintah Allah swt. yang berkaitan dengan etika hubungan antara lelaki dan wanita:Kalau ada sebuah keperluan terhadap lawan jenis, harus disampaikan dari balik tabir pembatas. Sebagaimana firmanNya: ‘Dan apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka (para wanita) maka mintalah dari balik hijab’. (QS. Al-Ahzab : 53).

    Seorang wanita dilarang mendayukan (suara merdu) ucapan saat berbicara kepada selain suami. Firman Allah: "Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik." (QS. Al-Ahzab : 32).

    Allah memerintahkan kaum laki-laki untuk menundukkan pandangannya, sebagaimana firman-Nya: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluan’". (QS. An-Nur : 30).

    Sebagaimana firman diatas tetapi ditujukan kepada wanita beriman, Allah berfirman: “Dan katakanlah kepada wanita yang beriman,Hendaklah mereka menahan pandang- annya dan memelihara kemaluannya.’" (QS. An-Nur : 31).

    Manusia diciptakan oleh Allah ta'ala dengan membawa fitrah (insting) untuk mencintai lawan jenisnya, sebagaimana firman-Nya: "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)." (QS. Ali-Imran : 14).

    Allah ta'ala telah melarang perbuatan zina dan segala sesuatu yang bisa mendekati perzinaan sebagaimana firmanNya: "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra' : 32). 

    Ibnu Katsir berkata: ‘Ini adalah beberapa etika yang diperintahkan oleh Allah kepada para istri Rasulallah saw. serta para wanita mu'minah lainnya, yaitu hendaklah dia kalau berbicara dengan orang lain tanpa suara merdu, dalam artian janganlah seorang wanita berbicara dengan orang lain sebagaimana dia berbicara dengan suaminya.’ (Tafsir Ibnu Katsir 3/530).

    Berkata Imam Qurthubi: ”Allah ta'ala memulai dengan wanita karena kebanyakan manusia menginginkannya, juga karena mereka merupakan jerat-jerat syetan yang menjadi fitnah bagi kaum laki-laki, sebagaimana sabda Rasulallah saw.: ‘Tiadalah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada wanita’ “ (HR. Bukhari: 5696, Muslim: 2740, Tirmidzi: 2780, Ibnu Majah : 3998). Oleh karena itu, wanita adalah fitnah terbesar dibanding yang lainnya. (Tafsir Qurthubi 2/20). 

    Kalau Allah swt. memerintahkan agar orang menahan pandangannya terhadap lawan jenisnya (yang bukan muhrim), maka tidak ragu lagi, bahwa sentuhan anggota badan ke anggota badan yang lain lebih kuat dan besar pengaruhnya terhadap naluri, watak dan lebih dahsyat mengajak kepada fitnah daripada sekedar memandang dengan mata. Setiap orang yang berlaku adil pasti mengetahui kebenaran hal itu!  Renungkanlah ! 

    Dalil-dalil dari hadits  dan keterangan para ulama  baik yang langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan larangan bersentuhan kulit  dengan yang bukan muhrim:
    Dari Ma'qil bin Yasar ra. berkata : Rasulallah saw. bersabda: "Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi itu masih lebih baik dari pada menyentuh wanita yang tidak halal (bukan muhrim) baginya." (HR. Thabrani dalam Mu'jam Kabir 20/174/386). 

    Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulallah saw. bersabda: "Sesungguhnya Allah menetapkan untuk anak adam bagiannya dari zina, yang pasti akan mengenainya. Zina mata dengan memandang, zina lisan dengan berbicara, sedangkan jiwa berkeinginan serta berangan-angan, lalu farji yang akan membenarkan atau mendustakan semuanya."  (HR. Bukhari 4/170, Muslim 8.52, Abu Dawud 2152) 

    Rasulallah saw. tidak pernah menyentuh wanita meskipun dalam saat-saat penting seperti membai'at dan lain-lain. Dari Aisyah ra.: ‘"Demi Allah, tangan Rasulallah saw. tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun dalam keadaan membai'at. Beliau tidak memba'iat mereka kecuali dengan mengatakan: ‘Saya ba'iat kalian.’ " [HR Bukhori: 4891]

    Sabda Rasulallah saw. lainnya: “Kedua mata berzina, kedua tangan berzina, kedua kaki berzina dan kemaluan pun berzina” (HR. Ahmad, 1/ 412; shahihul jam’ : 4126).

    Rasulallah saw. menguji kaum mukminat yang berhijrah kepada beliau dengan firman Allah ta’ala ( ayat 12  surat al-Mumtahanah): “Wahai Nabi, apabila datang kepadamu wanita-wanita yang beriman untuk membaiatmu….. sampai pada firman-Nya: ‘Allah Maha Pengampun lagi Penyayang’”. Urwah berkata, ‘Aisyah mengatakan: ‘Siapa di antara wanita-wanita yang beriman itu mau menetapkan syarat yang disebutkan dalam ayat tersebut.’ Rasulallah saw. pun berkata kepadanya, ‘Sungguh aku telah membaiatmu’, beliau nyatakan dengan ucapan (tanpa jabat tangan).’ ‘Aisyah berkata; ‘Tidak, demi Allah! Tangan beliau tidak pernah sama sekali menyentuh tangan seorang wanita pun dalam pembaiatan. Tidaklah beliau membaiat mereka kecuali hanya dengan ucapan, ‘Sungguh aku telah membaiatmu atas hal tersebut’ ”. (HR. Al-Bukhari no. 4891 dan Muslim no. 4811)

    Umaimah bintu Ruqaiqah berkata: “Aku bersama rombongan para wanita mendatangi Rasulallah saw. untuk membaiat beliau dalam Islam. Kami berkata; ‘Wahai Rasulallah, kami membaiatmu bahwa kami tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, tidak akan mencuri, tidak berzina, tidak mem bunuh anak-anak kami, tidak melakukan perbuatan buhtan yang kami ada-adakan di antara tangan dan kaki kami, serta kami tidak akan bermaksiat kepadamu dalam perkara kebaikan’. Rasulallah saw. bersabda, ‘Sesuai yang kalian mampu dan sanggupi’. Umaimah berkata, ‘Kami berucap, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih sayang kepada kami daripada sayangnya kami kepada diri-diri kami. Marilah, kami akan membaiatmu wahai Rasulallah’. Rasulallah saw. kemudian berkata: ‘Sesungguhnya aku tidak mau berjabat tangan dengan kaum wanita. Hanyalah ucapanku kepada seratus wanita seperti ucapanku kepada seorang wanita”.

    Aisyah ra. berkata:“Dan Demi Allah, sungguh tangan Rasulallah saw. tidak (pernah) menyentuh tangan perempuan sama sekali, tetapi beliau membaiat mereka dengan perkataan” (HR Muslim:3/1489).

    Dari Umaimah bintih Ruqoiqoh radhiyallahu 'anha: Bersabda Rasulallah saw.: "Sesungguhnya saya tidak berjabat tangan dengan wanita." [HR Malik 2/982, Nasa'i 7/149, Tirmidzi 1597, Ibnu Majah 2874, ahmad 6/357, Ath Thabrani dalam Al Kabir : 24/342, shahihul jami’: 70554, hadits nr. 2509]

    Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata, “Rasulallah saw. membaiat mereka hanya dengan mengucapkan: ‘Sungguh aku telah membaiatmu’, tanpa beliau menjabat tangan wanita tersebut sebagaimana kebiasaan yang berlangsung pada pembaiatan kaum lelaki dengan menjabat tangan mereka.” (Fathul Bari, 8/811)

    Al-Hafidh Ibnu Hajar ketika mengomentari hadits ‘Aisyah diatas yang menyatakan bahwa Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan wanita ketika baiat, beliau mengatakan: “Dan di dalam hadits ini -yaitu hadits ‘Aisyah- ada hukum bolehnya (mendengarkan) suara wanita yang bukan muhrim, dan suara mereka itu bukanlah aurat. Dan hukum haramnya menyentuh kulit mereka bila tidak dalam keadaan darurat”. (Fathul-Bari, 16/330)

    Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan tidak bolehnya menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (non muhrim) tanpa keperluan darurat, seperti karena pengobatan dan hal lainnya bila memang tidak didapatkan dokter wanita yang bisa menanganinya. Karena keadaan darurat, seorang wanita boleh berobat kepada dokter laki-laki ajnabi (bukan muhrim si wanita). (Al-Minhaj, 13/14)

    Asy-Syinqinthi rahimahullahu berkata, “Tidaklah diragukan bahwa sentuhan tubuh dengan tubuh lebih kuat dalam membangkitkan hasrat laki-laki terhadap wanita, dan merupa- kan pendorong yang paling kuat kepada fitnah daripada sekedar memandang dengan mata. Dan setiap orang yang adil/mau berlaku jujur akan mengetahui kebenaran hal itu.” (Adhwa`ul Bayan, 6/603)

    Imam asy-Syaukani dalam kitab Irsyadul Fuhul hal.279 mengatakan: Larangan lebih didahulukan ketimbang kebolehan. Dengan kaidah ini seharusnya kita lebih mendahulukan dalil larangan berjabat tangan dengan lawan jenis daripada dalil yang menetapkan kebolehannya/kemubahannya.

    Beberapa pendapat para ulama dari empat madzhab besar diantaranya:
    Madzhab Hanafi :
    Haram menyentuh wajah dan dua telapak tangan perempuan bukan muhrim, sekalipun aman dari syahwat.
    Berjabat tangan dengan perempuan tua yang sudah tidak bersyahwat lagi; At-Thahawi berkata tidak mengapa. Manakala Syamsudin Ahmad bin Qaudar berkata tidak halal sekalipun aman dari syahwat.
    Imam al-Kasaani berkata: "menyentuh (wanita) lebih berpotensi membangkitkan syahwat daripada sekedar melihat .." [Bada'iu ash-Shana`i']

    Madzhab Maliki:
    Haram berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim. Ini dinyatakan oleh al-Imam al-Baaji, al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi dan As-Shawi.Hukum berjabat tangan dengan perempuan tua, menurut Syeikh Abul Barakat Ahmad bin Muhamad bin Ahmad ad-Durdair ia tidak dibenarkan.
    Imam Abul Barokaat menyatakan: "Tidak boleh berjabat tangan dengan wanita (bukan muhrim) walaupun kaum lelaki sudah tidak memiliki lagi keinginan (hasrat) kepadanya ." [asy-Syahush Shaghir IV/760].

    Madzhab Syafi’i :
    Imam An-Nawawi di dalam beberapa karyanya, as-Syaribini dan lain-lain ulama as-Syafi’iyyah menyatakan haram berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim.
    Imam an-Nawawi berkata: "Memandang wanita (bukan muhrim) saja haram, maka menyentuhnya tentu lebih haram lagi, karena terasa lebih nikmat ." [Roudhotu ath-Thalilibin VII/28].
    Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar halaman 228 berkata: “Para shahabat kami (dari kalangan Syafi’iyyah) mengatakan bahwa setiap hal yang dilarang untuk dilihat, maka di larang pula untuk menyentuhnya. Bahkan menyentuh itu lebih besar lagi urusannya, karena telah dibolehkan bagi seseorang untuk melihat seorang wanita yang bukan muhrimnya pada saat hendak menikahinya,  pada saat jual beli, pada saat mengambil barang dan menyerahkannya dan yang semisal dengan hal tersebut di atas. Akan tetapi tetap tidak diperbolehkan baginya pada saat-saat tersebut untuk menyentuhnya”.

    Madzhab Hanbali:
    Imam Ahmad ketika ditanya tentang masalah berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim, beliau menjawab: “Aku membencinya.”
    Mengenai berjabat tangan dengan perempuan tua: Imam Ishaq bin Mansur al-Marwazi menukil dari imam Ahmad, ia tidak dibenarkan (tidak dibolehkan). Sementara Ibnu Muflih menyatakan; pemilik an-Nazham mengatakan makruh dan dengan anak kecil (yang belum baligh) dibolehkan dengan tujuan budi pekerti.
    Imam al-Marruzi (ada yang membaca: al-Marwazi) mengatakan: "Aku pernah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal. "Apakah anda membenci jabat tangan dengan kaum wanita (non muhrim)?" Beliau menjawab: “Aku membencinya". [Masa`il Ahmad wa Ishaq I/211]. Masih banyak lagi pendapat ulama dari empat madzhab yang mengharamkan berjabatan tangan dengan wanita bukan Muhrim.

    Dalil dari golongan yang membolehkan berjabat tangan dengan yang bukan muhrim:
    Pendapat yang membolehkan berdalil pada riwayat hadits diantaranya dari Ummu ‘Athiyah, yang menurut mereka kata-kata ga ba dho dalam hadits itu berarti tangan Rasulallah saw. bersentuhan (memegang) tangan wanita. Diantara ulama yang membolehkan ialah: an-Nabhani, al-Qordhowi, Mahmud  Khalidi dan semisalnya dari kalangan khalaf (belakangan). Beberapa alasan golongan yang membolehkan dan jawabannya kami kutip dan nukil seringkas mungkin dari situs yang ditulis oleh Abu Salma:

    Alasan pertama:
    Sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyah r.a. yang berkata: Kami membai’at Rasulallah saw. lalu beliau membacakan kepadaku ‘Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu’, dan melarang kami melakukan ‘nihayah’ (histeris menangisi mayat), karena itulah seorang wanita dari kami menggenggam (melepaskan) tangannya (dari berjabat tangan) lalu wanita itu berkata: ‘Seseorang (perempuan) telah membuatku bahagia dan aku ingin (terlebih dahulu) membalas jasanya’ dan ternyata Rasulallah saw. tidak berkata apa-apa. Lalu wanita itu pergi kemudian kembali lagi.” (HR. Bukhari).
    Kata golongan ini: “ Hadits itu menunjukkan bahwasanya kaum wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan. Kata ‘qa ba dha’ dalam hadits ini memiliki arti menggenggam atau melepaskan tangan. Seperti disebutkan didalam kamus yang berarti menggenggam sesuatu, atau melepaskan (tangannya dari memegang sesuatu). (Lihat A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, hal. 1167). Hadits ini jelas-jelas secara manthuq (tersurat) artinya ‘menarik kembali tangannya’ menunjukkan bahwa para wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan, sebab tangan salah seorang wanita itu digenggamnya/ dilepaskannya setelah ia mengulurkannya hendak berbai’at. Selain itu dari segi mafhum (tersirat) juga dipahami bahwa para wanita yang lain pada saat itu tidak menarik (menggenggam) tangannya, artinya tetap melakukan bai’at dengan tangan terhadap Rasulallah saw. Jadi hadits ini menunjukkan secara jelas –baik dari segi manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat)– bahwa Rasulallah saw. telah berjabat tangan dengan wanita pada saat bai’at “.(Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, Nidzham Ijtima’i Fil Islam, hal. 57– 58, 71– 72).

    Jawabannya :
    Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari dikatakan: Menceritakan kepada kami Abu Ma’mar, menceritakan kepada kami Abdul-Warits, menceritakan kepada kami Ayyub dari Hafshoh binti Sirin, dari Ummu  ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: “Rasulallah saw.  membaiat kami, dan beliau membacakan kepada kami ayat “agar mereka tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, beliau melarang kami dari niyahah (meratap), seorang wanita memegang tangannya sendiri (Lafadznya; faqobadlot imro’atun yadaha)  dan berkata: seorang fulanah telah membuatku gembira dan aku ingin berterima kasih padanya, dan nabi tidak mengatakan sesuatu apapun pada dirinya, kemudian wanita itu pergi dan kembali lagi, lalu nabi membaiatnya.”
    Kata qo ba dho di dalam tekts hadits diatas faqobadhot imro’atun yadaha ditafsirkan dengan makna berjabat tangan (Mushofahah), ini tidak tepat sekali dari segi bahasa baik secara manthuq maupun mafhumnya. Berikut ini makna qo ba dho dari beberapa kamus bahasa Arab yang menjadi pegangan.

    Didalam Mukhtaarus Shihhaah ( Mukhtaarus Shihhah, Imam Muhammad bin Abi Bakr bin Abdir Qodir ar-Razi, cet. I, 1414 H./1994 M., Darul Kutub al-Ilmiyah, hal. 464.) dikata- kan: Qobadho asy-Sya’i maknanya akhodzahu= mengambilnya. Wal Qobdhu aidhan dliddu al-Basthu = dan qobdhu juga merupakan lawan dari basthu (membentangkan). Jika dikatakan : Shoro asy-Sya’i fi qobdhika wa fi qobdhotika maknanya adalah fi milkika (dalam kepunyaanmu/kepemilikanmu).

    Didalam kamus al-Mu’tamad (Kamus ‘Arobi-‘Arobi), Abu Abdirrahman Muhammad Abdillah Qosim, Cet. III, 2004, Dar Shodir, Beirut, hal. 513.) dikatakan: Qobadho Qobdhon ar-Rajulu asy-Syai’a maknanya akhodzahu wa tanaawaluhu = mengambil dan menerimanya. Qobadho ‘ala asy-Syai’i maknanya amsakahu wa dhomma ‘alaihi ashobi’uhu = menggenggamnya dan merapatkan dengan erat jari jemarinya. Qobadho yadahu ‘an asy-Syai’i maknanya imtana’a ‘an imsaakihi = melepaskan dari genggaman.

    Didalam kamus al-Muhith ( Majduddin Muhammad bin Ya’qub bin Muhammad  bin Ibrahim al-Fairuz Abadi asy-Syairazi asy-Syafi’i, juz II, cet. I, 1415/1995, Darul Kutub al-Ilmiyah, hal. 521) dikatakan : Qobadhohu yadahu yaqbidhuhu maknanya tanaawaluhu biyadihi = menerima dengan/mengulurkan tangannya. Qobadho ‘alaihi biyadihi maknanya imsaakihi = menggenggamnya. Qobadho yadahu ‘anhu maknanya imtana’a ‘an imsaakihi = melepaskan genggamannya.

    Didalam kamus al-Munawwir ((Kamus Arab-Indonesia Terlengkap), Ahmad Warson Munawwir, Cet. XIV, 1997, Pustaka Progressif, hal 1086.) dikatakan: Qobadho asy-Syai’a aw ‘alaihi maknanya menggenggam. Qobadho wa Qobbadho asy-Syai’a maknanya qollashohu= mengerutkan atau menguncup kan. Qobadho ‘anil Amri maknanya nahhaahu = menjauhkan. Qobadho yadahu ‘ani asy-sya’i maknanya melepaskan. Qobadho ‘anil Qoumi maknanya hajarohum = meninggalkan. Qobadho ‘alaihi maknanya menangkap.

    Demikian pula di dalam kamus-kamus berikut ini:  al-Mu’jamul Wasith (DR. Ibrahim Anis dkk., Juz I, Cet. III, al-Maktab al-Islamiyah, hal. 711); Laarus al-Mu’jam al-‘Arobiy al-Hadits (DR. Khalid al-Jarr, Cet. I, 1987, Maktabah Larus, hal. 933);  al-Waafi Mu’jamul Wasith lilughotil ‘Arobiyah (Abdullah al-Bustani, Cet. Baru, 1990, Maktabah Libnan, Beirut, hal. 484); al-Mishbahul Munir fi Ghoribi asy-Syarhil Kabir ar-Rafi’I (al-Allamah Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Muqri al-Fayumi, Juz I, Darul Fikr, hal. 487-488 ) dan al-Bustaan Mu’jamul Lughowi (al-Allamah Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Muqri al-Fayumi, Juz I, Darul Fikr, hal. 487-488).

    Jadi kata qobadho dihadits itu diartikan berjabat tangan atau melepaskan genggaman dari jabatan tangan seperti yang diklaim sebagian orang, maka ini adalah kebatilan yang dibangun diatas zhan/sangkaan belaka yang mengandung ihtimalat (banyak kemungkinan-kemungkinan lainnya). Perlu juga diketahui bahwa maf’ul (obyek) di dalam lafadh hadits tersebut adalah yadaha dimana ha adalah dhamir (kata ganti) untuk wanita, sehingga dhamir ha disini mengandung ihtimal bisa yang dimaksud adalah tangan wanita tersebut atau wanita lainnya!! 

    Juga perlu diketahui bahwa makna mengenggam (amsaka) adalah jika kata qobadho di-iringi oleh suatu kata lagi atau muqoron (gandeng) dengan kata ‘ala maka bisa dibawa kepada makna mengenggam. Sebagian orang yang membolehkan jabat tangan ini juga berasumsi bahwa makna qobadho adalah imtana’a ‘an imsakiha (melepaskan tangan- nya dari genggamannya), padahal tidak ada shilah ‘an (qobadho ‘an) di dalam lafadh ini. Oleh karena itu asumsi bahwa qobadho di sini bermakna “menggenggam” ataupun “melepaskan tangan dari jabat tangan” adalah sangat salah. Yang benar adalah bermakna tanaawala atau mengulurkan tangan yang bermaksud meminta izin dari prosesi baiat ketika saat itu.

    Mari kita lihat pula penjelasan al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqolani yang pribadi dan ilmunya lebih dikenal daripada Taqiyudin an-Nabhani, DR. Mahmud Khalidi (penulis buku Baiat versi HT), Abdurrahman al-Baghdadi, Syamsudin Ramadhan dan orang-orang semisal mereka dari kalangan khalaf, sehingga ketika para imam terdahulu (salaf) semacam al-Hafidh Ibnu Hajar dan semisalnya menyebutkan hadits Ummu Athiyah ini, tidak terbetik satupun pemahaman sebagaimana pemahaman sebagian orang pada zaman belakangan ini.
    Imam Al-Hafidh Ibnu Hajr berkata: “Sabda nabi saw.: “faqobadlot imro’atun yadahaa” didalam riwayat ‘Ashim berbunyi: “Aku (Ummu Athiyah) berkata: Wahai Rasulallah sesungguhnya keluarga fulan telah membahagiakanku di masa jahiliyah maka aku harus membahagiakan mereka”. Aku (al-Hafidh) tidak tahu siapakah keluarga fulan yang di tunjuk dalam riwayat ini. Didalam riwayat Nasa’i berbunyi: “Aku (Ummu Athiyah) berkata : sesungguhnya ada seorang wanita yang membahagiakanku di masa jahiliyah” dan aku (al-Hafidh) tidak mengetahui siapa nama wanita yang dimaksud dan jelaslah bahwa Ummu Athiyah didalam riwayat Abdul Warits memubhamkan (menyembunyikan identitas) dirinya.” (Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari , Juz VIII, Darul Kutub Ilmiyah, Beirut, hal. 823, Bab. III : Idza Ja’aka al-Mu’minaatu yubayi’naka, hadits no. 3892. )

    Dari penjelasan Ibnu Hajar rahimahullahu di atas, tampak dengan jelas bahwa wanita yang diceritakan oleh Ummu Athiyah adalah dirinya sendiri, namun beliau menceritakan dengan lafadh mubham, dan ini adalah suatu hal yang lazim di dalam menceritakan tentang diri namun dengan menggunakan lafadh yang menunjukkan orang lain. Dan al-Hafidh sama sekali tidak menyinggung adanya mushofahah (jabatan tangan) di dalam syarah (penjelasan) beliau. Sekiranya ada pemahaman mushofahah dalam hadits tersebut, niscaya al-Hafidh akan menyinggungnya, karena beliau adalah orang yang cukup dikenal pribadinya dikalangan para ulama dan pensyarah hadits shohih Bukhori. 

    Namun anehnya, golongan yang membolehkan yang datang berabad-abad kemudian (para khalaf) membawa pemahaman yang tidak tepat terhadap hadits ini dan seakan-akan merasa bahwa mereka adalah orang-orang yang lebih mengetahui ketimbang para Salaf (yang dahulu). Padahal al-Hafidh didalam syarah (penjelasan) hadits sebelumnya, menyebutkan hadits-hadits shohih tentang haramnya menyentuh wanita ajnabiyah

    Alasan kedua:
    Hadits yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah ra ini yang dijadikan dalil oleh sebagian ulama yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan muhrim. Namun demikian kebolehan tersebut dengan syarat tidak disertai syahwat, kalau ada syahwat maka hukumnya haram. Kata ‘qa ba dha’  juga sering ditemukan dalam hadits-hadits lain yang arti- nya menggenggam dengan tangan, misalnya, diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a. dari Ibnu Juraij yang menceritakan, Bahwa ‘Aisyah r.a. berkata: “Suatu ketika datanglah anak perempuan saudaraku seibu dari Ayah Abdullah bin Thufail dengan berhias. Ia mengunjungiku, tapi tiba-tiba Rasulallah saw. masuk seraya membuang mukanya. Maka aku katakan kepada beliau ‘Wahai Rasul, ia adalah anak perempuan saudaraku dan masih perawan tanggung’.”
    Beliau saw. kemudian bersabda: “Apabila seorang wanita telah sampai usia baligh maka tidak boleh ia menampakkan anggota badannya kecuali wajahnya dan selain ini –di genggamnya pergelangan tangannya sendiri– dan dibiarkannya genggaman antara telapak tangan yang satu dengan genggaman terhadap telapak tangan yang lainnya.” [HR. Ath-Thabari dari ‘Aisyah r.a.].

    Jawabannya:
    Ucapan mereka ‘kebolehan tersebut dengan syarat tidak disertai syahwat ’ adalah persyaratan ‘angan-angan’ belaka. Karena jika ada akibat pasti ada sebab, dan kaidah fikih menyatakan urgennya saddu adz-dzara’i (menutup jalan-jalan keburukan), apalagi Allah swt. memerintahkan supaya hamba-Nya menjauhi perbuatan yang bisa mengakibatkan perzinaan, sedangkan jabat tangan dengan lawan jenis yang bukan muhrim bisa menimbulkan syahwat, baik terhadap kedua belah pihak sekaligus maupun salah satu pihak dari keduanya.
    Jika mereka mengatakan bahwa kata qobadho adalah bermakna ‘menggenggam dengan tangan’ taruhlah dikatakan benar, namun jika dia bawa kepada pemahaman kepada ‘berjabat tangan dengan Rasulallah’ maka telah berlalu penjelasannya, yaitu ini adalah pemahaman yang bathil/salah. Bagaimana bisa dia mengatakan bahwa qobadho dalam lafadh hadits Ummu Athiyah diatas adalah jabat tangan (atau melepaskan tangan dari jabat tangan)? Dan dari mana pula dia mendatangkan pemahaman bahwa yang dijabat (atau menjabat) adalah Rasulallah saw.? Darimanakah dia mengambil syarah/penjelasan hadits tersebut? 

    Karena hadits yang serupa diatas, ada diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam Mu’jamul Kabir (XXIV : 143/374) dan Mu’jamul Ausath (II : 230/8959), juga al-Baihaqi melalui jalur Ibnu Luhai’ah, dari Iyadh bin Abdillah bahwa ia mendengar Ibrahim bin Ubaid bin Rada’ah al-Anshori menceritakan dari ayahnya, dari Asma’ binti Umais berkata:
    “Rasulallah saw. mengunjungi ‘Aisyah binti Abi Bakar, sedangkan di sisi ‘Aisyah ada Asma’ binti Abi Bakar yang sedang mengenakan pakaian bermodel syam yang lengannya lebar. Tatkala Rasulallah melihatnya, maka beliaupun bangkit dan keluar. ‘Aisyah ra. berkata: Menyingkirlah kamu karena Rasulallah melihat sesuatu yang beliau benci. Lalu Asma’ pun menyingkir dan kemudian Rasulallah masuk kembali. Aisyah ra. bertanya kepada beliau alasan apa beliau sampai bangkit, maka beliaupun menjawab: ‘Tidakkah kamu lihat bersoleknya (dandanannya)? Sesungguhnya seorang wanita muslimah itu tidak boleh tampak darinya kecuali ini dan ini ! Beliau mengambil kedua telapak tangannya (demikian didalam riwayat al-Baihaqi, namun yang benar adalah mengambil “kedua lengan bajunya” sebagaimana disebutkan di berbagai sumber takhrij ), lalu beliau menutupkan dengan lengan baju itu pada bagian punggung telapak tangan beliau sehingga yang tampak hanyalah jari jemari beliau. Selanjutnya beliau meletakkan kedua telapak tangan beliau pada kedua pelipis beliau sehingga yang tampak hanya wajah beliau’ “. Al-Haitsami menghasankannya di dalam Majma’uz Zawa’id (V : 137) dan mengatakan: “Didalam nya terdapat Ibnu Luhai’ah yang haditsnya hasan sedangkan perawi lainnya adalah rijal shahih.” Al-Baihaqi berkomentar : isnad hadits ini dha’if. 

    Hadits di atas tidak dapat digunakan sebagai dalil tentang kebolehan berjabat tangan dengan wanita ajnabiyah dengan alasan :
    a.   Lafadh ‘beliau mengambil kedua tangannya’ adalah lafadh yang salah, dan yang benar adalah ‘mengambil kedua lengan bajunya’ sebagaimana termaktub dalam sumber-sumber takhrij.
    b.  Tidak ada satupun ulama hadits yang mensyarah hadits ini menjelaskan tentang bolehnya berjabat tangan dengan ajnabiyah.

    Alasan ketiga:
    Seorang wanita mengisyaratkan sebuah buku dari belakang tabir dengan tangannya kepada Nabi saw. Beliau saw. lalu memegang tangan itu seraya berkata, ‘Aku tidak tahu ini tangan seorang laki-laki atau tangan seorang wanita.’ Dari belakang tabir wanita itu menjawab. ‘Ini tangan seorang wanita’. Nabi bersabda, ‘Kalau engkau seorang wanita, mesti- nya kau rubah warna kukumu (dengan pacar).” [HR. Abu Daud].

    Jawabannya:
    Sekiranya hadits di atas shohih, juga tidak dapat dijadikan dalil tentang kebolehan berjabatan tangan dengan wanita ajnabiyah, dengan alasan :
    a.  Rasulallah saw.tidak mengetahui apakah orang yang mengisyaratkan buku itu adalah lelaki atau perempuan, oleh karena itu beliau bertanya kepadanya. Jika sekiranya jabat tangan atau menyentuh wanita tidak dibedakan hukumnya oleh Rasulallah, niscaya Rasulallah tidak perlu berkata dengan nada bertanya kepada orang tersebut ‘apakah dia lelaki ataukah wanita?’
    b.  Rasulallah  saw. mengatakan, ‘Jika kau seorang wanita maka seharusnya kau ubah warna kukumu’, hal ini menunjukkan bahwa Rasulallah menghendaki supaya wanita ini membedakan dirinya dengan kaum pria dengan cara memberi pacar pada kukunya, agar supaya dengan pembedaan ini Rasulallah tahu mana tangan pria dan wanita, sehingga beliau tidak sampai menyentuh atau memegang tangannya. Wallahu a’lam

    Alasan keempat:
    Dalam menghadapi perbedaan tersebut dan pendapat mana yang harus kita ikuti untuk kita amalkan, maka kita harus mengkaji terlebih dahulu pendapat manakah yang lebih kuat dalam hal ini. Untuk itu kita perlu mengkaji manakah dalil yang lebih kuat dari nash-nash yang seolah-olah bertentangan yang digunakan oleh kedua pendapat di atas. Kalau kita perhatikan hadits-hadits yang digunakan oleh kedua pendapat adalah hadits-hadits shahih yang harus diterima kebenarannya. Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya mubah. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

    Hadits yang sering digunakan oleh golongan yang berpendapat haramnya berjabat tangan dengan bukan muhrim adalah hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a. Sedangkan golongan yang mengatakan mubah adalah berdasarkan riwayat Ummu ‘Athiyah r.a. Untuk mentarjihnya kita perlu memperhatikan kaidah tarjih dalam ilmu hadits yang telah dijelaskan para ulama bahwa: “Rawi yang mengetahui secara langsung kedudukannya lebih kuat dari pada Rawi yang mengetahui tidak secara langsung.”
    Dari hadits-hadits diatas, maka hadits yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah r.a. lebih kuat, sebab beliau melihat dan mengetahui secara langsung perbuatan Rasulallah saw. yang berjabat tangan dengan wanita bukan muhrim pada saat berbai’at. Bahkan Ummu ‘Athiyah r.a. sendiri berjabat tangan dengan Rasulallah saw. seperti apa yang tersirat dari hadits yang diriwayatkannya. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a. isinya merupakan pendapat beliau yang menggambarkan bobot keilmuan beliau. Bahwa selama beliau (‘Aisyah r.a.) bergaul dengan Rasulallah saw, beliau tidak pernah melihat Rasulallah saw. berjabat tangan dengan wanita bukan muhrim.

    Memang benar ‘Aisyah r.a. tidak pernah melihat Rasulallah saw. berjabat tangan wanita bukan muhrim. Tetapi tidak bisa langsung disimpulkan bahwa Rasulallah saw. mengharamkan berjabat tangan dengan bukan muhrim. Sebab apa yang dikatakan ‘Aisyah hanya menjelaskan tentang ketiadaan perbuatan Rasulallah –dalam hal ini berjabat tangan– yang diketahui ‘Aisyah, dan tidak menunjukkan larangan berjabat tangan dengan bukan muhrim. Perlu diketahui bahwa kehidupan Rasulallah sehari-hari tidak selamanya didampingi ‘Aisyah r.a., bahkan kehidupan Rasulallah saw.bersama ‘Aisyah r.a. lebih sedikit dibandingkan dengan kehidupan Rasulallah saw  di luar rumah (berdakwah tanpa disertai ‘Aisyah r.a.). Sehingga kalau ‘Aisyah r.a. tidak pernah melihat Rasulallah saw berjabat tangan dengan wanita bukan muhrim, tidak bisa langsung disimpulkan haram berjabat tangan dengan bukan muhrim. Sebab pada keadaan lain ada yang melihat dan mengetahui (Ummu ‘Athiyah r.a.) Rasulallah saw berjabat tangan dengan wanita bukan muhrim. Oleh krena itu hadits riwayat Ummu ‘Athiyah r.a. lebih rajih (kuat) untuk dijadikan dalil dan dapat diambil serta menentukan bolehnya berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan muhrim.

    Jawabannya:
    Hadits-hadits yang mereka kemukakan tidak bertentangan sama sekali, sehingga tidak perlu dilakukan metode jam’u (kompromi), penentuan nasikh mansukh, tarjih maupun tawaqquf. Yang tanaqudl (bertentangan) adalah takwil-takwil (penggeseran arti) yang tidak sehat terhadap hadits-hadits nabi yang muhkam (tegas) dan shahih yang tidak saling kontradiktif sedikitpun. Dalil yang rajah (kuat) adalah Jabat Tangan Dengan Ajnabiyah adalah Haram!!!

    Imam Bukhari berkata: Menceritakan kepadaku Ya’qub bin Ibrahim, menceritakan kepadaku Syihab dari pamannya, beliau berkata: Mengabar- kan kepadaku ‘Urwah bahwasanya Aisyah istri Nabi saw. mengabarkan kepadanya bahwa Rasulallah saw. pernah menguji orang-orang yang berhijrah kepada beliau dari kaum mukminat dengan ayat “Wahai Nabi, jika datang kepadamu kaum mukminat yang akan membaiatmu…(hingga akhir ayat 12  surat al-Mumtahanah)”. Urwah berkata : “Aisyah bertanya tentang pengakuan persyaratan ini dari kaum mukminat, maka Nabi mengatakan kepada beliau, “Aku telah membaiatmu” dengan ucapan. Dan demi Allah, tangan Rasulallah tidak menyentuh tangan para wanita di saat baiat sedikit pun, dan tidak pula beliau membaiat mereka melainkan hanya dengan ucapan “Aku telah membaiatmu atas hal itu. Demikianlah lafadh Imam Bukhari.
    Kalau kita perhatikan kalimat hadits diatas Aisyah ra. memberitakan hadits di atas adalah dari penuturan Nabi saw. sendiri, bukan dari dirinya pribadi semata namun berangkat dari ilmu/pengetahuannya secara pasti dari penuturan Nabi!!! Aisyah ra. sendiri berani bersumpah demi Allah bahwa nabi tidak pernah menyentuh tangan wanita sedikitpun… apakah sumpah Aisyah menunjukkan ketidaktahuan Aisyah tentang peristiwa baiat sebenarnya, sebagaimana yang dituduhkan oleh DR. Mahmud Khalidi, an-Nabhani, al-Baghdadi dan selainnya dari golongan yang membolehkannya ? 
    Sesungguhnya ada perawi yang menghadiri langsung peristiwa baiat dan menegaskan secara jazm (pasti) tentang ketiadaan jabat tangan atau persentuhan tangan Rasulallah dengan para wanita. Perhatikanlah baik-baik riwayat berikut ini :

    Imam Ahmad berkata: Menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Mahdi, mengabarkan kepadaku Sufyan bin Muhammad bin al-Munkadir dari Umaimah binti Ruqoiyah beliau berkata: “Aku mendatangi Rasulallah saw. beserta para wanita untuk membaiatnya, lantas beliau mengambil (baiat) atas kami sebagai mana tertera di dalam al-Qur’an supaya kami tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun, kami tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak membunuh anak-anak kami dan tidak akan berbuat dusta yang kami ada-adakan antara tangan dan kaki kami serta kami tidak akan mendurhakaimu dalam perkara yang ma’ruf. Rasulallah bertanya : ‘Apakah mampu kalian melaksanakannya?’, mereka menjawab: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengasihi kami daripada kami sendiri.” Kami berkata : ‘Wahai Rasulallah, tidakkah kau berjabat tangan dengan kami?’, Rasulallah menjawab; ‘Aku tidak berjabat tangan dengan wanita, sesungguhnya perkataanku terhadap seorang wanita sama dengan perkataanku terhadap seratus wanita’ ” .

    Sanad hadits ini shahih, dan telah meriwayatkan pula at-Turmudzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah dari hadits Sufyan bin Uyainah serta an-Nasa’i meriwayatkan dari Tsaur dan Malik bin Anas, seluruhnya dari jalur Muhammad bin al-Munkadir. Turmudzi berkata : hasan shahih, dan kami tidaklah mengetahui- nya melainkan dari jalur Muhammad al-Munkadir. Ahmad juga meriwayatkan dari hadits Muhammad bin Ishaq dari Muhammad bin al-Munkadir dari Umaimah sebagaimana lafazh di atas namun dengan tambahan “dan wanita tidaklah menjabat tanganku”, demikianlah yang diriwayatkan Ibnu Jarir dari jalur Musa bin ‘Uqbah dari Muhammad bin al-Munkadir. (Lihat : Tafsir al-Qur’an al-Azhim karya Imam Abil Fida’ Isma’il bin Katsir ad-Dimasyqi dan lainnya). Tidakkah lafadh hadits di atas lebih muhkam daripada hadits Ummu Athiyah sedangkan Umaimah sendiri adalah perawi yang menyaksikan dan hadir di saat baiat?!!

    Beberapa kaidah lain ,berikut ini, yang menunjukkan kebatilan dan kelemahan pendapat anda di atas:
    Imam Syaukani di dalam Irsyadul Fuhul menyatakan bahwa: Hadits al-Qoul (ucapan) lebih dikedepankan ketimbang al-Fi’lu (perbuatan), dan al-Fi’lu lebih dikedepankan daripada at-Taqrir (persetujuan)
    Lantas, apakah hadits yang (diklaim) menyatakan jabat tangan itu mubah, yaitu hadits Ummu Athiyah dan semisalnya berbentuk ucapan (Qoul an-Nabi)? Ataukah berbentuk fi’lu ? Ketahuilah bahkan kebanyakan dalil yang mengharamkan berbentuk ucapan. Jadi sekiranya kita menganggap kedua dalil di atas kontradiktif, seharusnya metode jam’u (kompromi) yang digunakan adalah hadits yang berbentuk al-Qoul lebih didahulukan ketimbang yang berbentuk al-Fi’lu. 

    Larangan lebih didahulukan ketimbang kebolehan (Lihat Irsyadul Fuhul  karya al-Imam asy-Syaukani, hal. 279)  
    Dengan kaidah di atas seharusnya kita lebih mendahulukan larangan berjabat tangan dengan lawan jenis daripada menetapkan kemubahannya.

    Ihtimal (kemungkinan) yang sedikit lebih didahulukan ketimbang ihtimal yang banyak.” (Lihat Irsyadul Fuhul  karya al-Imam asy-Syaukani, hal. 279).

    Bukankah hadits riwayat Ummu ‘Athiyah dan semisalnya sebagai dalil yang memperbolehkan jabat tangan memiliki ihtimal yang lebih banyak ketimbang hadits-hadits yang mengharamkan?

    “Dalil yang Muhkam (tegas) lebih didahulukan ketimbang dalil yang ghoiru muhkam (tidak tegas).” (Lihat Irsyadul Fuhul  karya al-Imam asy-Syaukani, hal. 279).
    Bukankah dalil-dalil yang mengharamkan jabat tangan lebih muhkam daripada dalil yang menyatakan mubah? Bahkan di dalam hadits riwayat Ummu Athiyah tidak ada ketegasan (muhkam) sama sekali tentang adanya jabat tangan atau persentuhan tangan dengan Nabi saw., sedangkan hadits yang menunjukkan keharamannya seluruhnya secara tegas menyatakan ketiadaan jabat tangan Nabi saw. terhadap kaum wanita.

    “Didahulukan yang al-Maqrun at-Taukid (disertai dengan lafazh penguat/penekan) ketimbang yang tidak disertai.” [Lihat Irsyadul Fuhul  karya al-Imam asy-Syaukani, hal. 279].
    Perhatikanlah sumpah yang disampaikan oleh Aisyah ra., yang merupakan penguat yang paling tinggi, dimana riwayat Ummu Athiyah dan semisalnya tidak memiliki taukid (penekan) sama sekali. Perhatikan pula sabda Nabi saw. yang menyatakan : “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita” dimana beliau mendahulukan kata Inni yang bermakna kesungguhan dan penguat yang jelas akan ketiadaan jabat tangan terhadap kaum wanita.

    Didahulukan yang khosh (khusus) dibandingkan yang ‘am (umum). [Lihat Irsyadul Fuhul  karya al-Imam asy-Syaukani, hal. 279]. Bukankah hadits Umaimah mengandung pengkhususan yang menyatakan bahwa Rasulallah saw. tidak menjabat tangan wanita, sedangkan riwayat Ummu Athiyah dalam bentuk umum? Oleh karena itu yang khusus lebih didahulukan ketimbang yang umum. 

    Alasan kelima:
    Hadits-hadits yang menunjukkan larangan ‘menyentuh wanita’ serta hadits-hadits lain yang maknanya serupa,. misalnya hadits shahih yang berbunyi: “Ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik dari pada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR. Thabrani]. Atau hadits yang berbunyi: “Lebih baik memegang bara api yang panas dari pada menyentuh wanita yang bukan muhrim.” 
    Menurut golongan yang membolehkan berjabat tangan, menjelaskan bahwa kata massa yang artinya menyentuh dalam hadits tersebut adalah lafadh musytarak (memiliki makna ganda) yakni bisa berarti ‘menyentuh dengan tangan’ atau ‘bersetubuh’. Selain itu pengertian ‘menyentuh’ juga sering digunakan kata ‘lamasa’ yang juga memiliki makna ganda, yakni bisa berarti ‘menyentuh dengan tangan’ atau ‘bersetubuh’… dst hingga kalimat…
    Walaupun kata ‘massa’ dapat diartikan dengan ‘menyentuh dengan tangan’ tetapi dalam hadits-hadits yang digunakan oleh golongan yang mengharamkan jabat tangan dengan wanita bukan muhrim, ini lebih tepat jika diartikan dengan ‘bersetubuh’. 
    Sebab jika di artikan dengan ‘menyentuh dengan tangan’ maka pengertian ini bertentangan dengan hadits shahih yang diriwayatkan Ummu ‘Athiyah r.a. dimana tangan Rasulallah sawyang mulia telah menyentuh (berjabat tangan) dengan wanita yang bukan muhrim. 

    Jawabannya:
    Hadits yang dimaksud adalah hadits yang diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar ra, bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Sungguh jika salah seorang dari kalian ditusuk kepalanya dengan jarum besi adalah lebih baik daripada menyentuh wanita yang bukan muhrimnya.” (Shahih, diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan al-Haitsami). 

    Al-Manawi berkata: ‘Menurut al-Haitsami, para perawinya shohih (dari Faidhul Qadir, jilid V, hal.58). Sedangkan al-Mundziri mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan al-Baihaqi, dan para periwayat ath-Thabrani tsiqoh dan shohih. 

    Takwilan golongan ini yang menyatakan bahwa kata massa di dalam lafadh hadits di atas bermakna jima’ (bersetubuh) adalah bathil/salah dari sisi bahasa dan dari sisi mafhum. Karena memalingkan makna dari hakikatnya adalah harus dengan qorinah (indikasi) yang dapat memalingkan makna zhahir kepada makna selainnya. Memang benar, bahwa kata massa memiliki makna jima’ dalam beberapa ayat dan hadits, tentunya hal ini jika disertai qorinah yang kuat akan penakwilan lafazh ini kepada makna jima’.

    Berikut ini penjelasannya :Allah Ta’ala berfirman :Yang artinya:
    Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kalian, jika kalian menceraikan isteri-isteri kalian sebelum kalian tamassuhunna (mencampuri/jima’ dengan mereka) dan sebelum kalian menentukan maharnya.” (al-Baqoroh : 263).

    Jika kamu menceraikan isteri-isteri kalian sebelum kalian tamassuhunna (mencampuri mereka) padahal kalian sesungguhnya telah menentukan maharnya…” (al-Baqoroh : 237).

    Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita-wanita mukminah kemudian kalian ceraikan mereka  sebelum kalian tamassuhunna (mencampuri mereka) maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah…” (al-Ahzaab : 49).

    Ayat-ayat diatas memiliki qorinah yang dapat memalingkan makna massa kepada jima’ yaitu adanya penjelasan yang berkaitan tentang muamalah dengan  isteri seperti pembayaran mahar, tholaq, iddah dan semisalnya. Hal ini juga didukung dengan pemalingan makna pada selain kata massa seperti pada kata lamasa dan ifdho seperti dalam firman Allah : “Bagaimana kamu akan ambil kembali, padahal sebagian kamu telah afdhoo (bercampur) dengan selainnya (sebagai suami isteri).” (an-Nisa’ : 21).
    Oleh karena itulah para mufassirin dan fuqoha’ menyatakan bahwa kata-kata massa dan semisalnya di sini yang memang memiliki qorinah untuk dipalingkan dari makna hakikinya adalah suatu keniscayaan, juga dalam ayat 20 Surat Maryam yang artinya : “Maryam berkata: ‘Bagaimana aku bisa mempunyai anak laki-laki sedangkan tidak pernah seorang manusiapun yang yamsasnii (menggauliku) dan aku bukan (pula) seorang pezina”.
    Jika kita perhatikan, maka akan tampak dengan jelas qarinah-nya yang menyatakan hasil dari massasa yakni lahirnya seorang anak laki-laki. Apakah mungkin menyentuh dalam arti sebenarnya dapat menghasilkan seorang anak laki-laki? Oleh karena itu pemalingan makna dalam konteks yang didukung oleh qorinah semacam ini adalah suatu keniscayaan.

    Adapun hadits: “Apabila kemaluan menyentuh kemaluan (bersetubuh), maka wajiblah mandi”, maka makna dari qorinah yang tersirat adalah bermakna jima’. Sebab jima’ sendiri dalam kitab-kitab fikih bermakna ‘masuknya (tenggelamnya) kepala penis hingga hilang ke dalam farji (vagina) wanita”. Jika hanya terjadi pergesekan belaka (menurut fiqih Imam Syafi’i wajib mandi—pen.) maka belum bisa dikatakan jima’ yang mewajibkan mandi (jika tidak keluar mani) ataupun hukum had bagi penzina diberlakukan. Bahkan al-Massu juga bisa bermakna junun (gila) dan kesurupan seperti di dalam firman Allah yang artinya : “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran penyakit gila…” (al-Baqoroh : 275).

    Oleh karena itu, memalingkan makna massa atau selainnya keluar dari makna sebenarnya tanpa ada qorinah pendukung pemalingan maknanya adalah suatu kebodohan terhadap bahasa, seperti dalam hadits nabi saw. di atas yang menyatakan Sungguh jika salah seorang dari kalian ditusuk kepalanya dengan jarum besi adalah lebih baik daripada menyentuh wanita yang bukan muhrimnya.”
    Sebab lafadh di atas adalah sama dan saling menguatkan dengan lafadh riwayat hadits-hadits berikut ini: Ma’mar berkata: Mengabarkan kepadaku Ibnu Thawus dari bapaknya, beliau berkata: Tidaklah tangan (nabi) menyentuh wanita melainkan wanita yang dimilikinya.” Dan diriwayatkan dari Aisyah di dalam ash-Shahih, beliau berkata : Tangan nabi tidak pernah menyentuh tangan wanita”. Dan beliau (nabi) bersabda: Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita, sesungguhnya ucapanku terhadap seorang wanita seperti ucapanku kepada seratus wanita”. (Lihat Ahkamul Qur’an karya Abu Bakr Muhammad bin Abdillah Ibnul Arobi dan lainnya), 

    Sebab kata massa sendiri bermakna : menyentuh dengan tangan ‘lamasahu wa afdhoo ilaihi biyadihi’ (Lihat al-Mu’tamad, karya Abu Abdirrahman Muhammad Abdillah Qosim, hal. 650).

    Memalingkannya dari makna sebenarnya memerlukan qorinah yang mendukung pemalingan lafadh tersebut dari makna hakikatnya, yang mana jika tidak dipalingkan maknanya maka maknanya akan menjadi ghoyru mustaqim (tidak lurus/tepat). Jika sekiranya ayat-ayat di al-Baqoroh dan al-Ahzab serta Maryam di atas tidak dipalingkan maknanya menjadi jima’, niscaya akan ‘pincang’ pemahaman yang timbul dari ayat tersebut dan menimbulkan kerancuan di dalam hukum tholaq, iddah, mahar dan semacamnya.
    Namun, memalingkan makna hadits tentang “lebih baik ditusuk jarum besi daripada menyentuh wanita” kepada makna jima’ (bersetubuh) akan menimbulkan kepincangan pemahaman dan pengkhususan hanya kepada jima’ saja. Pemalingan makna ini tidak tepat karena tidak ditopang oleh adanya qorinah (indikasi) yang dapat memalingkannya. Penakwilan semacam ini adalah penakwilan yang berangkat dari hawa nafsu dan fanatik terhadap pendapat an-Nabhani yang memperbolehkan jabat tangan. Jika sekiranya penakwilan di atas benar, maka adakah pendahulu (salaf) dari para ulama hadits yang menafsirkan makna hadits ini sebagaimana penafsiran golongan ini. Dengan demikian riwayat-riwayat diatas tidak saling bertentangan bahkan saling menguatkan. 

    Alasan keenam:
    Selain itu Rasulallah saw pernah berjabat tangan di dalam air, dalam benjana pada saat membai’at wanita, pernah juga Rasulallah saw berjabat tangan dengan alas kain. Juga diriwayatkan bahwa Rasulallah saw pernah menyuruh Umar bin Khaththab r.a untuk mewakili beliau dalam bai’at dan bai’at ini dilakukan dengan berjabat tangan. Kalau memang berjabat tangan (menyentuh) dengan wanita diharamkan, tentunya Rasulallah saw. tidak akan melaksanakannya baik secara langsung maupun dengan perantara apapun. Juga tidak mungkin Rasulallah saw memerintahkan Umar bin Khaththab r.a. melakukan jabat tangan (menyentuh) dengan wanita yang bukan muhrim, sebab hal tersebut adalah perbuatan yang haram. Akan tetapi ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Selain itu, banyak riwayat yang menyatakan, bahwa Rasulallah saw dan ‘Umar bin Khaththab pernah berjabat tangan dengan wanita (lihat Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’an; Qs. al-Mumta hanah: 12). 

    Jawabannya:
    Sesungguhnya menyampaikan hadits-hadits dha’if tanpa menerangkan kedha’ifannya adalah termasuk berdusta atas nama nabi saw.Jika anda berdalil dengan riwayat di dalam at-Tafsirul Kabir karya ar-Razi (VIII/hal. 137), yang menyatakan tentang telah diriwayatkannya bahwa sayyidina Umar ra. pernah berjabat tangan dengan wanita dalam baiat mewakili Rasulallah saw., maka ketahuilah bahwa Al-Qodhi Abu Bakar bin al-Arobi telah menanggapi pendapat ini. Menurutnya riwayat itu dha’if, dan seyogyanya berpaling kepada yang shahih.

    Sedangkan al-Hafidh Waliyyudin Abu Zar’ah al-Iraqi mengatakan, sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa nabi saw. pernah minta diambilkan semangkuk air. Lalu beliau mencelupkan tangannya ke dalamnya. Kemudian para wanita melakukan hal yang sama. Juga sebagian ahli tafsir ada yang mengatakan bahwa nabi berjabat tangan dengan mereka melalui tabir kala itu. Pada tangan beliau ada kain baju guthri. Juga dikatakan bahwa sayyidina Umar telah berjabat tangan dengan mereka. Sungguh, tidak ada satupun pernyataan itu yang benar, apalagi pernyataan yang terakhir. Bagaimana mungkin sayyidina Umar ra. berani melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh al-Ma’shum Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. (Lihat “Berjabat Tangan Dengan Perempuan” oleh Muhammad Ismail, hal. 36-37) .
    Semua riwayat itu adalah dhaif riwayatnya. [Lihat al-Jami’ li Ahkaamil Qur’an, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthubi, Kata pengantar: Fadhilatus Syaikh Kholil Muhyiddin al-Mass (Direktur Azhar Lebanon), Pengoreksi: Muhammad Jamil. Pentakhrij dan Pengomentar hadits;  asy-Syaikh ‘Arfan al-‘Isyaa, jilid VI, juz. 28, 1995/1415, Darul Fikr, Beirut, hal. 64 (catatan kaki no.2) ]

    Golongan ini telah menyembunyikan kebenaran dan melakukan tadlis kepada para pembacanya yang mayoritas awam. Setelah saya (Abu Salma) cek buku al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an [ Lihat al-Jami’ li Ahkaamil Qur’an, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthubi, Kata pengantar: Fadhilatus Syaikh Kholil Muhyiddin al-Mass (Direktur Azhar Lebanon), Pengoreksi: Muhammad Jamil. Pentakhrij dan Pengomentar hadits : asy-Syaikh ‘Arfan al-‘Isyaa, jilid VI, juz. 28, 1995/1415, Darul Fikr, Beirut, hal. 63] ternyata Imam Qurthubi menukil di baris-baris pertama tafsirnya terhadap surat al-Mumtahanah ayat 12 ini dengan riwayat Aisyah yang menafikan jabat tangan bagi Rasulillah saw.. Penempatan nukilan terhadap riwayat Aisyah ini menunjukkan kekuatan riwayat Aisyah menurut beliau. Kemudian al-Qurthubi rahima hullahu mengatakan: “Diriwayatkan bahwasanya nabi ‘alaihish sholatu was salam membaiat para nabi dan diantara tangannya dan tangan kaum wanita ada selembar kain.”

    Saya (abu salma) berkata: Bagi para penuntut ilmu pastilah akan mengetahui bahwa lafadh yang digunakan oleh Imam al-Qurthubi adalah lafazd yang menunjukkan akan kedhaifan suatu hadits atau keraguan beliau akan keshahihannya, karena beliau mengatakan dengan lafazh ruwiya (diriwayatkan) yang mana ini telah dikenal dikalangan muhadditsin bahwa kata periwayatan yang disandarkan kepada nabi secara tidak jazim sebagaimana perkataan qoola atau haddatsa dan semisalnya adalah suatu bentuk keraguan akan keshahihannya atau bahkan isyarat akan kedhaifannya.

    Syaikh ‘Arfan al-‘Isyaa mengomentari hadits di atas dengan perkataan : wa huwa mukhoolif lish shohih (riwayat ini menyelisihi hadits yang shohih). Kemudian beliau menukil hadits shohih yang diriwayatkan dari jalur Muhammad al-Munkadir yang telah lewat penyebutannya. Beliau mentakhrij hadits Muhammad al-Munkadir sebagai berikut : “Diriwayatkan oleh an-Nasa’i di dalam al-Bai’ah (V/149) bab (18) Bai’atun Nisai, Turmudzi secara ringkas (1598) dan Ibnu Majah di dalam al-Jihad (2874) bab Bai’atun Nisa’. Saya berkata : hadits yang menyelisihi hadits yang shohih adalah syadz dan termasuk hadits dha’if karena syarat hadits shahih haruslah selamat dari syadz. [Syarat hadits shohih ada 5, yakni :  Sanadnya muttashil (bersambung), Perawinya ‘Adil, Perawinya Dhabith (hafalan yang kuat dan mantap), Tidak syadz,Tidak memiliki illat. Lihat Syarh Manzhumah al-Baiquniyah fi Mushtholahil Hadits, karya Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin, cet. I, 1423/2002, Dar ats-Tsuroyyah, hal. 28; Taisir Mushtholahil Hadits, karya DR. Mahmud Thohhan, Darul Fikr, hal. 30.]

    Adapun riwayat Umar yang berjabat tangan dengan para wanita, juga disebut kan oleh Imam Qurthubi dengan lafadh yang tidak jazim pula penisbatannya yaitu beliau mengatakan dengan lafazd qiila (dikatakan), yang hal ini menunjukkan keraguan beliau akan keshahihan hadits ini. Syaikh ‘Arfan al-‘Isyaa mengomentari riwayat Umar ini sebagai berikut : “al-Hafidh mengisyaratkan di dalam al-Fath (VIII/637) dari riwayat Thabrani dengan lafadh: ath-Thabrani telah mengeluarkan hadits bahwasanya Rasulallah membaiat para wanita melalui perantaraan Umar, tanpa ada penyebutan jabat tangan. Dan penyebutan jabat tangan ini adalah perkara yang jauh dikarenakan menyelisihi yang shohih dari Rasulillah saw. Riwayat jabat tangan Umar dengan para wanita adalah riwayat yang mardud tidak layak dijadikan hujjah/dalil karena menyelisihi dalil yang  lebih shohih, sehingga statusnya menjadi syaadz maka hukumnya dho’if. Wallahu a’lam. Apalagi tidak ada keterangan dari para ulama hadits yang menshahih- kannya ataupun menghasankannya!!

    Alasan ketujuh:
    Juga kalau memang berjabat tangan (bersentuhan) antar lawan jenis yang bukan muhrim itu diharamkan, tentunya Daulah Khilafah (negara Khilafah) tidak akan membiarkan kondisi-kondisi atau keadaan yang sangat memungkin kan terjadi persentuhan. Bahkan Daulah akan memberikan sanksi/hukuman bagi yang melakukannya. Ternyata tidak ada satu riwayat pun yang menyatakan bahwa Daulah pernah melakukannya. Dan bahkan Daulah tidak pernah memisahkan antara jama’ah haji pria dan wanita, juga antara pria dan wanita di pasar walaupun kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya bersentuhannya pria dan wanita yang bukan muhrim. 

    Jawabannya:
    Ketiadaan tidaklah menafikan hukum. Karena yang menjadi dalil adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, bukannya Nizhom Daulah. Seandainya memang anda belum menemukan adanya sanksi hukum jabat tangan atau persentuhan lawan jenis non muhrim di dalam Nizhom Daulah bukan berarti bahwa jabat tangan dengan ajnabiyah adalah mubah.
    Kaum muslimin terdahulu yang hidup di zaman kekhalifahan, mereka semua telah mengetahui akan keharaman berjabat tangan dengan ajnabiyah sehingga telah maklum di kalangan mereka tentang syariat ini, sehingga tidak perlu dibuat undang-undang khusus yang akan memberikan sanksi kepada pelanggarnya. Hal ini sebagaimana pelanggaran kemaksiatan seperti orang yang memandang wanita, mengintip mereka ataupun berjalan di belakang mereka atau menggoda mereka. Apakah ada undang-undang daulah yang memberikan sanksi jelas yang termaktub di dalam nizhom-nya terhadap pelanggaran semacam  ini? Jika ada berikan bukti kepada kami.

    Masalah pemisahan haji antara pria dan wanita adalah kiyas konyol dan menggelikan yang sangat lucu bila digunakan untuk memperbolehkan persentuhan dengan sengaja. Karena kondisi haji adalah kondisi darurat yang memperbolehkan adanya persentuhan tanpa sengaja. Demikian pula dalil anda tentang kemungkinan terjadinya persentuhan di dalam pasar. Disinilah letak kesalahan  terhadap syariat Islam itu sendiri, karena Islam telah memberikan rambu-rambu yang jelas dimana kaum wanita lebih baik berdiam di dalam rumah dan dilarang keluar kecuali jika ada hajat atau dalam keadaan darurat

    Sedangkan bagi kaum wanita ke pasar bukanlah suatu hal yang darurat atau hajat syar’i, karena pasar adalah tempat bagi kaum lelaki bukan kaum wanita. Taruhlah wanita harus pergi ke pasar, jika terjadinya persentuhan maka persentuhan tersebut bukanlah suatu hal yang disengaja, lantas bagaimana bisa kiyas diberlakukan pada dua hal yang saling bertolak belakang, yaitu antara sengaja dengan tidak sengaja?

    Alasan kedelapan:
    Pendapat yang mengharamkan berjabat tangan antara pria dan wanita bukan muhrim juga di dasarkan pada sabda Rasulallah saw: “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR. Malik, Tirmidzi dan Nasa’i].
    Hadits diatas serta hadits-hadits lain yang serupa sering dijadikan dalil untuk mengharamkan berjabat tangan dengan bukan muhrim. Pendapat ini adalah lemah, sebab perkataan Rasulallah saw, “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” tidak menunjukkan larangan berjabat tangan, tetapi hanyalah mencegah dari perbuatan mubah. Hukum mubah ini di dasarkan pada hadits shahih yang diriwayatkan Ummu ‘Athiyah. Karena hukumnya mubah, maka terserah saja bagi Rasulallah saw. dan bagi kaum muslimin lainnya apakah berjabat tangan (Lihat riwayat Ummu ‘Athiyah dan Ath-Thabrani dari ‘Aisyah r.a.) atau meninggalkan berjabat tangan (seperti hadits riwayat Malik, Tirmidzi dan Nasa’i). 

    Jawabannya:
    Bagaimana mungkin perbuatan mubah dicegah jika perbuatan itu bukannya perbuatan yang haram atau minimal makruh ?Anda di dalam kaidah anda ini menempatkan diri anda dalam keadaan yang penuh dengan kontradiktif, karena anda sendiri mengklaim bahwa Rasulallah saw. berjabat tangan dengan kaum mukminat atau menyentuh mereka dari hadits Ummu Athiyah. Namun di sisi lain anda menetapkan hadits Nabi saw yang berbunyi : “sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita” dengan artian nabi mencegah dari perbuatan mubah jabat tangan. 

    Wahai saudara, bagaimana mungkin anda menetapkan dua hal kontradiktif secara sekaligus dalam satu waktu, anda menetapkan bahwa Rasulallah berjabat tangan dengan wanita sedangkan disisi lain anda juga secara tidak langsung turut menetapkan (mengakui) hadits : Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita’.
    Apakah mungkin Nabi saw. mengatakan “sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita” sedangkan dalam riwayat lain beliau menyalahinya? Lantas dimana kebenaran sabda nabi “sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita” jika nabi melanggar sabdanya sendiri? Maka, pendapat seperti itu pada hakikatnya menggiring kepada pendustaan terhadap sabda-sabda nabi yang shahih dan menuduh nabi saw. tidak melaksanakan apa yang ia katakan…
    Maka pendapat yang selamat adalah pendapat yang menyatakan keharaman berjabat tangan, karena pendapat ini adalah pendapat yang paling selamat dari kontradikitif dan dari segala keburukan! 

    Alasan kesembilan:
    Pendapat yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan muhrim mensyaratkan harus tanpa syahwat. Kalau ada syahwat maka hukumnya haram. Karena itu para ulama yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan muhrim mengingatkan karena antara syahwat dan tidak itu sangat samar, maka haruslah kita berhati-hati pada saat berjabat tangan. Terutama sekali kalau yang berjabat tangan adalah pria dan wanita muda yang sebaya, sebab sangat mungkin menimbulkan syahwat atau menimbulkan fitnah. Kalau tidak khawatir timbul fitnah maka tidak apa-apa berjabat tangan dengan bukan muhrim. Misalnya dengan orang-orang yang sudah tua atau dengan anak-anak kecil. 

    Jawabannya:
    Bukankah suatu perkara yang menghantarkan kepada keharaman adalah haram? Anda mengatakan bahwa ‘jika dimungkinkan bahwa jabat tangan menimbulkan fitnah dan memunculkan syahwat maka tidak boleh melakukan nya’, maka saya (abu salma) katakan : inilah letak syarat ‘angan-angan’ anda, karena sesuatu yang menghantarkan kepada keharaman adalah haram, dan telah jelas bahwa jabat tangan dengan wanita ajnabiyah sangat memungkinkan untuk menghantarkan keharaman (menimbulkan syahwat—pengutip) dan kepada zina. Oleh karena itu perkataan anda : ‘Kalau ada syahwat maka hukumnya haram adalah hujjah/dalil atas anda sendiri!
    Ingatlah sabda nabi: “Perempuan itu seluruhnya adalah aurot. Jika ia keluar, maka setan menghiasinya (di dalam pandangan pria).” (HR. Turmudzi).

    Al-Allamah asy-Syinqithi rahimahullahu berkata: “Seluruh anggota badan perempuan adalah aurot yang wajib ditutupi. Sedangkan perintah untuk menjauhi memandang kepadanya adalah semata-mata karena takut tergelincir kepada fitnah. Tidak ragu lagi, bahwa sentuhan badan ke badan yang lain lebih kuat dan besar pengaruhnya terhadap naluri, watak dan lebih dahsyat mengajak kepada fitnah daripada sekedar memandang dengan mata. Setiap orang yang berlaku adil pasti mengetahui kebenaran hal itu.” [Lihat kitab Adhwa’ul Bayan, oleh al-Allamah Muhammad Amin asy-Syinqithi, jilid VI, hal. 603, sebagaimana di dalam “Berjabat Tangan Dengan Perempuan” oleh Muhammad Ismail, hal. 22.]

    Katakan, wahai saudara, apakah ketika anda berjabat tangan dengan akhowat (baca: para muslimah), anda yakin bahwa syahwat dan fitnah tidak akan muncul dari diri anda dan diri akhowat tersebut? Jika demikian adanya, maka sungguh benar jika ada orang yang mengatakan bahwa orang yang menyatakan halalnya jabat tangan dengan ajnabiyah tidak memiliki syahwat! Bukankah an-Nabhani rahimahullahu sendiri telah mengatakan bahwa manusia memiliki Ghorizatun Nau’ (naluri untuk melanggengkan keturunan) yang munculnya karena adanya stimulasi dari luar (faktor eksternal)? Lantas apakah jabat tangan dengan wanita ajnabiyah tidak termasuk stimulus Gharizah an-Nau’ ? fa’tabiru ya ulil albaab! 

    Alasan kesepuluh:
    Perlu diingat bahwa sesuatu yang mubah tidak harus selalu dilakukan. Sebab kalau itu tidak berguna dan dapat menimbulkan fitnah lebih baik dihindarkan…
    Bagi mereka yang mengikuti pendapat yang membolehkan setelah sampai penjelasan yang meyakinkan, maka mubahlah hukumnya bagi mereka. Allah swt. akan meminta pertanggung-jawaban atas perbuatannya berdasarkan pendapat yang terkuat yang telah ia ikuti. Walaupun berbeda pendapat kaum muslimin tetap bersaudara. Tidak boleh hanya karena perbedaan pendapat yang masih dibolehkan tersebut, sesama muslim saling menfitnah dan menjelek-jelekan orang yang berbeda dengan mereka. Yang jelas kita wajib mengikuti pendapat yang terkuat tanpa dicampuri adanya perasaan suka atau tidak suku. Wallahu a’lam. 

    Jawabannya:
    Ini adalah letak keraguan anda terhadap pendapat anda. Dimana anda telah merasa khawatir akan imbas dari munculnya pemahaman anda yang ‘nyeleneh’ ini dan anda seolah-olah merasa bahwa pendapat dan pemahaman anda ini adalah ghorib dan syadz di dalam Islam sehingga sangat memungkinkan anda akan difitnah dan dijelek-jelekkan oleh orang yang berbeda dengan pemahaman anda. Saya katakan : bahwa apa yang diucapkan oleh penentang pemahaman anda berupa cercaan dan hinaan adalah cercaan dan hinaan atas pemahaman anda yang bathil, yang bukan merupakan fitnah tak berdasar, namun berangkat dari kecemburuan terhadap agama ini.
    Anda benar, bahwa kita wajib mengikuti pendapat yang terkuat tanpa dicampuri perasaan suka dan tidak suka, karena hal ini diikat oleh syara’, maka apa yang dikatakan jelek oleh syara’ adalah jelek dan apa yang dikatakan baik oleh syara’ adalah baik. Oleh karena itulah, coba cermatilah kembali dan telaah kembali pemahaman anda, jika salah walaupun anda anggap baik tetaplah pemahaman anda itu salah dan wajib anda tinggalkan, haram anda sebarkan dan anda pertahankan hidup mati. Jika anda masih mempertahankannya maka siaplah anda menerima cercaan dan hinaan atas kebodohan akal dan pemahaman anda tersebut!

    Alasan kesebelas:
    Golongan yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan muhrim, bukanlah karena mereka senang berjabat tangan dengan bukan muhrim. Tetapi karena mereka tidak berani untuk mengharamkan sesuatu yang secara jelas Allah swt telah membolehkannya lewat perbuatan Rasul-Nya. Sebab termasuk dosa besar kalau ada orang yang berani mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah swt atau menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah swt. Sebab Rasulallah saw bersabda: “Sesungguhnya orang yang mengharamkan sesuatu yang halal sama dengan orang yang menghalalkan sesuatu yang haram.” [HR. As-Sihab].

    Jawabannya:
    Saya (Abu Salma) kembalikan lagi dalil tersebut kepada anda, apakah anda berani menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya? Jika anda beranjak dari pemahaman dalil di atas, maka seharusnya anda menarik pemahaman ganjil anda yang menghalalkan perkara yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagaimana telah saya cantumkan dalill dan keterangannya.

    Demikianlah keterangan mengenai hukum jabatan tangan antara wanita dan lelaki yang bukan muhrim. Wallahu a’lam.



    Sekelumit tentang berjabat tangan seusai sholat 

    Ada golongan muslimin yang membid’ahkan munkar (baca: mengharamkan) berjabat tangan seusai sholat. Benarkah yang dikatakan sebagian golongan muslimin ini?  



    Sudah menjadi kebiasaan di masyarakat kita, setelah selesai sholat berjama’ah, satu sama lain saling bersalaman. Apakah itu ada dasar hukumnya? Bersalaman antar sesama muslim memang sangat dianjurkan oleh Nabi saw.  Hal itu dimaksudkan agar persaudaraan semakin kuat, persatuan semakin kokoh. Salah satu bentuknya adalah anjuran untuk bersalaman ketika bertemu. Bahkan jika ada saudara muslim yang datang dari bepergian jauh, misalnya habis melaksanakan ibadah haji, maka disunnahkan juga saling berangkulan (mu’anaqah). Mari kita teliti beberapa sabda (hadits) Rasulallah saw ,berikut ini, yang menganjurkan sesama muslim berjabat tangan.


    – Rasulullah saw ketika berjumpa dengan para sahabatnya senantiasa memberikan salam dan berjabat tangan. Anas ra berkata, “Adalah para sahabat Nabi saw apabila berjumpa mereka saling bersalaman, dan apabila mereka kembali dari bepergian, mereka berpelukan” (HR. Bukhari).

    Diriwayatkan dari sahabat Yazid bin Aswad bahwa ia shalat subuh bersama Rasulallah, lalu setelah shalat para jamaah berebut untuk menyalami Nabi, lalu mereka mengusapkan ke wajahnya masing-masing, dan begitu juga saya menyalami tangan Nabi lalu saya usapkan ke wajah saya. (H.R. Bukhari, hadits ke 3360).

    Dari Qaladah bin Di’amah r.a. berkata: Saya berkata kepada Anas bin Malik, apakah mushafahah (bersalaman) itu dilakukan oleh para sahabat Rasul? Anas menjawab : ya (benar).

    – Diriwayatkan dari al-Barra’ dari Azib r.a. Rasulallah s.a.w. bersabda, “Tidaklah ada dua orang muslim yang saling bertemu kemudian saling bersalaman kecuali dosa-dosa keduanya diampuni oleh Allah sebelum berpisah.” (H.R. Abu Dawud)

    – “Sesungguhnya seorang mukmin yang apabila bertemu dengan mukmin lainnya mengucapkan salam dan mengambil tangannya untuk berjabat tangan, maka pasti akan gugur dosa-dosa mereka berdua, sebagaimana gugurnya daun dari pohonnya”(HR. Abu Daud)

    – “Bila salah seorang diantara kalian bertemu saudaranya, maka hendaknya ia ucapkan salam. Bila kedua telah terhalang oleh pohon, atau dinding atau batu, lalu ketemu kembali, maka hendaknya ia kembali mengucapkan salam padanya”(HR. Abu Daud).


    – Diriwayatkan dari Al-Barra’ bin Azib, Rasulullah saw bersabda bahwa dua orang yang bertemu dan bersalaman akan diampuni dosa mereka sebelum berpisah (HR Ibnu Majah). Riwayat-riwayat tersebut juga dishohihkan oleh ulama golongan pengingkar , Al-Albani, (Silsilah Ash-Shahiihah no 526, 2004, 2692 dan Ash-Shahiihah no 525).



    Imam Nawawi menyatakan, bersalaman sangat baik dilakukan. Sempat ditanyakan, bagaimana dengan bersalaman yang dilakukan usai shalat? Menurut Imam Nawawi, salaman usai shalat adalah bid’ah mubahah dengan rincian hukum sebagai berikut: ‘Jika dua orang yang bersalaman sudah bertemu sebelum shalat maka hukum bersalaman nya mubah saja, dianjurkan saja, namun jika keduanya belum bertemu sebelum shalat berjamaah hukum bersalamannya menjadi sunnah, sangat dianjurkan’ (Dalam Fatawî al-Imam an-Nawawî). 



    Hadits-hadits di atas adalah menunjuk pada mushafahah secara umum, yang meliputi baik mushafahah setelah shalat maupun di luar shalat. Jadi pada intinya mushafahah itu benar-benar disyariatkan baik setelah shalat maupun dalam waktu-waktu yang lainnya. Berdasarkan hadits-hadits inilah ulama Syafi’iyyah mengatakan bahwa bersalaman setelah sholat hukumnya sunnah. Kalaupun perbuatan itu dikatakan bid’ah (hal baru) karena tidak ada penjelasan mengenai keutamaan bersalaman usai sholat, maka bid’ah yang dimaksud disini adalah bid’ah mubahah, yang diperbolehkan. 


    Dalam riwayat-riwayat tadi disebutkan juga bahwa berjabat tangan bisa menebus dosa, apabila seorang mukmin bertemu dengan mukmin lainnya mengucapkan salam dan mengambil tangannya untuk berjabat tangan. Bahkan sebagian ulama mengatakan, orang yang sholat itu sama saja dengan orang yang ghaib alias tidak ada di tempat karena bepergian atau lainnya. Setelah sholat, seakan-akan dia baru datang dan bertemu dengan saudaranya. Maka ketika itu dianjurkan untuk berjabat tangan. Keterangan ini diperoleh dari kita Bughyatul Muytarsyidîn. Jadi bisa disimpulkan, bahwa hukum bersalaman usai shalat adalah mubah atau boleh, bahkan menjadi sunnah jika sebelum shalat kedua orang itu belum bertemu.

    Begitu juga dalam hadits-hadits Nabi saw tadi tidak ada isyarat yang melarang berjabatan tangan bila sudah bertemu dan tidak ada juga isyarat yang mewajibkan waktu-waktu tertentu orang boleh berjabat tangan. Dengan demikian berjabatan tangan antara sesama jenis muslim itu boleh setiap waktu,  apalagi ketika bertemu setelah lama berpisah. Dengan hadits-hadits itu cukup jelas buat kita bahwa berjabatan tangan antara sesama jenis sangat besar manfaat dan pahalanya sebagai sunnah Nabi saw. Berjabat tangan setelah sholat boleh saja, yang penting kita tidak mensyariatkannya, jadi kita anggap amalan mubah saja.

    Umpama saja, tidak ada contoh dari Rasulallah saw atau para sahabat tentang berjabatan tangan setelah usai sholat, ini bukan berarti orang yang mengamalkan jabatan tangan setelah sholat itu haram mutlak. Orang boleh mengamalkan apa saja seusai sholat, selama amalan tersebut baik dan tidak berlawanan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at. Memutuskan bid'ah mungkar (baca=haram) dan halal pada suatu amalan, harus berdalil dari sunnah Rasulallah saw yang jelas dan tegas, bukan hanya dengan alasan bahwa Rasul saw atau para sahabat tidak pernah mengamalkannya. Golongan pengingkar ini sering memahami kalimat hadits secara  tekstual dan mudah menvonis suatu amalan haram, sesat, syirik dan lain sebagainya. Bila ada beberapa ulama yang mengatakan bid’ah pada suatu amalan, mereka langsung menvonis bahwa amalan tersebut haram untuk diamalkan. Padahal tidak semuanya Bid’ah itu haram untuk diamalkannya (baca keterangan bid’ah pada website ini). Wallahua’lam.

    Dalil-dalil yang berkaitan dengan cium tangan dan kaki 
    Masalah perbedaan antara ta’dhim dan ibadah ini sudah kami singgung disitus ini. Masih banyak orang yang keliru memahami kata ta’dhim (penghormatan tinggi) dan kata ibadah. Kekeliruan ini mengakibatkan pencampur-adukan antara dua kata tersebut, sehingga mereka mudah menarik kesimpulan bahwa pengagunganatau ketundukan berarti penyembahan. Berdasarkan pengertian yang salah ini, mereka berpendapat bahwa bersikap khidmat dan bersikap rendah diri didepan pusara Rasulallah saw atau dimuka pusara para sholihin, dianggap juga sebagai sikap berlebih-lebihan (qhuluw), yang dapat menyeret orang pada sesembahan selain Allah swt (syirik). Demikian juga mencium tangan orang-orang yang shalih/wali ,termasuk juga para penguasa yang sholeh atau orang kaya yang sholeh, ayah dan ibu, semuanya itu mustahab yang disukai oleh Allah swt. Begitu juga  adat istiadat dan tradisi yang berlaku dikalangan masyarakat Jawa. Pada tiap hari Raya pada umumnya orang Jawa –juga yang beragama Islam– berjongkok (bersungkem) didepan ayah ibunya masing-masing. Semuanya itu oleh orang yang bepengertian salah, dianggap merupakan sikap yang berlebih-lebihan dan perbuatan mungkar/haram yang harus diberantas. Sebenarnya semuanya ini sama sekali tidak bisa diartikan penyembahan dan tidak terlintas sama sekali dalam hati serta pikiran mereka, bahwa mereka itu menyembah pada orang-orang sholeh/wali yang dicium tangannya atau berjongkok didepan ayah bundanya sebagai Tuhan! Tidak lain semuanya itu merupakan Ta'dhim (penghormatan tinggi).
    Sama halnya kalau kita berukuk, bersujud didepan bangunan Ka'bah bukan berarti kita menyembah Ka'bah, tetapi yang kita sembah adalah Allah swt. Bila ada orang yang mempunyai pikiran bahwa bersujud dihadapan Ka'bah sebagai penyembahan, maka dia bukan termasuk orang yang beriman! Begitu juga kita semua mengetahui bahwa kita tidak boleh memandang Rasulallah saw, para sahabat dan para wali/sholihin memiliki sifat Rububiyah (ketuhanan) secara hakiki/sebenarnya. Selama orang masih meyakini bahwa Rasulallah saw, para sahabat dan para sholihin sebagai makhluk Allah swt yang mulia dan dimuliakan oleh Allah swt, maka hal ini tidak menyalahi Syariat Islam! 

    Mari kita ikuti ,berikut ini, hadits-hadits Rasulallah saw dan atsar para sahabat yang berkaitan masalah cium tangan dan kaki.

    - Kisah dua orang Yahudi yang bertanya kepada Nabi saw berkenaan sembilan ayat yang Allah turunkan kepada Nabi Musa as.Rasulallah saw menjawabnya secara rinci tidak kurang satupun. Kemudian kedua orang Yahudi tersebut mencium Tangan dan Kaki baginda Nabi saw. (HRAn-Nasa’i (no. 4078), ibn Majah (3705) dan Tirmidzi berkata hadith Hasan Sahih (2733 & 3144) serta disahihkan juga oleh imam al-Hakim).

    - Di antaranya juga hadits Shafwan ibn Assal, dia berkata: “Ada seorang Yahudi berkata kepada temannya: Mari kita pergi kepada Nabi ini (Muhamad). Kisah lengkapnya seperti tertulis di atas. Kemudian dalam lanjutan hadits ini disebutkan: “Maka keduanya mencium tangan Nabi dan kakinya lalu berkata: Kami bersaksi bahwa engkau seorang Nabi”.

    - Abu asy-Syaikh dan Ibn Mardawaih meriwayatkan dari sahabat Ka’ab ibn Malik, bahwa ia berkata: “Ketika turun ayat tentang (diterimanya) taubat-ku, aku mendatangi Rasulullah lalu mencium kedua tangan dan kedua lututnya”.

    - Dari Buraidah ra.: “Sesungguhnya seorang lelaki telah datang kepada Nabi saw lantas mencium tangan dan kaki beliau saw.”(HRal-Hakim dalam kitab al-Mustadrak dan mensahihkannya)

    -Dari Zaari’ (salah satu delegasi suku Abdil Qais) berkata: “Sewaktu kami tiba di Madinah, kami segera turun dari kendaraan  kemudian mencium tangan Nabi saw” (HR.Imam al-Bukhari dan Abu Daud (5225).

    - Imam al-Bukhari di dalam kitabnya al-Adab al-Mufrad, imam Ahmad, Abu Daud, Ibn al-A’rabi di dalam Juzunya serta imam al-Baghawi di dalam Mu’jamnya, bahwa sewaktu utusan Abd Qais tiba di Madinah, mereka mencium Tangan dan Kaki baginda saw.
    Dalil ini telah diuraikan lagi oleh ibn Abdul Bar, dikuatkan dengan dalil lain oleh al-Hafiz ibn Hajar dan dikeluarkan juga oleh imam Abu Ya’la, Tabarani serta al-Baihaqi dengan sanad yang bagus (Jayyid).

    - Dari Ka’ab bin Malik ra: “Sesungguhnya sewaktu beliau ditimpa keuzuran, Nabi saw tiba maka beliau terus mengambil tangan baginda saw kemudian menciumnya.” (HR at-Tabarani dalam kitabnya Mu’jam al-Kabir (19/95, no. 186).

    - Dari Abdullah bin Umar ra berkata: “Kami telah menghampiri kepada Nabi saw, kemudian terus mencium tangannya”.(HRAbu Daud (5223).

    -Diriwayatkan oleh imam Ibn Jarir dan ibn Abi Hatim daripada As-Saddi berkenaan firman Allah swt (Al-Maidah :101) yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu bertanya (kepada Nabi saw) perkara-perkara yang jika diterangkan kepada kamu akan menyusahkan kamu,”.Setelah (sayidina Umar ra mendengar) ayat ini, beliau bangun menuju kepada Nabi saw dan terus mencium kaki baginda Rasulallah saw. 

    - Didalam kitab ‘Sorim al-Maslul’ oleh ibn Taimiyyah yang dikeluarkan oleh ibn al-A’rabi dan al-Bazzar: “Sesungguhnya seorang lelaki menyaksikan berkenaan ‘mukjizat sebatang pohon’ yang datang kepada Rasulullah saw, kemudian kembali ke tempatnya semula. Lelaki itu berkata sambil berdiri kemudian terus mencium Kepala, Tangan dan Kaki Rasulullah saw. Menurut riwayat ibn al-A’rabi: Lelaki tersebut meminta izin Nabi saw untuk menciumnya, maka Nabi saw pun mengizinkan. Maka lelaki tersebut mencium Kepala dan Kaki baginda saw.”

    Ada sebagian orang mengatakan kalau cium tangan dan kaki Nabi saw itu boleh karena beliau adalah Rasulallah saw tetapi kalau mencium selain beliau saw maka haram hukumnya. Pikiran semacam adalah angan-angan mereka sendiri. Omongan semacam ini sangat jauh sekali dari kenyataannya, karena kalau mencium tangan dan kaki itu dilarang didalam syariat Islam, maka Rasulallah saw justru orang yang pertama kali yang melarangnya dan perlakuan para sahabat terhadap Nabi saw itu akan dilarang pula. Karena Rasulallah saw adalah pembawa syariat Islam dan sudah tentu sebagai contoh bagi umatnya. Bila hal itu khusus untuk beliau saw maka beliau juga akan menerangkannya!

    Dalil Nabi saw mencium para sahabat dan memeluk mereka;
    -.Sesungguhnya Nabi saw mencium Zaid bin Haritsah ra ketika tiba di Madinah memeluknya.(HR.imam Tirmizi (no. 2732), imam Tirmizi berkata: “Hadith ini Hasan Gharib”.

    -Sesungguhnya Nabi saw mencium sepupunya sayidina Ja’far bin Abi Thalib ra di antara kedua belah matanya. (HRAbu Daud dan Baihaqi di dalam kitabnya Syua’b al-Iman (6/477).

    -Sesungguhnya Nabi saw mencium sayidina Abu Bakar ra selepas memeluknya disisi Ali ra dan para sahabat yang lainnya. (Hadith ini dinukil oleh ibn A’bid al-Ansari di dalam kitabnya al-Majmu’).

    Dalil sahabat ra dan selain mereka berciuman antara satu sama lain:
    -Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam kitabnya al-Adab al-Mufrad (hadith no 976) dengan sanad shohih bahwa sahabat Ali ibn Abi Thalib telah mencium tangan dan kaki Abbas ibn Abd al-Muththalib. Padahal sayidina Ali juga seorang sahabat yang mulia. Namun karena sayidina Abbas disamping sebagai pamannya sendiri juga seorang yang sholeh maka imam Ali kw mencium tangan dan kedua kakinya tersebut.

     -Dari Shuhaib, ia berkata: Saya melihat sahabat Ali mencium tangan sahabat Abbas dan kakinya. (H.R. Bukhari)

    -Dari Ibnu Jad’an ia berkata kepada Anas bin Malik, apakah engkau pernah memegang Nabi dengan tanganmu ini ? Sahabat Anas berkata: Ya, lalu Ibnu Jad’an mencium tangan Anas tersebut. (H.R. Bukhari dan Ahmad) 

    -Demikian juga dengan Abdullah bin Abbas (waktu remaja) ,setelah wafatnya Rasulullah, beliau pergi kepada sebagian sahabat Rasulullah lainnya untuk menuntut ilmu dari mereka. Suatu ketika beliau pergi kepada Zaid ibn Tsabit, salah seorang sahabat senior yang paling banyak menulis wahyu. Saat itu Zaid ibn Tsabit sedang keluar dari rumahnya. Melihat itu, dengan cepat Abdullah ibn Abbas memegang tempat pijakan kaki pelana hewan tunggangan Zaid ibn Tsabit. Abdullah ibn Abbas menyongsong Zaid untuk menaiki hewan tunggangannya tersebut. Namun tiba-tiba Zaid ibn Tsabit mencium tangan Abdullah ibn Abbas, karena dia adalah keluarga Rasulullah. Zaid ibn Tsabit berkata: “Seperti inilah kami memperlakukan keluarga Rasulullah”. Padahal Zaid ibn Tsabit jauh lebih tua dari Abdullah ibn Abbas. Atsar ini diriwayatkan oleh al-Hafidh Abu Bakar ibn al-Muqri dalam Juz Taqbil al-Yad.

    - Dinukil oleh al-Hafidh ibn Hajar di dalam kitabnya al-Isabah dan as-Sya’bi ra: Sesunggguhnya Zaid bin Thabit ra mencium tangan ibn Abbas ra ketika ibn Abbas ra mengambil binatang tunggangannya. Dan Zaid berkata:“Beginilah cara kita disuruh untuk melakukan kepada ahli bait Nabi kita.”Yakni bertujuan untuk menghimpunkan di antara kemuliaan dan kebaikan.

    - Ibn Sa’d juga meriwayatkan dengan sanad-nya dalam kitab Thabaqat dari ‘Abd ar-Rahman ibn Zaid al-‘Iraqi, bahwa ia berkata: “Kami telah mendatangi Salamah ibn al-Akwa’ di ar-Rabdzah. Lalu ia mengeluarkan tangannya yang besar seperti sepatu kaki unta, kemudian dia berkata: “Dengan tanganku ini aku telah membaiat Rasulullah”. Oleh karenanya lalu kami meraih tangan beliau dan menciumnya”.

    - Juga telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa imam Muslim mencium tangan Imam al-Bukhari. Imam Muslim berkata kepadanya:  “Seandainya anda mengizinkan pasti aku cium kaki anda”. Jelas dalam riwayat ini, imam Muslim mengetahui bahwa cium tangan dan kaki seorang ulama itu mustahab.

    - Dinukil oleh as-syeikh al-Ansari bahwasanya imam Muslim bin al-Hajjaj mencium di bagian antara dua mata imam Bukhari dan beliau juga mencoba untuk mencium Kakinya. Bertujuan sebagai menghormati ilmu, kemuliaan dan kebaikan gurunya. (imam Nawawi di dalam kitab ‘Tahzhib al-Asma’ [88/1] ).

    - Dalam kitab at-Talkhish al-Habir, al-Hafidh Ibn Hajar al-Asqalani menuliskan sebagai berikut: “Tentang masalah mencium tangan ada banyak hadits yang dikumpulkan oleh Abu Bakar ibn al-Muqri, beliau mengumpulkannya dalam satu juz penuh. Di antaranya hadits Abdullah ibn Umar, dalam menceritakan suatu peristiwa di masa Rasulullah, beliau berkata:  “Maka kami mendekat kepada Rasulullah lalu kami cium tangan dan kakinya”. (HR. Abu Dawud). Hadits ini diriwayatkan oleh para Penulis kitab-kitab Sunan (al-Imam at-Tirmidzi, al-Imam an-Nasa’i, al-Imam Ibn Majah, dan al-Imam Abu Dawud) dengan sanad yang kuat.

    - Dalam kitab sunan yang tiga (Sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i) dari Aisyah, bahwa ia berkata: “Aku tidak pernah melihat seorangpun lebih mirip dengan Rasulullah dari Fathimah dalam sifatnya, cara hidup dan gerak-geriknya. Ketika Fathimah datang kepada Rasulullah, maka Rasulullah berdiri menyambutnya lalu mengambil tangan Fathimah, kemudian Rasulullah mencium Fathimah dan membawanya duduk di tempat duduk beliau. Dan apabila Rasulullah datang kepada Fathimah, maka Fathimah berdiri menyambutnya lalu mengambil tangan Rasulullah, kemudian mencium Rasulullah, setelah itu ia mempersilahkan beliau duduk di tempatnya”.Demikian penjelasan al-Hafidh Ibn Hajar dalam kitab at-Talkhish al-Habir.
    Dalam hadits yang terakhir diatas ini disebutkan, terdapat dalil tentang kebolehan berdiri untuk menyambut orang yang baru datang ke suatu tempat, jika memang bertujuan untuk menghormati bukan untuk menyombongkan diri dan menampakkan keangkuhan.

    - Imam Ibnu Hajar al-Asqalani telah menyitir pendapat Imam Nawawi sebagai berikut: Imam Nawawi berkata: Mencium tangan seseorang karena zuhudnya, kebaikannya, ilmunya, atau karena kedudukannya dalam agama adalah perbuatan yang tidak dimakruhkan, bahkan hal yang demikian itu disunahkan. Pendapat ini juga didukung oleh Imam al-Bajuri dalam kitab “Hasyiah”,juz,2,halaman.116.-Imam

    -al-Zaila’i berkata : (dibolehkan) mencium tangan seorang ulama dan orang yang wira’i karena mengharap barakahnya.

    -Dari Abi Malik al-Asyja’i berkata: Saya berkata kepada Ibnu Abi Aufa ra. “ulurkan tanganmu yang pernah engkau membai’at Rasul dengannya, maka ia mengulurkannya dan aku kemudian mencium nya.(H.R. Ibnu al-Muqarri).

    -Dari Yahya bin al-Harith ra dengan satu sanad, berkata Haithami: Rijalnya (perawi-perawi sanad) adalah Thiqat (dipercayai). Berkata Yahya bin al-Harith: “Aku bertemu Wathilah bin al-Asqa’, maka aku berkata: Kau membai’ah tanganmu ini pada Rasulullah saw? Wathilah berkata: Ya. Aku berkata: Berikan tangan mu itu, aku ingin menciumnya. Maka, beliau pun memberikan tangannya itu kepadaku dan aku terus menciumnya.” Maksud mencium tangan di sini adalah untuk memperoleh keberkatan di atas bai’ah Wathilah kepada Rasulullah saw secara bersalaman dan mencium tangan beliau saw. Begitu juga mencium tangan orang-orang yang soleh dan ulama.(HRat-Tabarani di dalam kitabnya al-Kabir (22/94, no. 226)

    - Dinukil oleh imam At-Tabari di dalam kitabnya al-Riyad, dari Abi Raja’ al-A’toridi: Sesungguhnya beliau datang ke Madinah lantas melihat sayidina Umar ra mencium kepala sayidina Abu Bakar ra di hadapan para sahabat untuk menunjukkan perasaan gembiranya terhadap kejayaan (kaum muslimin) dalam tempuran peperangan al-Riddah.

    - Dikeluarkan oleh imam ibn al-A’rabi dan ibn al-Maqri di dalam Juzu mereka, Abdul Razak di dalam kitabnya al-Musannaf, al-Kharaaeti di dalam al-Makarim, al-Baihaqi dan ibn Asakir dengan isnad berdasarkan syarat imam Muslim (sanad tersebut berdasarkan syarat imam Bukhari dan Muslim) :Sesungguhnya Abu U’baidah ra mencium tangan sayidina Umar ra ketika kedatangannya dari Syam’. Adapun Tamim bin salamah menganggap mencium tangan ahli al-Fadl (orang-orang yang mendapat kemuliaan) adalah sunnah.
    Dalil-dalil tadi menunjukkan kesunnahan mencium tangan antara para sahabat dan para ulama selain Rasulallah saw.

    Dalil-dalil lain yang berkaitan dengan ciuman;
    - Diriwayatkan  oleh Abu Daud bahwa Nabi saw mencium perut al-Hasan bin Ali ra. Begitu juga hadits tsabit bahwa Nabi saw mencium al-Husin ra. Rasulallah saw juga mencium puterinya sayidatina Fatimah ra.

    - Diriwayatkan oleh Abu Daud (Hadith no. 5222).bahwa sayidina Abu Bakar ra mencium anaknya sayidatina Aisyah ra ketika beliau mendapati bahwa anaknya itu demam. Dengan demikian ciuman bukan khusus untuk anak-anak lelaki saja.

    -Diriwayatkan oleh Abu Daud (Hadith no. 5217) bahwa apabila Fatimah ra mendapati Nabi saw masuk bertemunya, beliau akan berdiri dan mengambil tangan beliau saw dan terus menciumnya.

    - Menurut riwayat imam Tirmizi (Hadith no. 3872) bahwa apabila Fatimah ra masuk bertemu Rasulullah saw, baginda saw terus berdiri dan mengambil tangan puterinya dan menciumnya serta duduk bersamanya di dalam satu majlis. Ciuman anak pada kedua belah tangan ibu-bapak adalah kerana pengiktirafan mereka terhadap kemuliaan derajat orang tua sedangkan ciuman ibu-bapak kepada anak-anaknya adalah hak kasih sayang terhadap mereka. Ini semua merupakan sunnah Nabi saw.
    Dalam satu hadits yang dinyatakan, bahwa seorang lelaki bercerita di dalam satu majlis Nabi saw, bahwa dia tidak mencium anak-anaknya. Lalu Rasulallah saw bersabda:“Apa yang dapat saya nyatakan bahwa Allah swt telah melenyapkan rahmat dari hati kamu”(HR. imam Bukhari no. 5998).

    - Sesungguhnya sayidina Abu Bakar mencium muka Nabi saw selepas kewafatan baginda saw. (HR.imam Ahmad dan Bukhari (no. 1241).- Sesungguhnya Nabi saw mencium sayidina Uthman bin Maz'un selepas kewafatannya. (HR.imam Ahmad (56/6), Abu Daud (3163), Tirmizi (989) berkata: Hadith Hasan Sahih, Ibn Majah (1456). Hadits ini juga disandarkan kepada imam al-Bukhari.

    - Diriwayatkan oleh ibn al-A’rabi dari Jabir: Sesungguhnya ayahnya mati syahid ketika peperangan Uhud, maka tersingkap wajahnya dan beliau menciumnya.

    Hadith-hadith yang melarang cium tangan.antara lain:
    - Seorang bertanya kepada Rasulallah saw: “Wahai Rasulullah adakah harus seseorang itu membongkokkan (tunduk ruku’) kepada saudaranya?" Baginda menjawab: "Tidak". Lelaki itu berkata lagi: "Adakah mesti seseorang itu memeluk dan menciumnya?" Nabi saw menjawab: "Tidak". Berkata lagi: "Adakah seseorang itu mengambil tangan saudaranya dan hanya bersalaman dengannya?" Nabi saw menjawab: "Ya". (HR.Turmudzi (no. 2728), dan berkata: Hadith Hasan).
    Hadits ini telah dilemahkan oleh imam Ahmad dan al-Baihaqi seperti yang dinukil oleh al-Iraqi di dalam kitabnya al-Mughni. Di dalam sanadnya ada seorang perawi yang bernama Hanzalah. Imam Ahmad, Nasa’i dan Ibn Mai’n telah menetapkan bahawa lelaki tersebut adalah ‘Daif’ (lemah). Imam Ahmad menambah dengan katanya: “Sesungguhnya (Hanzalah) meriwayatkan banyak hadith yang Mungkar, maka jangan beramal dengan haditsnya.” Maka gugurlah hadits ini.

    - Hadits imam at-Tabarani dan Abu Ya’la dan ibn A’ddi: Sesungguhnya Nabi saw menarik tangannya bagi orang yang ingin menciumnya. Larangan terhadap hadits ini adalah dusta. Hadits ini dinukil juga oleh ibn al-Jauzi di dalam kitabnya al-Maudua’at. Hadits ini sangat lemah menurut ahli hadits. Maka sangat aneh bila ada orang yang menyebut-nyebut hadits dha’if tentang larangan mencium tangan dan meninggalkan atau mengenyampingkan sekian banyak hadits shahih yang membolehkan dan mensunnahkan mencium tangan dan kaki!!Hadits-hadits itu sangat bertentangan dan terbantah dengan hadits-hadits shohih yang telah kami kemukakan tadi. Dengan demikian tidak dapat dijadikan dalil.

    - Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dan imam at-Tirmidzi bahwa Rasulullah melarang berdiri untuk menghormat seseorang.., yang dimaksud berdiri disini adalah berdiri terus hingga orang tersebut meninggalkan majlis. Hal demikian biasa dilakukan oleh orang-orang Romawi dan Persia kepada raja-raja mereka. Jika mereka ada di suatu majelis lalu raja mereka masuk, maka mereka berdiri untuk raja tersebut dengan Tamatstsul artinya berdiri terus hingga sang raja pergi meninggalkan majelis atau tempat tersebut. Inilah yang dimaksud dengan Tamatstsul dalam bahasa Arab.

    - Hadits riwayat imam Ahmad dan imam at-Tirmidzi dari Anas ibn Malik yang menyebutkan bahwa para sahabat jika mereka melihat Rasulullah mereka tidak berdiri untuknya karena mereka mengetahui bahwa Rasulallah tidak menyukai hal itu, hadits ini bukan menunjukkan kemakruhan atau keharaman  berdiri untuk menghormati. Pemaknaan hadits ini bahwa Rasulullah tidak menyukai hal itu karena beliau takut akan diwajibkan hal itu atas para sahabat. Dengan demikian, Rasulullah tidak menyukai hal itu karena beliau menginginkan keringanan bagi umatnya. Sebagaimana sudah diketahui bahwa Rasulullah kadang suka melakukan sesuatu tapi ia meninggalkannya meskipun ia menyukainya karena beliau menginginkan keringanan dan bukan suatu kewajiban bagi umatnya. Begitu juga banyak hadits shohih yang meriwayatkan bahwa para sahabat berdiri untuk menyambut kedatangan seorang sahabat yang dipandang mulia.

    Kesimpulan singkat:
    Riwayat-riwayat tadi mengenai cium tangan dan lain sebagainya sebagai pelajaran untuk memperoleh keberkatan (barokah), begitu juga tujuan untuk melatih diri lebih bersikap tawadhu’ dan untuk mendapat keredhaan Allah swt. Begitu juga mereka sering mencium kepala antara satu sama lain sebagai tanda kasih dan hormat. Riwayat-riwayat shohih tadi menunjukkan pula kesunnahan mencium tangan ibu-bapak untuk penghormatan kepada mereka  sebagai hak mereka. Cium tangan syeikh (guru), ulama para sholihin, para waliyullah karena keberkahan, kemuliaan dan kebajikan amal mereka. Begitu juga sebagai salah satu sifat kasih sayang, menguatkan lagi kemesraan dan pertemuan, yang diakui sebagai sebaik-baik cara dan sikap kesantunan serta penghormatan diri. Dengan cara ini, lenyaplah perasaan sifat dengki, mengerat kan lagi ukhwah sesama Islam, menambahkan pahala dan sempurna Qudwah Hasanah. 
    Adapun cium tangan, merendahkan diri (tadzallul) terhadap orang munafik, kafir baik yang kaya maupun tidak, menyanjung orang yang berkuasa dan orang yang memiliki kedudukan tetapi perbuatan mereka curang, dholim dan lain sebagainya, hal inilah yang tidak dibenarkan oleh syariat Islam. Wallahua’lam.

    Membaca Ushalli sebelum Takbiratul Ihram
    Sebagian orang muslimin ada yang membid’ahkan ucapan ushalli…. sebelum takbiratul ihram waktu sholat. Masalah ini disebut juga dengan masalah talaffudh bin niyyah yakni mengucapkan niat dengan lisan, sesaat menjelang takbiratul ihram. Tidak lain tujuan dari talaffudh bin niyyah ini menurut kitab-kitab fiqih adalah: ‘Agar lidah menolong hati’.
    Hal ini dikarenakan niat yang sebenarnya terletak didalam hati, tetapi untuk memantapkan hadirnya niat didalam hati, maka boleh dibantu dengan lisan yakni melafazkan niat itu terlebih dahulu sebelum menghadirkannya didalam hati. Dengan demikian melafazkan niat adalah termasuk amalan lisan.

    Setiap perbuatan atau perkataan yang keluar dari seorang mukallaf selalu dicatat oleh malaikat. Perkataan yang baik tercatat sebagai amalan yang baik, begitu pula halnya perkataan yang jelek akan tercatat sebagai amalan yang jelek. Allah swt. Berfirman: “Tidaklah seseorang itu mengucapkan suatu perkataan melainkan disisinya ada (malaikat pencatat amal kebaikan dan amal kejelekan) Raqib dan Atid”. (QS.Al-Qaf:18).
    Kalau kita hendak shalat, lalu kita mengucapkan seumpama: Ushalli fardhos subhi rakataini lillahi ta’ala (saya sholat wajib subuh dua rakaat karena Allah taala), tentu semua sepakat bahwa ini adalah kalimat yang baik bukan kalimat yang buruk. Dan Allah swt. telah berfirman juga: “Kepada Allah jualah naiknya kalimat yang baik”. (QS.Al-Faathir:10).

    Begitu juga halnya kalau seseorang mengucapkan kalimat yang buruk, seperti ejekan terhadap orang-orang yang mengamalkan kebajikan atau ejekan terhadap fatwa-fatwa ulama yang sudah banyak menguasai sumber hukum Islam yang utama yakni Al-Qur’an dan Hadits, baik secara tersurat maupun secara tersirat. Semua ucapan itu akan direkam oleh malaikat sebagai kalimat ejekan yang dapat merugikan pelakunya kelak dihari kiamat. 

    Dalil-dalil yang berkaitan dengan talaffudh bin niyyah (mengucapkan niat dengan lisan).
    − Diriwayatkan dari Abubakar Al-Muzanni dari Anas ra: “Aku pernah mendengar Rasulallah saw melakukan talbiyah haji dan umrah bersama-sama sambil mengucapkan:’Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah untuk melakukan haji dan umrah’ “. (HR.Bukhori,Muslim).
    Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi saw mengucapkan niat dengan lisan diwaktu beliau melakukan haji dan umrah.

    − Diriwayatkan dari Aisyah ra, beliau berkata: “Pada suatu hari Rasulallah saw, berkata kepadaku:’ Wahai Aisyah, apakah ada padamu sesuatu untuk dimakan’? Aisyah menjawab:’Wahai Rasulallah, tidak ada pada kami sesuatu pun’. Mendengar itu Rasulallah saw bersabda:’Kalau begitu hari ini aku puasa’ “. (HR.Muslim).

    − Diriwayatkan dari Jabir ra, beliau berkata: “Aku pernah shalat Idul Adha bersama Rasulallah saw, maka ketika beliau hendak pulang dibawakanlah beliau seekor kambing, lalu beliau menyembelihnya sambil berkata: ‘Dengan nama Allah, Allah Maha Besar. Ya Allah, inilah kurban dariku dan dari orang-orang yang tidak sempat berkurban diantara ummat ku”. (HR.Ahmad,Abu Daud dan Turmudzi).
    Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi saw mengucapkan niat dengan lisan ketika beliau menyembelih kurban.

    − Didalam kitab Az-Zarqan, yang merupakan syarah dari Al-Mawahib Al-Ladunniyah karangan Imam Qasthalani jilid X/302 disebutkan sebagai berikut:
    “Terlebih lagi yang telah tetap dalam fatwa para sahabat kita (ulama syafi’iyah) bahwa sunnat menuturkan ushalli itu. Sebagian ulama mengqiyaskan hal tersebut kepada riwayat yang tersebut dalam shahihain (kitab Bukhori,Muslim). (Pertama riwayat Muslim) hadits dari Anas bahwa bahwa beliau mendengar Nabi saw bertalbiyah untuk haji dan umrah secara bersamaan (Haji Qiran) sambil berkata: ‘Labbaik, sengaja saya mengerjakan umrah dan haji’.  Dalam Riwayat Bukhori dari Umar bahwa beliau mendengar Rasulallah saw bersabda ketika tengah berada di Wadi Aqiq :”Shalatlah engkau dilembah yang penuh berkah ini dan ucapkan : ‘Sengaja aku umrah didalam haji’ “. Semua ini jelas menunjukkan  adanya pelafazan niat. Dan hukum sebagaimana dia tetap dengan nash juga bisa tetap dengan qiyas”. Demikianlah uraian Imam Qasthalani tentang alasan disunnatkannya ucapan Ushalli sesaat menjelang takbiratul ihram itu. 

    Fatwa-fatwa para ulama yang berkaitan dengan talaffudh bin niyyah ini:
    − Imam Nawawi dalam kitab Al-Minhaj menyebutkan: “Niat itu tempatnya didalam hati dan disunnatkan melafazkannya sesaat sebelum takbir”. 

    − Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj II/12 : “Dan disunnatkan melafazkan apa yang diniatkan sesaat menjelang takbir agar supaya lisan dapat menolong hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syaz yakni menyimpang. Kesunnatan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafazan dalam niat haji”. 

    −  Imam Ramli dalam Nihayatul Muhtaj jilid 1/437 : “Dan disunnatkan melafazkan apa yang diniatkan sesaat menjelang takbir agar supaya lisan menolong hati dan karena pelafazan itu dapat menjauhkan dari was-was dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkan”.

    Memperhatikan pernyataan Ibnu Hajar dan Imam Ramli yang mengatakan bahwa diantara tujuan pelafazan niat itu adalah, ‘Agar lisan dapat menolong hati’ dan ‘Agar terjauhkan dari was-was’, menunjukkan adanya semangat ijtihad dikalangan para ulama agar hati sebagai tempat niat dapat lebih terkonsentrasi (khusyu’), ketika melakukan niat itu. Sehingga dianjurkan agar sebelum hati melakukan niat sebaiknya diucapkan dulu niat tersebut, agar setelah itu hati kita dapat lebih mantap melakukannya. Memang sangat di rasakan manfaat dari pengucapan dengan lisan itu. Contoh sederhana ketika seseorang hendak menghitung sesuatu. Andai dicukupkan menghitung dalam hati saja dengan satu, dua, tiga dan seterusnya, maka kemungkinan hati menjadi bimbang sangatlah besar. Tetapi apabila mengucapkan satu, dua, tiga dan seterusnya itu disertai dengan lisan kita, maka hati kita lebih mantap dalam melakukan perhitungan.

    Pendapat para ulama madzhab yang empat dalam masalah talaffudh bin niyyah.
    − Dr.Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Al-Fighul Islami jilid 1/767 menyebutkan:“Disunnatkan melafazkan niat menurut jumhur ulama selain madzhab Maliki”.
    Dalam kitab yang sama jilid 1/214, menurut madzhab Maliki diterangkan bahwa: “Yang utama adalah tidak melafazkan niat kecuali bagi orang yang was-was, maka disunatkanlah baginya melafazkan agar hilang daripadanya keragu-raguan”.
    Dengan keterangan diatas dapat kita simpulkan:  Sunnat melafazkan niat shalat atau membaca ushalli sesaat menjelang takbiratul ihram dengan tujuan agar lidah menolong hati atau agar terhindar dari was-was (kebimbangan dan keragu-raguan).
    Fatwa semacam ini adalah fatwa dalam madzhab Hanafi, Syafi’i dan madzhab Hambali. Adapun madzhab Maliki, maka disunnatkan bagi yang berpenyakit was-was saja. Oleh karena itu mengatakan talaffudh bin niyyah sebagai amalan bid’ah berarti menuduh Imam Madzhab yang empat beserta seluruh pengikutnya, sebagai pelaku bid’ah yang menurut keyakinan golongan pengingkar semua bid’ah sesat dan akan masuk neraka. Semoga kita terhindar dari menuduh sesama muslim apalagi para pakar Islam dengan tuduhan keji seperti itu. Wallahua’lam.   

    Kewajiban membaca Al-Fatihah didalam sholat baik untuk makmum atau imam
    Khususnya dalam madzhab Syafi'iyah, diwajibkan baik imam maupun makmum untuk membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat dalam sholat. Sering kita dengar dari sebagian golongan, yang melarang makmum untuk membaca surat al-Fatihah bila sholat berjamaah (Maghrib, Isya, Shubuh atau sholat Jumat), dengan alasan bahwa bacaan imam sudah termasuk bacaannya. Apakah benar larangan pembacaan Al-Fatihah yang dikatakan saudara-saudara kita itu?

    Marilah kita sekarang meneliti dalil-dalil yang berkaitan dengan bacaan surah al-Fatihah dan dalil-dalil baca surah fatihah setiap rakaat dalam sholat, baik dikerjakan pada waktu siang hari mau pun malam hari:

    Firman Allah swt: ‘Maka bacalah apa yang mudah dari al-qur’an (QS.Al-Muzammil:20). Pada ayat lain disebutkan: ‘Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dbaca berulang-ulang dan al-qur’an yang agung’ (QS.Al-Hijr:87).

    Imam Bukhori (V11:381 Al-Fath Al-Bari) meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Mu’alla: “Nabi Muhamad saw lewat dan aku (sedang) mendirikan sholat. Lalu beliau memanggilku. Aku tidak menjawabnya hingga aku selesaikan sholatku, aku datangi beliau saw. Beliau bersabda: ‘Apa yang menghalangimu untuk mendatangiku ketika aku memanggilmu’? Aku menjawab, ‘aku sedang sholat’ (ketika itu). Beliau saw bersabda: ‘Bukankah Allah swt berfirman, wahai orang orang beriman, jawablah (penuhilah) panggilan Allah dan Rasul-Nya’. Setelah itu beliau bersabda; ‘Senangkah jika aku mengajarimu surah yang paling agung didalam al-qur’an sebelum aku keluar dari masjid’? Setelah –berselang beberapa saat– Nabi Muhamad saw pergi untuk keluar dari masjid. Lalu aku mengingatkannya. Beliau bersabda; ‘Alhamdu lillahi rabbil-‘alamin’, itulah tujuh ayat yang diulang-ulang dan (itulah) al-qur’an yang diberikan padaku’”.

    Hadits dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulallah saw bersabda: ’Ummu al qur’an ialah tujuh ayat yang diulang-ulang dan al-qur’an yang agung’ (Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhori dalam Shohih-nya (V11:381 Al-Fath Al-Bari).                                                     

    Al-Hafidh dalam Fathul Bari V11:382 mengatakan, bahwa Imam Thabrani meriwayatkannya dengan dua isnad yang bagus dari Umar ra, kemudian dari Ali kw. Dia mengatakan, ‘As-Sab’u Al-Matsani itu, adalah Fatihat Al-Kitab‘(Al-Fatihah). Dari Umar ada tambahan Diulang-ulang pada setiap rakaat’.

    Imam Bukhori (pada juz ‘Membaca (al-Fatihah) dibelakang Imam’ [bab wajib membaca al-Fatihah, bagi imam dan makmum, dan ukuran miminal yang dibaca] hal. 8 cet. Al-Iman Madinah Al-Munawwarah) mengatakan, ‘secara mutawatir ada berita dari Rasulallah saw bahwa tidak ada sholat (yang sah) kecuali dengan membaca Ummu al-qur’an’ (yakni al-Fatihah).

    Imam Bukhori (11:238), Imam Muslim (1:295) dan dalam Al-Fath al-Bari (11:241) ada pembahasan yang lengkap mengenai sabda Rasulallah saw: Tidak ada sholat –yang mencukupi– bagi orang yang tidak membaca Fathihat Al-Kitab’. Hadits ini menurut Imam Bukhori mutawatir. Maksud hadits ini bukan tidak ada sholat yang sempurna, melainkan tidak ada sholat yang mencukupi (sah) bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah. Dengan demikian dalil wajibnya membaca al-Fatihah ini, berlaku baik untuk sholat berjamaah maupun yang melakukan sholat sendirian (munfarid). Dalam redaksi yang dikeluarkan oleh Al-Isam’ili melalui jalan Al-Abbas bin Al-Walid Al-Narsi  –gurunya Imam Bukhori– dari Sufyan dengan isnad tersebut, dengan redaksi; Tak ada satu sholat pun yang mencukupi, jika tidak di baca Fatihat Al-Kitab’. Al-Hafidh Ibn Hajar dalam Al-Fath (11:241) menyebutkan, bahwa riwayat itu ada mutaba’ah-nya (riwayat yang mengikuti dan menguatkannya) yaitu, yang diriwayatkan Al-Daraquthni. Juga ada saksi penguatnya bagi riwayat Al-Daraquthni tersebut, yang diriwayatkan Ibn Hibban dan Ibn Khuzaimah dalam kedua shohih-nya.

    Sedangkan dalil bahwa membaca al-Fatihah itu wajib dilakukan setiap rakaat dalam sholat, adalah sabda Rasulallah kepada seseorang yang melakukan sholat tidak sempurna. Rasulallah saw mengajarkannya, apa yang harus dilakukan dalam sholat pada setiap rakaat. Beliau saw bersabda: “Kemudian lakukan itu pada (gerakan) sholatmu semuanya”. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori [11:277] dan Imam Muslim [1:298]. 

    Rukun sholat yang keempat adalah, membaca al-Fatihah pada setiap rakaat, baik untuk imam mau pun makmum. Demikian pula yang munfarid (sholat sendirian). Begitu juga dalam riwayat Ibn Hibban dalam Shohih-nya (V:89) dan lainnya dikatakan, “Kemudian lakukan itu pada setiap raka’at”. Membaca  al-Fatihah tidak gugur (kewajibannya),  kecuali bagi makmum yang mendapatkan imamnya sedang rukuk (ketinggalan sholat berjamaah). Dalam kondisi seperti itu, dia dianggap telah mendapatkan satu rakaat (telah membaca al-Fatihah), meskipun dia belum membaca al-Fatihah. Dahulu masalah ini diperselisihkan, tetapi kemudian mendapat ijmak (kesepakatan) para ulama. Demikianlah yang dikutip Ibnul Mundzir dalam kitabnya Al-Ausath 111:115.                 

    Dalil yang mewajibkan untuk membaca al-Fatihah bagi makmum, baik bacaan dalam sholat secara sir/pelan (dhuhur dan ashar) maupun bacaan sholat  jahar (maghrib, isya, shubuh, sholat jumat) adalah sebagai berikut: 

    Pertama: Adalah keumuman kandungan hadits yang telah dikemukakan sebelumnya, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim yaitu; ‘Tidak ada sholat (yang sah) bagi orang yang tidak membaca Fatihat Al-Kitab’. (surat al-Fatihah).

    Kedua: Ubbadah bin Shamit ra meriwayatkan: “Kami pernah melakukan sholat bersama Rasulallah saw pada sholat shubuh. Beliau merasa berat untuk membaca (al-qur’an/al-Fatihah). Setelah berpaling (selesai sholat), beliau saw bersabda: ‘Sesungguhnya aku melihat kamu sekalian (mengetahuimu), (apakah) kamu membaca dibelakang imam kalian’? Kami menjawab, ‘ya’. Beliau saw bersabda: ’Jangan kalian lakukan kecuali dengan (membaca) Ummu Al-Kitab (al-Fatihah), karena tidak ada sholat (yang sah) bagi orang yang tidak membacanya’”. { HR.Imam Ahmad [V:316]; Imam Bukhori dalam Al-Qiraat Khalfa Al-Imam artinya membaca (al-Fatihah) dibelakang Imam;  Ath-Thahawi meriwayatkannya dalam Syarh Ma’ani Al-Autsar (1:215) ; Abu Dawud (1:217-218) ; Imam Turmudzi (II:117) ; Ibnu Khuzaimah dalam shohih-nya (III : 36) ; Ibn Hibban dalam shohih-nya (V:86) ;  Al-Baihaqi dalam Syarh As-Sunnah (III:82) dalam Sunan-nya (II:164) dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan Wa Al-Atsar (III:81) dalam periwayatan dan penjelasan yang luas; Ad-Daraquthni (I:318) dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (I:238). Hadits tersebut shohih dan tsabit (kuat). Dan menurut Al-Khathabi sepeti disebutkan dalam Syarh Muhadzdzab-nya, Imam Nawawi (III:366), ‘Isnad hadits tersebut jayid (bagus sekali) dan tak ada cacadnya’. Hadits tersebut juga telah diakui keshohihannya oleh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (II:242), beliau menyifatinya sebagai hadits tsabit [kuat] }.

    – Imam Turmudzi (setelah adanya hadits Ubbadah bin Shamit diatas) mengata kan: “Berkenaan dengan bab itu, terdapat riwayat (yang serupa hadits itu) dari Abu Hurairah ra, Siti Aisyah ra, Anas bin Malik, Abu Qatadah dan Abdullah bin Amr”. Imam Turmudzi mengatakan: “Mengamalkan hadits ini, yang berkenaan dengan membaca (al-Fatihah) dibelakang imam, berarti mengikuti pendapat kebanyakan ahli ilmu, baik dari kalangan para sahabat Nabi saw mau pun tabi’in. Itu pun pendapat yang dipergunakan oleh Imam Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, Ibn Al-Mubarak, Ahmad dan Ishak. Mereka semua berpendapat (mengenai wajibnya) membaca (al-Fatihah) dibelakang imam. Al-Hafidh Al- Zaila’i dalam Nashbu Ar-Riwayah [II:12] berkata: ‘Hadits ini menunjukkan sebab turunnya hadits ‘Siapa yang mempunyai imam, maka bacaan imam menjadi bacaan baginya’. [Sebabnya] tersebut ialah, mengangkat suara (menjaharkan) dengan membaca [al-Fatihah] dibelakang imam dan membaca surah disamping membaca al-Fatihah). (yakni: si makmum membaca al-Fatihah dan surah setelah membaca al-Fatihah dibelakang imam, dengan suara jahar —pen.)  

    – Imam Al-Aini dalam Umdat Al-Qari mengatakan, sebagian sahabat kami menganggap hal itu (mengangkat suara dengan membaca al-Fatihah dan surah), sebagai perbuatan yang baik demi ihtiyath (kehati-hatian) dalam segala sholat. Sedangkan menurut sebagiannya hanya terbatas pada sholat sir (yang bukan jahar) saja. Pendapat terakhir ini dipegang oleh fugaha (para ahli fiqih) Hijaz dan Syam (Syria).

    – Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (II:242), mengenai hadits ‘siapa yang mempunyai imam, maka bacaan imam menjadi bacaan baginya’ berkata:  ‘Tetapi hadits tersebut menurut para Hafidh –penghafal hadits– merupakan hadits lemah/dhoif. Semua thariq (jalan) dan ilat-nya telah diambil (dikaji) oleh Al-Daraquthni dan yang lainnya”. Begitu juga diantara yang melemahkan dan menolak hadits tersebut ialah Imam Bukhori dalam Juz Al-Qira’at hal.9.  Ia mengatakan, ‘kabar ini tidak tsabit (kuat) menurut para pakar baik menurut penduduk (ulama) Hijaz maupun penduduk (ulama) Irak dan yang lainnya, karena hadits tersebut mursal dan munqathi’ “.

    Diantara bukti-bukti lemahnya hadits ,‘siapa yang mempunyai imam,maka bacaan imam menjadi bacaan baginya’ , tersebut dan kebathilannya adalah:
    a)  Jika benar bacaan Imam itu mewakili bacaan (rukun sholat yakni al-Fatihah) makmum seperti yang disebutkan dalam dalil hadits tersebut, mengapa dzikir-dzikir yang lain –selain al-Fatihah– seperti tasbih, takbir, tahmid dan lainnya, tidak dibatalkan hukum membacanya dari makmum, padahal hukumnya bacaan-bacaan ini adalah sunnah?

    b)  Begitu juga seandainya hadits tersebut shohih –dan itu tidak mungkin–, tidak tercantum didalam hadits itu yang menunjukkan bahwa bacaan imam mencukupi (mencakup semua) bacaan makmum, karena hadits tersebut bersifat umum. Dan kalimat (dalam hadits itu) ‘bacaan imam’ termasuk isim jenis, yang mudhaf (disandarkan) mencakup apa saja yang dibaca oleh imam, tidak hanya terbatas kepada bacaan al-Fatihah saja. Demikian pula halnya dengan firman Allah swt: ‘Dan apabila dibacakan al-qur’an, maka dengarkanlah dan perhatikanlah agar kamu sekalian mendapat rahmat’ dan hadits, ‘jika dia membaca, maka perhatikanlah’.

    c)  Seandainya hadits itu tsabit (kuat), maka kalimat haditsnya bersifat umum, sehingga mencakup al-Fatihah dan lain-lainnya. Sedangkan hadits Ubbadah (yang telah kami kemukakan tadi) itu, bersifat khusus mengenai bacaan makmum surat al-Fatihah, sehingga hadits ini mengkhususkan atau mengecualikan keterangan yang umum tersebut. Demikianlah yang ditetapkan dan diakui dalam ilmu Ushul (Fiqih). Adapun kalimat hadits dan apabila dia (imam) membaca maka perhatikanlah’, yang disebutkan dalam sebagian riwayat hadits (seperti), imam itu dijadi kan hanya untuk di-ikuti, maka apabila ia bertakbir, bertakbirlah…’, riwayat hadits ini tidak kuat. Karena riwayat ini disebutkan dalam Shohih Muslim (I:304) yang mengandung  dialog antara Imam Muslim dengan muridnya –Abu Bakar–, yang meriwayatkan hadits shohih Muslim dari Imam Muslim. Imam Nawawi (Al-Majmu’ III:386) mengatakan, ‘menurut Imam Baihaqi, lafadh tersebut tidak ada dari Nabi saw’. Abu Daud dalam Sunannya; ‘lafadh itu tidak terjaga/ terpelihara’ (laisat bi mahfudhah).
          
    Hadits yang dikemukakan oleh Anas bin Malik ra; “Bahwa Rasulallah saw melakukan sholat dengan para sahabatnya. Setelah selesai sholat, beliau saw menghadap kepada mereka sambil bersabda: ‘Apakah kalian membaca (al-qur’an) dalam sholat kalian dibelakang imam, padahal imam (sedang) membaca? Mereka diam. Rasulallah saw mengucapkan itu tiga kali. Kemudian ada (banyak) yang berkata: ‘Sesungguhnya kami melakukannya (membaca al qur’an)’. Beliau saw bersabda: Maka janganlah kalian lakukan, dan hendak-lah salah seorang diantaramu (masing-masing kalian) membaca Fatihah Al-Kitab didalam dirinya (tidak dijaharkan)’ “ (HR.Ibn Hibban dalam shohih-nya  (V:162) ; Imam Daraquthni dalam As-Sunan (I:340), hadits ini shohih ; Al-Hafidh Al-Haitsami dalam Mujma’ Al-Zawaid (II:110) dari hadits Anas ra. Diriwayatkan juga oleh Abu Ya’la. Imam Thabarani dalam Al-Ausath, dan rijal perawinya tsiqat.

    Hadits yang dikemukakan oleh Yazid bin Syuraik: “Saya pernah bertanya kepada Umar mengenai membaca (al-qur’an) dibelakang imam. Dia menyuruhku untuk membaca (alqur’an/al-Fatihah). Saya bertanya; ‘Engkau bagai- mana’? Dia berkata, ‘Aku juga sama’. Saya bertanya lagi, ‘Apakah hal itu di lakukan jika engkau menjahar (dalam sholat jahar)?’. Dia menjawab; ‘Jika aku menjahar (melakukan sholat jahar) aku pun membacanya’”(HR.Al-Daraquthni dalam As-Sunan I:317 mengatakan; ‘Ini isnad shohih’. Atsar-atsar shohih mengenai hal itu dari kalangan sahabat pun banyak, [silahkan lihat pada juz III dari kitab At-Tanaqudhat dalam Mulhaq Khas (tambahan khusus)].

    Orang yang tidak membolehkan makmum membaca ayat al-qu’ran (al-Fatihah) dibelakang imam dalam sholat jahar, dengan berdalil hadits Ibn Ukaimah dari Abu Hurairah ra, yang mengatakan, “Rasulallah saw melakukan sholat dengan kami, dimana bacaan (al-Fatihah dan surahnya) dijaharkan. Setelah selesai beliau menghadap kepada orang-orang seraya bersabda; ‘Apakah ada salah seorang dari kamu yang membaca (al-qur’an) bersama-sama aku’? Kami menjawab, ‘ya’. Beliau saw bersabda: ‘Ingatlah, aku mengatakan,  aku tidak pantas menentang al-qur’an (ma li unazi’u Alqurana)’. Abu Hurairah mengatakan, ‘orang-orang pun berhenti membaca (al-qur’an), jika imam menjaharkan bacaan. Dan mereka membaca (al-Fatihah dan surah) secara sir (pelan) dalam dirinya jika imam tidak menjaharkan bacaannya”.

    Menurut sebagian orang kalimat dalam hadits ‘orang-orangpun berhenti membaca..’,hanya sebagai perkataan Abu Hurairah saja. Yang mempunyai paham seperti ini diantaranya Syeikh (al-Albani--pen) yang controversial itu, dalam bukunya Shifatu Shalatihi (Sifat Sholat Nabi Muhamad saw) pada hal.99. Padahal yang benar bukan begitu. Itu hanya kata-kata –mudrajah (tambahan)– yang ditambahkan dari Az-Zuhri. Hal itu telah diterangkan oleh para imam hadits, antara lain Imam Bukhori dalam Juz Al-Qira’at Khalfa Al Imam hal. 29-30.

    Hadits Ibn Ukaimah diatas, dibuat dalil/hujjah untuk melarang orang membaca al-Fatihah dibelakang imam adalah keliru. Hadits tersebut dhoif (lihat penjelasannya dalam kitab At-Tanaqudhat Al-Wadihat Juz III oleh Syeikh Hasan bin Ali, jordania). Dan jika benar, didalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang melarang membaca al-Fatihah dibelakang imam. Yang dimaksud larangan disini adalah, larangan mengangkat suara/menjaharkan dengan bacaan al- qur’an setelah membaca al-Fatihah. Sebagaimana hal itu dijelaskan pada beberapa riwayat yang shohih. Jadi hadits itu bersifat umum yang ditakhsish (dikhususkan atau dikecualikan sebagian kandungannya). Bila kita telah mengetahui bahwa imam dan makmum (setiap waktu sholat) serta yang melakukan sholat sendirian wajib membaca al-Fatihah, maka ketahuilah bahwa disunnahkan bagi imam untuk diam sebentar setelah selesai membaca al-Fatihah dalam sholat jahar. Tidak lain hal ini memberi kesempatan pada makmum untuk membaca al-Fatihah. Hal ini didasarkan kepada dalil dari hadits Samurah  yang mengatakan, ‘dua saktah (dua kali diam sebentar) yang aku hafal (ingat) dari Rasulallah saw’. Tetapi Imran bin Hushain mengingkari itu, dia berkata: ‘Kami menghafal (mengingat) satu kali diam’. Maka kami menyurati Ubay bin Ka’ab di Madinah. Ubay menulis (menjawab), ‘Samurah telah menjaga (sunnah Rasulallah saw)’.     

    Sa’id –salah seorang perawi hadits tersebut dan putera Abu Arubah– mengatakan, ‘kami berkata kepada Qatadah, apakah yang dimaksud dengan dua kali diam (dua saktah) tersebut’? Ia berkata: ‘Pertama, jika dia masuk dalam sholat (sebelum membaca al-Fatihah) dan yang kedua, jika dia telah selesai membaca (al-Fatihah). Setelah itu dia berkata: ‘(Dan) apabila telah membaca Wa laa  Adhdhaalliina’. (HR. Imam Turmudzi [II:31 no. 251] dan dia mengatakan hadits Samurah itu hasan; Imam Ahmad dalam Musnad-nya [V:7];  Imam Baihaqi [II:195] dan lain-lain, hadits ini shohih. Ibn Hibban dalam Shohih-nya [V:112] dan pada halaman 113 dia mengatakan; ‘Sandaran kita pada masalah tersebut ialah Imran dan bukan Samurah’).

    Abdullah bin Amr ra meriwayatkan: “Nabi Muhamad saw berkhutbah dihadapan banyak orang: ‘Siapa yang melakukan sholat wajib atau sunnah (subhatan) maka hendaklah membaca Ummu al-qur’an dan (ayat) Quran ber samanya. Jika dia sampai (selesai) membaca Ummu al-qur’an itu cukup baginya. Dan siapa yang (melakukan sholat) bersama imam, maka hendaklah dia membaca (ummul al-qur’an itu) sebelumnya, atau jika dia (imam) diam. Dengan demikian siapa yang melakukan sholat tidak membaca Ummu Alquran, maka sholatnya khidaj (kurang)” (beliau mengucapkannya) tiga kali. (HR.Abdar-Razzaq dalam Al-Mushannaf (II:133 nr. 2787) hadits ini hasan, karena sesungguhnya Al-Mutsanni bin Ash-Shabbah itu tidak  tercela dalam periwayatan nya dari Amr bin Syu’aib. Hal itu sebagaimana diperingatkan oleh para penghafal hadits dan telah disebutkan mengenai riwayat hidupnya, dalam Tahdzib At-Tahdzib (X:33). Tetapi dia terkena ikhtilath (kekacauan/percampuran) dalam periwayatannya dari Atha, sebagaimana mereka –ahli hadits– menjelaskan hal itu. Dia diakui kuat/tsiqah oleh yahya bin Mu’in. Sementara pen-dhoif-an oleh jumhur didasarkan kepada apa yang telah kami sebutkan).

    Al-Hafidh Ibn Hajar dalam Al-Fath al Bari (II:242) mengatakan, “Atas dasar dalil tersebut jelaslah bahwa imam perlu diam sebentar dalam sholat jahar, supaya makmum berkesempatan membaca al-Fatihah. Hal itu untuk tidak menjerumuskan makmum kepada perbuatan yang dilarang, yakni dia membaca al-qur’an imam membaca al-qur’an juga. Sebetulnya telah ditetap- kan (lewat hadits shohih) bahwa makmum diperbolehkan membaca al-Fatihah dalam sholat jahar tanpa kaid (ikatan/pengecualian).Hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah tersebut adalah seperti yang dikeluarkan atau diriwayatkan oleh Imam Bukhori pada Bagian Al-Qiraat, Turmudzi, Ibn Hibban dan lain-lainnya dari riwayat Mak-hul dari Mahmud bin Ar-Rabi’ dari Ubbadah, ‘Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. (tampak) berat membaca (Al-Fatihah dalam (sholat) fajar (shubuh)…sampai akhir hadits…(lihat hadits Ubbadah’). Demikianlah menurut Ibn Hajar Al-‘Asqalani. Wallahu a’lam. (Kami susun secara bebas dari kitabShalat Bersama Nabi saw.karya Hasan Bin‘Ali As-Saqqaf, terbitan Dar al-Imam an-Nawawi, Oman,, Jordania] cet. pertama,1993, diterjemahkan oleh Drs. Tarmana Ahmad Qosim diterbitkan oleh PustakaHidayah Bandung). 

    Kewajiban Membaca Basmalah di Awal surat Al-Fatihah
    Dalam madzhab Syafi'iyah khususnya mewajibkan setiap orang yang melakukan sholat membaca Basmalah pada awal surat Al-Fatihah, karena basmalah merupakan ayat pertama darinya. Hal tersebut didasarkan pada hadits shohih dan kuat dari Rasulallah saw. Antara lain yang dikemukakan oleh Abu Hurairah ra. bahwa Rasulalallah saw. bersabda: “Jika kamu sekalian membaca Alhamdulillah, maka bacalah Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Sesungguhnya Al-Fatihah itu Ummu Al- qur’an (induk Alqur’an), Ummul-Kitab (induk Kitab), As-Sab’ Al-Matsani dan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, adalah salah satu ayatnya”. (HR.Daruquthny [I:312], Imam Baihaqi [II:45] dan lain-lainnya dengan isnad shohih baik secara marfu’ mau pun secara mauquf). 
    { Syeikh Saqqaf (pengarang kitab 'Shalat Bersama Nabi saw.) merasa aneh terhadap at-tanaqudhat (kontradiksi) bahwa muhaddits ash-shuhuf wa al-auraq (pembaharu lembaran-lembaran koran dan kertas), bukanlah pembaharu intelek yang benar dan jujur. (Dia) menshohihkan hadits diatas tersebut dalam beberapa tempat dari kitabnya dan dalam beberapa kitab karangan yang di nisbatkan kepada dirinya, antara lain kitab Shohih Al-Jam’ Wa Ziyadatuh [I:261] dan Shihatuh [III : 179]. Meski pun demikian dia tetap saja berkata dalam kitab Sifat Sholat Nabi–nya halaman 96: “Kemudian Rasulallah saw. membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, dan tidak mengeraskan bacaannya”. Jika Basmalah diakui (oleh dia) sebagai salah satu ayat dari Al-Fatihah, lalu mengapa tidak dikeraskan juga bacaannya? }.

    Ibnu ‘Abbas ra. meriwayatkan bahwa dia membaca Al-Fatihah, lalu membaca wa-laqad atainaaka sab’an min al-matsaaniya wal Qur’anal ‘Adhiim. Lalu dia berkata, “Itulah Fatihat al-Kitab (Pembuka Al-Kitab/Alqur’an) dan Bismillahir Rahmaanir Rahiim adalah ayat yang ketujuh” (Al-Hafidh Ibn Hajar dalam Al-Fath VIII:382 mengatakan hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Thabrani dengan isnad Hasan).

    Diriwayatkan dari Ummu Salamah ra. bahwa, “Rasulallah saw. membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim dalamn sholat, dan beliau menganggapnya sebagai satu ayat…”. (HR.Abu Dawud dalam as-Sunan [IV:37], Imam Daraquthni [I:307], Imam Hakim [II:231], Imam Baihaqi [II:44] dan lain-lainnya dengan isnad shohih). 

    Imam Ishak bin Rahuwiyah pernah ditanya tentang seseorang yang meninggalkan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Maka dia menjawab; “Siapa yang meninggalkan ba’, atau sin, atau mim dari basmalah, maka sholatnya batal, karena Al-hamdu (Al-Fatihah) itu tujuh ayat”. (Hal ini akan ditemukan pada kitab Sayr A’lam Al-Nubmala’ [XI:369] karangan Ad-Dzahabi).

    Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan Abu Hurairah [ra]  serta yang lainnya: “Bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad saw. menjaharkan (bacaan) Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim”. (Hadits dari Ibnu ‘Abbas, diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar [I:255]; Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra [II:47] dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar [II:308] dan lain-lainnya ; Al-Haitsami dalam Mujma’ Al-Zawaid [II:109] mengatakan, hadits tersebut di riwayatkan oleh Al-Bazzar dan rijal-nya mautsuuquun (terpercaya) ; Al-Daraquthni [I:303-304] telah meriwayatkan dalam berbagai macam isnad siapa pun yang menemukannya tidak akan meragukan keshohihannya. Rincian pembicaraannya dapat dilihat pada jilid III dari At-Tanaqudhat. Ada pun hadits dari Abu Hurairah ra., diriwayatkan oleh Imam Hakim dalam Al-Mustadrak-nya [I:232] dan perawi lainnya. Haditsnya shohih. Al-Dzahabi rupanya berusaha me lemahkan hadits tersebut dalam Talkhish Al-Mustadrak. Dia mengatakan, ‘Muhammad itu dhaif’, yang dia maksud adalah Muhammad bin Qais, padahal tidak demikian.  Muhammad bin Qais sebetulnya orang baik dan terpercaya, termasuk rijal (sanad) Imam Muslim sebagaimana disebutkan dalam Tahdzib At-Tahdzib [IX:367]. Disitu disebutkan Muhammad bin Qais diakui mautsuuq oleh Ya’qub bin Sufyan Al-Fusawi dan Abu Dawud, Al-Hafidh pun mengakui  hal itu juga dalam At-Taqrib-nya). 

    Disebutkan dalam shohih Bukhori [II:251 dalam Al-Fath al-Bari], bahwa Abu Hurairah ra. berkata: “Pada setiap sholat dibaca (Al-Fatihah dan surah—Red.). Apa yang yang beliau perdengarkan (jaharkan) maka kamipun memperdengarkannya (menjaharkannya), dan apa yang beliau samarkan (lirihkan), maka kamipun menyamarkannya (melirihkan- nya)..”. 
    Perkataan orang yang menyebutkan bahwa Rasulallah saw. kadang-kadang melirihkan dan kadang-kadang menjaharkan (bacaan basmalah), itu tidak benar. Karena mereka juga berdalil dengan hadits-hadits mu’allal yang ditolak. Bahkan sebagiannya hanya disimpulkan dari hasil pemahaman (al-mafhum) yang berlawanan dengan hadits al-manthuq, yang jelas menyatakan adanya menjahar bacaan basmalah. Sedangkan yang manthuq itu harus didahulukan atas yang mafhum, sebagaimana ditetapkan dalam ilmu ushul fiqih. 

    Imam Muslim dalam Shohih-nya [I:300] meriwayatkan hadits dari Anas ra. yang mengatakan: “Ketika suatu hari Rasulallah saw. berada disekitar kami, tiba-tiba beliau mengantuk (tidur sebentar), lalu mengangkat kepalanya sambil tersenyum. Kami bertanya; ‘Apa yang menyebabkan engkau tertawa wahai Rasulallah’? Beliau menjawab; ‘Tadi ada surah yang diturunkan kepadaku, lalu beliau membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, innaa a’thainaaka al-kautsar….sampai akhir hadits’ “. Imam Nawawi mengatakan dalam Syarh Muslim-nya [IV:111) bahwa basmalah itu merupakan satu ayat dari setiap surah kecuali surah Bara’ah atau at-Taubah berlandaskan dalil bahwa basmalah itu di tulis didalam mushaf dengan khath (tulisan/ kaligrafi) mushaf. Hal itu didasarkan kepada kesepakatan sahabat dan ijma’ mereka bahwa mereka tidak akan menetapkan sesuatu didalam Alqur’an dengan khath Alqur’an yang selain Alqur’an. Ummat Islam sesudah mereka pun sejak dahulu sampai sekarang, sepakat atau ber-ijma’ bahwa basmalah itu tidak ada pada awal surah Bara’ah dan tidak ditulis padanya. Hal itu semua menguatkan apa yang telah kami katakan.

    Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim Al-Mujmir  seorang Imam, Faqih, terpercaya termasuk periwayat hadits Shohih Enam sempat bergaul dengan Abu Hurairah ra. selama 20 tahun:  "Aku melakukan sholat dibelakang Abu Hurairah ra., maka dia membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim lalu dia membaca Ummu Alqur’an hingga sampai kepada Wa laadh dhaalliin kemudian dia mengatakan amin. Dan orang-orang pun mengucapkan amin. Setiap (akan) sujud ia mengucapkan Allahu Akbar. Dan apabila bangun dari duduk dia meng ucapkan Allahu Akbar. Dan jika bersalam (mengucapkan assalamu‘alaikum). Dia kemudian mengatakan, ‘Demi Tuhan yang jiwaku ada pada kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku orang yang lebih mirip shalatnya dengan Rasulallah saw.  daripada kalian”. (Imam Nasa’i dalam As-Sunan II:134; Imam Bukhori mengisyaratkannya hadits tersebut dalam shohihnya [II:266 dalam Al-Fath] ; Ibnu Hibban dalam shohihnya [V:100] ; Ibn Khuzaimah dalam shohihnya I:251 ; Ibn Al-Jarud dalam Muntaqa halaman 184 ;Al-Daraquthni [I:300]  mengatakan semua perawinya tsiqah ; Hakim dalam Al-Mustadrak [I:232] ; Imam Baihaqi dalam As-Sunan [II:58] dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar [II:371] dan mengatakan isnadnya shohih. Dan hadits itu dishohihkan oleh sejumlah para penghafal hadits seperti Imam Nawawi, Ibn Hajar dalam Al-Fath [II:267] bahkan dia mengatakan bahwa Imam Nawawi membuat bab khusus ‘Menjaharkan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim’, itulah hadits yang paling shohih mengenai hal tersebut). 

    Sedangkan menurut Syeikh Saqqaf (pengarang), hadits itu bukan yang paling shohih, justru  hadits Anas yang diriwayatkan Imam Bukhori lah yang paling shohih  yaitu “Rasulallah saw. me-mad-kan (memanjangkan bacaan) bismillah, me-mad-kan Ar-Rahmaan dan me-mad-kan Ar-Rahiim”. Ibn Hajar dalam Al-Fath II:229 telah menetapkan untuk menggunakan hadits yang menetapkan adanya jahar dalam membaca basmalah. Selanjutnya dia mengatakan, ‘Maka jelaslah (benarnya) hadits yang menetapkan adanya jahar dengan basmalah’.  

    Dalam Shohih Bukhori [IX:91 dalam Al-Fath] disebutkan bahwa Anas bin Malik ra. pernah di tanya mengenai bacaan Nabi Muhammad saw.. Dia menjawab: “Bacaan Nabi itu (mengandung) mad (dipanjangkan), (yakni) memanjangkan bacaan Bismillah, memanjangkan kata Ar-Rahman dan memanjangkan kata Ar-Rahim”. 

    Ada pun hadits Anas ra. yang antara lain mengatakan: “Aku melakukan shalat dibelakang Nabi Muhammad saw., Abu Bakar, Umar dan ‘Utsman. Mereka membuka (bacaan Alquran) dengan Alhamdulillah Rabbil ‘Aalamiin dan mereka tidak menyebut (membaca) Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim baik di awal pembacaannya mau pun di akhirnya”. Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka aku tidak mendengar salah satu di antara mereka membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim yang diriwayatkan Imam Muslim dalam shohih-nya [I:299 no.50 dan 52]. Hadits tersebut mu’allal (hadits yang mempunyai banyak ‘ilat atau yang menurunkannya dari derajat shohih). Diantara ‘ilat atau penyakit yang melemahkan derajat hadits itu adalah, ungkapan terakhir dalam hadits tersebut ‘Mereka tidak menyebut atau membaca Bismillah’. Sebenarnya itu bukan dari perkataan (hadits) Anas, tetapi hanya perkataan salah seorang perawi yang memahami kata-kata Alhamdulillah Rabbil ‘Aalamiin dan tidak bermaksud untuk meniadakan basmalah dari Al-Fatihah.
    Argumentasi ini dikuatkan dengan hadits Abu Hurairah ra., disebutkan bahwa Rasulallah saw. bersabda, ”Alhamdulillah rabbil ‘aalamiin sab’u ayat ihdaahunna Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, wa hiya as-sab’u al-matsaani wa al-Quraani al-‘adhiim, wa hiya Ummu Al-Qur’an wa Fatihat Al-Kitaab, (Al-Fatihah itu tujuh ayat, salah satunya adalah Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Itulah tujuh (ayat) yang diulang-ulang Al-qur’an yang agung dan itulah induk Alqur’an dan Fatihat (Pembuka) Al-Kitab (Alqur’an)”. Al-hafidh Al-Haitami dalam Al-Mujma’ [II:109] mengatakan, “Hadits tersebut diriwayatkan Imam Thabarani dalam Al-Ausath, rijal-nya tsiqat”. 

    Dari keterangan diatas tadi, dapat ditetapkan ada empat indikasi mengenai kelemahan hadits Anas ra diatas tersebut:
    a). Hadits yang shohih dan tsabit (kuat) yang diriwayatkan Imam Bukhori dari Anas berlawanan  dengan hadits tersebut. Dalam hadits itu disebutkan, “Baca- an Nabi itu (mengandung) mad (dipanjangkan), (yakni) memanjangkan bacaan Bismillah, memanjangkan kata Ar Rahman dan memanjangkan kata Ar-Rahim”.

    b). Semua Hafidh pakar penghafal hadits yang menulis dalam Mushthalah Hadits dan mengarang mengenai hadits, menyebutkan hadits Anas tersebut sebagai contoh hadits mu’allal yang meniadakan menjahar basmalah dalam Al-Fatihah itu

    c). Hadits Anas tersebut, disamping mu’allal, bersifat meniadakan, sedangkan hadits Anas yang lainnya beserta hadits-hadits lain dari para sahabat menetapkan (istbat) adanya jahar dalam membaca basmalah. Padahal seperti yang di tetapkan dalam ilmu ushul fiqh ialah Yang menetapkan (al-mutsbit) itu harus didahulukan daripada yang meniadakan, apalagi yang meniadakan itu masih mengandung ‘ilat (berupa hadits mu’allal). Men-jam’u (mengkompromikan) pun tidak bisa dilakukan.

    d) Diriwayatkan secara kuat dan benar, bahwa para sahabat yang empat -radhiyallahu ‘anhum- khususnya khalifah Umar dan khalifah ‘Ali semuanya menjaharkan bacaan basmalah dalam Al-Fatihah (lihat umpamanya kitab Ma’rifat As-Sunan Wa Al-Atsar [II:372 dan 378] ).Wallahu a’lam. (makalah tentang pembacaan Al-Fatihah dan Basmalah kami kutip dan susun secara bebas dari kitab Shalat Bersama Nabi saw. karya Hasan Bin ‘Ali As-Saqqaf, terbitan Dar al-Imam an-Nawawi, Oman, Jordania] cet. pertama, 1993 , diterjemahkan oleh Drs. Tarmana Ahmad Qosim diterbitkan oleh Pustaka Hidayah  Bandung).

    Tidak mengerak-gerakkan jari telunjuk ketika Tasyahhud
    Masyarakat muslim terutama yang berpegang kepada madzhab Syafi’i telah mengetahui dan mengamalkan petunjuk dan ajaran para ulama bahwa sunnah ketika mengucapkan Asyhadu allaa ilaaha illallah pada duduk tasyahhud atau tahiyyat untuk mengangkat jari telunjuknya apabila telah sampai pada illallah dalam syahadat dan tidak diturunkan jari telunjuknya sampai mengucapkan salam. Perlu diketahui yang disunnahkan hanyalah mengangkat jari telunjuknya saja tanpa tahrik (digerak-gerakkan) karena makruh hukumnya.

    Marilah kita ikuti dalil-dalilnya berikut ini:
    Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra.; “Jika Rasulallah saw. duduk dalam tasyahhud, beliau meletakkan tangan kirinya diatas lututnya yang kiri, dan meletakkan tangan kanannya pada lutut yang kanan, seraya membuat (angka) lima puluh tiga sambil berisyarat dengan telunjuknya”. (HR. Imam Muslim dalam Shohih-nya I/408). 
    Yang dimaksud dengan lima puluh tiga dalam hadits ini ialah menggenggam tiga jari (jari tengah, jari manis dan kelingking) itulah angka tiga. Sedangkan jari telunjuk dan ibu jari dijulurkan sehingga membentuk semacam lingkaran bundar yang mirip angka lima (angka bahasa arab), dengan demikian menjadilah semacam angka lima puluh tiga.

    Dalam satu riwayat  seperti yang diriwayatkan Imam Muslim I/408  dari Ali bin Abdurrahman Al-Mu’awi, dia mengatakan; “Abdullah bin Umar ra. melihat aku bermain-main dengan kerikil dalam sholat. Setelah berpaling (selesai sholat), beliau melarangku, seraya berkata; ‘Lakukanlah seperti apa yand dilakukan oleh Rasulallah itu’. Dia berkata; ‘Jika Rasulallah saw. duduk dalam sholat beliau meletakkan tangan kanannya pada paha kanannya seraya menggenggam semua jemarinya, dan mengisyaratkan (menunjukkan) jari yang dekat  ibu jarinya ke kiblat (penambahan kata ke kiblat ini terdapat pada shohih Ibnu Hibban V:274; shohih Ibn Khuzaimah I:356 dan lainnya). Beliau juga meletakkan tangan kirinya diatas paha kirinya’ ”. Al-Isyarah (mengisyaratkan) itu menunjukkan tidak adanya (perintah) menggerak-gerakkan, bahkan meniadakannya untuk tahrik.

    Diriwayatkan dari Numair Al-Khuzai seorang yang tsiqah dan salah seorang anak dari sahabat ; “Aku melihat Rasulallah saw. meletakkan dzira’nya [tangan dari siku sampai keujung jari] yang kanan diatas pahanya yang kanan sambil mengangkat jari telunjuknya dan membengkokkannya [mengelukkannya] sedikit”. (HR.Ahmad III:471 ; Abu Dawud I:260 ; Nasa’i III:39 ; Ibn Khuzaimah dalam shohihnya I:354 dan penshohihannya itu ditetapkan oleh Ibn Hajar dalam Al-Ishabah no.8807 ; Ibn Hibban dalam As-Shohih V:273 ; Imam Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra II:131 serta perawi lainnya. 

    Diriwayatkan dari Ibnu Zubair bahwa “Rasulallah saw. berisyarat dengan telunjuk dan beliau tidak menggerak-gerakkannya dan pandangan beliau pun tidak melampaui isyaratnya itu” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Hibban). Hadits ini merupakan hadits yang shohih sebagaimana diterangkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ jilid III:454 dan oleh sayyid Umar Barokat dalam Faidhul Ilaahil Maalik jilid 1:125. 

    Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Zubair ra. bahwa “Rasulallah saw.berisyarat dengan jarinya (jari telunjuknya) jika berdo’a dan tidak menggerak-gerakkannya”. (HR.Abu ‘Awanah dalam shohihnya II:226 ; Abu Dawud I:260 ; Imam Nasa’i III:38 ; Baihaqi II:132 ; Baihaqi dalam syarh As-Sunnah III:178 dengan isnad shohih). Ada pun hadits yang menyebutkan Yuharrikuha (menggerak-gerakkannya) itu tidak kuat (laa tatsbut) dan merupakan riwayat syadz (yang aneh). Karena hadits mengenai tasyahhud dengan mengisyaratkan (menunjukkan) telunjuk itu serta meniadakan tahrik adalah riwayat yang sharih (terang-terangan) dan diriwayatkan oleh sebelas rawi tsiqah dan kesemuanya tidak menyebutkan adanya tahrik tersebut. Seseorang yang mengaku bahwa mutsbat (yang mengatakan ada) itu harus didahulukan (muqaddam) atas yang menafikan/ meniada kannya, maka orang tersebut tidak memahami ilmu ushul. Karena kaidah ushul itu mempunyai kelengkapan yang tidak sesuai untuk dipakai dalam masalah itu. Hadits-hadits lainnya yang tidak menyebutkan adanya menggerak-gerakkan jari telunjuk itu  menguatkan keterangan dari hadits yang menafikannya.
    Dari hadits Ibnu Zubair tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa: a). Sunnah mengangkat telunjuk diketika tasyahhud. b) Nabi tidak menggerak-gerakkan telunjuknya dan pandangan Nabi terus tertuju kepada telunjuknya yang sedang berisyarat itu.

    Alasan yang mengatakan bahwa Rasulallah saw. tidak mengisyaratkan jemarinya sejak awal tasyahhud tetapi ketika mengucapkan syahadat, berupa beberapa dalil, antara lain: Hadits Wail bin Hujr, yang menyebutkan, “Dan Rasulallah saw. menjadikan (meletakkan) sikunya yang kanan di atas, lalu menggenggam dua jari dan beliau membuat suatu lingkaran, kemudian mengangkat jari (telunjuk)nya”. Demikian menurut lafadh Al-Darimi.
    Sedangkan menurut lafadh Ibn Hibban dalam Shohihnya V:272, “Dan beliau (saw.) mengumpulkan ibu jari dengan jari tengah dan mengangkat jari yang didekatnya seraya berdo’a dengan (menunjukkan)nya”.
    Sebagian orang menyangka bahwa tahliq (membuat lingkaran) itu maksudnya menggerak-gerakkan telunjuk untuk membuat semacam lingkaran. Padahal sebenarnya yang dimaksud tidak demikian. Membuat lingkaran itu maksudnya menjadikan jari tengah dan ibu jari semacam lingkaran, lalu telunjuk diisyaratkan. 

    Waktu mengangkat jari telunjuk.

    Dalam shohih Muslim II:890 meriwayatkan hadits dari Jabir ra.  menyebutkan bahwa “Rasulallah saw., bersabda seraya (berisyarat) dengan jari telunjuknya. Beliau mengangkat nya kelangit dan melemparkan (mengisyaratkan kebawah) ke manusia, ‘Allahumma isyhad, Allahumma isyhad (ya Allah saksikanlah)’. Beliau mengucapkannya tiga kali”.

    Telunjuk disebut juga syahid (saksi), sebab jika manusia mengucapkan syahadat, dia berisyarat dengan telunjuk tersebut. Nabi saw. sendiri jika mengatakan “Asyhadu” atau “Allahumma isyhad” (suka) berisyarat dengan telunjuknya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Darimi I:314-315 dan Imam Baihaqi dalam kitab Ma’rifat As-Sunnah wal Al-Atsar III:51, hadits shohih.

    Dalam sunan Baihaqi II:133 disebutkan: “Rasulallah saw. melakukan itu ketika men-tauhid-kan Tuhannya yang Mahamulia dan Mahaluhur”, yakni ketika menetapkan tauhid dengan kata-kata illallah (hanya Allah) dalam syahadat. Dalam riwayat lain, Imam Baihaqi II:133 dengan sanad yang sama dari Khilaf bin Ima’ bin Ruhdhah Al-Ghiffari dengan redaksi, “Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. hanya menghendaki dengan (isyarat) itu adalah (ke) tauhidan (Meng-Esa-kan Allah swt.)”, sedangkan ungkapan ketauhidan terdapat dalam kalimat syahadat itu. Al-Hafidh Al-Haitsami mengatakan dalam Mujma’ Al-Zawaid II:140, “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara panjang lebar..”. 
    Hal ini juga didasarkan kepada hadits Abdullah bin Umar ra.; “Dan (beliau saw.) mengangkat jari tangan kanannya yang dekat ke ibu jari lalu berdo’a”. (HR.Imam Muslim dan Imam Baihaqi II:130, serta perawi lainnya).
    Do’a yang dimaksud hadits tersebut ialah membaca sholawat kepada Nabi saw. dan do’a-do’a lainnya sebelum mengucapkan salam.

    Imam Al-Baihaqi dalam Syarh As-Sunnah III:177 mengatakan “Yang dipilih oleh ahli ilmu dari kalangan sahabat dan tabi’in serta orang-orang setelah mereka adalah berisyarat dengan jari telunjuk (tangan) kanan ketika mengucapkan tahlil (la ilaaha illallah) dan (mulai) mengisyaratkannya pada kata illallah….”.  

    Berdasarkan hadits-hadits shohih tersebut, disimpulkan bahwa waktu untuk mengangkat dan mengisyaratkan (jari) telunjuk, yaitu ketika mengucapkan kalimat syahadat yakni Asyhadu an laa ilaaha illallah dan tidak menurunkannya sampai mengucapkan salam. Para ulama telah melakukan ijtihad dimana tempat yang tepat untuk mengangkat telunjuk pada kalimat syahadat itu. Apakah sejak dimulainya tasyahhud atau ditengah-tengahnya karena di dalam hadits-hadits tersebut tidak ditentukan tempatnya yang tepat. 

    Menurut madzhab Syafi’i, bahwa tempat mengangkat telunjuk itu sebaiknya apabila telah sampai pada hamzah illallah, sebagaimana yang tersebut dalam kitab Zubad karangan
    Ibnu Ruslan: “Ketika sampai pada illallah, maka angkatlah jari telunjukmu untuk mentauhidkan zat yang engkau sembah”. 

    Menurut madzhab Hanafi, bahwa mengangkat telunjuk itu adalah diketika Laa ilaaha dan meletakkan telunjuk diketika illallah. Menurut pendapat ini, mengangkat telunjuk adalah sebagai isyarat kepada penafian uluhiyyah (ketuhanan) dari yang selain Allah, sedangkan ketika meletakkan telunjuk adalah sebagai isyarat kepada penetapan uluhiyyah hanya untuk Allah semata.

    Menurut madzhab Hanbali, bahwa mengangkat telunjuk itu adalah disetiap menyebut lafdhul jalalah pada tasyahhud dan do’a sesudah tasyahhud.

    Menggerak-gerakkan jari makruh hukumnya:
    Jumhur ulama Syafi’i memakruhkan menggerak-gerakkan telunjuk waktu tasyahhud, dalam Hasiyah al-Bajuri jilid 1:220, dikatakan:
    “Dan tidaklah boleh seseorang itu menggerak-gerakkan jari telunjuknya. Apabila digerak-gerakkan, maka makruh hukumnya dan tidak membatalkan sholat menurut pendapat yang lebih shohih dan dialah yang terpegang karena gerakan telunjuk itu adalah gerakan yang ringan.
    Tetapi menurut satu pendapat; Batal sholat seseorang apabila dia  menggerak-gerakkan telunjuknya itu tiga kali berturut-turut [pendapat ini bersumber dai Ibnu Ali bin Abi Hurairah sebagaimana tersebut dalam Al-Majmu’ III/454]. Dan yang jelas bahwa khilaf [perbedaan) tersebut adalah selama tapak tangannya tidak ikut bergerak. Tetapi jika tapak tangannya ikut bergerak maka secara pasti batallah shalatnya”.

    Imam Nawawi dalam Fatawa-nya halaman 54 dan dalam Syarh Muhadzdab-nya III/454 menyatakan makruhnya menggerak-gerakkan telunjuk tersebut. Karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan sia-sia dan main-main disamping menghilangkan kekhusyuan. 


    Dalam kitab Bujairimi Minhaj 1/218: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk karena ittiba’ (mengikuti sunnah Nabi). Jika anda berkata; ‘Sesungguhnya telah datang hadits yang shohih yang menunjuk kepada pentahrikan jari telunjuk dan Imam Malik pun telah mengambil hadits tersebut. Begitu pula telah beberapa hadits yang shohih yang menunjuk kepada tidak ditahriknya jari telunjuk. Maka manakah yang diunggulkan’? Saya menjawab: ‘Diantara yang mendorong Imam Syafi’i mengambil hadits-hadits yang menunjuk kepada tidak ditahriknya jari telunjuk adalah karena yang demikian itu dapat mendatangkan ketenangan yang senantiasa dituntut keberadaannya didalam sholat”.



    Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj II:80: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk diketika mengangkatnya karena ittiba’. Dan telah shohih hadits yang menunjuk kepada pentahrikannya, maka demi untuk menggabungkan kedua dalil, dibawalah tahrik itu kepada makna ‘diangkat’. Terlebih lagi didalam tahrik tersebut ada pendapat yang menganggapnya sebagai sesuatu yang haram yang dapat membatalkan sholat. Oleh karena itu kami mengatakan bahwa tahrik dimaksud hukumnya makruh”.

    Dalam kitab Mahalli 1/164: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk karena berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud. Pendapat lain mengatakan; ‘Sunnah mentahrik jari telunjuk karena berdasarkan hadits riwayat Baihaqi’, beliau berkata bahwa kedua hadits itu shohih. Dan didahulukannnya hadits pertama yang menafikan tahrik atas hadits kedua yang menetapkan tahrik adanya karena adanya beberapa maslahat pada ketiadaan tahrik itu”. 

    Dalam kitab Syarqawi 1/210: “Mengangkat telunjuk itu adalah dengan tanpa tahrik. Telah datang pula hadits yang menunjuk adanya tahrik. Namun dalam kasus ini yang menafi kan didahulukan dari yang menetapkan. Berbeda dengan kaidah ushul Fiqih (bahwa yang menetapkan didahulukan dari yang menafikan). Hal ini karena adanya beberapa maslahat pada ketiadaan mentahrik itu yakni; ‘Bahwa yang dituntut dalam sholat adalah tidak bergerak karena bergerak-gerak dapat menghilangkan kekhusyu’an dan juga tahrik itu adalah sejenis perbuatan yang tidak ada gunanya dan sholat haruslah terpelihara dari hal tersebut selama itu memungkinkan. Oleh karena itu ada pendapat yang membatalkan shalat karena melakukan tahrik walau pun pendapat ini dho’if”. 

    Dalil orang yang menggerak-gerakkan telunjuk:
    Orang yang mengatakan sunnah hukumnya menggerak-gerakkan telunjuk berdalil hadits riwayat Wa’il bin Hujrin yang menerangkan tentang tata cara sholat Nabi. Riwayat yang dimaksud ialah: “Kemudian Nabi mengangkat jari telunjuknya maka aku melihat beliau menggerak-gerakkannya sambil berdo’a”. (HR.Nasa’i) Hadits ini oleh sebagian madzhab Maliki dijadikan dalil untuk mensunnahkan tahrik yakni menggerak-gerakkan telunjuk itu dengan gerakan yang sederhana, dimulai sejak awal tasyahhud hingga akhirnya. Dan gerakan tersebut mengarah ke kiri dan ke kanan, bukan ke atas dan ke bawah (Al-Fighul Islami 1/716).

    Mereka juga berdalil dengan hadits dari Ibnu Umar yang menyatakan bahwa: “Menggerak-gerakkan telunjuk diwaktu shalat dapat menakut-nakuti setan”. Ini hadits dho’if karena hanya diriwayatkan seorang diri oleh Muhammad bin Umar al-Waqidi ( Al-Majmu’ III/454 dan Al-Minhajul Mubin hal.35). Ibn ‘Adi dalam Al-Kamil Fi Al-Dhu’afa VI/2247; “Menggerak-gerakkan jari (telunjuk) dalam sholat dapat menakut-nakuti setan”  adalah hadits maudhu’ ”.

    Atau mereka berdalil dengan ucapan seorang Syeikh (yang dimaksud Al-Albani) dalam kitabnya Sifat-sifat Sholat Rasulallah saw. ,khususnya hal.158-159, mengemukakan sebuah hadits; “Beliau (saw.) mengangkat jarinya (dan) menggerak-gerakkannya seraya berdo’a. Beliau bersabda; ‘Itu yakni jari sungguh lebih berat atau lebih keras bagi setan daripada besi’ ”. 
    Padahal redaksi hadits yang sebenarnya tidak seperti yang disebutkan oleh Syeikh tersebut. Syeikh ini telah menyusun dua hadits yang berbeda dengan menyusupkan kata-kata yang sebenarnya bukan dari hadits, supaya dia mencapai kesimpulan yang dikehendakinya. Redaksi hadits yang sebenarnya ialah seperti yang terdapat dalam Al-Musnad II:119, Al-Du’a karangan Imam Thabarani II:1087, Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar I:272 dan kitab hadits lainnya yang berbunyi: “Diriwayatkan dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar ra., jika (melakukan) sholat ber-isyarat dengan (salah satu) jarinya lalu diikuti oleh matanya, seraya berkata, Rasullah saw. bersabda; ‘Sungguh itu lebih berat bagi setan daripada besi’ “. Jadi dalam hadits tersebut tidak disebutkan kata-kata Yuharrikuha (menggerak-gerakkannya) tetapi hanya disebutkan ‘berisyarat dengan jarinya’. 
    Tetapi Syeikh ini telah berani melakukan penyelewengan terhadap hadits (tahrif) sehingga dia mendapatkan apa yang dikehendaki meski pun dengan tadlis (menipu) dan tablis (menimbulkan keraguan pada umat Islam). Al-Bazzar berkata; “Katsir bin Zaid meriwayatkan secara sendirian (tafarrud) dari Nafi’, dan tidak ada riwayat (yang diriwayatkan Katsir ini) dari Nafi’ kecuali hadits ini”. Syeikh ini sendiri di kitab Shohihah-nya IV:328 mengatakan; ‘Saya berkata, Katsir bin Zaid adalah Al-Aslami yang dha’if atau lemah’! 

    Hadits yang menyebutkan, ‘Sungguh ia (jari) itu lebih berat bagi setan daripada besi’, sebenarnya tidak shohih dan ciri kelemahannya itu setan atau iblis itu tidak bodoh sampai mau meletakkan kepalanya dibawah jari orang yang menggerak-gerakkannya sehingga setan itu terpukul dan terpental. Orang yang mengatakan bahwa ungkapan semacam itu dhahir maka dia salah dan tidak memahami ta’wil. Sedangkan riwayat Abdullah bin Zubair yang memuat kata-kata La Yuharrikuha (tidak menggerak-gerakkannya) itu adalah tsabit (kuat) tidak dinilai syadz dan hadits shohih lainnya pun menguatkannya seperti hadits riwayat Muslim dari Abdullah bin Umar ra. dan lain-lain. 

    - Para Imam (Mujtahidin) pun tidak mengamalkan hadits yang mengisyaratkan tahrik itu, termasuk ulama dahulu dari kalangan Imam Malik (Malikiyyah) sekali pun. Orang yang melakukan tahrik itu bukan dari madzhab Malikiyyah dan bukan juga yang lainnya. Al-Hafidh Ibn Al-‘Arabi Al-Maliki dalam ‘Aridhat Al-Ahwadzi Syarh Turmduzi II/85 menyatakan; “Jauhilah olehmu menggerak-gerakkan jarimu dalam tasyahhud, dan janganlah berpaling keriwayat Al-‘Uthbiyyah, karena riwayat tersebut baliyyah (mengandung bencana)”. 
    - Al-Hafidh Ibn Al-Hajib Al-Maliki dalam Mukhtashar Fiqh-nya mengatakan bahwa yang masyhur dalam madzhab Imam Malik adalah tidak menggerakkan telunjuk yang di-isyarat kan itu.
    - Tiga imam madzhab lainnya yakni Hanafi, Syafi’i dan Hanbali tidak memakai dhohir hadits Wa’il bin Hujr tersebut sehingga dapat kita jumpai fatwa beliau bertiga tidak mensunnahkan tahrik. Hal ini disebabkan karena mensunnahkan tahrik berarti menggugurkan hadits Ibnu Zubair dan hadits-hadits lainnya yang menunjukkan Nabi saw. tidak menggerak-gerakkan telunjuk.
    - Imam Baihaqi yang bermadzhab Syafi’i memberi komentar terhadap hadits Wa’il bin Hujr sebagai berikut : “Terdapat kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan tahrik disitu adalah mengangkat jari telunjuk, bukan menggerak-gerakkannya secara berulang sehingga dengan demikian tidaklah bertentangan dengan hadits Ibnu Zubair”.

    Kesimpulan Imam Baihaqi adalah hasil dari penerapan metode penggabungan dua hadits yang berbeda karena hal tersebut memang memungkinkan. Kalau mengikuti komentar Imam Baihaqi ini, memang semulanya jari telunjuk itu diam dan ketika sampai pada hamzah illallah ia kita angkat, maka itu menunjukkan adanya penggerakan jari telunjuk tersebut, tetapi bukan digerak-gerakkan berulang-ulang sebagaimana pendapat sebagian orang. Wallahu a’lam.
    (Makalah 'Tidak mengerak-gerakkan jari telunjuk ketika Tasyahhud' ini, kami susun secara bebas dari kitab Shalat Bersama Nabi saw. karya Hasan Bin ‘Ali As-Saqqaf ,terbitan Dar al-Imam Nawawi, Oman,Jordania] cet. pertama, 1993 hal.187, diterjemahkan oleh Drs.Tarmana Ahmad Qosim  dan dari buku Argumentasi ulama Syafi’iyah oleh Ustadz H.Mujiburrahman).

    Mencukur jenggot atau memelihara jenggot
    Ada diantara kaum muslimin yang suka memelihara jenggot sering mengeluarkan pernyataan bahwa mencukur jenggot itu hukumnya haram dan menyerupai orang-orang musyrik. Selanjutnya mereka berkata bahwa Rasulallah saw dan para sahabatnya tidak pernah mencukur jenggot. Mereka juga kurang senang bila bergaul dengan orang yang tidak memelihara jenggot.
    Dalam kitab Yas’alunaka fid-din wal hayat jilid 1/23 karangan Dhr.Ahmad Syarbashi terdapat sebuah pertanyaan dari kelompok pemelihara jenggot yang ditujukan kepada seorang Syeikh, yang sedang mengajar disebuah masjid. Pertanyaannya adalah: “Sahkah shalat seseorang yang bermakmum kepada imam yang mencukur jenggot”? Syeikh tersebut menjawab:”Ya, sah shalatnya itu”. Mendengar jawaban tersebut, sang penanya bereaksi keras, sambil berkata: “Tidak!, shalat orang tersebut batal”. Maka terjadilah perdebatan yang sengit.
    Orang yang mengatakan bahwa batal shalat dibelakang imam yang tidak memelihara jenggot berarti dia telah membatalkan shalat jutaan muslimin –baik yang berada dinegara-negara Arab (termasuk saudi arabia) maupun dinegara lainnya– yang mencukur atau tidak memelihara jenggot. Sehingga berlakulah hukum bahwa mereka itu tidak melakukan shalat, karena yang batal sama dengan tidak ada. Begitu juga kalau kita membaca hadits Rasulallah saw bahwa syarat-syarat untuk menjadi imam tidak disebutkan harus memelihara jenggot atau paling panjang jenggotnya. Dari penuturan penanya diatas tersebut, terkadang-kadang kelompok pemelihara jenggot itu sangat keras dan cenderung melecehkan saudara-saudara mereka yang tidak memelihara jenggot dengan tuduhan ‘tidak mau melaksanakan sunnah’ atau dituduh telah melakukan bid’ah sesat. Padahal masalah furu’ tidaklah pantas dijadikan sebagai materi perdebatan sengit, yang sampai memutuskan silatorrohmi diantara kita. 

    Hadits dari Ibnu Mas’ud yang berkata bahwa Nabi saw bersabda:  “Hendaklah yang menjadi imam itu adalah orang yang paling pandai membaca Al-Qur’an. Apabila mereka sama-sama pandai dalam membaca Al-Qur’an, maka hendaklah yang paling mengerti tentang sunnah. Apabila mereka sama-sama mengerti tentang sunnah, maka hendaklah yang terlebih dulu melakukan hijrah. Apabila mereka sama-sama terdahulu melakukan hijrah, maka hendaklah yang paling tua umurnya. Dan janganlah seseorang mengimami orang lain yang sedang berada ditempat kekuasaannya dan jangan pula dia duduk dirumahnya diatas tempat yang dihormati kecuali dengan izinnya” .Dalam hadits ini jelas menyebutkan ciri-ciri orang yang pantes menjadi imam, tanpa penyebutan yang memelihara jenggot. 

    Fatwa-fatwa para ulama yang berkaitan dengan memelihara jenggot
    Sebagian besar ulama memakruhkan, sebagian lagi membolehkannya (lihat Ibn ‘Abd al-Barr, al-Tamhîd, juz 24, hal. 145). Salah seorang ulama yang membolehkan memotong sebagian jenggot adalah Imam Malik, sedangkan yang memakruhkan adalah Qadliy ‘Iyadh. Memelihara jenggot, semua ulama sepakat bahkan mayoritas kaum muslimin secara umum mengakui kebaikannya, karena sebagai sunnah Rasulallah saw dan para sahabatnya. Dikalangan ulama, hukum mencukur jenggot itu terdapat khilaf. Untuk menarik hukum mencukur jenggot dan memelihara jenggot harus diketengahkan terlebih dahulu hadits-hadits yang berbicara tentang pemeliharaan jenggot dan pemangkasan jenggot.

    Berikut ini adalah riwayat-riwayat yang berbicara tentang masalah pemeliharaan jenggot:
    – Pada jilid pertama dari Hasyiah kitab Fathul Mun’im karangan Syeikh Muhamad Habibullah As-Syanqithi ketika membicarakan hadits ‘Bedakanlah dirimu dengan orang-orang musyrik, cukur kumis dan pelihara (lebatkan) jenggot, –dalam satu riwayat–  dan tinggalkan jenggot itu’, beliau berkata: “Tatkala bencana mencukur jenggot telah merajalela diseluruh negeri belahan timur, sampai-sampai mayoritas umat Islam ikut-ikutan mencukur jenggot karena takut ditertawakan orang. Hal itu telah menjadi kebiasaan mereka, maka akupun melakukan pembahasan yang teliti dari sumber aslinya dan sebagai kesimpulanku adalah bolehnya mencukur jenggot itu. Sehingga bagi sebagian ulama ada alternatif lain selain dari melakukan perbuatan haram. Aku berpatokan pada sebuah kaidah ushul dimana bentuk kata af’il menurut pendapat mayoritas adalah lil-wujub (menunjuk hukum wajib) dan menurut pendapat lainnya adalah lin-nadb (menunjuk hukum sunnah). Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya itu ditafshil. Kalau datangnya dari Allah didalam Al-Qur’an, maka dia lil-wujub. Dan jika dari Nabi saw sebagaimana pada hadits tersebut –yang memiliki dua riwayat, satu dengan aufiruu dan satunya lagi dengan a’fuu– maka dia lin-nadb. Pengarang kitab Shoohibu Marooqis Shu’ud fii ‘ilmil ushuul ketika membicarakan bentuk kata af’al mengisyaratkan kepada pendapat-pendapat ini. Beliau berkata : ‘Bentuk kata af’il -menurut mayoritas ulama adalah lil-wujub. Satu pendapat mengatakan lin-nadb atau lil-mathlub. Pendapat yang lain mengatakan bahwa kalau perintah itu dari Allah, maka dia lil-wujub sedangkan kalau dari Rasul, maka dia lin-nadb’”.  

    Dalam kitab Fiqih Sunnah terjemahan indonesia oleh Sayid Sabiq ,cetakan pertama tahun 1973,jilid 1 bab sunnah-sunnah dan fitrah dari halaman 73 sampai dengan halaman 83, disitu antara lain disebutkan yang termasuk sebagai sunnah dan fitrah ialah;  memotong kuku, menggunting bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memendekkan kumis atau memanjangkannya dan membiarkan jenggot dan memangkasnya tidak sampai jadi lebat. Dibuku ini juga ditulis, bahwa memendekkan kumis atau memanjangkannya, kedua-duanya berdasarkan riwayat yang sah, umpamanya dalam hadits Ibnu Umar disebutkan sebagai berikut: “Bahwa Nabi telah bersabda: ‘Lainilah kaum musyrikin, melebatkan jenggot dan memanjangkan kumis’ “. Sementara dalam hadits Abu Hurairah ra dikatakan: Telah bersabda Nabi saw: “Lima perkara berupa fithrah, yaitu:‘memotong bulu kemaluan, berkhitan, memotong kumis, mencabut bulu ketiak dan memotong kuku’”. (HR.Jamaah). Sedangkan dalam hadits dari Zaid bin Arqam ra: “Bahwa Nabi saw, bersabda: ‘Barangsiapa yang tidak memotong kumisnya, tidaklah termasuk golongan kami’”. (HR.Ahmad, Nasa’i dan Turmudzi yang menyatakan sahnya). 
    Dengan demikian tiada terdapat ketentuan, dan mana diantara keduanya (memotong atau memendekkan/memotong kumis) yang patut disebut sunnah. Tetapi prinsipnya ialah agar kumis itu tiada terlalu panjang hingga menyangkut makanan dan minuman, dan supaya kotoran tidak bertumpuk disana.

    Selanjutnya dibuku yang sana ini ditulis, bahwa menggunting bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong atau memanjangkan kumis itu, disunatkan tiap minggu demi menjaga, menyempurnakan kebersihan dan menyenangkan hati karena terdapatnya rambut dibadan menyebabkan kejengkelan dan kegelisahan. Membiarkan semua ini diberi kesempatan selama 40 hari, tidak ada alasan untuk memperpanjangnya lagi setelah itu. Dasarnya adalah hadits Anas ra : “Kami diberi tempo oleh Nabi saw dalam memotong kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, menggunting bulu kemaluan agar tidak dibiarkan lebih dari 40 malam”. (HR.Ahmad, Abu Daud dll.)
    Dihalaman 76 pada kitab fiqih sunnah sayid sabiq tersebut, tertulis sebagai berikut: “Membiarkan jenggot dan memangkasnya tidak sampai jadi lebat, hingga seseorang tampak berwibawa. Jadi jangan dipendekkan seakan-akan dicukur, tapi jangan pula dibiarkan demikian rupa hingga kelihatan tidak terurus, hanya hendaklah diambil jalan tengah karena demikian itu, adalah baik. Dasarnya adalah hadits dari Ibnu Umar ra:  “Telah bersabda Rasulallah saw.: ‘Lainilah orang-orang musyrikin, melebatkan jenggot dan memendekkan kumis’”. (Disepakati oleh ahli-ahli hadits sementara Bukhori menambahkan: ‘Bila Ibnu Umar naik haji atau ‘umrah, dipegang jenggotnya, dan mana-mana yang berlebih di potong’).
    Dengan keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa melebatkan jenggot dan memanjangkan atau memendekkan kumis, memotong kuku dan sebagainya termasuk amalan sunnah bukan sebagai wajib, oleh karenanya sayid Sabiq menulis masalah ini dalam bab Sunnah-Sunnah dan Fitrah . Demikianlah tulisan sayid Sabiq.  

    Hadits riwayat imam Muslim diatas 'Lainilah kalian dengan orang-orang musyrik, pendekkanlah kumis, dan panjangkanlah jenggot’,  imam An-Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan, bahwa dhahir hadits diatas adalah perintah untuk memanjangkan jenggot, atau membiarkan jenggot tumbuh panjang seperti apa adanya. Qadliy Iyadh menyatakan: ‘Hukum mencukur, memotong, dan membakar jenggot adalah makruh.

    Menurut Imam An-Nawawi, para ulama berbeda pendapat, apakah satu bulan itu merupakan batasan atau tidak untuk memangkas jenggot (lihat juga penuturan Imam Ath-Thabari dalam masalah ini; al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Bârî, juz 10, hal. 350-351).Sebagian ulama tidak memberikan batasan apapun. Namun mereka tidak membiarkannya terus memanjang selama satu bulan, dan segera memotongnya bila telah mencapai satu bulan.



    Dari ‘Atha dan para ulama lain, dituturkan bahwasanya larangan mencukur dan menipiskan jenggot dikaitkan dengan tasyabbuh, atau menyerupai perbuatan orang-orang kafir, yang saat itu biasa memangkas jenggot dan membiarkan kumis. Pendapat ini dipilih oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar.

    Sedangkan Imam An-Nawawi menyatakan, bahwa yang lebih tepat adalah membiarkan jenggot tersebut tumbuh apa adanya, tidak dipangkas maupun dikurangi (Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 3, hal. 151). Pendapat Imam An-Nawawi ini disanggah oleh Imam Al-Bajiy. Beliau menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan memanjangkan jenggot adalah bukan membiarkan jenggot panjang seluruhnya, akan tetapi sebagian jenggot saja. Sebab, jika jenggot telah tumbuh lebat lebih utama untuk dipangkas sebagian- nya, dan disunnahkan panjangnya serasi.


    Imam At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Amru bin Syu’aib, dari bapaknya dari kakeknya, bahwasanya Rasulullah Saw memangkas sebagian dari jenggotnya, hingga panjangnya sama. Diriwayatkan juga, bahwa Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar memangkas jenggot jika panjangnya telah melebihi genggaman tangan. Ini menunjukkan, bahwasanya jenggot tidak dibiarkan memanjang begitu saja –sebagaimana pendapat Imam An-Nawawi–, akan tetapi boleh saja dipangkas, asalkan tidak sampai habis, atau dipangkas bertingkat-tingkat (Imam Zarqâniy, Syarah Zarqâniy, juz 4, hal. 426).


    Imam Malik juga memakruhkan jenggot yang dibiarkan panjang sekali. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa panjang jenggot yang boleh dipelihara adalah segenggaman tangan. Bila ada kelebihannya (lebih dari segenggaman tangan) harus dipotong. Sebagian lagi memakruhkan memangkas jenggot, kecuali saat haji dan umrah saja (lihat Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, hadits no. 383; dan lihat juga Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Bârî, hadits. No. 5442)

    Menurut Imam Ath-Thabari, para ulama juga berbeda pendapat dalam menentukan panjang jenggot yang harus dipotong. Sebagian ulama tidak menetapkan panjang tertentu, akan tetapi dipotong sepantasnya dan secukupnya. Imam Hasan Al-Bashri biasa memangkas dan mencukur jenggot, hingga panjangnya pantas dan tidak merendahkan dirinya. 

    Dalam kitab Al-Halal wal Haram halaman 93 Syeikh Yusuf Qordhowi menjelaskan sebagai berikut : “Dalam hal mencukur jenggot terdapat tiga pendapat:
    a. Haram. Pendapat ini disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dan yang lainnya.b. Makruh. Pendapat ini disebutkan dalam kitab Al-Fath dari Qodhi ‘Iyadh dan tidak disebutkan dari selain beliau. c. Mubah. Pendapat ini diketengahkan oleh sebagian ulama-ulama mutaakhkhirin. Mungkin dari tiga pendapat diatas, yang agak mendekati kebenaran adalah pendapat yang mengatakan makruh. Hal ini karena perintah memelihara jenggot sebagaimana tersebut dalam hadits itutidaklah menunjuk hukum wajib secara pasti, meskipun disebut kan bahwa illatnya adalah untuk membedakan diri dengan orang-orang kafir. Perbandingan yang dekat untuk hal ini adalah adanya perintah didalam hadits untuk menyemir uban agar berbeda dengan orang-orang yahudi dan nashara, dan ternyata sebagian sahabat tidak melaksanakannya. Ini menunjukkan bahwa perintah disitu adalah untuk hukum sunnat. Memang benar bahwa tidak ada dinukil adanya seorang pun dari ulama salaf yang mencukur jenggot. Namun mungkin saja yang  demikian itu dikarenakan mereka tidak ada keperluan untuk mencukur jenggot dan juga karena itu telah menjadi kebiasaan mereka”.  Demikianlah tulisan Syeikh Yusuf Qordhowi.

    Syeikh Dr Ahmad Syarbashi dalam kitabnya Yas’aluunaka fid din wal-hayat jilid VI/370 menjelaskan sebagai berikut : “Sebagian fuqoha (para ahli fiqih) memandang bahwa memelihara jenggot itu termasuk satu perkara wajib. Jumhur ulama memandangnya sebagai perkara sunnat, yang apabila dikerjakan maka diberi pahala dan apabila ditinggalkan maka tidak akan disiksa. Dan sebagian ulama mutaakkhirin memandang bahwa memelihar jenggot adalah satu perbuatan yang tidak masuk dalam substansi perkara-perkara agama”. 
    Dari beberapa penjelasan ulama tentang hukum memelihara jenggot ini, dapatlah diketahui bahwa hanya sebagian ulama yang mengatakan ‘wajib’,  sehingga berdampak kepada haramnya mencukur jenggot. Masih ada pendapat lain yang mengatakan ‘makruh’  dan juga yang mengatakan ‘mubah’. Namun sayangnya, kelompok yang memilih hukum ‘wajib’ itu telah menyampaikan dakwahnya ketengah-tengah masyarakat dengan cara yang vulgar dan sporadis, bahkan cenderung merendahkan dan menyalahkan pendapat yang selainnya. 

    Dalil-dalil mereka yang mewajibkan memelihara jenggot
    Diantara dalil yang dipakai untuk mewajibkan memelihara jenggot adalah hadits riwayat Bukhori dari Ibnu Umar ––sebagaimana yang telah dikemukakan dalam tulisan sayid Sabiq––.: ‘Lainilah orang-orang musyrikin, melebatkan jenggot dan memendekkan (menggunting) kumis’. Menurut mereka, hukum asal dari setiap perintah adalah wajib. Dan dalam hal perintah memelihara jenggot mereka memakai hukum asal tersebut. 

    Jawaban
    Menjadikan hadits diatas sebagai dalil untuk mewajibkan memelihara jenggot, perlu kiranya kami tambahkan lagi wejangan serta penjelasan dari ulama antara lain:
    Syeikh Dr Mahmud Saltut, dalam kitabnya Al-Fatawa, yang berkaitan dengan masalah tersebut. Syeikh Mahmud Saltut berkata: “Apa yang kita ketahui dari hadits-hadits Rasulallah saw bahwa selain dia (hadits) menunjukkan wajib, juga menunjukkan kepada yang lebih utama. Yang diharamkan sama dengan orang-orang musyrik adalah pada perkara-perkara yang berkaitan dengan agama mereka. Adapun dalam hal adat dan kebiasaan umum, maka tidaklah dilarang, tidak makruh dan tidak juga haram. Pernah ditanyakan kepada Abu Yusuf ,murid imam Abu Hanifah, sewaktu beliau memakai sandal yang dipaku: ‘Benarkah banyak ulama yang tidak senang kepada sandal yang dipaku, sebab ada persamaan dengan para pendeta…’? Abu Yusuf menjawab: ‘Rasulallah saw biasa memakai sandal yang berbulu dan sandal yang demikian adalah pakaian pendeta’.Dan kalau kita pegangi dasar hukum haram yang didasarkan kepada adat-istiadat orang diluar Islam dan tradisi yang temporer (sementara), maka sekarang ini kita justru berkewajiban melarang orang memelihara jenggot, karena memelihara jenggot termasuk adat para pendeta dan pembesar agama diseluruh dunia (dari agama yahudi, nashara, hindu, pen.). Juga kita wajib mengharamkan memakai topi. Dengan demikian, maka kebiasaan umum yang terjadi disuatu masyarakat tidak bisa disangkut-pautkan dengan agama atau kefasikan dan tidak ada hubungannya dengan iman atau kufur. Pada dasarnya, soal pakaian dan hal-hal lain yang bersifat pribadi seperti mencukur jenggot adalah adat-istiadat yang harus tunduk kepada apa yang dikatakan baik oleh lingkungannya. Barangsiapa hidup dalam lingkungan yang menganggap baik sesuatu dari cara-cara tersebut, maka ia akan mengikutinya dan keluar dari kebiasaan lingkungan dianggap sebagai sesuatu yang aneh”. Demikian dikatakan oleh Syeikh Dr.Mahmud Saltut.

    –  Dr.Abu Zahrah dalam kitabnya Ushulul Fiqh halaman 115 ketika membicarakan tentang ‘perbuatan-perbuatan Rasul’ berkata sebagai berikut: “Pendapat yang mengatakan bahwa memelihara jenggot itu termasuk adat kebiasaan dan bukan termasuk syariat menetapkan bahwa larangan mencukur jenggot itu sesuai ijma’tidaklah bersifat mengikat karena dia di-illatkan dengan adanya penyerupaan terhadap orang-orang yahudi dan juga orang-orang ajam (non arab), yang suka memanjangkan kumis dan mencukur jenggot. Dan illat inilah yang menunjukkan bahwa perbuatan Nabi yang memelihara jenggot itu termasuk bagian dari adat kebiasaan. Inilah pendapat yang kami pilih”. Demikianlah pendapat Dr.Abu Zahrah. 
    Tampak jelas dari dua penjelasan terakhir diatas dari dua ulama itu, dimana mereka berdua cenderung kepada pendapat yang mengatakan bahwa perbuatan Nabi saw yang memelihara jenggot itu adalah bagian dari adat kebiasaan yang tentunya ‘tidak wajib’  tetapi sunnah untuk diikuti dan tidak haram untuk disalahi. Memang kalau hadits yang memerintahkan kita untuk membedakan diri dengan orang-orang musyrik itu dijadikan dalil untuk mewajibkan memelihara jenggot , karena orang-orang musyrik dizaman Nabi dan para sahabat suka mencukur jenggot maka sekarang ini justru orang-orang yang memelihara jenggot itu wajib mencukur jenggotnya karena kalau tidak, mereka kelihatan sama dengan orang-orang musyrik. Kita sekarang bisa lihat sendiri betapa banyaknya para pendeta kristen terutama yang berdomicili di timur tengah, para rabin yang beragama yahudi, para pedanda yang beragama hindu dan pembesar-pembesar agama lainnya, mereka semua adalah orang-orang musyrik yang suka juga memelihara jenggot. Jadi kalau orang yang memelihara jenggot tidak mencukur jenggotnya, maka akan kelihatan sama dengan orang-orang musyrik itu dan mereka tidak melaksanakan hadits yang memerintah kan untuk berbeda dengan orang-orang musyrik. Karena adanya konsekwensi hukum yang seperti inilah, maka kedua ulama kenamaan diatas tidak menjadikan hadits tersebut sebagai dalil untuk mewajibkan memelihara jenggot. Sekali lagi, tidak ada yang mengingkari kebaikan dari memelihara jenggot itu. Yang diingkari hanyalah mem-vulgarkan hukum memelihara jenggot dan menyerukannya secara sporadis, tanpa sedikitpun mempertimbangkan pendapat-pendapat ulama lainnya. Dan cara dakwah yang seperti ini telah berimplikasi kepada tuduhan bahwa orang yang mencukur jenggot itu telah melakukan perbuatan yang haram. Begitu juga dengan semua keterangan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa memangkas sebagian jenggot hukumnya adalah mubah. Sedangkan mencukurnya hingga habis, hukumnya adalah makruh tidak sampai ke derajat haram. Adapun hukum memeliharanya adalah sunnah (mandub). Wallahu a’lam.

    Hukum menjatuhkan talak tiga sekaligus
    Sering kita mendengar dari kaum muslimin bahwa talak tiga sekaligus itu berarti jatuh talak satu dan sisuami masih berhak rujuk kepada isterinya. Tetapi menurut para imam mujtahid yang empat dan para ulama Islam yang terkenal ,khususnya dalam madzhab imam Syafi’i, menetapkan bahwa hukum talaq tiga sekaligus adalah jatuh tiga.
    Dalam kitab Fiqih empat madzhabAl-fiqih ‘Alal Mazaahabil Arba’ah’ jilid IV/341 disebutkan sebagai berikut: “Apabila seseorang mentalaq isterinya dengan talak tiga sekaligus seumpama berkata kepada istrinya ‘Engkau tertalak tiga’, maka jatuhlah sebanyak bilangan yang diucapkannya (yakni talak tiga) itu menurut madzhab yang empat dan itulah fatwa segolongan besar ulama Islam”. 

    Dalil-dalil hadits yang berkaitan dengan talak tiga sekaligus.
    –  Hadits riwayat imam Bukhori dari Aisyah ra yang berkata: “Bahwa seorang lelaki mentalak istrinya dengan talak tiga sekaligus. Maka kawinlah mantan istrinya itu (dengan lelaki yang lain). Suaminya yang kedua itupun lalu mentalaknya. Maka ditanyalah Nabi saw: ‘Apakah ia halal untuk suaminya yang pertama’? Nabi saw menjawab: ‘Tidak, sehingga suaminya yang kedua itu merasakan manisnya sebagaimana telah dirasakan oleh suaminya yang pertama’”.
    Dalam riwayat Bukhori yang lain diterangkan bahwa nama suami pertama wanita itu adalah Rifa’ah al-Qurazhi dan nama suaminya yang kedua adalah Abdurrahman bin Zubair. Dalam hadits ini terlihat dengan jelas bahwa talak tiga sekaligus adalah jatuh tiga, karena Nabi saw mengatakan bahwa wanita itu boleh kawin lagi dengan suaminya yang pertama, apabila dia dengan suami yang kedua itu telah merasakan manisnya pergaulan (bersetubuh). 

    – Hadits riwayat Bukhori yang menerangkan tentang seorang lelaki bernama Umar al-Ajlani, yang telah melakukan mula’anah (kutuk mengutuk) dengan istrinya. Sesudah terjadinya mula’anah itu, ia berkata kepada Nabi saw: “Wahai Rasulallah, kalau saya tahan juga wanita itu, maka tentu saya dianggap bohong. Maka ditalaklah isterinya itu dengan talak tiga sekaligus sebelum diperintahkan oleh Rasulallah saw”. 
    Kalau pada hadits yang pertama diatas diterangkan tentang peristiwa antara Rifa’ah al-Qurazhi yang mentalak isterinya dengan talak tiga lalu hal tersebut disampaikan kepada Nabi saw, berarti kejadian tersebut berlangsung bukan dihadapan Nabi saw. Adapun dalam hadits yang kedua diatas peristiwa yang sama yakni perceraian dengan talak tiga sekaligus terjadi justru dihadapan Nabi sendiri. Pada kedua-dua peristiwa itu, baik yang dihadapan beliau saw maupun tidak, beliau tidak marah bahkan menerima dengan baik. Inilah bukti yang kuat bahwa talak tiga sekaligus itu adalah jatuh tiga. Inilah pula yang dinamakan takrir atau ketetapan Nabi yang derajatnya sama dengan ucapan Nabi saw sendiri. 

    – Hadits riwayat Nasa’i : “Fathimah binti Qais berkata: ‘Aku pernah mendatangi Rasulallah saw lalu akau berkata: Saya adalah anak wanita keluarga Khalid dan sesungguhnya suamiku si fulan telah mengirim talak kepada saya dan saya telah minta nafkah berikut perumahan kepada keluarganya, namun mereka enggan memberikannya’. Mereka (para keluarga suamiku) berkata:’Wahai Rasulallah, suaminya sudah mengirim kepadanya tiga talak ’. Fathimah berkata, ‘(mendengar itu) Rasulallah bersabda: ‘Nafkah dan perumahan hanyalah untuk wanita yang mana suaminya masih boleh rujuk kepadanya’ ” .
    Dalam keterangan hadits yang lain disebutkan nama suami Fathimah binti Qais itu adalah Abu Umar bin Hafash dari Bani Makhzum. Dia ini mengirimkan surat talak kepada istrinya si Fathimah yang berasal dari suku Khalid bin Walid. Fathimah mengadukan hal ini kepada Rasulallah saw dan mengabarkan bahwa dia telah meminta kepada keluarga suaminya agar memberikan nafkah iddah dan juga perumahan. Namun keluarga suaminya enggan memberikan karena talak yang di jatuhkan kepadanya adalah talak tiga. Rasulallah saw justru membenarkan tindakan keluarga suami Fathimah, yang tidak mau memberikan nafkah dan perumahan itu. Ini terbukti dengan ucapan beliau saw : ‘Nafkah dan perumahan hanyalah untuk wanita yang mana suaminya masih boleh rujuk kepadanya’. Ini juga membuktikan bahwa talak tiga sekaligus memang terjadi dizaman Nabi saw. 

    – Hadits riwayat Ibnu Majah dari Amir as-Syu’bi, beliau berkata : “Saya berkata kepada Fathimah binti Qais; ‘kabarkanlah kepada saya tentang perceraian engkau’. Maka jawab- nya: ‘Suamiku telah menjatuhkan kepadaku talak tiga sekaligus ketika dia sedang di Yaman dan Rasulallah saw membolehkan yang demikian itu’ “.Dalam hadits ini masih berkaitan dengan peristiwa tertalaknya Fathimah binti Qais dengan talak tiga sekaligus.

    – Hadits riwayat Baihaqi dari Nu’man bin Abi Iyasi, bahwasanya dia pernah duduk disamping Abdullah bin Zubair dan Ashim bin Umar, lalu datanglah Muhamad Iyas bin Bakir dan berkata: “Sesungguhnya seorang lelaki Badui telah mentalak isterinya dengan talak tiga sekaligus sebelum ia mencampuri istrinya itu. Bagaimana pendapat anda berdua? Ibnu Zubair berkata: ‘Dalam masalah ini kami tidak punya pendapat. Pergilah kepada Ibnu Abbas dan Abi Hurairah, keduanya saya tinggalkan didekat Aisyah. Bertanyalah kepada keduanya (mengenai masalah ini) kemudian datanglah kembali kepada kami untuk memberitahu kami jawabannya’. Muhamad bin Iyas pun segera pergi menuju Ibnu Abbas dan Abi Hurairah, lalu ia menanyakan masalah tersebut kepada keduanya. Berkatalah Ibnu Abbas kepada Abi Hurairah –radhiyallahu‘anhuma–, ‘berilah dia fatwa wahai Abu Hurairah’. Sesungguhnya dia datang kepadamu dalam keadaan ragu. Maka berkatalah Abu Hurairah ra; ‘Talak satu membikin wanita itu menjadi ba’in dan talaq tiga menyebabkan dia haram, kecuali setelah dia menikah dengan suami yang lain’. Ibnu Abbas menyetujui fatwa Abu Hurairah itu. Beliau berdua tidak mencela talak tiga sekaligus. Demikian juga halnya Aisyah”. (Hadits ini juga tercantum dalam kitab Al-Umm V/139).
    Dari hadits ini dapat dipahami sahabat-sahabat Nabi saw yang utama yaitu Abu Hurairah dan Ibnu Abbas, begitu juga Aisyah ra memfatwakan bahwa talak tiga sekaligus adalah jatuh tiga dan talak satu bagi wanita yang belum dicampuri menjadi talak ba’in sughra yaitu tidak boleh rujuk lagi kecuali dengan akad nikah yang baru. Kedua sahabat itu dan Aisyah [ra] tidak mencela terjadinya perceraian dengan talak tiga sekaligus.

    – Hadits riwayat Thabrani dan Baihaqi dari Su’aid bin Ghaflah, dia berkata: “Pernah Aisyah al-Khats’amiyah berada disamping suaminya Hasan bin Ali –radhiyallahu  ‘anhuma. Maka berkatalah sayidina Hasan kepada istrinya itu: ‘Ali karromallahu wajhah telah terbunuh’. Istrinya berkata: ‘Engkau akan disulitkan oleh soal khilafah (pemerintahan)’. Hasan berkata: ‘Sayidina Ali telah dibunuh namun engkau menampakkan celaan, pergilah engkau dan engkau aku talak tiga’. Maka istrinya itu menutup badannya dengan kain dan duduk sendirian sambil menanti habis iddahnya. Sayidina Hasan pun mengirimkan kepadanya sisa dari maharnya dan ditambah dengan 10 ribu dirham sebagai sedekah. Tatkala utusan Hasan datang membawa hal tersebut, berkatalah istrinya itu; ‘ini adalah harta yang sedikit dari sang kekasih yang telah menceraikan’. Tatkala ucapan ini sampai ketelinga Hasan menangislah, ia kemudian berkata; ‘Andai saja aku tidak mendengar kakekku (yakni Rasulallah saw) atau aku tidak diceriterakan oleh ayahku (Ali bin Abi Thalib kw)  bahwasanya ia telah mendengar kakekku itu bersabda; ‘Mana saja seorang lelaki yang mentalak istrinya dengan talak tiga diketika sucinya atau pada ketika apapun, maka tidaklah dia halal baginya, sehingga istrinya menikah dengn suami yang lain, maka tentu aku akan merujuknya’ ‘’. Hadits ini merupakan juga dalil bahwasannya talak tiga sekaligus adalah jatuh tiga, dan wanita yang tertalak itu tidak boleh dirujuk kembali.

    Fatwa dalam madzhab Maliki
    – Hadits yang terdapat dalam kitab Al-Muwatta’. Dari Malik, telah sampai padaku bahwasanya Ali bin Thalib berfatwa tentang lelaki yang berkata kepada istrinya dengan  ‘Engkau haram atasku’ bahwasanya itu merupakan talak tiga’.   
    Dari hadits ini dapat dipahami juga bahwa sayidina Ali kw memberi fatwa terhadap ucapan talak secara kinayah yakni ‘Engkau haram atasku’ bahwa ucapan ini berakibat jatuhnya talak tiga, padahal disitu tidak disebutkan bilangan tiga secara terang-terangan. Sudah tentu akan lebih layak lagi jatuhnya talak tiga sekaligus jika dalam ucapan talaknya itu secara nyata disebutkan bilangan tiga.

    – Dalam kitab Muqaddimah jilid II/76-77 disebutkan sebagai berikut : “Dan begitu juga tidak boleh menurut imam Malik mentalak istri dengan talak tiga sekaligus, namun kalau dilakukan juga, maka jatuhlah talak tiga. Hal ini berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla ; ‘Demikianlah batasan-batasan Allah, maka janganlah kamu melampauinya dan barangsiapa melampaui batasan-batasan Allah, maka ia telah menganiaya dirinya sendiri. Engkau tidak mengetahui bahwa mungkin Allah akan mendatangkan sesuatu perkara sesudah yang demikian itu’. Perkara dimaksud adalah rujuk. Maka Allah telah menjadikan wanita dimaksud, sebagai wanita yang hilang (tidak dapat lagi didekati oleh suami) dengan sebab jatuhnya talak tiga sekaligus, karena kalau (talak seperti itu) tidak jatuh dan tidak pula mempunyai akibat hukum niscaya tidaklah dia kehilangan isteri dan tidak pula dia menganiaya diri sendiri. Dan tidak pula Rasulallah saw mengharuskan Abdullah bin Umar untuk merujuk isteri yang telah ditalaknya pada waktu haidh dimana beliau saw bersabda:  ‘Suruh dia merujuk isterinya’. Ini juga menunjukkan bahwa talak yang berdasarkan sunnah atau tidak berdasarkan sunnah dihukumkan jatuh dan dialah madzhab para fuqaha dan ulama-ulama Islam pada umumnya. Tidak ada yang menyimpang dari mereka dalam masalah ini kecuali segelintir orang yang penentangannya itu tidak perlu diperhatikan”. 
    Berdasarkan keterangan dalam kitab Muqaddimah ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
    Menurut madzhab Maliki tidak boleh menjatuhkan talak tiga sekaligus, tetapi kalau itu terjadi maka talak dianggap sah dan berlaku sebagai talak tiga. Dalilnya ialah firman Allah dalam surat at-Thalaq ayat 2, yang menyatakan bahwa orang-orang yang menjatuhkan talak dengan cara yang bukan sunnah, maka berarti ia telah menganiaya diri sendiri, dikarenakan ia tidak boleh kembali kepada istrinya itu, padahal sewaktu-waktu ia bisa saja berubah pikiran yakni bermaksud untuk kembali, namun hal itu sudah tidak mungkin dikarenakan oleh perbuatannya sendiri. Ini adalah bukti bahwa talak tiga sekaligus yang bukan menurut sunnah adalah terhitung talak tiga. Karena kalau cara yang seperti itu tidak sah dan tidak berlaku, maka tentulah ia tidak kehilangan isteri dan tidak pula teranggap menganiaya diri sendiri. Nabi saw menyuruh Ibnu Umar supaya ia kembali kepada istrinya yang diceraikan nya ketika tengah haid dan cerainya dihitung satu kali. Walaupun talaknya itu tidak menurut sunnah namun toh talaknya jatuh juga.
    Dan dalam kitab Muqaddimah disebutkan juga bahwa fatwa seperti ini adalah fatwa para ulama ahli fiqih dan mayoritas ulama Islam. Yang keluar dari fatwa ini hanyalah segelintir orang yang tidak perlu diperhatikan.

    Fatwa dalam madzhab Syafi’i
    – Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm jilid V/138 menyebutkan: “Allah swt telah berfirman ‘Talak itu dua kali, maka boleh kamu rujuk lagi secara patut atau melepaskannya dengan cara yang baik’. Allah swt juga berfirman ‘Lalu jika suami mentalaknya (sesudah cerai yang kedua), maka tidaklah si wanita itu halal baginya, sehingga dia kawin lagi dengan suami yang lain’. Dengan demikian Al-Qur’an tersebut menunjukkan –wallahu a’lam–  bahwa orang yang mentalak istrinya dengan talak tiga sekaligus, baik sesudah digauli atau belum, maka tidaklah mantan istrinya itu halal baginya sehingga ia kawin lagi dengan suami yang lain. Maka apabila seorang lelaki berkata kepada istrinya dengan ucapan ‘Engkau tertalak tiga’ menjadi haramlah ia baginya kecualai kalau sudah kawin lagi dengan suami yang lain”.
    Fatwa imam Syafi’i ini telah ditetapkan bahwa talak tiga sekaligus adalah jatuh tiga, sehingga suami tidak boleh rujuk lagi dan kalau itu dilakukan juga, maka rujuknya batal dan dia teranggap telah melakukan perkawinan yang tidak sah.

    Imam Nawawi dalam kitabnya Minhajut Thalibin berkata pada bab talak : “kalau seorang suami berkata: ‘Saya menceraikan engkau atau engkau tercerai’ dan ia meniatkan bilangan (dua atau tiga), maka jatuhlah dua atau tiga itu. Seperti ini pula pada lafadz kinayah”.
    Fatwa imam ini jelas sekali bahwa talak ,baik yang sharih atau kinayah, kalau diniatkan berapa bilangannya, maka jatuhlah talak sesuai dengan bilangan yang diniatkannya. Contoh talak kinayah adalah ‘pulanglah engkau kerumah ibumu’, ia meniatkan perkataan itu untu menceraikan istrinya dan iapun meniatkan talak tiga, maka jatuhlah talak tiga. 

    Fatwa dalam madzhab Hambali
    Dalam madzhab ini talak tiga sekaligus juga terhitung talak tiga. Hal ini diterangkan dalam kitab Al-Kafi, sebuah kitab fiqih madzhab Hambali karangan Ibnu Qudomah terdiri dari 3 jilid besar. Dalam jilid II/803 beliau berkata sebagai berikut : “Jika seseorang berkata kepada istrinya: ‘Engkau tertalak tiga’, maka jatuhlah talak tiga walaupun dia meniatkan talaq satu, karena lafadznya itu adalah nash kepada talaq tiga, tidak ada kemungkinan terhadap yang lain”.
    Dan pada halaman 804, beliau berkata: “Jika seseorang berkata kepada istrinya: ‘Engkau tertalak dengan sebenar-benar talak atau dengan seluruh talak atau dengan talak yang terbanyak atau dengan talak yang terakhir’, maka tertalaklah istrinya itu dengan talak tiga. Dan jika sang suami berkata: ‘Engkau tetralak sebanyak bilangan air atau sebanyak atau sebanyak bilangan angin atau sebanyak bilangan tanah atau seperti bilangan seribu’, maka tertalak pula istrinya itu dengan talak tiga”.
    Demikianlah dalil-dalil hadits dan fatwa para imam madzhab yang berkaitan dengan talak tiga sekaligus dan yang dijadikan dalil oleh sebagian besar kaum muslimin. 

    Dalil-dalil mereka yang membantah dan jawabannya
    Dalil-dalil yang dikemukakan tadi dan fatwa para imam madzhab telah menerangkan bahwa talak tiga yang diucapkan sekaligus ini jatuh sebagai talak tiga. Namun demikian ada juga beberapa kelompok yang tidak setuju dengan dalil dan fatwa tadi dan mengatakan talak tiga yang dikatakan sekaligus hanyalah jatuh satu. Golongan ini mengikuti pendapat Ibnu Taimiyah dan muridnya yaitu Ibnul Qayyim al-Jauziyah, yang juga berdalil baik dari hadits maupun fatwa para sahabat.
    Mereka yang menyetujui kesepakatan imam madzhab –bahwa talak tiga sekaligus akan jatuh juga sebagai talak tiga– itu memberikan tanggapan bahwa dalil-dalil yang diajukan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim itu adakala:
    a. Harus dipahami dengan prinsip ‘metode penggabungan dalil’ agar tidak sampai menggugurkan dalil yang lain. Karena hal ini memang masih memiliki kemungkinan penggabungan dalil untuk dilakukan. Jadi bukan dengan sporadis menggunakan dalil secara lahiriyah (tekstual), sehingga mengakibatkan gugurnya dalil-dalil lain, yang tingkat validitasnya justru sangat tinggi ditinjau dari ilmu musthalahul hadits.
    b. Dalil yang diajukan dua imam untuk menyanggah jatuhnya talak tiga sekaligus, terdapat beberapa cacat atau kritikan terhadap sanad hadits sehingga tidak layak dimajukan untuk sebagai dalil.

    Berikut ini beberapa dalil mereka dan jawabannya: 
    1. Dari Ibnu Abbas, beliau berkata: “Pada masa Rasulallah saw dan Abubakar serta dua tahun masa pemerintahan Umar bin Khattab diputuskan bahwa talak tiga itu jatuh satu. Selanjutnya Umar berkata: ‘Sesungguhnya manusia suka terburu-buru pada urusan yang masih bisa pelan-pelan. Ada baiknya jika saya teruskan saja kehendak mereka itu’. Maka Umar pun meluluskan kehendak mereka”.
    Mereka berkata: Bukankah jelas sekali dalam hadits ini bahwa talak tiga dimasa Rasulallah saw dan Abubakar diputuskan sebagai talak satu? Bukankah akan jauh lebih baik kalau keputusan itu yang kita ikuti dan amalkan?

    Jawaban:
    Hadits diatas itu shahih, karena ia termaktub dalam kitab shahih Muslim. Akan tetapi perlu diingat bahwa itu adalah ucapan Ibnu Abbas, bukan ucapan Nabi saw dan bukan pula takrirnya. Kalau ucapan seorang sahabat sejalan dan tidak bertentangan dengan hadits atau takrir Nabi saw, maka jelaslah bahwa kita harus memakai dan mengamalkannya. Apa yang telah disampaikan oleh Ibnu Abbas masalah ‘Talak tiga yang diucapkan sekaligus jatuh talak satu’ bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya, seperti dalil-dalil yang telah kami kemukakan, yaitu:
    –Hadits riwayat imam Bukhori dari Aisyah ra yang berkata: “Bahwa seorang lelaki mentalak istrinya dengan talak tiga sekaligus. Maka kawinlah mantan istrinya itu (dengan lelaki yang lain). Suaminya yang kedua itupun lalu mentalaknya. Maka ditanyalah Nabi saw: ‘Apakah ia halal untuk suaminya yang pertama’? Nabi saw menjawab: ‘Tidak, sehingga suaminya yang kedua itu merasakan manisnya sebagaimana telah dirasakan oleh suaminya yang pertama’”.
    – Rasulallah saw membenarkan Umar al-Ajlani yang menceraikan istrinya dengan ucapan talak tiga.
    – Rasulallah saw membenarkan tindakan Abu Umar bin Hafash yang menceraikan istrinya Fathimah binit Qais dengan mengirimkan surat talak tiga sekaligus.
    – Aisyah ra dan Abu Hurairah ra serta Ibnu Abbas sendiri membenarkan bahwa talak tiga sekaligus itu jatuh tiga.
    – Dalam kitab Al-Umm jilid V/138 diterangkan Ibnu Abbas sendiri memfatwakan bahwa talak tiga sekaligus jatuh tiga.
    – Dalam kitab Al-Muwattha jilid II/79 dan juga dikitab Al-Umm, diterangkan juga tentang fatwa Ibnu Abbas bahwa seorang lelaki yang mentalak istrinya dengan talak 100, maka Ibnu Abbas berkata: istrinya tertalak tiga sekaligus, sedangkan selebihnya 97 harus ditinggalkan.

    Dengan demikian dalil ucapan Ibnu Abbas bahwa talak tiga dimasa Rasulallah saw dan Abubakar ra… jatuh satu, bertentangan dengan hadits-hadits yang telah dikemukakan. Karena adanya pertentangan ini para ulama tidak memakai dhohir ucapan tersebut, yang menyebabkan pertentangan dengan ucapan Ibnu Abbas yang lain. Karena itulah para ulama melakukan metode penggabungan (thariqatul jami’) antara beberapa ucapan ibnu Abbas kepada satu makna yang bisa sejalan dengan ucapan yang lain.
    Mengenai ucapan Ibnu Abbas ‘talak tiga sekaligus jatuh satu’, Imam Nasa’i menjelaskan sebagai berikut:
    “Yang dimaksud dengan ucapan Ibnu Abbas bahwa talak tiga sekaligus itu jatuh satu adalah talak yang dijatuhkan tiga kali dengan cara berulang-ulang pada satu tempat. Umpamanya seorang mengatakan: ‘Saya talak engkau, saya talak engkau, saya talak engkau’. Talak yang seperti ini hanyalah ‘jatuh satu’, karena ucapan talak yang kedua dan ketiga dianggap sebagai ta’kid (penguatan) saja terhadap ucapan talak yang pertama”.

    Didalam kitab Subulus Salam jilid III/172 disebutkan salah satu jawaban terhadap ucapan Ibnu Abbas. Jawaban yang dimaksud adalah: “Dahulu dimasa permulaan Islam orang-orangnya masih diakui jujur dalam semua ucapan dan dakwaannya. Kalau ada diantara mereka yang mentalak dengan ‘engkau tertalak, engkau tertalak, engkau tertalak’ lalu dia mengatakan bahwa ucapannya yang kedua dan ketiga hanya sebagai ta’kid belaka, maka diterimalah ucapannya itu karena memang pada zaman itu orang-orangnya selalu bertindak benar dan jujur. Namun selanjutnya Umar melihat ada perubahan pada perilaku manusia setelah dua tahun masa pemerintahannya. Banyak yang tidak jujur dan mendakwakan sesuatu yang tidak benar. Karenanya beliau berpandangan agar apa yang diucapkan secara dhohir, maka itulah yang dipakai. Sedangkan dakwaan bahwa ‘dalam hati mereka tidak memaksudkan demikian’ tidak lagi diterima oleh Umar. Maka ucapan orang yang mentalak dengan ‘engkau tertalak, engkau tertalak, engkau tertalak’ walaupun dia mendakwa bahwa ucapannya yang kedua dan ketiga hanya sebagai ta’kid belaka, tidaklah dipedulikan oleh Umar. Beliau langsung hukumkan sebagai ‘talak tiga’.
    Jawaban ini sangat disetujui oleh Imam Qurtubi. Bahkan Imam Nawawi berkata: ‘Inilah jawaban yang paling sahih dalam masalah ini’ “. 

    2. Dalil lain yang diajukan oleh golongan yang tidak setuju talak tiga sekaligus adalah: Hadits riwayat Ahmad dan Abu Ya’la:
    “Dari Ibnu Abbas dari Rukanah bahwasanya dia telah mentalak istrinya tiga kali disatu majlis, maka diapun sangat sedih. Lalu dia ditanya oleh Nabi saw, tentang bagaimana dia mentalaknya. Rukanah menjawab: ‘Tiga kali dalam satu majlis’. Mendengar itu Nabi saw bersabda: ‘Hanyalah yang demikian itu talak satu, rujuklah pada istrimu’”. Mereka mengatakan: Bukankah hadits ini jelas-jelas menunjukkan bahwa talak tiga sekaligus hanya jatuh satu?

    Jawaban:
    Kalau kita membaca hadits riwayat Ahmad dan Abu Ya’la jelas menunjukkan bahwa talak tiga sekaligus hanya jatuh satu. Tetapi menurut penelitian jumhur ulama, hadits tersebut adalah hadits mungkar, yakni hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak dipercayai, sehingga tidak layak dijadikan dasar hukum masalah tersebut.
    Dalam kitab Ahkamus Syari’atil Islamiyah terdapat penegasan sebagai berikut:
    “Berkata jumhur ulama dalam rangka menolak pengambilan dalil dengan hadits ini: ‘Sesungguhnya dia adalah hadits mungkar karena menyalahi riwayat orang-orang terpercaya sebagaimana dikatakan oleh Abubakar ar-Rozi dan Al-Kamal Ibnu Hammam dalam kitab Al-Fathu ‘alal Hidayah’”. 
    Adapun riwayat orang-orang yang bisa dipercaya ialah sebuah hadits yang tersebut dalam kitab Al-Umm jilid V/317 sebagai berikut: “Dari Nafi’ bin Ajir bin Abdi Yazid bahwasanya Rukanah bin Abdi Yazid menceraikan istrinya Suhaimah Al-Mazniyyah dengan ‘al-battah (cerai putus)’. Kemudian ia mendatangi Nabi saw lalu berkata: ‘Saya telah menceraikan istri saya bernama Suhaimah dengan al-battah. Demi Allah saya tidak memaksudkan kecuali untuk talak satu’. Nabi saw bersabda: ‘Demi Allah, tidak ada maksudmu kecuali talak satu’? Rukanah menjawab: ‘Demi Allah, tidak ada maksud saya kecuali satu’. Maka Nabi pun mengembalikan istrinya itu kepadanya (dalam arti diberi izin untuk rujuk). Lalu pada masa khalifah Umar bin Khattab istrinya itu diceraikan untuk kedua kali dan pada masa Utsman bin Affan diceraikan lagi untuk ketiga kali’”.

    Dalam riwayat ini tampak bahwa Rukanah menceraikan istrinya dengan ucapan ‘saya putus habiskan hubungan saya dengan engkau’. Ini berarti ada dua riwayat tentang bagaimana Rukanah menceraikan istrinya. Riwayat pertama adalah dengan talak tiga sekaligus, sedangkan riwayat lainnya adalah dengan al-battah (talak putus). Lalu manakah yang benar dari dua riwayat ini? Menurut imam Abu Daud riwayat tentang Rukanah yang menceraikan istrinya dengan al-battah lebih sahih, karena orang yang meriwayatkan hadits dengan al-battah itu adalah familinya, orang yang serumah dengan dia dan orang yang lebih mengetahui hal-ihwalnya.

    3. Ada juga yang mengajukan dalil hadits riwayat Abu Daud yang tercantum dalam kitab Subulus Salam jilid III/172 sebagai berikut : “Dari Ibnu Abbas ra dia berkata: ‘Ayah Rukanah mentalak ibu Rukanah, lalu Nabi saw bersabda: Rujuklah pada istrimu itu’. Ayah Rukanah berkata: ‘Sesungguhnya aku mentalaknya tiga kali’. Nabi saw bersabda: ‘Aku telah tahu itu, rujuklah pada istrimu’”.
    Dan hadits yang senada diatas, yang tercantum dalam kitab Subulus Salam berikut ini: “Dan lafadz hadits imam Ahmad dari Ibnu Abbas berbunyi: ‘Ayah Rukanah stelah menceraikan istrinya tiga kali pada satu majlis, maka ia pun sedih. Lalu Rasulallah saw bersabda:’Itu hanyalah talak satu’ “. 
    Mereka yang mengajukan dalil dua hadits ini berkata: Bukankah Nabi saw tidak mengakui talak tiga sekaligus melainkan sang suami disuruh rujuk kepada istrinya yang ditalak tiga sekaligus itu? 

    Jawaban:
    Dua hadits diatas memang tersebut dalam kitab Subulus Salam dan maknanya jelas menunjukkan bahwa talak tiga sekaligus hanya jatuh satu. Tetapi penulis kitab Subulus Salam itu sendiri mengomentari derajad kedua hadits dimaksud dengan ucapan: “Dalam sanad kedua hadits itu terdapat seorang yang bernama Ibnu Ishaq dan ia masih dipertanyakan”. Demikian pula dengan Az-Dzahabi dalam kitabnya Mizanul I’tidal jilid III/471 menerangkan bahwa Ibnu Ishaq itu adalah pembohong (kazzab). Juga dari sisi matan (kandungan redaksi), kedua hadits yang didalam sanadnya terdapat Ibnu Ishaq itu sangatlah kacau, karena disitu dikatakan bahwa ‘ayah Rukanah menceraikan ibu Rukanah’ padahal menurut hadits-hadits lain yang kuat dan sahih, Rukanah sendirilah yang menceraikan istrinya, bukan ayah Rukanah. Dengan demikian kedua hadits ini adalah dhaif dan tidak layak diajukan sebagai dalil penegakan hukum, juga berlawanan dengan hadits-hadits yang telah dikemukakan. Wallahu a’lam.

    Tata cara singkat Haji (Tamattu') dan ‘Umrah dan urutannya:
    Haji diwajibkan bagi orang muslim yang baligh dan sehat. Seorang dikatakan baligh bila sudah umur 15th atau baligh sebelum umur 15 dengan mimpi basah, sedangkan bagi wanita yaitu yang sudah haid walaupun belum umur 15th, tetapi setelah umur 9th. Karena kalau dibawah umur 9th keluar darah, maka itu bukan sebagai darah haid tetapi darah penyakit. Orang yang sudah baligh tapi bodoh, maka walinya ,bila mampu, berkewajiban membayar orang dan membiayainya guna membantu orang tsb. melaksanakan ibadah haji, karena wajib baginya dan tidak boleh menyia-nyiakan ibadah orang yang berada dibawah perwaliannya.
    Anak yang belum baligh apabila cukup berakal maka sah hajinya dan pahalanya untuk orang tuanya, tapi nanti kalau sudah dewasa masih diwajibkan haji lagi.
    Cara pelaksanannya: sianak harus berihram sendiri tidak boleh diwakilkan dan menjauhi apa yang dilarang sebagaimana orang dewasa. Jika dia mampu melaku kan kewajiban dalam haji, maka ia harus melakukannya berdasarkan petunjuk dari orang lain. Apabila ia tidak mampu melakukan suatu amalan hajinya, maka bisa di wakilkan kepada orang lain walaupun berupa sholat dua rakaat setelah tawaf, termasuk juga apabila ia tidak mampu melakukan tawaf.
    Apabila ayah anak yang belum baligh telah mengizinkannya untuk melakukan ihram haji, maka ayah tsb. tidak boleh menahan/melarang anak tsb., tetapi kalau si anak belum berihram haji maka orangtua boleh melarang atau menahannya.  

    Secara singkat  macam2nya haji ada tiga:
    Ifrad:
    Ihram untuk amalan2 haji lebih dahulu, kemudian ihram lagi untuk ‘Umrah dan amalan2nya. Haji ifrad ini tidak wajib Qurban. Untuk amalan umrahnya harus keluar dari tanah haram lalu berihram ditempat manapun yang ia inginkan yang penting diluar tanah haram dan tidak harus memulai ihramnya dari miqat sebagai mana waktu ia haji. Lebih baik/afdhal berihram di Ji’ranah, kalau ini tidak mungkin maka dari Tan’im, kalau tidak mungkin maka dari Hudaibiyah.  

    Qiran:
    Ihram untuk Haji dan ‘Umrah sekaligus, dengan mengatakan: labbaik allahumma bihaj wa umrah. Wajib Qurban  waktu Ihram.
    Menurut imam Syafi’i bagi orang yang memilih haji Qiran+Ifrad harus berada dalam ihram hingga tanggal 10 dzulhijah. Sedangkan amalan2 hajinya sama apa yang dilaksanakan dalam haji tamattu’. Hanya saja ketika ia telah melaksanakan tawaf +sai sebelum ke Mina, maka sekembali dari Mina dia hanya tawaf saja tanpa sa’i. Tetapi kalau belum tawaf+sa’i sebelum ke Mina, maka dia harus tawaf+sa’i sekembalinya dari Mina.

    Tamattu’:
    Ihram untuk ‘Umrah dahulu kemudian ihram untuk Haji. Ihram untuk Umrah (tawaf+sai) kemudian tahalul (potong rambut).  Kemudian tunggu tanggal 8 dzulhijah mulai ihram lagi dari mekkah lalu ke Mina dan melakukan amalan2 hajinya. Juga berkurban.setelah pelemparan jumrah.
    Menurut imam syafii/ahmad/malik bahwa orang ,baik penduduk mekkah atau lainnya, boleh memilih macam2nya haji (qiran, ifrad, tamatu) tidak ada yang dimakruhkan. Hanya imam syafii mengatakan Ifrad+tamatu lebih afdhal/utama daripada qiran.

    Menurut imam Syafií dalam kitab al-umm bahwa berihram untuk haji sebelum bulan2 haji (syawal,dzulkiddah, dzulhijjah) maka tidak sah untuk haji, tetapi sah sebagai ihram Umrah. Sunnah melakukan ihram setelah sholat dhuhur atau pada waktu sholat2 lainnya dan sholat sunnah untuk ihram ini minimal 2 rakaat.

    Keterangan singkat untuk Umrah:
    Umrah yang terpisah dari haji, waktunya sepanjang tahun. Sebagian ulama mengata kan yang paling utama adalah bulan Rajab, sedangkan menurut ulama lainnya pada bulan Ramadhan. Hukumnya umrah menurut imam syafii dan imam ahmad,  wajib bagi yang mampu pulang/pergi (QS albaqarah:196). Syarat2 umrah sama dengan haji, beda nya bagi orang yang umrah tidak ada waktu tertentu, tidak wukuf di arafah, muzdalifah dan tidak lempar jumrah.

    Yang dianggap mampu  :
    Pertama : Seorang muslim  yang baligh, sehat badannya dan berharta untuk pulang pergi. Cukup kebutuhan2 antara lain untuk: keluarganya, sumber mata pencaharian nya (tanah untuk pertanian, alat2 kerja bagi pekerja dan modal perdagangan). Setelah berangkat haji tidak tidak sampai menjual rumah, perabot dll. dikarenakan berangkatnya haji ini. Aman dari penyakit, aman bagi diri, harta dan kehormatannya.
    Ini kemampuan yang sempurna maka dia harus pergi haji dan melakukan sendiri tidak boleh diwakilkan.
    Wanita harus minta izin suami dan suami tidak boleh melarang.

    Kedua : Menurut imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm, seorang tua, lemah atau sakit chronis yang tidak mampu naik haji walaupun dengan naik kendaraan, apabila ia memiliki seseorang yang bisa disuruh untuk menghajikan dirinya atau memiliki harta yang bisa buat membiayai orang lain untuk pergi kehaji, maka dia wajib melaksana kan walaupun diwakilkan orang lain.
    Apabila seseorang telah mempersiapkan perbekalan untuk orang lain yang akan menghajikan dirinya, tapi tiba2 ia sendiri mampu untuk menempuh perjalanan haji artinya sembuh atau hilang udzurnya, maka haji yang dilaksanakan orang lain itu tidak sah untuk dirinya, yakni dia sendiri harus melaksanakannya tidak boleh diwakil kan. Karena yang diwakilkan tadi hanya kewajiban bagi (kemampuan dalam bidang) hartanya dan setelah hilang udzurnya maka sekarang kewajiban untuk badannya.

    Selanjutnya Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm mengatakan: Rasulallah saw menyuruh wanita untuk menghajikan ayahnya karena ketika itu ayahnya sudah masuk |slam, tetapi dalam keadaan tidak mampu menempuh perjalanan. Dalam hal ini bila ia mempunyai orang yang bisa mewakilinya maka kewajiban haji belum gugur darinya. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang sudah wafat lebih berhak untuk di wakili, karena dia dalam keadaan benar2 tidak mampu melaksanakannya. Rasulallah saw menyuruh wanita tsb. untuk menghajikan ayahnya itu, adalah haji wajib, tetapi apabila mengenai haji sunnah, maka tidak boleh dilakukan/diwakilkan orang lain, baik orang tsb. masih hidup maupun telah wafat. Apabila orang tsb. wasiat bila dia wafat agar orang lain menghajikan untuknya (haji sunnah), maka wasiat tsb. hukum nya batal.

    Menurut Imam Syafii, bila orang punya harta cukup hanya untuk kawin atau hanya untuk haji saja, maka kawin lebih didahulukan bila tidak bisa menghindari kesukaran & kesulitan. Bila menundanya tidak menimbulkan kesulitan maka haji harus didahulu kan. Begitu juga zakat + hutang harus didahulukan daripada haji.

    Syarat2 orang yang mengganti/mewakili:
    Baligh, islam dan sudah haji. Seorang lelaki boleh menggantikan wanita dan sebalik nya wanita boleh mewakili lelaki. Tempat berangkat haji harus dari miqat yang di tentukan oleh yang diwakili, kalau tidak ditentukan maka si wakil ini boleh memilih miqat sesuka hatinya. Orang yang dibayar untuk mewakili haji, wajib melaksanakan dengan segera tidak boleh mengakhirkan haji tahun berikutnya.

    Wanita yang mampu
    Menurut Imam Syafií dalam kitabnya Al-Umm: Apabila wanita yang mempunyai perbekalan dan kendaraan serta ada bersama wanita2 lain yang bisa dipercaya dan melewati perjalanan yang aman, maka ia termasuk orang yang wajib untuk melaksanakan haji, walaupun tidak berangkat bersama mahramnya. Karena Rasulallah saw hanya memberikan syarat adanya bekal dan kendaraan tanpa perkecualian. Tetapi apabila wanita tsb. tidak bersama wanita muslimah yang bisa di percaya maka ia lebih baik tidak berangkat haji dan tidak boleh keluar bersama orang2 laki yang bersama para isteri mereka atau bersama mahram dari para wanita, yang tidak terjamin kepercayaannya.

    Seorang wanita yang sudah baligh atau mencapai umur 15th dan tidak mempunyai harta yang cukup untuk haji, maka kedua orangtuanya, walinya atau suaminya tidak boleh memaksanya untuk melaksanakan haji dengan memberinya harta sebagai bekal haji.
    Begitu juga apabila wanita dewasa telah sanggup dan mempunyai harta untuk haji dan wanita tsb. sebelum ihram sudah dapat izin oleh wali atau suaminya, lalu ia memasuki ihram, maka wali atau suaminya tidak berhak melarangnya. Namun jika belum memasuki ihram haji, maka wali atau suaminya berhak untuk melarangnya. Tetapi lebih baik suami tidak melarang istrinya apabila haji itu wajib baginya. Karena seorang suami tidak berhak melarang istri untuk melaksanakan kewajiban2nya bukan masalah sunnah.  

    Hukum seorang janda
    Wanita yang sedang menjalani iddah raj´iyah (suaminya masih berhak rujuk), kemudian ia melaksanakan ihramnya, maka suaminya masih berhak melarangnya untuk meneruskan ihram haji itu, baik suami tsb. ingin rujuk atau tidak, hingga batas masa iddahnya selesai. Apabila masa iddah sudah selesai maka wanita ini berkuasa untuk dirinya. Apabila ia berihram, maka yang berhak melarangnya adalah walinya. Jika walinya bersedia, ia bisa keluar bersama wanita yang berada dibawah perwali- annya untuk melaksanakan ihram haji. Tetapi jika ia tidak bisa, ia bisa menitipkan wanita tsb. bersama wanita2 lain yang bisa dipercaya. Apabila tidak ada wanita yang dipercaya maka dia tidak boleh pergi ke haji bersama lelaki yang bukan mahram atau bersama wanita2 yang tidak bisa dipercaya.

    Begitu juga bila ada wanita yang berkuasa terhadap dirinya sendiri (tidak bersuami dan tidak sedang iddah) melakukan ihram haji, kemudian ia menikah dengan lelaki, maka suaminya ini belum berhak untuk melarang isterinya menyelesaikan hajinya. Karena sebelum suaminya berhak terhadap istrinya, ia sudah masuk dalam ihram haji. Suaminya ini juga tidak wajib memberi nafkah kepada istrinya selama istri tsb. masih dalam ihram hajinya, karena pada saat itu hak suami terhadap istrinya terhalang oleh ihram haji tsb.

    Batas2 tanah Haram (mekkah/medinah)
    Ditandai dengan bendera disetiap 5 arah diberi batu 1m tingginya setiap pinggir jalan. Dari daerah utara ialah Tan’ím (6km dari mekkah), dari selatan di Idhah (12km dari mekkah), dari timur Al-Ja’ranah (16km dari mekkah), dari barat Al-Syamjsi (15km dari mekkah). Sedangkan tanah Haram di Medinah 12 mil memanjang dari ‘Ir (gunung sekitar miqat) sampai Tsaur (gunung sekitar Uhud).

    I.MIQAT:
    Haji atau Umrah, ihramnya harus dimulai dari miqat atau dimulai sebelum miqat.
    Tempat memulai ber-ihram bagi orang yang mau mengerjakan Haji atau ‘Umrah sbb:
    Penduduk Madinah: dari Dzul Hulaifah; penduduk Syam (Syria, Libanon, Palestina dan Yordania), Mesir dan Marokko dari Juhfah; penduduk Yaman Yalamlam; penduduk Irak Al-‘Aqiq; penduduk Thaif dan penduduk Nejed ialah Qarn;  penduduk Mekkah dari rumahnya masing2, kecuali kalau bukan untuk manasik haji, maka harus keluar ke Tan’im. Ber-ihram sebelum masuk Miqat itu sah jadi umpama dari rumahnya atau dari negaranya sendiri. Orang yang melewati miqat belum ihram, harus kembali, bila tidak kembali ia berdosa & bayar Dam. Bila ada halangan untuk kembali maka tidak berdosa tetapi tetap bayar Dam.
    Bagi penduduk negeri lain yang tidak melewati miqat2 tsb., maka boleh beihram dari tempat manapun juga dari rumahnya masing2, pokoknya belum melewati batas miqatsampai dia masuk ke Mekkah.

    II. Sebelum ihram:
    Ihram tidak sah dalam keadaan tidak berakal.
    Sunnah membersihkan badan, potong kuku, memendekkan kumis, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, setelah itu mandi (boleh memakai sabun) dengan niat ihram (saya niat mandi untuk ihram umrah tamattu karena Allah swt).
    Menurut Imam Syaifii dalam kita al-umm, boleh pakai minyak wangi sebelum ber-ihram ,baik untuk lelaki maupun wanita, walaupun minyak wangi yang terbaik (kuat baunya).
    Bagi wanita yang haidh juga disunnahkan mandi niat ihram, tetapi tanpa sholat dan tidak boleh masuk masjid. Setelah wanita itu suci, maka dia harus mandi wajib, sedangkan mandi sunnah ihram tidak perlu lagi karena sudah dilakukannya. Amalan2 haji boleh dilakukan bagi orang yang haid/nifas atau tidak dalam keadaan berwudu, kecuali amalan sholat dan tawaf yang dilarangnya. Sedangkan wanita istihadhah dan yakin bukan darah haidh, harus tawaf dihari-hari waktu ia sholat. Kalau ia meninggalkannya maka harus bayar Dam.
                                   
    Cara pakai ihram bagi lelaki :
    Menurut imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm, apabila sudah siap akan melaksanakan tawaf, hendaklah ia memasukkan ihram dibawah pundak kanan (kedalam ketiak kanan), sedangkan pundak yang kiri tertutup. Makruh hukumnya waktu mulai tawaf pundak kanannya juga tertutup, kalau sebelum mulai tawaf maka tidak apa2.

    Niat :
    Ketika pakai pakaian ihram niat untuk apa hajinya (tamatu,qiran,ifrad) dan apakah untuk haji sunnah, wajib atau untuk menghajikan orang lain. Misalnya ucapan niat untuk tamattu’ untuk dirinya sendiri (Allahumma inni uriidul umrata tamattu’ fayassirhaa li wa taqabbalaha minni. Nawaitul umrata tamattu wa ahramtu bihaa lillahi ta’ala. Artinya: ‘Ya Allah sesungguhnya aku ingin umrah tamattu, maka mudah kanlah buatku dan terimalah dariku. Saya berihram dan dengannya saya niat umrah tamatu’ karena Allah yang maha tinggi’) kemudian baca talbiyah (labbaik allahumma labbaik, labbaik laa syariikalaka labbaika innal hamda wan ni’mata laka wal mulka laa syariikalaka 3X) setelah itu baca sholawat kepada Rasulallah saw.
    Kemudian sholat sunnah dengan niat untuk ihram umrah tamattu’ minimal 2 raka’at sampai 6 raka’at. Setelah sholat ucapkanlah :
    Labbaik Allahumma bi ‘Umrah (bagi haji Tamattu’) kemudian Talbiyah lagi (Labbaik Allahumma labbaik.Labbaik  laa syarikalaka labbaik, Innal hamda wan ni’mata laka wal mulka laa syariika laka 3X), baca sholawat setelah itu baca doa:
    Allahumma ilaika shomadtu, wa iyyaaka I’tamadtu wawajhaka aradtu. Fa as aluka an tubaarika lii rihlatii wa an taqdhii lii haajatii wa taj ‘alanii mim man tubaahii bihil yauma man huwa afdhalu minnii. 

    Apabila orang tidak niat untuk haji atau umrah dalam talbiyahnya berarti belum melaksanakan dua2nya. Apabila niat untuk ihram dalam talbiyahnya tetapi tidak berniat haji atau umrah, maka ia boleh memilih ihramnya untuk haji atau umrah. Apabila dalam talbiyahnya ia lupa apa yang ia niatkan (haji atau umrah), maka dia dianggap melakukan haji Qiran (haji+umrah sekaligus). Karena bila niat umrah maka ia harus umrah baru haji, jika niat haji maka ia datang dengan haji dan umrah (qiran).
    Ulama sepakat bila orang berihram dengan niat seperti ihramnya sifulan, maka niat nya sah. Imam Syafii dalam salah satu pendapatnya mengatakan; Berniat ihram untuk ibadah, tetapi tidak menentukan untuk haji atau umrah maka ihramnya sah. Setelah itu boleh merubah ihramnya pada bentuk yang dikehendaki.

    Talbiyah :
    Waktunya : Ketika berkumpul sampai suara jadi satu, ketika jalan mendaki atau menurun lembah atau turun dari tempat yang tinggi, setelah sholat. Baca Talbiyah terakhir setelah melempar jumrah Aqabah pada hari pertama tgl.10 dzulhijah.
    Mulai talbiyah untuk haji Tamattu: yaitu mulai waktu ihram umrahnya (dari rumahnya atau dari miqat) sampai mulai tawaf, sedangkan waktu ihram hajinya mulai pakai ihram tgl. 8 dzulhijah sampai setelah melempar jumrah Aqabah hari pertama tgl. 10 dzulhijah.
    Menurut imam syafi’i/ahmad hukum talbiyah ini adalah sunnah pada waktu ihram. Bila niat ihram tanpa talbiyah sah. Talbiyah tidak perlu dalam keadaan suci. Sunnah nyaring bagi lelaki saja, sedangkan wanita dibolehkan agak nyaring bila dalam masjid berbarengan dengan jama’ah, khususnya masjid di Arafah. 

    Yang dilarang waktu ber-ihram
    a). Bersenggama/jimak: Menurut imam Malik/Syafi’i/Ahmad; Jimak dengan istrinya sebelum tawaf+sa’i, sebelum melempar jumrah Aqabah (tgl.10 dzulhijah) pada hari pertama atau sebelum tawaf ifadhah, maka haji+umrahnya batal dan wajib korban onta.Tetapi dia harus meneruskan amalan2 hajinya dan tahun berikutnya harus mengulangi hajinya.
    Menurut imam Hanafi/Syafi’i, kalau jimak setelah tahalul pertama (yaitu potong rambut setelah lempar jumrah aqabah hari pertama) maka hajinya sah tetapi korban onta.  Dan kalau si istri senang hati maka bayar 1 onta juga, tetapi bila si istri secara terpaksa suami bayar 2 onta. Kalau istrinya sudah tahalul lalu bersetubuh sedangkan suaminya masih berihram maka si istri tidak kena denda, suami bayar denda 1 onta untk dirinya sendiri.
    b) Mencium isteri: Menurut imam Syafi’i/Ahmad, hajinya tidak batal, tetapi bila sampai keluar sperma harus menyembelih kambing, tetapi kalau tidak sampai keluar sperma harus membayar kifarah walau dengan sembelih kambing.
    Menurut imam Hanafi/Syafi’i/Ahmad, kalau lihat wanita lain sampai keluar sperma, hajinya tidak batal tapi harus korban 1 onta. c) Berselisih dengan teman sejawat, berdebat yang tidak berdasarkan ilmu agama, tetapi dibolehkan berdebat bila mencari kebenaran dalam agama. d) Berbuat maksiyat. e) Memakai (pakaian berjahit, baju, serban, jubah, pakai sepatu [bagi lelaki] dll.). Bila benar2 tidak bisa mendapatkan sandal yang terbuka atau pakaian ihram boleh pakai celana dan sepatu, tetapi setelah mendapatkannya harus melepas, kalau tidak dilepas maka dikenakan denda. Memakai pakaian yang dicelup minyak wangi.
    Menurut imam Syafi’i, baik lelaki maupun wanita disunnahkan pakai pakaian putih dan makruh pakai pakaian yang menyolok (hitam,merah dll.). 
    f) Lelaki tidak boleh menutup kepalanya, bagi wanita tidak boleh memakai cadar dan kaos tangan, boleh memakai pakaian sutera bagi wanita. Wanita boleh menutup mukanya dengan syarat tidak boleh menempelkan kewajahnya g).Tidak boleh melangsungkan aqad nikah baik untuk dirinya maupun untuk orang lain sebagai wali. Tidak boleh juga mewakilkan dalam pernikahan, kalau terpaksa melakukannya maka akad nikahnya tidak sah. Tetapi orang yang ihram boleh rujuk (kembali) dengan istrinya yang masih iddah raj’iyyah. h) Tidak boleh memotong atau mencukur rambut, memotong kuku. Bila ada udzur/halangan umpamanya kukunya pecah dan sakit yang harus dipotong maka dibolehkan, tetapi untuk memotong rambut yang harus dicukur karena berhalangan maka harus bayar seekor kambing.(fidyah/dam). Mencabut/memotong rambut atau kuku ialah 1 rambut/kuku yang tercabut/terpotong 1 mud makanan pokok untuk 1 orang miskin,  2 rambut/kuku 2 mud makanan pokok untuk 2 orang miskin. Bila lebih dari 2 rambut/kuku harus fidyah seekor kambing, tetapi dengan syarat rambut/kuku tsb.dicabut/dipotong pada waktu yang sama, bila tidak bersamaan (dilain waktu) maka dihitung lagi seperti asalnya yakni 1 kuku 1 mud dst.nya. i) Tidak boleh memakai minyak wangi (semua jenis wangi2an berupa asap, cairan atau benda lain) baik dipakaian, ditangan maupun dibadan dengan sengaja, walaupun jumlah wewangian itu sedikit.
    Kalau karena lupa atau tidak tahu bahwa melakukan hal tsb.haram hukumnya, maka tidak ada kafarah (menurut imam syafii). Setelah ingat dan tahu hukumnya, harus mencuci tangan/badan atau pakaiannya yang kena minyak wangi tsb. Begitu juga bila orang terpaksa harus memakai wangi2an karena sakit, juga tidak perlu denda.
    Tidak boleh menaruh bahan2 penyedap yang harum dalam makanan&minuman, jika tidak berbau dan terasa serta tidak tampak lagi warnanya sewaktu dimakan atau diminum itu dibolehkan. Tetapi jika masih ada rasa/warnanya dll. maka harus membayar seekor kambing (menurut imam Syafi’i.). j).Tidak boleh memakai minyak walaupun tanpa harum2an di rambut kepala dan jenggot.
    k) Tidak boleh memotong/mencabut tanaman2 basah baik yang ditanam orang atau tumbuh sendiri ditanah haram. Menurut imam syafii untuk pohon yang besar denda nya 1 ekor sapi, kalau pohon kecil 1 ekor kambing. Tetapi kalau yang dipotong pohon kering atau rumput kering tidak ada fidyah/denda (semua madzhab sepakat).
    Ulama madzhab sepakat ,kecuali imam syafii, tidak boleh mengendarai motor yang beratap kalau sedang dalam perjalanan, tetapi kalau bukan sedang dalam perjalanan boleh berteduh dibawah atap, dinding dll
    l) Haram berburu binatang darat, begitu juga membunuh/memburu/merusak telor dan anak2nya, memerah susunya dll. Tetapi memancing binatang laut tidak apa2 (qs.al-maidah:96). Binatang ditanah haram, tidak boleh diburunya baik yang sudah tahalul atau sedang ihram. Kalau sedang ihram menyembelih binatang buruan, maka binatang tsb. dianggap bangkai, semua orang tidak boleh memakannya. Boleh memakan daging buruan yang tidak diburu olehnya atau tidak atas suruhannya untuk memburu.

    Kalau melanggar salah satu keterangan2 yang tsb. diatas (kecuali kolom a&b dan berburu) karena suatu udzur/halangan atau terpaksa -umpama mencukur rambut, memakai pakaian berjahit dan sebagainya-  semestinya membayar  fidyah seekor kambing atau memberi makan 6 orang setiap orang 1 ½ ltr. atau puasa 3 hari. Jadi yang melanggar karena suatu udzur ini bisa memilih salah satu diantara tiga macam denda/fidyah ini. Tetapi kalau melanggar tanpa adanya udzur yang dibolehkan, maka harus menyembelih seekor kambing, tidak ada pilihan lainnya, kecuali bagi orang yang tidak mampu menyembelih kambing maka dia harus puasa 3 hari waktu di tanah haram dan 7 hari waktu kembali kenegerinya.

    Kutu dikepala makruh untuk dibunuh, hendaklah sodaqah kalau membunuhnya. Sedekahnya ialah membayar denda dengan sesuap makanan, karena sesuap makanan ini lebih berharga dari seekor kutu (kitab al-umm). Tetapi kalau sampai tercabut rambutnya karena sengaja mengeluarkan kutu tsb., maka dia harus bayar denda, yaitu satu rambut 1 mud makanan pokok untuk 1 orang miskin, 2 rambut 2 mud untuk 2 orang miskin, lebih dari 2 rambut dendanya seekor kambing. Denda ini juga berlaku bagi orang yang menggaruk kepalanya dengan kuku.

    Info: Pembayaran denda/dam harus dikeluarkan atau disembelih di Mekkah.

    Yang dibolehkan waktu Ihram:                    
    a) Mandi (tanpa dengan sabun). Menurut imam syafi’i, orang boleh mandi dengan membasuh kepalanya baik dengan menuangkan air keatas kepala maupun mencelupkan kepalanya dalam air hangat, dingin dll., tetapi lebih baik jangan menggosoknya. Tetapi bila untuk mandi wajib (junub karena mimpi, suci dari haid/ nifas) boleh menggosok kepala dengan telapak tangannya atau menyilang-nyilang rambutnya dengan pelan2. Jangan menggosok dengan kukunya, karena rambut bisa tercabut. Apabila menggosok (bukan dengan kukunya) dengan ringan atau kemudian ada rambut yang ditangannya, sebagai hati2 bayarlah denda. Tetapi denda ini tidak wajib sebelum benar2 yakin rambut tsb. tercabut oleh tangannya. Karena kadang2 sehelai rambut sudah lepas tapi masih menempel di-sela2 rambut yang ada dan akan terjatuh bila disentuh atau digerakkan. b) Mengganti pakaian ihramnya dan mencucinya tanpa sabun. c) Keluar darah, nanah, atau harus mengeluarkan nanah dari lukanya d) Bersuntik. e) Menggaruk badan. f) Bercelak yang tidak wangi dan bukan untuk perhiasan. g) Mengikat pundi2 untuk menyimpan uang. h) Bercermin (ada yang memakruhkan). i) Membuang binatang yang ada ditubuh (semut, nyamuk dll) tetapi jangan membunuhnya karena ada ulama yang mengatakan tidak boleh membunuh. h) Menutupi muka dari debu, bagi wanita tidak boleh menempelkan kewajahnya, karena wajah wanita tidak boleh ditutup. i) Memakai minyak tanpa harum2an dibolehkan dibagian tubuh kecuali rambut dan jenggot. j) Mimpi keluar sperma itu, tidak apa2 hanya wajib atasnya mandi. k). Menurut imam Syafi’i, boleh makan/minum yang aromanya wangi seperti keningar, jahe dll. yang sejenis. Begitu juga segala tumbuh2an kayu yang sudah dikenal aroma wanginya seperti syih, qaishum, ijkhir dll. boleh mencium/memakan atau ditumbuk lalu dibalurkan kebadan orang yang sedang ihram. Karena tumbuh2an kayu yang dikenal aromanya ini bukan merupakan tanaman untuk dibuat minyak wangi. l) Berbekam tanpa mencukur rambut. m). Boleh memotong kulit yang terluka atau kuku yang pecah.n) Berkhitan. o) Mengolesi obat, membalut luka dengan perban kecuali yang ada dikepala bagi lelaki. Bila membalutnya dikepala maka kena fidyah. q)  Pakai pacar, baik bagi lelaki maupun wanita, selain ditangan dan dikaki. r) Menurut imam Syafi’i boleh pakai minyak wangi setelah lempar jumrah Aqabah dan mencukur rambut pada tgl. 10 dzulhijah, walaupun belum tawaf.
     
    III. Di Masjid Haram Mekkah: 
    Sesampai di masjidilharam Mekkah masuklah ,kalau bisa, dari pintu Babus Salam baca do’a; Allahumma antas salam wa minkas salaam fa hayyinaa rabbanaa bis salaam wa adkhilnaa jannata daaras salaam kemudian membaca do’a dengan khusyu’ dan rendah diri: “A’udzu billaahil  ‘azhim wa biwajhihil kariimi wasulthoonihil qodiimi minasy syaithoonir rojiimi, bismillah Allahumma sholli ‘alaa sayyidinaa Muhammadin wa aalihi wa sallim. Allahummaqhfirlii dzunuubii waftah lii abwaab rahmatika”.
    Artinya: (Aku berlindung dengan Allah Yang Maha Besar dan wajah-Nya yang Mulia serta dengan kekuasaan-Nya yang Azali dari godaan setan yang terkutuk, dengan nama Allah, Ya Allah limpahkanlah  karunia dan kesejahteraan atas junjungan kita Muhammad dan keluarganya. Ya Allah ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu.)
    Do’a waktu melihat Ka’bah pertama kali, hendaklah mengangkat tangan dan memohon: “Allahumma zid haadzal baita tasyriifan wata’ dziiman watakriiman wa mahabbatan, wazid man syarrafahu wa karromahu mimman hajjahu awi’ tamarahu  tasyriifan wa takriiman wata’ dziiman wa birran. Allahumma antas salaam fahaiyinaa rabbanaa bis salaam”.
    Artinya: (Ya Allah, tambahkanlah bagi rumah ini (Ka’bah) kehormatan, kebesaran, kemuliaan, kebesaran dan kebaikan. Ya Allah, Engkaulah kesejahteraan, dan dariMu kesejahteraan, maka sambutlah kami ya Tuhan kami dengan kesejahteraan.)
     
    Kemudian langsung kepojok hajar Aswad, usahakan bisa mencium atau mengusap atau memberi isyarat saja. Sebelum mulai dari hajar Aswad (lihat lampu hijau diatas yang sejajar dengan hajar aswad), Niatlah thawaf untuk umrah tamattu’, kemudian bertakbir (Bismillah Allahu Akbar) sambil memberi isyarat kearah hajar Aswad. Waktu mau mulai thawaf dari hajar aswad setelah niat thawaf dianjurkan membaca: ‘Bismillah, wallahu akbar, Allahumma iimaanan bika wa tashdiiqan bi kitaabika, wa wafaa an bi’ahdika wattibaa’an lisunnatin nabiyyi shollallahu ‘alaihi wa alihi wasallam’ .
    Artinya: (Dengan nama Allah, dan Allah Maha Besar, Ya Allah, demi keimanan kepadaMu dan membenarkan kitab suciMu, memenuhi janji denganMu serta mengikuti sunnah NabiMu saw.). Thawaf dalam keadaan ihram tanpa niat untuk thawaf sunnah, nadr atau wajib maka hal ini dianggap sebagai thawaf wajib.

    Lanjutan keterangan Thawaf
    Thawaf ada 3 macam: a. Tawaf qudum; Buat orang yang jauh ,bukan orang2 mekkah dan sekitarnya, ketika masuk mekkah. Tawaf ini sebagai ganti 2 rakaat tahiyatul masjid. Hukumnya sunnah, orang yang meninggalkan tidak kena apa2, kecuali menurut imam malik, harus bayar fidyah/dam. b.Tawaf ziarah atau tawaf Ifadhah; Termasuk rukun haji. Dilaksanakan setelah melaksanakan amalan2 haji (setelah lempar jumrah aqabah, sembelih qurban dan cukur rambut) tgl.10 dzlhijah. Kemudian kembali ke Mekkah untuk tawaf ifadhah. c.Tawaf wada’; Tawaf waktu meninggalkan mekkah. Menurut imam maliki/syafii/ hanafi, tidak perlu khusus niat untuk tawaf wada, karena niat haji secara umum telah mencukupinya. Tetapi orang dibolehkan niat untuk thawaf wada. Keterangan lebih jelas tentang thawaf ifadhah/wada baca halaman berikutnya.

    Sunnah menyegerakan thawaf waktu masuk ke Mekkah dan tidak sholat sunnah sebelum tawaf. Tetapi apabila khawatir ketinggalan sholat wajib atau sunnah muakkadah (qabliyah/ba’diyah sholat wajib), maka sholatlah wajib atau sunnah ini dahulu, kemudian thawaf.
    Menurut imam Syafi’i, orang yang thawaf sedang menggendong anak kecil atau sedang diusung, kemudian dia niat thawaf untuk dirinya dan untuk yang digendong atau yang diusung, maka thawaf ini sah untuk yang digendong atau diusung saja. Sedangkan yang menggendong atau yang mengusung harus thawaf lagi untuk dirinya. Thawaf tidak sah dalam keadaan tidak berakal, begitu juga orang yang thawaf dengan ditandu/diusung tidak sah dalam keadaan pingsan atau tidak berakal.

    Tawaf 7x putaran, tidak boleh kurang dari 7x putaran walau selangkah. Ka’bah harus terletak disebelah kirinya. Tempat thawaf ialah seluruh bagian masjidil haram Mekkah.
    Mulai thawaf harus sebelum atau sejajar hajar aswad (lihat lampu hijau diatas yang sejajar dengan hajar aswad), karena kalau melebihi hajar aswad maka harus diulangi karena belum terhitung satu putaran. Baca tahlil (laailahaillallah), takbir dan kalau memungkinkan mencium hajar aswad, kalau repot/susah cukup melambaikan tangan nya kearah hajar aswad. Malah tidak disunnahkan bila sangat berdesakan orang untuk cium hajar aswad, karena bisa membahayakan dirinya.

    Sunnah pada 3 putaran pertama lari2 kecil (bagi lelaki) sampai sudut Yamani dan berjalan biasa antara sudut Yamani dan Hajar Aswad-Hajar. Mulai putaran keempat sampai ketujuh berjalan biasa. Umpama sangat berdesakan, carilah tempat yang agak luang untuk bisa lari2 kecil ini. Lari2 kecil ini hanya disunnahkan bagi orang yang tawaf disambung dengan sa’i. Dianjurkan banyak berdo’a, berdzikir dan sholawat kepada Nabi saw. waktu thawaf ini. Ketika tawaf boleh istirahat atau di putus sebelum 7 putaran (karena letih, waktu sholat tiba atau sholat jenazah dll). Setelah itu teruskan thawafnya ,jadi tidak perlu mengulang thawaf lagi, tapi ingat! harus dimulai ditempat semula waktu anda berhenti dan tidak boleh melebihi dari tempat semula ketika berhenti tsb. Bila melebihinya walaupun setapak maka belum dihitung satu putaran.
    Orang sedang mimisan atau muntah dalam thawaf, boleh berhenti untuk membasuh darah/muntahnya, lalu meneruskan thawafnya dari tempat semula dia waktu  berhenti. Begitu juga bila batal wudunya karena kentut dll. (bukan karena tersentuh lawan sejenis yang bukan muhrim waktu thawaf ini, karena menurut madzhab Syafií tidak batal wudunya karena darurat), maka harus wudu lagi kemudian meneruskan thawafnya dari tempat semula dia waktu berhenti. Thawaf harus suci dari hadats/ najis pakaian/sandal/badan dan dalam keadaan berwudhu, bila tidak demikian maka batal thawafnya. Bila orang ragu2 tentang putaran yang telah dijalani maka pilihlah jumlah yang paling kecil.
     
    Do’a singkat waktu thawaf: “Subhanallah, walhamdulillah, walaa ilaaha illallah, walllahu akbar, walaa haula walaa quwwata illa billaah, Allahummaj ‘alhu hajjan mabruura wadzanban maghfuuraa, wasa’yan masykuuraa. Robbigh fir warham wa’fu ‘ammaa ta’lam, wa antal a’azzul akram. Allahumma aatinaa fid dunyaa hasanatan wa fil aakhirati hasanatan wa ginaa ‘adzaaban naar ” .
    Artinya: (Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, dan tiada Tuhan melainkan Allah, Allah Maha Besar dan tiada daya maupun tenaga/upaya kecuali dengan Allah. Ya Allah jadikanlah hajiku ini haji yang mabrur/diterima, dosaku diampuni dan sa’iku dihargai.Ya Tuhanku, ampunilah daku dan kasihanilah dan maafkan kesalahan-kesalahanku yang Engkau ketahui, dan Engkaulah Yang Maha Kuat dan Maha Mulia. Ya Allah, berilah kami di dunia kebaikan dan di akhirat juga kebaikan dan lindunginlah kami dari siksa neraka). 
    Antara rukun Yamani dan hajar aswad membaca do’a: ‘Allahumma aatinaa fid dunyaa hasanatan wa fil aakhirati hasanatan wa ginaa ‘adzaaban naar. Allahumma gonni’nii bimaa rozaqtanii wa baariklii fiihi, wakhlif ‘alaiya kulla ghaaibatin bikhoirin’. Artinya: (Ya Allah, berilah kami di dunia kebaikan dan di akhirat juga kebaikan dan lindunginlah kami dari siksa neraka. Ya Allah berilah daku kecukupan dengan rezeki yang telah Engkau berikan padaku, dan berilah daku berkah padanya, serta gantilah segala barang yang hilang dengan yang baik). Do’a ini juga boleh dibaca pada waktu thawaf juga.
     
    Setelah Thawaf: pergilah dibelakang maqam Ibrahim (kalau bisa sambil membaca Wattakhidzu min Maqaami Ibraahima musholla), untuk sholat 2 rakaat dengan niat sholat sunnah thawaf. Rakaat pertama setelah Fatihah membaca surat Al-Kafirun, dan rakaat kedua setelah Al-Fatihah baca surah Al-Ikhlas. Dianjurkan juga untuk berdo’a setelah sholat ini. Kemudian pergilah ke tempat Zam Zam untuk minum air nya, waktu mau minum menghadaplah ke Ka’bah, ingatlah Allah, bernafaslah tiga kali dan minumlah sampai puas (banyak) sambil memuji Allah serta berdo’a: Allahumma innii as aluka ‘ilman naafi’an warizqan waasi’an wasyifaa-an min kulli daain. Artinya: (Ya Allah, aku memohon kepadaMu agar diberi ilmu yang bermanfaat, rezeki yang luas dan agar disembuhkan dari segala penyakit). 
    Sisakan sedikit airnya dan usapkan pada dada dan muka anda. Dari tempat Zam Zam ini pergilah ke Multazam (antara hajar aswad dan pintu Ka’bah) berdo’alah disini. Kemudian masuklah ke Hijr Ismail sholatlah disini sunnah muthlaq (hanya niat sholat saja) 2 raka’at, dianjurkan juga untuk berdo’a disini.
     
    V. Sa’i :
    7 putaran. Termasuk rukun haji jadi tidak bisa diganti dengan Fidyah. Menurut imam Syafi’i, sah sa’inya orang yang diusung atau didorong dengan kereta walaupun tidak sakit. Sa’i adalah sambungan dari tawaf bagi yang melakukan umrah atau haji dan tidak boleh dilaksanakannya sebelum thawaf.
    Setelah selesai semua amalan thawaf dan sunnah2nya diatas, pergilah ke pintu namanya Shofa dan naiklah kelembah Shofa sambil membaca Innas Shofa Wal Marwata min Sya’aairilllah Faman Hajjal baita auwi’ tamara falaa junaaha ‘alaihi an yattauwafa bihimaa. (Al-Baqarah:158), kemudian baca [Abdau bimaa badaallahu bihi/Aku mulai dengan apa yang dimulai oleh Allah].
    Sampai dilembah ini menghadap ke Ka’bah mengucapkan tahlil, takbir 3X , memuji Allah swt. dan berucap: Lailaha illallah wahdahu laa syariikalah lahul mulku walahul hamdu yuhyii wa yumiitu wahua ‘ala kulli syai in qodiir. Lailahaillah wahdahu anjaza wa’dahu wa hazamal ahzaaba wahdahu, kemudian berdo’a, lakukanlah 3x.

    Kemudian turun kebawah berjalan menuju ke Marwa. Diantara 2 tonggak sunnah lari2 kecil (bagi lelaki). Diantara 2 tonggak ini ,menurut riwayat, lokasi rumah sayidina Abbas bin Abdul Muthalib ra. Sampai mulai naik kelembah Marwa, bacalah seperti diatas , Innas Shofa Wal Marwata min Sya’aairilllah Faman Hajjal baita auwi’ tamara falaa junaaha ‘alaihi an yattauwafa bihimaa. Sesampai dilembah Marwa, menghadap kiblat membaca do’a seperti di Shofa. Ulangi seperti itu setiap kali berada di Shofa dan Marwa sampai 7x putaran mulai dari shofa terakhir di marwa.
    Setelah sa’i terakhir di Marwa menghadap ka’bah dan berdo’alah sesuka hati atau lihat kumpulan doa2 dalam buku manasik haji. Setelah itu guntinglah rambut (jangan dicukur gundul). Maka halal semua yang dilarang waktu ihram umrah ini.  Orang yang tidak mampu sa’i walaupun dengan naik kendaraan boleh diwakilkan, hajinya sah. Orang yang sengaja menambah 7 putaran batal sa’inya, tetapi kalau tak tahu atau lupa tidak apa2. Keraguan dalam sa’i tetap sah, tapi yang penting yakin 7x. Umpama ragu 5 atau 6x putaran ambil yang sedikit kemudian lengkapkan 7x.
     
    Do’a singkat waktu berjalan antara Shafa dan Marwa: ‘Rabbiqh fir warham, wahdinis sabiilal aqwam, innaka antal a’azzulk akram’. Artinya (Ya Tuhanku, ampunilah dan beri rahmatlah daku, serta tunjukilah daku jalan yang lurus sungguh Engkau Maha kuat lagi Maha Mulia).
     
    VI. Ke Mina:
    Tanggal 8 dzulhijjah pergi ke Mina. Kita pakaian ihram lagi dari rumah/hotel cara sunnah2nya lihat atas nr. (II). Sedang untuk niatnya tidak sama dengan diatas, karena diatas kita niat untuk ‘Umrah, sekarang kita niat haji tamattu ketika pakai ihram, lebih mudahnya kami tulis niatnya sbb:
    (Allahumma inni uriidul hajji tamattu’  fayassirhu li wa taqabbalahu minni. Nawaitul haj tamattu wa ahramtu bihi lillahi ta’ala. Artinya: ‘Ya Allah sesungguhnya aku ingin haji tamattu, maka mudahkanlah buatku dan terimalah dariku. Saya berihram dan dengannya saya niat haji tamatu karena Allah yang maha tinggi’), kemudian baca talbiyah (labbaik allahumma labbaik, labbaik laa syariikalaka labbaika innal hamda wan ni’mata laka wal mulka laa syariikalaka 3X) setelah itu baca sholawat kepada Rasulallah saw.
    Kemudian sholat sunnah dengan niat untuk ihram haj tamattu’ minimal 2 raka’at sampai 6 raka’at. Setelah sholat ucapkanlah:
    Labbaik Allahumma bi Haj (bagi haji Tamattu’) kemudian Talbiyah lagi (Labbaik Allahumma labbaik.Labbaik  laa syarikalaka labbaik, Innal hamda wan ni’mata laka wal mulka laa syariika laka 3X), baca sholawat kemudian baca doa: Allahumma ilaika shomadtu, wa iyyaaka I’tamadtu wawajhaka aradtu. Fa as aluka an tubaarika lii rihlatii wa an taqdhii lii haajatii wa taj ‘alanii mim man tubaahii bihil yauma man huwa afdhalu minnii. 
    Membaca Talbiyah ini mulai ber-ihram tgl. 8 dzulhijjah sampai waktu pelemparan jumrah ‘Aqabah hari pertama tanggal 10 Dzulhijjah. Di Mina sini kita sholat Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Shubuh, tidak dijamak. Disini kita dianjurkan juga berdzikir, talbiyah, berdo’a, bersholawat dan sebagainya. Tanggal 9 dzulhijjah ,setelah terbit matahari, kita berangkat ke ‘Arafah sambil bertalbiyah, takbir, tahlil dan disunnahkan melalui jalan Dhab.
     
    VII. Arafah :  
    Termasuk rukun Haji, tidak boleh ditinggalkan. Wukuf disini berlaku mulai tergelincir nya matahari (waktu dhuhur) sampai terbenamnya matahari atau sampai shubuh tanggal 10 dzulhijah. Boleh juga ke Arafah 1-2 hari sebelum tgl. 9 dzulhijah, khusus nya bagi yang sakit, tua, wanita atau takut berdesakan. Pokoknya di arafah orang harus wukuf waktu dhuhur tgl. 9 dzulhijjah.
    Di Arafah ini kita sholat Dhuhur dan Ashar dijamak (dirangkap), baik itu secara sendirian atau secara berjama’ah.
    Wukuf antara waktu dhuhur sampai shubuh tgl. 10 ,walaupun sesaat, sahlah wukuf tsb. Bila orang wukuf mulai dhuhur sampai shubuh tgl.10 dalam keadaan pingsan dan tidak berakal, maka hajinya batal. Tetapi bila dia kembali sehat waktu wukuf ,walaupun sesaat, kemudian pingsan lagi, maka hajinya sah. Hanya dalam keadaan seperti itu dikenakan denda seekor kambing. Begitu juga bila orang masuk arafat setelah dhuhur dan keluar sebelum matahari terbenam, sah hajinya, tapi bayar fidyah Dam.   
    Sunnah wukuf dibatu-batu besar dan dianjurkan juga membaca talbiyah, takbir, dzikir, do’a dan sholawat kepada Rasulallah saw. Setelah terbenam matahari tanggal 9 dzulhijjah, kita keluar darisini menuju ke Muzdalifah.
     
    Bacaan dan do’a singkat waktu wukuf di ‘Arafah: ‘Laa ilaaha illallahu wahdahu laa syariikalah, lahul mulku, walahul hamdu, biyadihil khairu wahuwa ‘alaa kulli syai-in qadiir. Allahumma lakal hamdu kalladzii taguulu wa khoiran mimmaa naguulu, Allahumma laka sholaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii wa ilaika ma-aabii wa laka robbi turaatsii, Allahumma innii a’udzubika min ‘adzaabil gobri, wa waswasatish shodri, wa syataatil amri, Allahumma innii a’udzubika min syarri maa tahubbu bihir riihu’.
    Artinya (Tiada Tuhan melainkan Allah, Tunggal tidak bersekutu, milikNya kerajaan dan bagiNya puji-pujian, di tanganNya tergenggam kebaikan dan Dia kuasa berbuat segala sesuatu. Ya Allah, bagiMulah puji segala apa yang Engkau firmankan dan lebih baik dari apa yang kami ucapkan, Ya Allah bagiMulah sholatku dan ibadatku, hidup serta matiku dan kepada Mu kembaliku serta bagiMu ya Tuhanku hart peninggalanku, Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari siksa kubur dan rasa waswas di dada serta dari tercerai berainya urusan, Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari bencana yang dibawa oleh tiupan angin).
     
    VIII. Muzdalifah :
    Setelah terbenam matahari tanggal 9 dzulhijah kita keluar dari Arafat menuju ke Muzdalifah. Menurut imam Hanafi/Syafi’i/Ahmad, hukumnya wajib tetapi bukan rukun Haji, yang meninggalkan dikenakan Fidyah seekor kambing. Di Muzdalifah kita menginap, sholat Maghrib dan Isya’ disini dengan dijamak. Apabila orang sampai tengah malam belum sampai di Muzdalifah maka sholatlah maghrib+isya’ ditempat manapun dia berada.
    Disunnahkan ambil batu kerikil sebesar biji jagung atau lebih besar sedikit, untuk melempar jumrah dari tempat ini, sejumlah 70 bagi yang melempar sampai dengan tgl. 13 Dzulhijjah, sedangkan untuk yang sampai dengan tanggal 12 Dzulhijjah maka jumlahnya 49 biji. Boleh juga mengambil batu dilain tempat, sedangkan mengambil batu dari tempat pelemparan jumrah hukumnya makruh. Setelah sholat shubuh tgl. 10 Dzulhijjah berjalan ke Masy’aril Haram, disini kita dianjurkan juga untuk berdo’a, berdzikir, talbiyah.
    Masuk Muzdalifah dari tengah malam pertama sampai shubuh, itu sah walaupun sebentar saja disitu. Orang boleh keluar dari muzdalifah setelah tengah malam, tetapi kalau sebelum tengah malam keluar dan tidak kembali lagi maka dikenakan denda seekor kambing. Begitu juga denda seekor kambing bagi orang yang tidak masuk muzdalifah antara tengah malam pertama sampai waktu shubuh.
    Setelah sholat shubuh berjalan ke Masy’aril haram, sesampai disini kita disunnahkan do’a, berdzikir, talbiyah. Setelah matahari agak terang tapi belum terbit tanggal 10 dzulhijah, kita berangkat menuju pelemparan Jumrah ‘Aqabah.
    Batas2nya muzdalifah: dari Ma’zimi sampai ke Al-Hiyadh dan sampai ke Wali Mahsar.
     
    IX. Lempar jumrah:
    Jumhur ulama mengatakan hukumnya wajib, tapi bukan termasuk rukun haji. Jadi bila orang meninggalkannya maka harus bayar fidyah seekor kambing. Waktu melempar setan pada jumrah, kita niat menurut perintah agama dan mengikuti jejak Nabi Ibrahim as. Setiap lemparan berkata Bismillah Allahu Akbar, dan berdo’a Ya Allah jadikanlah haji ini haji yang diterima, dan dosa yang diampuni.
    Melempar harus dengan batu atau sejenisnya (marmer, batukarang, granit dll.) dan bersih dari najis. Selain batu umpama; tanah liat yang sudah mengeras, tanah liat yang dibakar [bata,genting dll., garam padat), tidak boleh dibuat melempar.
    Adapun besar batunya ialah sebesar khadaf (ujung jari tangan) atau sebesar biji kacang.
    Setiap jumrah dilempar dengan 7 buah batu, tidak boleh kurang walaupun satu batu. Menurut imam Syafi’i dalam kitabnya Al-umm, bila orang sudah melempar 3 jumrah tapi lemparannya kurang satu dan dia tidak tahu jumrah mana yang kurang lemparan nya tsb.,maka dia harus mengulang seluruh lemparannya.
    Lemparan juga baru sah bila telah kena jumrahnya atau masuk kedalam sumur tampungan kerikil. Bila tidak kena jumrah atau tidak jatuh pada sumur tampungan nya, maka harus diulangi lemparan yang belum kena tsb. Orang juga harus melempar satu2, tidak boleh dua2 atau sekaligus 7 batu  dan harus dilemparkan tidak hanya dijatuhkan
    Melempar jumrah pada hari pertama hanya jumrah Aqabah saja dan  dimulai setelah terbit matahari tgl. 10 DzulHijjah sampai terbenam matahari.
    Menurut imam Syafi’i dalam kitabnya Al-umm, boleh mendahulukannya atau mengakhirkannya sampai malam hari atau esok harinya. Selain imam Syafi’i, tidak boleh melempar sebelum matahari terbit tanpa adanya udzur/halangan (sakit, takut dll.) Dibolehkan juga sebelum matahari terbit dengan syarat melempar tsb. dilaksana kan setelah lewat tengah malam sebelum terbit fajar shubuh.

    Setelah lempar pada hari pertama ini, kembali ke Mina untuk memotong hewan Qurban, memotong atau mencukur rambut namanya Tahallul pertama. Sekarang semuanya menjadi halal kecuali bersenggama.
    Menurut imam Syafi’i dalam kitabnya Al-umm, bila orang mencukur sebelum berkurban atau kurban sebelum mencukur atau sembelih kurban sebelum lempar jumrah aqabah, semuanya adalah sah.

    Pada hari2 (tasyriq) berikutnya (tgl.11,12,13 dzulhijah), setiap harinya melempar 3 jumrah, pertama lempar jumrah Ula kemudian jumrah Wustha dan Aqabah serta waktu mulai pelemparannya harus setelah zawal (dhuhur), bila melempar sebelum dhuhur harus diulangi.
    Setiap selesai pelemparan Ula (pertama) dan Wustha (tengah) pada hari2 tasyriq, disunnahkan menghadap kiblat untuk berdoa (isi doa bisa didapati dikitab manasik haji). Sedangkan setelah lempar jumrah Aqabah pada hari tasyriq, tidak perlu doa lagi. Barangsiapa lupa melempar siang hari, maka boleh dilakukan pada malam hari. Bila orang lupa melempar semua jumrah dan baru ingat tgl.12 atau tgl. 13 dzulhijah, maka pada hari itu dia harus melempar semua jumrah, dengan syarat pada tgl.11/12 atau sampai dengan tgl.13 berada di Mina, bila tidak di Mina maka dikenakan denda.
    Bagi orang yang berhalangan untuk melempar (tua, lemah/ sakit) boleh diwakilkan pelemparan kepada orang lain dan niatkan pelemparan tsb. untuk orang yang di wakili.

    Keterangan singkat tentang sembelihan binatang kurban:
    Menurut imam Syafi’i dalam kitabnya Al-umm, bila sembelihan kurban sebagai amalan wajib, maka tidak boleh memakannya (hasil kurbannya), bila dia memakan nya maka harus bayar denda seharga daging yang ia makan. Namun bila kurban sunnah (kurban idul adha, aqiqah dll.) maka boleh memakan sebagian dagingnya, memberi makan fakir miskin, menghadiahkan pada orang lain, menyimpannya atau menyedekahkannya. Tetapi lebih baik 1/3 dimakan/disimpan, 1/3 dihadiahkan dan 1/3 lagi disedekahkan. Disunnahkan memakan jantung daging kurban.    
     
    X. Thawaf Ifadhah:
    Setelah selesai kurban dan cukur rambut pada tgl. 10 dzulhijjah, maka pada malam hari tanggal 10 Dzulhijjah kita ke Mekkah untuk thawaf Ifadhah/ziarah dan niat thawaf Ifadhah. Ijma’ para ulama thawaf ini sebagai rukun haji tidak bisa diganti dengan Fidyah. Setelah thawaf ini disunnahkan sholat sunnah thawaf dua raka'at, di belakang maqam Ibrahim, kemudian dilanjutkan dengan sa’i. Setelah sa’i, mencukur rambut (tahalul kedua), maka semuanya halal. 
    Waktu terakhirnya thawaf ifadah, menurut imam Syafi’i, tidak terbatas tetapi selama orang belum thawaf Ifadhah maka tidak boleh bersenggama. Sedangkan untuk wanita dianjur kan mengerjakan dengan segera karena dikhawatirkan kedatangan haidh. Wanita juga dibolehkan meminum obat untuk menyetop haidh pada bulan haji itu, selama obat itu tidak menjadikan bahaya buat dirinya.
    Setelah thawaf ifadhah, kita kembali lagi ke Mina untuk menginap disana tanggal 11,12, 13 Dzul Hijjah (Hari2 Tasyriq).
     
    XI. Mina:
    Menurut Imam Malik, Syafi’i dan Imam Ahmad, bermalam disini selama 2 malam, yaitu malam kesebelas dan kedua belas dzulhijjah hukumnya wajib, sedangkan malam ketiga belas sunnah. Menginap diluar batas Mina, harus bayar denda 1 dirham  untuk 1 malam, 2 dirham untuk 2 malam sedangkan 3 malam dendanya seekor kambing.  Amalan2 yang harus dilakukan pada hari2 tsb. melempar 3 jumrah (baca keterangan pada lempar jumrah). Di Mina juga dianjurkan berdo’a, berdzikir dan bersholawat tetapi tidak bertalbiyah lagi.
    Imam Mujahid mengatakan tidak ada salahnya bila permulaan malam berada di Mekkah dan setelah itu berada di Mina atau sebaliknya awal malam di Mina dan akhirnya di Mekkah. Tetapi paling utama adalah bermalam disana.
    Keluar dari Mina  dianjurkan sebelum terbenamnya matahari tgl. 12 atau tanggal 13 dzulhijjah. Orang yang menginap sampai dengan tgl. 12 harus meninggalkan mina sebelum matahari terbenam, bila setelah matahari terbenam, maka dia harus menginap lagi sampai dengan tgl. 13 dzulhijjah. 

    XII.Thawaf Wada’:
    Artinya Thawaf selamat tinggal/Perpisahan dengan Ka’bah.
    Thawaf ini merupakan upacara haji terakhir yang dilakukan oleh orang yang berhaji ,bukan penduduk Mekkah. sewaktu hendak berangkat meninggalkan kota Mekkah.
    Dalam thawaf wada’ ini tidak disunnahkan lari2 kecil pada 3 putaran pertama.

    Hukumnya: Para ulama sepakat bahwa ia disyari’atkan, berdasarkan hadits yang di riwayatkan oleh Imam Muslim dan Abu Dawud dari Ibnu ‘Abbas.: “Orang-orang berpaling, menuju pelbagai jurusan. Maka sabda Nabi saw.; ‘Janganlah salah seorang darimu berangkat, sebelum ia melakukan pertemuan terakhir dengan Baitullah (Ka’bah).
    Menurut madzhab Imam Hanafi, golongan Imam Ahmad (Hanbali) dan satu riwayat dari pendapat Imam Syafi’i hukumnya adalah wajib, jadi siapa yang meninggalkan- nya diwajibkan membayar fidyah (seekor kambing).
    Waktunya : Setelah selesai dari manasik Haji dan mau pulang ke negerinya (keluar dari Mekkah) agar thawaf ini pertemuan yang terakhir dengan Ka’bah sebagai yang telah dikemukakan pada hadits diatas. Setelah thawaf hendaklah ia langsung berangkat, tanpa melakukan pembelian atau penjualan atau tinggal beberapa lama lagi di Mekkah. Bila ia melakukan hal itu maka menurut ulama harus mengulangi thawafnya ini. Kecuali bila ada sesuatu kepentingan atau halangan yang harus diselesaikannya dan tidak bisa ditinggalkannya, maka tidak perlu di ulanginya. Oleh karenanya usahakan sebelum thawaf wada’ ini semuanya sudah beres dan siap langsung berangkat. 

    Wanita yang haidh tidak wajib tawaf wada’, tetapi kalau dia sudah suci dan masih berada di Mekkah, maka wajib atasnya untuk thawaf sebelum meninggalkan Mekkah. Bila dia meninggalkan mekkah, padahal waktu di Mekkah sudah suci, maka dia harus kembali kalau masih dekat jaraknya yakni tidak lebih dari jarak qashar/89km. Bila sudah lebih dari jarak qashar, maka dia harus mengirimkan kurban ke Mekkah untuk disembelih disana. Sedangkan wanita istihadah wajib thawaf dihari-hari waktu ia biasa sholat, kalau yakin bukan darah haidh, kalau meninggalkan thawaf wada’ maka harus bayar Dam. 

    Do’a pada waktu thawaf Wada’/perpisahan: ‘Allahumma innii ‘abduka, wabnu ‘abdika wabnu amatika, hamaltanii ‘alaa maa sakhkhorta lii min kholgika, wasatartanii fii bilaadika hattaa ballaghtanii bini’matika ilaa baitika wa a’antanii ‘alaa adaai nusukii, fain kunta rodhiita ‘annii fazdad ‘annii ridhoo, wa illaa faminal aana fardha ‘annii gobla an tan-aa ‘an baitika daarii, fa haadzaa awaanun shiraafii in adzinta lii ghoira mustabdilin bika walaa bi baitika, walaa raaghibin ‘anka, walaa ‘an baitika, Allahumma fash-hibniil ‘aafiyata fii badanii, wash shihhata fii jismii, wal ‘ishmata fii diinii, wa ahsin mungalabii, war zuqnii thoo’ataka maa abgoitanii, waj ma’ lii baina khoirayid dunyaa wal aakhirati, innaka ‘alaa kulli syai-in godiir’.
    Artinya (Ya Allah, aku ini adalah hamba Mu dan putra dari hamba dan sahayaMu, Engkau bawa aku dengan mengendarai makhluk yang Engkau kuasakan kepadaku, Engkau lindungi aku di-wilayah2 kekuasaan Mu hingga dengan karuniaMu sampailah aku ke rumahmu (baca: Ka’bah), Engkau beri aku bantuan dalam menunaikan ibadah hajiku, maka jika aku telah Engkau ridhai, tambahlah kiranya keridhaan itu, dan jika belum, maka ridhailah aku sekarang ini, sebelum rumahku terpisah jauh dari rumahMu (baca:Ka’bah). Maka jika Engkau izinkan, sekarang ini adalah saat keberangkatan ku tanpa menggantiMu atau mengganti rumahMu, terhindar dari kebencian kepadaMu atau kepada rumahMu. Ya Allah, mohon tubuhku selalu disertai oleh keselamatan dan badanku oleh kesehatan, begitu pun agamaku dengan perlindungan. Selamatkanlah kepulanganku, limpahkanlah ketaatan kepadaMu selama hayatku dan himpunlah buatku kebaikan dunia serta akhirat. Sungguh Engkau kuasa atas segala sesuatu.)
    Imam Syafi’i berkata: ‘Saya suka jika seseorang (setelah) melakukan thawaf perpisahan berdiri di Multazam lalu menyebut hadits (do’a) diatas’.
     
    Bagi orang yang ingin membaca do’a-do’a lebih panjang dan komplit, silahkan beli buku manasik haji yang tercantum do’a-do’a untuk setiap putaran waktu thawaf, sa’i, di Multazam dan lain sebagainya.
     
    Ziarah ke Madinah :
    Janganlah kita lupa untuk mampir ke Masjid Nabawi di Madinah serta ziarah junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw. penghulu seluruh Nabi dan Rasul. Tanpa beliau saw. kita tidak mengetahui syari’at Islam, dengan ziarah pada beliau lebih mengingatkan kita kembali kepada Allah swt. dan Rasul-Nya. Di masjid Nabawi juga ada kuburan sahabat Rasulallah saw yaitu Sayyiduna Abubakar dan Sayyiduna ‘Umar bin Khattab -radhiyallahánhuma-.
    Begitu juga ziarah pada kuburan Baqi’ yang mana disitu para isteri dan ahlul-bait Rasulallah saw.antara lain; imam Hasan bin Ali bin abi thalib, imam Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin abi Thalib, Imam Muhamad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin dan Imam Jakfar As-Shodiq putra Imam Muhamad al-Baqir dll. –radhiyallahu’anhum—, dikuburkan. Menurut riwayat, tidak kurang dari 10 ribu sahabat yang dikubur disitu, termasuk juga sayidina Utsman bin ‘Affan ra.

    Jangan lupa juga ziarah kepada isteri Rasulallah saw. yang pertama Siti Khadijah Al-Kubra yang dikubur di Ma’la, di Mekkah. Kemudian ziarahlah ketempat Uhud dimana Sayyidina Hamzah dan para syuhada lainnya dikuburkan disana.
    Jangan lupa juga untuk mendatangi masjid Kuba, masjid Qiblatain dan masjid-masjid lainnya yang bersejarah, sholatlah dua raka’at disana sebagai sholat Tahiyyatul Masjid. Tempat-tempat itu semua selalu diliputi oleh Barokah dan Rahmat Ilahi. Untuk lebih mendetail baca bab ziarah kubur dan pengambilan barokah, tawassul dll. disitus ini. .
     
    Adab/cara memasuki masjid Madinah dan berziarah:  
    −Disunnahkan masuk masjid Nabawi di Madinah dengan tenang dan tenteram, mengenakan pakain yang terbaik dan memakai wangi-wangian, melangkahkan kaki sebelah kanan sambil membaca: “ A’udzu billahil ‘adhim, wa biwajhihil kariim, wa sulthonihil godiim, minasy syaithonir rojiim. Bismillah, Allahumma sholli ‘alaa sayyidinaa Muhammadin wa aalihi wa sallam. Allahummagh firlii dzunuubii waftah lii abwaaba rohmatika”.
    Artinya: (Aku berlindung kepada Allah yang Maha Besar dan dengan wajahNya yang Mulia serta kekuasaan-Nya yang Azali dari godaan setan yang terkutuk. Dengan nama Allah, Ya Allah limpahkanlah karunia dan kesejahteraan atas junjungan kita Muhammad dan keluarganya. Ya Allah ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat Mu.)
    Sunnah mendatangi dan menghadap kemakam Rasulallah saw. sambil mengucap kan salam: ‘Assalaamu’alaika ya Rasulallah, assalaamu ‘alaika ya habibullah, assalaamu’alaika yaa nabiyallah, assalaamu’alaika yaa khiyarata khalgillaahi min khalqih, assalaamu ’alaika khaira khalgillah, , assalaamu’alaika yaa sayyidal mursaliin,  assalaamu’alaika yaa rasullallaahi rabbil ‘aalamiin, assalaamu’alaika gooidal ghorril muhajjaliin. Asyhadu an laa ilaa ha illallah, wa asyhadu annaka ‘abduhu wa rasuuluhu wa amiinuhu wa khiyaratuhu min kholgihi. Wa asyhadu annaka gad ballaghtar risaalata wa addaital amaanata wa nashohtal ummata, wa jaahadta fillahi haqqa jihaadihi’. Artinya (Selamat sejahtera atasmu wahai Rasulallah, selamat sejahtera atasmu wahai kekasih Allah, selamat sejahtera atasmu wahai Nabi Allah, selamat sejahtera atasmu wahai makhluk pilihan di antara makhluk2 Ilahi, selamat sejahtera atasmu wahai sebaik-baik makhluk, selamat sejahtera atasmu wahai penghulu semua Rasul, selamat sejahtera atasmu wahai Rasul dari Allah Tuhan seluruh alam dan selamat sejahtera atasmu wahai panglima dari orang-orang cemerlang dan terkemuka. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa anda adalah hamba dan utusan-Nya, kepercayaan-Nya dan makhluk pilihan-Nya. Aku bersaksi bahwa anda telah menyampaikan risalat, memenuhi amanat, mengajari umat dan berjuang di jalan Allah sebenar-benar berjuang). Kemudian berdo’lah kepada Ilahi apa yang anda inginkan, dengan menghadapkan wajah anda ke makam Rasulallah saw. (masalah menghadap kiblat ketika do’a dimuka makam Rasulalallah saw, silah kan baca keterangan terakhir dibawah ini).
    Dan bila ada orang yang titip salam kepada Rasulallah saw. maka ucapkanlah: ‘Assalaamu’alaika ya Rasulallah min…artinya: (selamat sejahtera atasmu wahai Rasulallah dari…..).

    Kemudian geser kira-kira dua langkah kekanan (bagi kaum wanita yang tidak bisa masuk bagian depan makam Rasulallah saw. maka makam Rasulallah dari bagian belakang ini, letaknya adalah paling kanan, kemudian geser kekiri untuk makam sayyidinaa Abubakar dan kekiri lagi untuk makam sayyidina Umar) dan mengucapkan salam kepada sayyiduna Abubakar Ash-Shiddiq: ‘Assalaamu ’alaika ya kholiifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Allahummardho ‘anhu,  wa akrim magaamahu bifadhlika wa karamika’. Artinya (selamat sejahtera atasmu wahai kholifah Abubakar Ash-Shiddiq, Ya Allah limpahkan ridhoMu kepadanya dan muliakanlah tempatnya dengan karuniaMu dan kemuliaanMu). Kemudian geser lagi kekanan ke makam sayyidinaa Umar ucapkanlah yang sama kepada khalifah Abubakar Ash-Shiddiq hanya namanya saja dirubah.

    Dari makam sini anda usahakanlah masuk ke raudhah syarifah (taman yang mulia) letaknya antara makam Rasulallah dan mimbar beliau saw.. Sholatlah disini 2 raka’at dengan niat sholat tahiyyatul masjid. Bagi yang sudah sholat tahiyatul masjid maka sholatlah disini 2 rakaat atau lebih dengan niat sholat sunnah muthlaq (hanya niat untuk sholat saja). Tapi ingat, sholat muthlaq tidak boleh dilakukan pada waktu2 berikut ini : Setelah sholat shubuh, setelah sholat ashar, matahari baru terbit, matahari ketika ditengah-tengah ufuk sebelum waktu dhohor masuk dan ketika matahari mau terbenam.    
     
    − Setelah keluar dari masjid Nabawi pergilah ke kuburan Baqi’ ( dekat masjid Nabi saw). Hadapkanlah wajah anda kearah Baqi’ ini sambil membaca:
    ‘Assalaamu ‘alaa ahlid diyaar minal mu’miniina wal muslimiina wa yarhamullahal mustaqdimiina minnaa wal musta’khiriina, wa innaa insyaa Allah bikum laa hiquun, Allahummagh fir li ahli baqi’il ghorqad’. Artinya (salam atasmu wahai penduduk kampung, dari golongan mukminin dan muslimin. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya pada kita bersama, baik yang telah terdahulu maupun yang terbelakang, dan insya Allah kami akan menyusul kemudian, Ya Allah berilah ampunan bagi penduduk [ahli kubur] Baqi’ yang berbahagia ini) Kemudian berdo’alah kepada Allah swt, apa yang anda inginkan.

    Begitu juga bila anda ziarah ke Uhud kemakam sayidina Hamzah bin Abdul Muthalib ,paman Rasulallah saw, yang gugur dalam peperangan uhud bersama para syuhada uhud lainnya, hadapkanlah wajah anda kemakam tsb. dan ucapkanlah salam dan doa:
    Assalamu’laika ya sayidina Hamzah, ‘Assalaamu ‘alaikum ya  ahlid diyaar minal muslimiina wa yarhamullahal mustaqdimiina minnaa wal musta’khiriina, wa innaa insyaa Allah bikum laa hiquun, Allahummagh fir li ahlil uhud. Allahummardho ‘anhum,  wa akrim magaamahum bifadhlika wa karamika’. Artinya (salam atasmu wahai yang kami muliakan Hamzah, salam atas kalian wahai penduduk kampung dari golongan muslimin. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya pada kita bersama, baik yang telah terdahulu maupun yang terbelakang, dan insya Allah kami akan menyusul kemudian, Ya Allah berilah ampunan bagi penduduk [ahli kubur] Uhud. Ya Allah limpahkan ridhoMu kepada mereka dan muliakanlah tempat mereka, dengan karuniaMu dan kemuliaanMu).
    Wallahu a’lam.

    {{ INFO:  Masalah berdoa menghadap kearah kiblat waktu berziarah, berasal dari peristiwa yang dialami oleh Imam Malik bin Anas ra, yaitu ketika beliau mendapat tegoran dari Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur di dalam masjid Nabawi di Madinah. Ketika itu Imam Malik menjawab: "Ya Amirul-Mu’minin, janganlah anda bersuara keras di dalam masjid ini, karena Allah swt. telah mengajarkan tatakrama kepada ummat ini dengan firman-Nya: ‘Janganlah kalian memperkeras suara kalian (dalam berbicara) melebihi suara Nabi….sampai akhir ayat (QS.Al-Hujurat :2). Allah swt. juga memuji sejumlah orang dengan firman-Nya: ‘Sesungguhnya mereka yang melirihkan suaranya dihadapan Rasulallah…sampai akhir ayat(QS. Al-Hujurat:3). Begitu juga Allah swt. mencela sejumlah orang dengan firman-Nya: ‘Sesungguhnya orang-orang yang memanggil-manggilmu dari luar kamar…sampai akhir ayat’. (QS.Al-Hujurat :4).
    Rasulallah saw adalah tetap mulia, baik selagi beliau masih hidup maupun setelah wafat. Mendengar jawaban itu Abu Ja’far terdiam, tetapi kemudian bertanya: ‘Hai Abu ‘Abdullah (nama panggilan Imam Malik), apakah aku harus berdo’a sambil menghadap Kiblat, atau menghadap (pusara) Rasulallah saw.?’. Imam Malik menjawab: ‘ Mengapa anda memalingkan muka dari beliau saw, padahal beliau saw. adalah wasilah anda dan wasilah Bapak anda, Adam as., kepada Allah swt. pada hari kiamat kelak? Hadapkanlah wajah anda kepada beliau saw. dan mohonlah syafa’at beliau, beliau pasti akan memberi syafa’at kepada anda di sisi Allah swt. Allah telah berfirman: ‘Sesungguhnya jikalau mereka ketika berbuat dhalim terhadap dirinya sendiri (lalu segera) datang menghadapmu (Muhammad saw.)sampai akhir ayat"(QS. An-Nisa:64). [Kisah ini diriwayatkan oleh Al-Qadhi ‘Iyadh dengan isnadnya yang terdapat didalam kitabnya Al-Ma’ruf Bisy-Syifa Fit-Ta’rif pada bab Ziarah]. 
    Banyak ulama yang menyebut peristiwa/riwayat diatas ini. Imam Nawawi didalam kitabnya yang berjudul Al-Idhah Fi Babiz-Ziyarah mengetengahkan juga kisah diatas tersebut. Demikian juga didalam Al-Majmu jilid VIII halaman 272.Ibnu Taimiyyah sendiri dalam Iqtidha-us Shiratul-Mustaqim halaman 397, menuturkan apa yang pernah diriwayatkan oleh Ibnu Wahb mengenai Imam Malik bin Anas. "Tiap saat ia (Imam Malik) mengucapkan salam kepada Nabi saw, ia berdiri dan menghadapkan wajahnya ke arah pusara Nabi saw, tidak kearah kiblat. Ia mendekat, mengucapkan salam dan berdo’a, tetapi tidak menyentuh pusara dengan tangannya"

    Al-Khufajiy didalam Syarhusy-Syifa menyebut, bahwa As-Sabkiy mengatakan sebagai berikut: " Sahabat-sahabat kami menyatakan, adalah mustahab jika orang pada saat datang berziarah ke pusara Rasulallah saw menghadapkan wajah kepada nya (Rasulallah saw) dan membelakangi Kiblat, kemudian mengucapkan salam kepada beliau saw, beserta keluarganya (ahlu-bait beliau saw) dan para sahabatnya. Lalu mendatangi pusara dua orang sahabat beliau saw. (Khalifah Abubakar dan Umar –radhiyallhu ‘anhuma). Setelah itu lalu kembali ketempat semula dan berdiri sambil berdo’a " (Syarhusy Syifa jilid III halaman 398). Lihat pula kitab Mafahim Yajibu An Tushahhah, oleh As-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi Al-Maliki Al-Hasani, seorang ulama di Tanah Suci, Makkah. Dengan demikian tidak ada ulama yang mengatakan cara/adab berziarah dengan menghadapkan wajah kepusara ketika berdo’a, adalah haram, bid’ah mungkar, sesat dan lain sebagainya, kecuali golongan pengingkar dan pengikutnya }}.

    Menentukan Hilal awal masuknya Ramadhan &bulan Syawal
    Setiap kali kita selalu melihat dan mendengar perbedaan antara kaum muslimin mengenai kapan awal masuknya bulan Ramadhan dan keluarnya dari ibadah bulan ini, yakni awal masuknya bulan syawal ‘idul Fithri. Tidak lain salah satu sebab perbedaan itu ialah karena sebagian besar/mayoritas negara-negara Muslim didunia ini untuk memutuskan kapan awal masuk bulan Ramadhan dan bulan Syawal tersebut dengan mengikuti sunnah Rasulallah saw. yaitu dengan jalan ru’ya dinegaranya masing-masing atau Negara yang segaris bujur dengannya, dan sebagian golongan lainnya dengan jalan perhitungan astronomi (hisab) kapan kemungkinan hilal bisa dilihat, sedangkan sebagian lainnya mengikuti Negara Islam yang sudah melihat bulan dimanapun juga. Semuanya ini, manakah yang lebih mendekati kebenaran Sunnah Rasulallah saw.?
    Sebagian besar kaum muslimin baik yang di Indonesia atau didunia lainnya mengikuti amalan-amalan ibadah menurut madzhabnya masing-masing dan setiap madzhab mempunyai sudut pandang sendiri-sendiri. Umpama golongan madzhab Imam Syafi’i akan mengikuti amalan ibadah menurut madzhabnya, golongan madzhab Imam Maliki akan mengikuti madzhabnya, golongan Wahabi/Salafi juga akan mengikuti madzhabnya dan seterusnya. Didalam syari’at Islam tidak dlarang orang mengikuti salah satu madzhab, karena imam dari semua madzhab yang terkenal tersebut mengeluarkan pendapatnya dengan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw., apalagi empat imam besar (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Ahmad- rohimahumullah) yang sudah dikenal dikalangan kaum muslimin. Malah buat orang-orang awam diwajibkan untuk bertanya kepada ahli ilmu. 
    Jangan lagi kita yang awam ini, para pakar Islam diantaranya; Imam Nawawi, Imam ad-Dahlawi, Imam Izuddin bin Abdussalam mengikuti madzhab Imam Syafi’i. Ibnul Qayyim, Ibnu Taimiyyah mengikuti madzhab Imam Ahmad bin Hambal, begitulah para imam lainnya, kecuali golongan Wahabi/Salafi dan pengikutnya yang mengharamkan seseorang mengikuti salah satu imam madzhab.

    Para ulama memperhatikan kesempurnaan dalil-dalil baik itu dari Al-Qur’an, hadits maupun dalil aqli (logika) dimana orang-orang awam dan juga orang-orang pandai yang belum sampai kepada derajat Istinbath dan ijtihad tidak ada jalan lain bagi mereka ini kecuali bertaqlid (mengikuti) kepada seorang mujtahid yang mampu memahami dalil. Kami tidak akan mengutip lagi pembahasan mengenai taqlid Imam madzhab, karena sudah kami kemukakan sebelumnya disitus ini dalam bab Taqlid kepada para imam madzhab, bagi yang berminat silahkan merujuknya. 
    Berikut ini, kami mengutip dalil hadits Nabi saw. untuk melakukan ru’ya (penglihatan) hilal kapan awal masuknya bulan Ramadhan dan bulan Syawal. 

    Dalil-dalil Ru’ya:
    Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim: “Berpuasalah kamu jika melihatnya (hilal), dan berbukalah (‘Id) bila melihatnya (hilal). Dan jika terhalang oleh awan (sehingga hilal tidak bisa dilihat), maka cukupkanlah bilangan Sya’ban tiga puluh hari”. 
    Hadits diatas ini mutawatir, semua madzhab termasuk empat madzhab besar (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali [ra] ) sepakat bahwa awal masuk Ramadhan dan Idul Fithri/Idul Adha harus melalui Ru’ya (bukan dengan Hisab).

    Begitu juga hadits itu walaupun mengenai awal masuknya bulan ramadhan/Idul Fithri tetapi juga berlaku kapan masuknya bulan Dzul Hijjah (bulan haji). Kalimat hadits diatas ini jelas, mencakup pengertian harus dengan ru’ya kapan mulai masuk awal bulan Ramadhan dan awal masuknya Idul Fithri. Dan hadits ini jelas menegaskan bila hilal tidak bisa dilihat karena ada halangan (mendung dll) maka kita harus mencukupkan bilangan bulan sebelumnya 30 hari. Karena bilangan bulan menurut Islam hanya 29 atau 30 hari, sebagaimana sabda Rasulallah saw. ‘Bulan itu (kadang-kadang) sekian dan sekian’. (Nabi saw. mengisyaratkan dengan tangannya). Maksudnya sekali waktu 29 hari dan pada waktu yang lain 30 hari. [Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (2/230 dan lafadhnya) dan Muslim (3/124) dan lain-lain.]

    Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan pendapat para fukaha lainnya lebih menegaskan lagi mengenai ru’yah ini  bahwa penglihatan hilal itu harus adanya saksi-saksi yang adil. Untuk masuknya bulan Ramadhan cukup dengan satu saksi  yang adil sedangkan untuk masuknya ‘Idul Fithri membutuhkan dua saksi yang adil. Dari hadist diatas, jelas sekali bahwa Rasulullah saw hanyalah menetapkan "Melihat bulan" (rukyatul hilal) satu sebab dari permulaan ibadah puasa dan permulaan Idul Fitri, dan bukan dengan sudah wujud tidaknya bulan ataupun dengan cara menghitungnya (hisab). Terbukti, dari penggalan kedua redaksi ucapan Rasulullah saw.  ‘Apabila tidak berhasil melihatnya (walaupun secara perhitungan astronomis [hisab] mungkin sudah ada—red)  menyuruh ummatnya menyempurnakan bulan Sya'ban sebanyak 30 hari.

    Perbedaan/perselisihan yang ada diantara para ulama madzhab ialah: Apakah cukup dengan adanya satu daerah/Negara Islam didunia yang telah melihat hilal awal Ramadhan/’Idul Fithri, semua penduduk muslimin didunia wajib mengikutinya? Jadi perbedaan para ulama madzhab ini bukan masalah antara Ru’ya dan Hisab ! Memang ada sebagian ulama zaman akhir ini yang membolehkan awal masuknya bulan Ramadhan/Idul Fithri dengan hisab, tetapi mayoritas dari ulama madzhab terutama madzhab Syafi’iyah yang dianut oleh mayoritas penduduk dinegara kita dan Negara tetangga Malaysia, Mesir dlldengan jalan Ru’ya, karena hal ini yang lebih mendekati kebenaran dan sejalan dengan sunnah Rasulallah saw. dan para sahabatnya.

    Para ulama yang mengatakan wajib -seluruh ummat Islam didunia- mengikuti satu daerah yang telah melihat hilal awal Ramadhan/Idul Fithri dengan alasan bahwa hadits Rasulallah saw. diatas ini umum yaitu tertuju kepada seluruh ummat didunia. Jadi jika salah seorang dari mereka telah menyaksikan hilal pada tempat manapun, itu berarti ru’ya tersebut berlaku untuk seluruh ummat didunia. Tetapi pendapat para ulama ini dibantah oleh para ulama pakar pada umumnya (jumhur ulama) yaitu mewajibkan Ru’ya setiap daerah/Negara Islam. Diantara para ulama yang membantah ini ialah ‘Ikrimah, Qasim bin Muhammad, Salim, Ishak, Imam Syafi’i dan lain sebagainya yang mengatakan: ‘Sebagai ukuran bagi penduduk setiap negeri ialah penglihatan mereka masing-masing, sehingga mereka tidak perlu terpengaruh oleh penglihatan penduduk dinegara lainnya’.
    Mereka ini berdalil antara lain pada hadits shohih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan lain-lain dari Kuraib ra. yang arti kalimatnya sebagai berikut: 
    Saya (Kuraib ra) pergi ke Syam dan sewaktu berada disana muncullah hilal Ramadhan, dan saya saksikan sendiri hilal itu pada malam Jum’at. Kemudian pada akhir bulan (Ramadhan,red.), saya datang kembali ke Madinah dan ditanyai oleh Ibnu ‘Abbas ra kemudian teringat olehnya (Ibnu Abbas ra) hilal yang katanya; ‘Bilakah kelihatan oleh tuan-tuan hilal (diSyam --red.)? Kelihatan oleh kami malam jum’at, ujar saya (Kuraib ra). Apakah anda sendiri melihatnya?, tanya Ibnu ‘Abbas. Benar, jawab saya (Kuraib ra), juga dilihat oleh orang banyak, hingga mereka berpuasa, termasuk diantaranya Mu’awiyah. Tetapi kami (Ibnu Abbas ra dan para sahabat lainnya--red) melihatnya (di Madinah) malam Sabtu, Kata Ibnu ‘Abbas, hingga kami akan terus menerus berpuasa sampai cukup 30 hari. Entah kalau kelihatan (hilal) sebelum itu. Tidakkah cukup menurut anda penglihatan dan berpuasanya Mu’awiyyah ?, tanya saya (Kuraib ra). Tidak ! ujar Ibnu Abbas, begitulah yang dititahkan Rasulallah saw. kepada kami ! (HR. Muslim (3/126), Abu Dawud (No. 2332), Nasa'i (4/105-106), Tirmidzi (No. 689), Ibnu Khuzaimah (No. 1916), Daruquthni (2/171), Baihaqi (4/251) dan Ahmad (Al-Fathur-Rabbaani 9/270), semuanya dari jalan: Ismail bin Ja'far, dan Muhammad bin Abi Harmalah dari Kuraib dari Ibnu Abbas.
    Rawi-rawi hadits ini tsiqah dan kuat. Pribadi dan ilmunya Ibnu ‘Abbas sudah jelas tidak diragukan lagi oleh setiap orang muslim dan mu’min; Kuraib bin Abi Muslim maula Ibnu Abbas; Ismail bin Ja’far bin Abi Katsir ; Muhammad bin Abi Harmalah, Rawi semuanya dipakai oleh Imam Bukhori, Imam Muslim dan lain-lainnya. (Lht. keterangan Ibnu Hajar dalam Taqribut-Tahdzib mengenai para rawi ini)

    Dalam Fathul ‘Allam Syarah Bulughul Maram tercantum : “Yang lebih dekat kepada kebenaran ialah keharusan bagi setiap negeri mengikuti ru’yahnya, berikut daerah-daerah lain yang berada dalam satu garis bujur dengan negeri itu “. Imam Turmudzi juga berkata: hadits ini hasan lagi shohih dan gharib serta menurut para ulama mengamalkan hadits ini berarti bagi tiap-tiap negeri itu berlaku ru’ya atau penglihatan hilal masing-masing dinegerinya !! Imam Daruquthni juga berkata: Sanad (Hadits) ini Shahih. 

    Ada sebagian orang berpendapat bahwa hadits gharib berarti hadits yang lemah. Pendapat yang demikian itu adalah kurang tepat dan salah karena hadits gharib tidak menghilangkan keshahihan hadits itu. Ibnu Katsir sendiri berkata: "Maka sesungguhnya ini (yakni setiap hadits gharib) kalau ditolak, niscaya akan tertolak banyak sekali hadits-hadits dari jalan (gharib) ini dan akan hilang banyak sekali masalah-masalah dari dalil-dalilnya". [Ikhtisar 'Ulumul Hadits Ibnu Katsir hal : 58 & 167].

    Ada lagi yang berpendapat bahwa hadits Kuraib itu adalah kata-kata Ibnu ‘Abbas sendiri kepada Kuraib bukan sabda Rasulallah saw., oleh karenanya tidak bisa dibuat dalil. Pendapat seperti ini adalah pendapat yang salah karena yang pertama menyalahi pendapat para ulama:  ‘Jumhur (umumnya) ulama berpendapat bahwa (semua lafadh-lafadh di atas) yang demikian menjadi hujjah/dalil. Sama saja apakah rawinya itu dari (kalangan) sahabat besar. karena menurut zhahirnya sesungguhnya ia telah meriwayatkan yang demikian itu dari Nabi saw. kalaupun di taqdirkan disana ada perantara, maka menurut Jumhur mursal sahabat itu maqbul (diterima) dan inilah yang haq (yang benar)". Sedangkan yang kedua; mungkinkah atau beranikah Ibnu ‘Abbas menjawab atas pertanyaan Kuraib dengan menisbatkan kepada Rasulallah saw. kalau sekiranya bukan dari Nabi saw.?, sebagaimana jawabannya kepada Kuraib: ‘Begitulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami’ ! Sudah tentu tidak mungkin 

    Makna hadits Kuraib itu jelas sekali ialah:
    Penduduk Syam melihat hilal Ramadhan pada malam Jum’at sehari sebelum penduduk Madinah yang melihatnya pada malam Saptu. Bila bulan tidak bisa dilihat karena halangan awan/mendung, penduduk Medinah akan terus berpuasa sampai tiga puluh hari dihitung dari mulai awal Ramadhan di Madinah (malam Saptu), tetapi  bila melihat bulan sebelumnya maka penduduk Madinah akan berpuasa selama dua puluh sembilan hari. Sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulallah saw.: ‘Apabila kamu melihat hilal (Ramadhan) maka puasalah, dan apabila kamu melihat hilal (Syawal) maka berbukalah, tetapi jika awan menutup kalian, maka berpuasalah tiga puluh hari’. [Dikeluarkan oleh Imam Muslim (3/124) dan lain-lain]. Dan hadits Rasulallah saw. mengenai umur bulan sebagaimana sabda beliau saw.: ‘Bulan itu (kadang-kadang) sekian dan sekian’. (Nabi saw. mengisyaratkan dengan tangannya). Maksudnya sekali waktu 29 hari dan pada waktu yang lain 30 hari. [Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (2/230 dan lafadhnya) dan Muslim (3/124) dan lain-lain.]

    Begitu juga dalam hadits itu Kuraib bertanya ‘Apakah tidak cukup bagimu ru'yah/penglihatan dan puasanya Mu'awiyah’ dan dijawab oleh Ibnu Abbas dengan tegas, Tidak! Jawaban ini sangat jelas bahwa setiap daerah/ negeri berlaku ru’ya atau penglihatan hilal masing-masing dinegerinya. Dengan demikian kita tidak boleh mengikuti Negara Saudi Arabia yang telah melihat hilal awal masuk bulan Ramadhan atau Syawal bila negeri kita pada saat yang sama belum kelihatan hilal awal masuk bulan Ramadhan atau bulan Syawal ! Hal ini telah disepakati oleh para ulama pakar ahli hadits diantaranya:  Imam Tirmudzi; Imam Nasa’i; Imam Syafi’i; Imam Ahmad; Syarah Muslim (Juz 7 hal 197) Imam Nawawi; Al-Majmu 'Syarah Muhadzdzab (Juz 6 hal. 226-228) Imam Nawawi; Ihkaamul Ahkaam Syarah 'Umdatul Ahkaam (2/207) Imam Ibnu Daqiqil Id.; Al-Ikhtiyaaraatul Fiqhiyyah (hal :106) Ibnu Taimiyyah; Tharhut Tatsrib (Juz 4 hal. 115-117) Imam Al-'Iraaqy; Fathul Bari syarah Bukhari (Juz 4 hal 123-124) Ibnu Hajar; Nailul Authar (Juz 4 hal. 267-269) Imam Syaukani;  Subulus Salam (juz 2 hal 150-151);  Bidaayatul Mujtahid (Juz 1 hal. 210) Imam Ibnu Rusyd dan lain-lain.

    Dengan demikian hadits terakhir dari Kuraib ini menguatkan hadits yang pertama yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan lainnya yaitu “Berpuasalah kamu jika melihatnya (hilal), dan berbukalah (‘Id) bila melihatnya (hilal)…. Hadits pertama ini juga mewajibkan adanya Ru’yah hilal untuk mengetahui masuknya awal Ramadhan/ ’Idul Fithri, sedangkan hadits Kuraib diatas menganjurkan juga Ru’yah dan wajibnya Ru’yah bagi setiap negeri !! Sedangkan hadits yang jelas masalah Hisab tidak diketemukan !  

    Ahli Falak sendiripun membantah ulama yang mengatakan seluruh dunia wajib mengikuti satu Negara yang dimana disitu terlihat hilal. Diantara alasan bantahan ahli Falak ialah :
    a).  Bumi ini tidak rata bukan seperti kue lapis, waktu terbenam bulan dan matahari seluruh dunia tidak sama.
    b).  Posisi bulan & matahari, atas-bawah tinggi hilal agar hilal dapat diamati diseluruh dunia tidak semuanya sama (derajad ketinggiannya, beda ukuran sudut bulan dan matahari, beda waktu terbenam bulan & matahari, beda umur bulan dihitung sejak perkiraan hilal dapat diamati [ump.Hilal berumur 16 jam untuk daerah tropis dan lebih dari 20 jam untuk daerah yang lebih tinggi] dan lain sebaginya)
    c)  Permukaan bulan yang tersinari matahari dan menghadap kebumi harus mencapai minimal 1 % untuk memungkinkan bisa dilihat dan lain-lain.
    Maka dari itu sampai sekarang banyak Negara Islam yang berbeda penentuan kapan mulai masuknya awal Ramadhan dan idul Fithri atau Idul Adha. Tidak lain mayoritas Negara Islam tersebut melihat Ru’ya dinegaranya masing-masing. Mereka memegang sunnah Rasulallah saw. yang lebih mendekati kebenarandi antaranya hadits Kuraib tersebut. Sayangnya masih ada sebagian muslimin yang fanatik pada pahamnya sehingga mewajibkan puasa kepada seluruh umat islam sedunia, bila ada satu negeri Islam yang telah melihat hilal. Ada lagi hanya ikut2an dan mengambil keringanan fatwa para ulama, walaupun pendapat ulama ini berlawanan dengan madzhabnya dan madzhab jumhur ulama.

    KETERANGAN SINGKAT MENGENAI perhintungan astronomi (HISAB):
    HISAB berasal dari bahasa Arab "hasaba" artinya menghitung, mengira dan membilang. Jadi hisab adalah kiraan, hitungan dan bilangan. Kata ini banyak disebut dalam al-Quran diantaranya mengandung makna perhitungan perbuatan manusia. Dalam disiplin ilmu falak (astronomi), kata hisab mengandung arti sebagai ilmu hitung posisi benda-benda langit. Posisi benda langit  yang dimaksud disini adalah lebih khusus kepada posisi matahari dan bulan dilihat dari pengamat di bumi. Hitungan posisi ini penting dalam kaitannya dengan syariah khususnya masalah ibadah misalnya; shalat fardu menggunakan posisi matahari sebagai acuan waktunya, penentuan arah kiblat dengan menghitung posisi bayangan matahari, penentuan awal bulan hijriyah dengan melihat posisi bulan dan mengetahui kapan terjadi gerhana dengan menghitung posisi matahari dan bulan. Ilmu Falak yang mempelajari kaidah-kaidah Imu Syariah tersebut dinamakan Falak Syar'i  (Ilmu Falak + Ilmu Syariah = Falak Syar'i). 

    Di Indonesia nama yang populer adalah Falak saja. Hisab dan Rukyatul hilal tidak bisa dipisahkan dari Ilmu Falak/Astronomi, oleh sebab itu kebanyakan peralatan hisab dan rukyat juga merupakan peralatan Ilmu falak/Astronomi. Idealnya rukyatul hilal atau melihat hilal dilakukan dengan mata telanjang (naked eye) sesuai dengan pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya. Asal kita tahu teknik dan ilmunya maka rukyat dengan mata telanjang menjadi jauh lebih efektif dibandingkan menggunakan peralatan bantu optikSebab yang paling penting adalah kualitas sumber daya manusianya bukan pada alatnya. Kontroversi boleh tidaknya menggunakan alat bantu dalam melakukan rukyatul hilal memang masih terdengar, namun menurut beberapa ulama sah-sah saja menggunakan alat bantu asal tidak menyimpang dari hakikat rukyatul hilal yaitu menyaksikan langsung lahirnya hilal (bulan sabit muda). Penggunaan peralatan optik maupun peralatan pencari lokasi sebatas digunakan untuk membantu mempermudah pelaksanaan rukyatul hilal dan tidak menyalahi ketentuan yang ada, termasuk penggunaan teknologi penginderaan jarak jauh menggunakan infra merah, radar maupun satelit palacak. Dengan adanya ilmu pengetahuan maka sekarang bisa dilihat via computer kapan lahirnya bulan, munculnya dsb.nya dan kapan bulan itu bisa terlihat.

    Sebenarnya Methodologi penentuan awal bulan Qomariah untuk menandai permulaan ibadah puasa dan sholat idul fitri adalah hanya dengan melihat bulan secara fisik (rukyatul hilal bil fi'ly), sedangkan methode perhitungan astronomi (hisab) dipakai sebatas untuk membantu prosesi rukyat. Jadi pada tanggal yang ditentukan secara hisab (kemungkinan kelihatan hilal) itu, kita tetap mengadakan ru’yah pada malam tersebut, apakah benar-benar hilal sudah bisa dilihat !

    Termasuk di Indonesia  selalu mengawali masuknya awal Ramadhan/Idul Fithri dan Idul Adha dengan Ru’yah. Pemerintah juga menerima Hisab dari minoritas ummat muslimin diantaranya golongan Muhammadiyyah, tapi pada tanggal yang ditentukan secara hisab (kemungkinan kelihatan hilal) itu, pemerintah tetap mengirim instansi untuk melihat (ru’yah), apakah benar-benar hilal sudah bisa dilihat ! Bila hilal pada waktu ditentukan hisab itu bisa dilihat maka pemerintah juga mengumumkan masuknya awal Ramadhan/Idul Fithri, tapi bila sebaliknya hilal pada waktu yang ditentukan Hisab tersebut. tidak bisa dilihat maka pemerintah mencukupkan hitungan tiga puluh hari. Jadi ilmu hisab itu hanya digunakan untuk kapan orang bisa mulai melihat (ru’yah) awal masuknya bulan Ramadhan/Idul Fithri, jadi bukan dijadikan sebagai penentuan hari awal masuknya bulan Ramadhan atau Idul Fithri. Karena penentuan awal masuknya bulan Ramadhan/idul Fithri harus ditentukan dengan Ru’ya pada hari ke 29 setelah maghrib!

    Ahli Falak ini, sampai sekarang masih berdasarkan pada perkiraan yang mendekat belum 100% benar. Buktinya mereka belum sepakat dan masih ada perbedaan di kalangan mereka dan kesimpang siuran hasil perhitung an (hisab) mereka dalam menentukan; malam munculnya hilal, derajad ketinggian bulan diatas ufuk setelah matahari terbenam, usia bulan kemungkinan bisa dilihat (Imkanur Ru’yah) dan lain sebagainya.  Dengan adanya tidak kesepakatan antara mereka ini serta perkiraan yang belum 100% benar maka sampai sekarang mayoritas dari para ulama masih mengambil kepastiannya dengan jalan Ru’yah.
    Menurut sebagian ulama, apabila datang suatu saat dimana ilmu Falak bisa menghasilkan tingkat pengetahuan yang tepat dan semua ahli Falak sepakat dalam menentukan wujudnya Hilal serta telah ber-ulang2 ketetapan perhitungan mereka sehingga mencapai derajad kepastian seperti halnya perhitungan mereka tentang hari-hari dalam seminggu (Senin, Selasa….), maka dengan sendirinya para ulama semua sepakat untuk mengikuti ucapan mereka ini. Sedangkan sampai sekarang mayoritas ulama masih menggunakan ru’yah untuk lebih pastinya!!! 

    ULIL AMRI
    Para ulama mewajibkan rakyat mengikuti apabila pemerintahannya (yang mana didalamnya terdapat para ulama atau mereka bermusyawarah dengan para ulama setempat) telah memutuskan penetapan awal atau akhir bulan. Adapun dalil dari ketetapan hukum ini ialah:
    a. Firman Allah dalam al Qur'an surat an Nisa' ayat 59: "Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, Rasulnya dan pemimpim-pemimpin kalian". (QS. An Nisa' : 59). Sebagaimana kita ketahui bahwa taat kepada para pemimpin tidaklah boleh pada hal-hal yang bersifat maksiyat atau keluar dari hukum syari’at Islam.
    Dan kita yakin bahwa disaat pemerintah memerintahkan warganya untuk berpuasa, sesuai dengan ketentuan syariat dalam menentukan hilal, maka ini bukanlah termasuk dalam perbuatan maksiyat yang kita tidak boleh mentaatinya. Akan tetapi tidak lain semua ini masih dalam koridor ijtihad yang diikrarkan oleh Syari'at. Artinya, disaat agama telah membolehkan pemerintah untuk berijtihad dalam menentukan hilal puasa, Syawal maupun Dzulhijjah, maka tindakan pemerintah ini adalah sebuah ibadah yang wajib ditaati oleh seluruh warga.
    b. Allah juga berfirman dalam surat an Nur ayat 62: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasulnya, serta di saat mereka dalam sebuah keputusan yang telah diambil bersama, maka mereka tidak akan keluar dari kesepakatan itu sampai mereka meminta izin kepadanya (Rasulullah)". (QS. An Nur ayat: 62)
    Dalam ayat diatas, begitu jelas Allah mengambarkan sifat seorang mukmin yaitu mereka yang beriman kepada Allah dan Rasulnya, serta tidak keluar dari keputusan jamaah sampai dia memperoleh izin dari Rasulullah atau wakilnya (pimpinan/kholifah yang datang setelah beliau saw.)

    Pada kenyataan yang terjadi pada masa Rasulullah saw., bahwa beliau memerintahkan puasa langsung setelah datang kepada beliau persaksian seorang muslim. Sebagaimana dalam hadits:  "Datang seorang badui ke Rasulullah saw. seraya berkata: ‘Sesungguhnya aku telah melihat hilal’. (Hasan, perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud sang badui yaitu hilal Ramadhan). Rasulullah saw. bersabda: ‘Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah’? Dia berkata: ‘Benar’. Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata: ‘Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah’? Dia berkata: ‘ya benar’. Kemudian Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk berpuasa besok".
    Dalam hadits badui yang telah disebutkan diatas sudah sangat jelas bahwa dia (badui) yang melihat hilal secara langsung wajib melaporkan kesaksiannya kepada Rasulallah saw. (pemimpin), kemudian pada akhirnya Rasulallah lah yang akan menetapkan permulaan puasa atau hari raya.
    Sebagaimana juga dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadits Ibn Umar yang berkata: ”Suatu ketika aku mengabari Rasulullah saw.bahwa aku telah melihat hilal (Ramadhan), spontan beliau berpuasa dan juga memerintahkan orang-orang untuk berpuasa".

    Dengan demikian pemimpinlah (baca: pemerintahan Islam) yang akan memutuskan kapan awal masuknya bulan Ramadhan/Idul Fithri dan Idul Adha.Para fuqoha juga sepakat bahwa, bagi mereka yang melihat hilal secara langsung akan tetapi persaksiannya ditolak oleh pemerintah maka dia wajib berseberangan dengan keputusan pemerintah akan tetapi dengan sifatnya individu (dia sendirian berpuasa atau berbuka/ idul fithri) dan tidak boleh menampakkannya dihadapan halayak umum. Dan ini juga berlaku bagi mereka yang meyakini akan kejujuran mereka yang ditolak kesaksiannnya.

    Sebagaimana dalam teks-teks berikut:
    1. Dalam kitab al-Muhaddzab fiqh Syafi'i dijelaskan: "Barangsiapa melihat hilal sendirian, maka dia harus berpuasa. Demikian juga di saat dia melihat bulan Syawal, maka diapun wajib berbuka. Sebagaimana sabda Nabi: "Berpuasalah disaat kalian melihatnya, dan berbukalah disaat kalian melihatnya". Berbuka disaat melihat bulan Syawal dengan secara sembunyi-sembunyi, karena apabila dia menampakkan bahwa dia sedang berbuka, maka secara tidak langsung dia menjatuhkan diri sendiri pada tuduhan dan hukuman sang Sulthon/sang pemimpin". (Kitab al Muhadzab, juz 1, hal 324)

    2. Dalam kitab Syarah Mukhtashor Kholil madzhab Maliki disebutkan: Kesimpulannya, bahwa orang-orang pada bulan puasa terbagi tiga kelompok: Dia yang melihat hilal secara langsung, atau mendengar langsung dari orang yang melihatnya, atau mendengar dari orang yang mendengar dari orang yang melihat. Maka yang wajib berpuasa adalah golongan pertama dan kedua. Adapun golongan ketiga tidak wajib atasnya kecuali sang hakim telah menetapkan hari itu sebagai awal puasa".

    3. Sedangkan khusus bagi mereka yang ahli hisab. "Apabila seorang ahli perbintangan (astronom) mengetahui masuknya waktu (ibadah, baik shalat, puasa, haji dan lain-lain) dengan cara hisab, pengarang kitab "Al Bayan" menjelaskan: ‘Bahwa yang mu'tamad (pendapat yang lebih benar) dalam madzhab (Syafi'i) yaitu dia bisa memakainya sebagai pedoman ibadah hanya untuk dirinya sendiri, dan orang lain tidak boleh mengikutinya’ ".
    Jelas sekali disini bahwa penggunaan methode astronomi (hisab) tidak merupakan penentu hukum kepada masyarakat.

    Bagaimana dengan muslimin yang tinggal dinegara non Muslim?
    Dalam Islam yang dimaksud Ulil Amri adalah pemimpin dari golongan ulama, karena mereka inilah yang bisa mengatur masyarakat sesuai dengan hukum-hukum syari’at Islam, jadi bukan sembarang orang awam atau suatu perwakilan pemerintahan yang disana tidak ada ulama yang cukup menguasai hukum-hukum syair’at Islam. Bila disatu Negara non Muslim yang disana tidak ada jama’ah ru’yah hilalmaka kita diharuskan mengikuti Negara muslim yang berdekatan atau segaris bujur dengannya, dengan syarat Negara ini memulai masuknya awal bulan Ramadhan/idul Fithri dengan jalan Ru’ya juga, bukan dengan jalan Hisab atau mengikuti Negara Islam lainnya. Hal yang demikian ini sesuai dengan sunnah Rasulallah saw. yang telah kami kemukakan diatas. Wallahu a’lam. Semoga Allah swt. mengampunkan dosa kita dan dosa kaum muslimin dan memberi hidayah pada kita kejalan yang lurus yang diridhoi oleh Allah swt dan Rasul-Nya. Amin 

    Keterangan singkat mengenai ibadah Puasa Ramadhan
    Bulan yang penuh barokah dan rahmat yaitu bulan Ramadhan. Kami ingin sedikit mengutip secara singkat masalah-masalah yang penting mengenai ibadah menurut para ulama.

    Yang diwajibkan/rukun puasa :
    a)  Niat. Orang harus setiap malam sebelum fajar(shubuh) tiba niat untuk puasa pada esok harinya. Menurut Imam Syafi’i bila niat ini tidak dilaksanakan setiap malam maka puasa pada esok harinya itu tidak Sah/batal dan wajib qadha, walaupun tidak niat itu disebabkan lupa. Selanjutnya Imam Syafi’i  mengatakan: orang dianjurkan berniat pada malam pertama awal bulan Ramadhan (lebih jelasnya sbb: ump. awal ramadhan jatuh pada hari senin, maka niat awal ramadhan yg dimaksud imam Syafi’i jatuh pada malam senin itu), untuk puasa satu bulan puasa, disamping niat puasa untuk esoknya sebagai berikut : Nawaitu shouma ghodin syahri ramadhana fii hadzihis sanati lillahi ta’ala (saya niat puasa besok pagi pada bulan ramadhan tahun ini karena Allah swt.) ditambah dengan niat berikut ini : Wa nawaitu shouma syahri ramadhana kulliha (dan saya niat puasa bulan ramadhan seluruhnya). Niat yang terakhir ini hanya sekali saja diucapkan pada awal bulan Ramadhan. Tambahan niat pada awal bulan Ramadhan diatas ini gunanya ialah bila orang tidak niat pada waktu malam karena lupa, maka puasanya tetap sah, karena dia disamping niat utk setiap hari juga telah niat pada awal ramadhan utk puasa seluruh hari bulan ramadhan. Tetapi ini bukan berarti orang tsb. setiap hari tidak perlu niat !! Sekali lagi setiap malam harus berniat puasa utk esok harinya, sedangkan tambahan niat itu hanya utk menutupi bila dia tidak niat, benar2 lupa !!!

    YangTidak Diwajibkan Berpuasa :
    1).Orang Kafir. 2). Orang gila walaupun dia Muslim/ Muslimah 3) Anak-anak yang belum baligh (dianjurkan saja untuk belajar berpuasa).

    Orang yang dilarang berpuasa :
    Wanita sedang Haidh atau Nifas

    Orang yang diberi keringanan berbuka :
    1). Musafir: Empat madzhab sepakat ; Orang yang dalam bepergian yang jaraknya dibolehkan melakukan sholat qashar/meringkas sholat dibolehkan berbuka. Empat madzhab menambahkan syarat lagi bahwa orang itu sebelum fajar harus berangkat dari rumahnya. Menurut Imam Syafi’i: Bila bepergian ini merupakan pekerjaannya sehari-hari maka dia wajib berpuasa walaupun jarak perjalanannya sudah dibolehkan melakukan sholat qashar (± 89 km). Manakah yang lebih utama bagi Musafir berpuasa atau berbuka?? Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Malik berpendapat: Berpuasa lebih utama bagi yang kuat melakukannya, dan berbuka lebih utama bagi orang yang tidak kuat berpuasa.!!! 

    2). Orang yang telah tua bangka yang tidak kuat/sanggup berpuasa, dia mendapat keringanan untuk berbuka, hanya setiap harinya -menurut ahli Fiqih- wajib membayar Fidyah yaitu memberi makan (beras atau makanan pokok) 1orang miskin 1mud (±800 gram)..Hal ini disepakati oleh para ulama kecuali Imam Ahmad bin Hambal orang tua ini disunnahkan saja membayar fidyah jadi tidak diwajibkan. Begitu juga sama halnya dengan orang sakit yang tidak ada harapan sembuh dan tidak sanggup puasa atau membahayakannya bila dia  berpuasa. Mereka ini tidak wajib qadha/mengganti hanya membayar fidyah saja.

    3). Empat madzhab berpendapat: Bila orang yang berpuasa sedang sakit, dan ia khawatir dengan berpuasa itu akan menambah penyakitnya atau memperlambat sembuhnya, maka bila ia suka berpuasalah, dan bila dia tidak suka, berbukalah, tetapi tidak ada ketentuan (keharusan) berbuka baginya. Karena berbuka itu hanya merupakan rukhshah (keringanan) bukan merupakan keharusan bagi orang yang berada dalam keadaan sakit. Tetapi kalau menurut perkiraannya sendiri atau menurut advies dokter bahwa dengan berpuasa itu akan menimbulkan bahaya, atau akan membahayakan salah satu anggota tubuhnya, maka dia harus berbuka, dan bila terus berpuasa, puasanya tidak sah!

    4). Empat madzhab sepakat: bila Wanita yang hamil atau  menyusui anaknya, kalau berpuasa sah puasanya. Jika mereka khawatir akan keselamatan diri atau anaknya (hal ini bisa diketahui dengan dasar pengalaman, advies dari dokter specialis), maka boleh berbuka. Dan dia harus menggadha/ menggantinya dilain waktu. Sedangkan masalah apakah dia harus juga membayar fidyah setiap hari yang dia tidak berpuasa tersebut?, dalam hal ini Imam Ahmad dan Imam Syafi’i mempunyai pendapat, sebagai berikut: “Setiap wanita yang hamil dan menyusui wajib menggadha dan membayar fidyah bila hanya khawatir keselamatan anaknya saja. Tetapi bila yang dia khawatirkan keselamatan dirinya atau keselamatan dirinya dan keselamatan anaknya maka dia hanya wajib menggadha saja tanpa bayar fidyah”. 

    5). Ulama empat madzhab sepakat bagi orang yang mempunyai penyakit selalu sangat kehausan atau kelaparan, boleh berbuka. Kalau ia kuat menggadhanya dikemudian hari, maka ia wajib menggadhanya, tetapi tidak perlu membayar fidyah.
    Penting: Yang dimaksud sangat kehausan atau kelaparan ini adalah suatu penyakit yang orang ini tidak bisa menahan haus dan lapar karena membahayakan dirinya, jadi bukan dimaksud hanya berasa haus atau lapar. Karena berasa haus dan lapar ini hampir dialami setiap orang yang berpuasa !!! Semua alasan2 yang membolehkan berbuka diatas ini tidak berlaku lagi bila ditengah-tengah berbuka (pada hari itu) udzurnya telah hilang, umpamanya: Sakitnya sudah sembuh, Musafir telah kembali kekampungnya, Wanita haidh dan nifas telah suci, anak kecil telah baligh, maka semuanya ini menurut Imam Syafi’i mereka disunnahkan menahan diri artinya tidak makan dan minum pada hari itu untuk menghormati etika pergaulan. Sedangkan menurut Imam Hanafi dan Imam Hambali wajib mereka ini menahan diri pada waktu udzurnya telah hilang !! 

    Yang membatalkan puasa
    1). Makan dan minum dengan sengaja. Bila orang makan atau minum karena benar2 lupa, maka puasanya tetap sah. Dan bila orang itu ingat kembali waktu makanan masih dimulutnya, maka dia harus mengeluarkan makanan yang dimulut tsb. jadi jangan diteruskan ditelan !! Bila diteruskan ditelan maka puasanya batal, alasannya ialah dia makan bukan karena lupa !

    2). Muntah yang disengaja. Kalau muntahnya tidak disengaja puasanya tidak batal, hanya setelah itu mulutnya dikumuri agar bersih dari sisa-sisa muntah! 

    3). Tiba masanya haidh atau nifas: Umpamanya pada waktu pagi hari dia sedang berpuasa kemudian pada waktu sore harinya datang masanya haidh, maka puasanya pada hari ini batal dan wajib diqadha.

    4). Mengeluarkan sperma dengan sengaja (bukan dengan bersetubuh), dia wajib menggadha tidak usah membayar kafarat, tetapi perbuatannya haram dan berdosa. Bila keluar sperma tidak dengan sengaja umpama bermimpi maka puasanya tetap sah, hanya dia diwajibkan mandi saja. Sedangkan menurut Imam Syafi’i kalau orang yang berpuasa kebetulan melihat sesuatu yang merangsang sehingga keluar sperma tanpa disentuh dan tanpa nikmat puasanya tetap sah! 

    5). Bersenggama dengan sengaja. Puasanya batal dan perbuatannya berdosa. Orang ini harus membayar kafarat (denda). Kafaratnya harus secara tertib ialah : Pertama: Membebaskan budak (ini sudah tidak ada dizaman sekarang), kalau ini tidak mampu maka dia harus berpuasa berturut-turut dua bulan dan tidak boleh putus. Bila putus hanya satu hari saja dia harus mengulangi 2 bulan lagi. Kalau dengan puasa ini tidak mampu maka dia harus memberi makan 60 orang miskin setiap orang 1 mud dari makanan pokok (umpama beras).

    6). Disuntik dengan bahan cair ini membatalkan puasanya, beginilah menurut imam empat madzhab, dan dia wajib menggadha. 

    7). Meniatkan berbuka padahal ia berpuasa, menurut sebagian ulama membatalkan puasanya, kecuali puasa sunnah. Maka dari itu janganlah ada orang yang sedang berpuasa wajib ramadan berniat utk membatalkannya ! 

    Yang tidak membatalkan puasa

    1). Hal-hal yang tidak bisa dihindari umpamanya: Menelan ludah, menghirup debu dijalan dan lain-lain.

    2). Berkumur-kumur waktu wudhu atau pada waktu lainnya asalkan tidak berlebih-lebihan. Bila waktu kumur memasuk kan air yang berlebihan sehingga ketelan masuk perut, maka puasanya batal karena dia sengaja memasukkan air dimulut dengan.berlebihan.  Tetapi kalau memasukkan air dimulut utk kumur tidak berlebihan dan tidak sengaja masuk kedalam perut, maka puasanya tidak batal !

    3). Memakai celak mata atau meneteskan obat mata atau lain-lain kedalam mata, menurut Imam Hanafi, Imam Syafi’i tidak membatalkan puasa sedangkan menurut Imam Malik batal puasanya. 

    4). Mencium, tidak membatalkan puasanya menurut Imam Syafi’i dan imam lainnya, bagi yang sanggup menahan diri dan menguasai syahwat atau nafsu seksnya. Kalau tidak sanggup artinya sampai menimbulkan rangsangan hukumnya makruh saja dan puasanya tetap sah! Jadi sebaiknya jangan dikerjakan kalau tidak sanggup, karena bisa mengakibatkan hubungan lebih intim lagi (bersetubuh), sehingga jatuhnya menjadi berdosa, puasanya batal dan dikenakan kafarat!!! 

    5).  Menggosok gigi juga dibolehkan walaupun pada pagi hari, ada ulama yang memakruhkan. Rasulallah saw. sering menggosok giginya setiap kali waktu berpuasa dengan siwak baik siwak itu kering maupun masih basah.  Hanya bila orang menggosok gigi dengan tandspasta, janganlah tandpastanya itu ditelan. Jadi kumurilah sampai tandpasta itu bersih dari mulutnya. Wallahu A’lam. 


    Shalat Tarawih

    Shalat tarawih adalah shalat sunnah yang dilaksanakan kaum muslimin , baik kaum pria maupun wanita, setelah shalat Isya,yang ketika itu belum dikenal dengan nama shalat tarawih, pada bulan Ramadhan. Rasulallah saw sendiri melakukannya serta menganjurkan umatnya untuk menunaikannya juga. Demikian pula yang dilakukan oleh para sahabat Nabi dan umat Islam generasi berikutnya. Dinamakan shalat tarawih karena shalat tersebut cukup lama dan setiap selesai melakukan empat rakaat pelakunya istirahat dulu kemudian melanjutkan shalatnya. Itulah sebabnya dia terkenal dengan sebutan shalat tarawih. 

    Ibnu Manzur dalam Lisanul Arab berkata: “tarawih adalah jama’ dari tarwihah, berasal dari kata roohah. Sama dengan tasliimah yang berasal dari kata salam. Shalat dibulan ramadhan itu disebut tarawih, karena orang-orang pada istirahat dulu setelah selesai mengerjakan empat rakaat. Ibnu Manzur selanjutnya berkata: Roohah yang berarti istirahat adalah lawan kata dari ta’ab yang berarti letih atau capek. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi saw bersabda kepada Bilal: ’istirahatkanlah kami wahai Bilal’. Artinya kumandangkanlah adzan shalat, maka aku akan dapat istirahat dengan jalan menunaikannya”.

    Disini Nabi saw menyatakan bahwa dirinya baru dapat merasa istirahat apabila beliau menunaikan shalat, karena didalam shalat terdapat munajat (komunikasi rahasia) dengan Allah swt. Karena itulah Nabi kita saw bersabda: “Ketenangan hatiku dijadikan pada waktu shalat”.

    Dalil-dalil yang berkaitan dengan shalat dalam bulan ramadhan
    Hadits riwayat imam Muslim dari Abu Hurairah ra , berkata: “Rasulallah saw menggemarkan ibadah dibulan ramadhan, akan tetapi beliau tidak menganjurkannya dengan keras. Beliau berkata: ‘Barangsiapa banyak beribadah dibulan ramadhan dengan iman dan ikhlas, maka diampunkan baginya dosa-dosanya yang terdahulu’”.
    Maksud hadits ini ialah siapa yang menghidupkan malam-malam ramadhan dengan shalat, dzikir dan membaca Al-Qur’an berdasarkan iman dan ikhlas, maka diampunkan dosa-dosanya yang telah lalu yakni dosa-dosa kecil.
    Ibnu Qudomah dalam kitabnya Al-Mugni mengatakan: “Shalat tarawih itu hukumnya sunnat muakkadah dan orang pertama yang melaksanakannya adalah Rasulallah saw”.

    Berkaitan dengan ini terdapat sebuah hadits dimana Aisyah ra.berkata: “Pada suatu malam Nabi shalat dimasjid, maka para sahabat pun mengikuti beliau shalat. Kemudian beliau shalat dimalam berikutnya, maka para sahabat (yang akan ikut shalat) menjadi semakin banyak. Selanjutnya pada malam ketiga atau keempat para sahabat berkumpul (dimasjid untuk shalat bersama beliau saw). Namun ternyata Rasulallah saw, tidak keluar menemui mereka. Keesokan harinya beliaupun bersabda: ‘Saya telah mengetahui apa yang kalian lakukan tadi malam. Tidak ada yang menghalangiku keluar menemui kalian selain dari kekhawatiranku kalau-kalau shalat itu diwajibkan atasmu”. Yang demikian itu terjadi dibulan ramadhan. (HR Muslim). 

    Jumlah rakaat shalat Tarawih
    Shalat tarawih ini termasuk sunnah muakkadah (yang ditekankan) sebagaimana yang telah ditunjukkan dalam beberapa hadits dan jumlah rakaatnya adalah 20 rakaat tanpa witir. Apabila dengan witir maka jadilah ia 23 rakaat. Demikianlah sunnah yang telah disepakati oleh umat Islam baik salaf maupun khalaf, sejak zamannya khalifah Umar bin Khattab hingga zaman kita sekarang. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat antara ahli fiqih imam madzhab yang empat, kecuali imam Malik.

    Dalam riwayat imam Malik yang kedua dimana beliau berpendapat bahwa shalat tarawih itu adalah 20 rakaat lebih hingga 36 rakaat, sesuai dengan amalan penduduk Madinah. Nafi’ pernah meriwayatkan bahwa imam Malik berkata: “Aku mendapatkan orang-orang melakukan shalat tarawih dengan 39 rakaat. Sudah termasuk diantaranya 3 rakaat shalat witir”. Namun demikian riwayat yang masyhur dari beliau adalah shalat tarawih itu 20 rakaat. Dan riwayat dari beliau inilah yang disepakati oleh mayoritas ulama baik dari Syafi’yah, Hambaliyah maupun Hanafiyah bahwa rakaat shalat tarawih adalah 20 rakaat ditambah 3 rakaat witir.

    Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa sebabnya penduduk Madinah melakukan shalat tarawih 36 rakaat hanyalah karena mereka ingin mengimbangi shalat tarawihnya penduduk Mekkah. Penduduk Mekkah selalu melakukan tawaf 7 putaran, setiap selesai satu tarwihah (yakni 4rakaat atau 2 kali salam). Penduduk Mekkah dalam setiap tarawih (setiap 4 rakaat tarawih) itu melakukan 4 kali tawaf sampai tarwihah yang keempat. Adapun setelah tarwihah yang kelima yakni yang terakhir, mereka tidak melakukan tawaf lagi tetapi langsung shalat witir. Oleh karenanya penduduk Madinah mengganti satu tawaf yang tidak bisa mereka lakukan di Madinah itu dengan tarawih 4 rakaat, sehingga tambahan shalat tarawih mereka ini menjadi 16 rakaat (4x 4), dengan demikian jumlah keseluruhan rakaat tarawih mereka menjadi 20 ditambah 16 yakni 36 rakaat.
    Namun ditekankan sekali lagi bahwa apa yang yang dilakukan oleh para sahabat Nabi adalah lebih utama dan lebih berhak untuk diikuti. Begitu juga zaman sekarang di Saudi Arabia ,baik di Mekkah atau di Madinah atau ditempat lainnya, shalat tarawih 20 rakaat ditambah 3 shalat witir.

    Dalil-dalil para imam Mujtahid shalat tarawih 20 rakaat
    Dalil imam-imam madzhab yang empat, sehingga menfatwakan bahwa rakaat shalat tarawih itu 20 adalah sebagai berikut:

    – Hadits riwayat Baihaqi dan selainnya dengan isnad shorih dan shohih dari Sa’ib bin Yazid, seorang sahabat Nabi yang terkenal dimana beliau berkata: “Para sahabat melaku- kan shalat tarawih dimasa Umar bin Khattab ra pada bulan ramadhan dengan 20 rakaat”.

    – Hadits riwayat imam Malik dalam Al-Muwattho dan juga riwayat imam Baihaqi dari Yazid bin Ruman, beliau berkata: “Para sahabat melakukan ibadah malam dizamannya Umar bin Khattab ra dengan 23 rakaat”. Yakni 20 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir.

    – Hadits riwayat Al-Hasan: “Bahwasanya Umar ra.mengumpulkan orang-orang dibelakang Ubay bin Ka’ab lalu beliau mengimami mereka shalat tarawih 20 rakaat. Beliau beserta segenap jamaah tidak melakukan qunut, kecuali pada pertengahan ramadhan yang kedua. Apabila sepuluh yang terakhir dari bulan ramadhan telah tiba, maka beliau tidak keluar (kemasjid). Beliau melakukan shalat dirumah, sehingga orang-orang pada berkata: ‘Ubay bin Ka’ab telah melarikan diri’ “.

    – Imam Qudomah didalam kitabnya Al-Mughni mengatakan bahwa telah terjadi ijma’ para ulama mujtahid mengenai shalat tarawih 20 rakaat. Beliau menolak imam Malik yang mengatakan didalam riwayatnya yang kedua, bahwa shalat tarawih itu 36 rakaat. Beliau berkata: ‘Qiyamullail dibulan ramadhan yakni shalat tarawih adalah 20 rakaat dan hukumnya sunnat muakkadah’. Beliau juga berkata: “Pendapat yang terpilih menurut Abu Abdillah yakni Ahmad bin Hambal adalah bahwa shalat tarawih  itu 20 rakaat. Inilah juga pendapatnya Imam Tsauri, imam Abu Hanifah dan imam Syafi’i. Adapun imam Malik (dalam riwayatnya yang kedua) berkata: ‘bahwa tarawih itu 36 rakaat. Hal ini karena berdasar kan kepada amalan penduduk Madinah’ “. 

    –  Syeikh Ali as-Shobuni berkata bahwa yang masyhur didalam madzhab Maliki adalah shalat tarawih 20 rakaat. Berdasarkan ini, maka sepakatlah para imam Mujtahidin atas ke utamaan dari tarawih 20 rakaat.

    – Dalam kitab Aqrobul Masalik ‘ala Madzhabil imammi Malik tulisan Syeikh Dardiri jilid 1/552 dikatakan bahwa shalat tarawih dibulan ramadhan itu adalah 20 rakaat sesudah shalat isya’ dengan melakukan salam setiap selesai dua rakaat.

    –  Didalam kitab ‘Mukhtashar al-Muzanni’ disebutkan bahwasanya imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Aku melihat penduduk Madinah melakukan shalat tarawih sebanyak 39 rakaat. Namun demikian yang lebih saya sukai adalah 20 rakaat, karena itulah yang diriwayatkan oleh sahabat Umar. Begitu juga penduduk Mekkah, selalu melakukan shalat tarawih 20 rakaat dengan 3 witir”. 

    – Imam Turmudzi dalam kitabnya ‘Sunan Turmudzi’ berkata: “Kebanyakan ahli ilmu berpegang kepada apa yang diriwayatkan oleh Umar, Ali serta yang lainnya daripada sahabat sahabat Nabi saw, bahwa shalat tarawih itu 20 rakaat. Inilah pendapat Sufyan Tsauri, Ibnul Mubarak dan imam Syafi’i. Berkata imam Syafi’i: ‘Seperti inilah yang saya dapatkan di negeri kita Mekkah, dimana penduduknya melakukan shalat tarawih 20 rakaat’”. 

    – Berkata Ibnu Rusdi dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid : “Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, imam Ahmad dan juga imam Malik –dalam salah satu pendapatnya– memilih shalat tarawih yang 20 rakaat selain witir”. 

    – Berkata Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu III/526: “Menurut madzhab kita, shalat tarawih itu adalah 20 rakaat dengan sepuluh kali salam selain witir. Ini berarti ada lima tarwihah, karena satu tarwihah mengandung empat rakaat dengan dua kali salam. Inilah yang dikatakan oleh Abu Hanifah beserta para sahabatnya. Begitu juga imam Ahmad, Daud dan yang selainnya. Qadhi Iyadh juga telah menukil hal yang sama dari mayoritas ulama”. 

    – Ibnu Taimiyah dalam kitabnya  Al-Fatawa mengatakan: “Telah tetap bahwa Ubay bin Ka’ab melakukan shalat tarawih bersama orang-orang dibulan Ramadhan 20 rakaat di tambah 3 rakaat witir. Maka berpendapatlah kebanyakan ulama bahwa itulah yang sunnah, karena Ubay bin Ka’ab melaksanakannya dihadapan orang-orang Muhajirin dan Anshar dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya”.  

    – Didalam kitab Majmu’atul Fataawa an-Najdiyah, syeikh Abdullah Muhamad bin Abdul Wahab berkata ketika menjawab pertanyaan tentang jumlah rakaat shalat tarawih bahwa Umar ra ketika mengumpulkan orang-orang dibelakang Ubay bin Ka’ab shalat mereka itu adalah 20 rakaat”. 

    Dengan adanya sekian banyak kutipan tentang rakaat shalat tarawih, baik itu dari ulama salaf maupun khalaf, nyatalah bahwa apa yang dilakukan oleh sebagian besar kaum muslimin sekarang ini dan yang hak dan benar yakni tarawih 20 rakaat. Itulah yang dikuatkan dengan amalan para sahabat (tokoh dari para salaf) Nabi saw dan kesepakatan para ulama mujtahidin yang empat itu. Dengan demikian orang yang mencela dan membid’ahkan shalat tarawih sejumlah 20 rakaat, sama halnya mereka mencela para sahabat dan para mujtahidin yang telah kami kemukakan tadi. 

    Dalil-dalil orang yang membantah shalat tarawih 20 rakaat
    Mereka yang tidak menyetujui shalat tarawih 20 rakaat, beralasan sebuah hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari siti Aisyah ra, berikut ini:
    “Nabi saw tidak pernah shalat malam melebihi 11 rakaat baik dibulan ramadhan maupun selainnya”. Berdasarkan hadits ini, menurut mereka, shalat tarawih itu hanyalah 8 rakaat ditambah 3 rakaat witir. Adapun hadits-hadits lain yang menunjukkan bahwa shalat tarawih itu 20 rakaat –seperti yang telah dikemukakan– tidak pernah mereka perdulikan, bahkan mereka mengatakan ,sebagaimana kebiasaan mereka, sebagai hadits-hadits dhaif.

    Jawaban
    Apa yang diriwayatkan oleh siti Aisyah itu adalah shalat Nabi saw yang beliau lihat. Hal ini tentu saja tidak menutup kemungkinan bahwa Nabi saw pernah melakukan shalat yang lebih dari 11 rakaat, karena Aisyah ra hanyalah salah satu dari sembilan isteri Nabi saw. Dan tidaklah mungkin Nabi kita saw disetiap malamnya tidur ditempat siti Aisyah, sehingga hal itu bisa ditetapkan sebagai hukum yang pasti. Aisyah ra hanyalah menceriterakan kepada kita tentang shalat Nabi saw yang beliau lihat.  

    Buktinya juga bahwa siti Aisyah pernah bersaksi bahwa beliau sama sekali tidak pernah menyaksikan Nabi saw melakukan shalat dhuha (sholat dhuha ini pernah kami singgung pada bab bid'ah di website ini--pen.), sebagaimana yang tersebut dalam shahih Muslim hadits dari Syihab dari Urwah dari Aisyah, dimana beliau berkata: “Saya sama sekali tidak pernah menyaksikan Rasulallah saw melakukan shalat dhuha –dan saya (Aisyah ra) sendiri melakukannya–. Sesungguhnya Rasulallah saw kadangkala meninggalkan satu amal perbuatan walau sebenarnya beliau ingin melakukannya. Hal ini semata-mata karena beliau khawatir orang-orang akan melakukannya, lalu diwajibkan kepada mereka oleh Allah swt”. Seperti ini kesaksian Aisyah ra dalam hal shalat dhuha. Padahal yang telah ditetapkan dalam beberapa hadits Nabi saw adalah bahwa beliau saw terus menerus melakukan shalat dhuha dan berwasiat kepada Abu Hurairah ra untuk tidak meninggalkannya.


    Hal ini tersebut dalam hadits riwayat imam Muslim dari Abi Hurairah beliau berkata:
    “Kekasihku tercinta (yakni Nabi Muhammad saw) berpesan kepadaku dengan tiga hal ,aku tidak akan meninggalkannya selama hidupku, yakni puasa tiga hari setiap bulan, shalat dhuha dan tidak tidur sebelum shalat witir”.
    Diriwayatkan juga dalam shahih Muslim dari Abdurrahman bin Abi Laila , beliau berkata: “Tidak seorangpun yang memberitahu saya bahwa dia melihat Nabi saw shalat dhuha kecuali Ummu Hani. Sesungguhnya dia telah menceriterakan bahwa Nabi saw masuk kerumahnya pada hari pembukaan kota Mekkah lalu beliau shalat delapan rakaat. Saya sama sekali tidak pernah melihat beliau melakukan shalat yang lebih ringan dari shalat ini, hanya saja beliau tetap menyempurnakan ruku dan sujudnya”. 

    Dengan adanya riwayat diatas dan riwayat lainnya yang tidak tercantum disini masalah shalat dhuha, maka sesungguhnya perkataan Aisyah ra bahwa Nabi saw tidak pernah shalat lebih dari 11 rakaat pada bulan ramadhan maupun selainnya, adalah menurut yang Aisyah ra ketahui dirumahnya. Dan hal itu tidaklah menutup kemungkinan bahwa Nabi saw melakukan shalat yang lebih banyak dari itu ditempat istei-isteri beliau yang lain. Sebagaimana hal itu ditetapkan dari hadits riwayat Ibnu Abbas, Zaid dan sahabat-sahabat yan lain, sehingga Imam Ahmad  bin Hambal meriwayatkan dalam tambahan musnadnya dari sayidina Ali ra, beliau berkata: “Rasulallah saw pernah melakukan shalat malam sebanyak 16 rakaat selain shalat yang difardhukan”.

    Begitu juga apa yang diriwayatkan oleh Aisyah ra itu bertentangan dengan riwayat imam Muslim dalam kitab shahihnya dari Ibnu Abbas ra, dimana beliau berkata: “Rasulallah saw pernah melakukan shalat malam sebanyak 13 rakaat”. Dalam riwayatnya yang shohih ini ternyata Nabi saw pernah melakukan shalat malam melebihi 11 rakaat

    Dan bertentangan juga dengan riwayat Muslim dari Zaid bin Khalid Al-Juhani, bahwasanya beliau berkata : “Demi Allah, saya benar-benar menyaksikan dengan seksama shalat Rasulallah saw pada suatu malam. Ternyata beliau shalat dua rakaat yang ringan, kemudian dua rakaat lagi yang panjang, dua rakaat lagi yang panjang, dua rakaat lagi yang panjang, kemudian dua rakaat yang lebih panjang dari sebelumnya, kemudian dua rakaat yang lebih panjang dari sebelumnya. Lalu Zaid bin Khalid Al-Juhani menyebutkan hadits tersebut hingga beliau berkata: ‘Kemudian Rasulallah shalat witir’, maka yang demikian itu berjumlah 13 rakaat”.
    Karena itulah Al-Qodhi ‘Iyadh berkata: Para ulama berpendapat bahwa dalam hadits-hadits ini masing-masing dari Ibnu Abbas, Zaid dan ‘Aisyah ra hanyalah menceriterakan apa yang beliau lihat dari Rasulallah saw dan tidaklah ada perselisihan bahwa shalat malam (termasuk tarawih) tidak ada ketentuan jumlah rakaatnya secara pasti, sehingga (orang)tidak  boleh ditambah dan dikurangi. Dan bahwasanya shalat malam itu termasuk diantara perbuatan taat ita kepada Allah swt yang apabila bertambah jumlahnya, maka ber- tambah pula pahalanya.

    Al-Hafiz Ibnul Iraqi berkata dalam kitabnya Tharhut Tatsrib : “Para ulama telah sepakat bahwa shalat malam itu tidak memiliki ketentuan rakaat yang pasti. Akan tetapi riwayat-riwayat yang berbeda itu adalah dalam hal berapa rakaat yang dikerjakan oleh Nabi saw”.

    Sebagai bukti shalat malam itu tidak memiliki batasan rakaat yang tertentu adalah hadits marfu’ riwayat Ibnu Hibban dari Abu Hurairah ra: “Lakukanlah shalat witir sebanyak lima, tujuh, sembilan atau sebelas rakaat atau yang lebih banyak dari itu”. Hadits ini disahihkan oleh Ibnul Iraqi sebagaimana tersebut dalam kitab Nailul Authar dan Tuhfatuz Zaakirin. 

    Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Fatawa jilid 1, berkata:“Sesungguhnya sahabat Ubay bin Ka’ab melakukan shalat tarawih bersama orang-orang dibulan ramadhan dengan 20 rakaat ditambah witir 3 rakaat. Maka banyaklah para ulama berpendapat bahwa itulah yang sunnah, karena Ubay bin Ka’ab melakukannya ditengah-tengah orang Muhajirin dan Anshor dan tidak seorangpun dari mereka yang mengingkarinya. Ulama yang lain memandang baik jika dilakukan 39 rakaat dengan alasan bahwa itulah amalan penduduk Madinah sejak dulu. Kelompok ulama yang lain berpendapat bahwa shalat tarawih itu 13 rakaat tetapi mereka kurang mantap dengan pendapatnya ini, lantaran sunnah khulafa’ur Rosyidin dan yang dilakukan oleh kaum muslimin menetapkan 23 rakaat (20 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir). Yang benar bahwa semua pendapat itu baik, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ahmad dan juga karena ibadah malam dibulan ramadhan itu tidak ditentukan jumlah rakaatnya. Dengan demikian, maka memperbanyak jumlah rakaat atau menguranginya tergantung pada lama atau sebentarnya ketika berdiri. Sesungguhnya Nabi saw melamakan waktu berdiri dalam shalat malam, hingga ada dijelaskan dalam hadits yang sahih bahwa beliau dalam satu rakaat membaca surat Al-Baqarah, surat Ali Imran dan surat An-Nisa. Maka lamanya berdiri itu sudah mencukupi dari memperbanyak rakaat. Sedangkan Ubay bin Ka’ab ketika beliau shalat tarawih dengan kaum muslimin dalam satu jamaah dimasa Umar bin Khattab, beliau shalat dengan 20 rakaat, karena lamanya berdiri bisa memberatkan jamaah yang lain. Maka disitu melipat-gandakan jumlah rakaat adalah sebagai ganti lamanya berdiri. Bahkan ada sebagian ulama salaf yang melakukan shalat tarawih 40 rakaat”. 

    Beginilah dalil-dalil yang dikemukakan mayoritas kaum muslimin, yang melakukan shalat tarawih 20 rakaat dan 3 rakaat witir. Pendapat para ulama –yang dikemukakan tadi– telah membuktikan betapa salahnya tuduhan orang-orang yang tidak menyetujuinya, dimana mereka menuduh bahwa siapapun yang melakukan shalat tarawih melebihi 11 rakaat (termasuk 3 rakaat witir) adalah pelaku Bid’ah yang sesat dan dia sama halnya melakukan shalat dhuhur 5 rakaat. Sebagaimana sebagian dari mereka menulis, berikut ini: "Bukankah orang yang menambah shalat tarawih hingga 20 rakaat itu sama dengan orang yang melakukan shalat bertentangan dengan shalatnya Nabi saw, yang telah dinukil dari beliau melalui sanad-sanadnya yang sahih. Maka dia seperti orang yang shalat dhuhur 5 rakaat dan shalat sunnah fajar 4 rakaat. Dia juga seperti orang yang shalat dengan 2 kali ruku dan beberapa kali sujud (didalam tiap rakaatnya)”. 
    Bukankah ucapan seperti ini adalah kejahilan dan kesalahan yang sudah jelas, karena bagaimana mungkin mereka –yang selalu mengaku diri alim dan punya intelektualitas yang tinggi dalam berbagai masalah agama– sampai bisa meng-qiyaskan shalat fardhu dengan shalat sunnah dan penambahan shalat tarawih dibulan ramadhan sama seperti penambahan shalat fardhu. Orang awam saja akan bisa membedakan antara orang yang shalat dhuha 4 rakaat dengan orang yang shalat maghrib 5 rakaat. Dia akan mengatakan bahwa shalat dhuha adalah sunnah, boleh dikerjakan melebihi 4 rakaat, sementara yang maghrib adalah shalat wajib, yang tidak boleh dikerjakan melebihi 3 rakaat. Orang awam juga akan bisa membedakan antara meninggalkan shalat isya dengan meninggalkan shalat tarawih. Ia akan mengatakan bahwa meninggalka shalat isya adalah perbuatan dosa karena itu berarti telah meninggalkan shalat fardhu, sementara meninggalkan shalat tarawih bukanlah perbuatan dosa karena ia hanyalah shalat sunnat.Wallahu a’lam. Semoga mereka yang tidak suka shalat tarawih 20 rakaat atau tidak suka orang melakukan shalat tarawih, bisa merenungkan hal ini…..Amin. 

    Semoga semua isi makalah ini bisa bermanfaat bagi diri kami sekeluarga khususnya dan semua saudara-saudaraku muslimin lainnya. Sebagai manusia yang penuh kekurangan, kami mengharap masukan dan saran dari segenap para pembaca budiman silahkan kirim via email :   syafii_ali55@yahoo.com. 






    Sumber:http://www.everyoneweb.com/tabarruk/



    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar