Senin, 18 Februari 2013

Kitab Fiqh Nusantara: Menggali Tradisi Membangun Harmony



 
Dalam realitasnya, ulama-ulama Indonesia  sejak awal memiliki karya tulis yang menunjukan produktifitas mereka dalam bidang hukum Islam atau Fiqh. Sebut saja misalnya, Nuruddin Ar-Raniry yang menulis kitab Siratal Mustaqim, Abdur Rauf As- Sinkili yang menulis Mir’atut Tulab fi Tasyi’ al Ma’rifah al Ahkam As-Syar’iyah li al-malaik al-wahab, Muhammad Arsyad al- Banjari dengan karyanya Sabil Al Muhtadin dan masih banyak ulama lainnya. Khasanah Fiqh lokal yang banyak tersebut menunjukan bahwa ulama Indonesia memiliki pendapat-pendapat dalam bidang Fiqh yang memiliki kearifan lokal. 

Dalam konteks kekinian, kearifan lokal dalam fiqh sangat  penting dalam rangka merumuskan hukum islam yang kontekstual dan fungsional bagi penataan kehidupan keagamaan umat islam. Demikianlah yang disampaikan oleh Fuad Mustafid, M.Ag , selaku ketua panitia  dalam Seminar Nasional dengan tema “ Kitab Fiqh Nusantara: Menggali Tradisi Membangun Harmony ” yang diselenggarakan di gedung Convention Hall, 14 November 2012. Dalam Seminar Nasional ini di buka oleh Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Noor Haidi Hasan, Ph.D.

Seminar Nasional ini diadakan oleh Prodi Perbandingan Mahdzab dan Hukum (PMH) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam seminar ini mengundang Dr. Fakhriyati (Peneliti di Litbang Kemenag RI Jakarta), Dr. Ahmad Baso (Lakpesdam NU Jakarta), Dr. Islah Gusmian (STAIN Surakarta), Dr. Ali Sodiqin (Kaprodi PMH Fakultas Syariah dan Hukum) dan Fathorrahman, M.Si sebagai Moderator.

“ Fiqh Nusantara adalah bagian dari konstruksi Islam Nusantara, jika kita berbicara tentang Islam Nusantara, maka Islam sebagai ajaran normatif diamalkan dan diistifadah dalam “bahasa-bahasa-ibu” penduduk nusantara. Jadi, sebutan Nusantara bukan menunjukan sebuah teritori, tapi sebuah paradigma pengetahuan, kerja-kerja kebudayaan dan kreatifitas intelektual. Media menulis para ulama Nusantara menulis karyanya, bukan hanya dalam bahasa arab atau melayu, tapi juga memakai bahasa Nusantara seperti bahasa Jawa, Aceh, Bugis-Makasar, dst. Semua bahasa itu dikomunikasikan dengan berbagai konstituen di berbagai belahan dunia, contohnya saja Serat Ambiya yang dicetak di Bombay India dalam bahasa Jawa aksara pegon, menunjukan bahwa karya-karya penulis-penulis pesantren di Nusantara sudah memiliki reputasi internasional”, tutur Ahmad Baso.

Menurut Islah Gusmian, pemetaan tentang keragaman naskah-naskah keislaman di Nusantara, penting didefinisikan tentang pengertian atas ”naskah Keislaman”. Jika pengertian “keislaman” dipahami sebagai tulisan yang membicarakan bukan hanya tentang topik yang terkait dengan ortodoksi islam tetapi juga terkait dengan sejarah sosial dan politik umat islam yang terkait dengan nilai-nilai islam, maka menjadi sangat luas dan kompleks pembahasannya. Pada kenyataannya dalam peradaban teks di Nusantara yang ditulis bukan hanya masalah-masalah yang terkait dengan keilmuan di bidang fiqh, hadis,tafsir, tauhid atau ilmu kalam dan tasawuf, tetapi juga sejarah, doa dan mantra, ilmu mujarabat, sastra dan yang lain. Memasuki era awal abad ke-17 M, diwilayah Sumatra, Jawa dan Makasar, sejumlah ulama muncul  dengan tradisi penulisan teks-teks keislaman di Nusantara. Mereka itu adalah Hamzah Fansuri, Syamsuddi Al-Sumatrani, Muhammad Yusuf al maqqasari, Nuruddin al Raniri dan masih banyak lagi. Memasuki era awal abad ke-18 M, sejumlah ulama yang populer melahirkan sejumlah teks-teks keagamaan Islam di Nusantara, diantaranya, Tuang Rammpang, Abd al Samad al Palembang, Syekh Arsyad Al-Banjari dan Muhammad Nafis Al-Banjari. Ada pula teks keagamaan islam yang lahir dari tangan seorang ulama banten, ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhar al-Bantani. Melihat betapa besarnya karya-karya yang lahir pada masa lampau, sudah saatnya perguruan Tinggi Agama Islam (UIN/ IAIN/ STAIN) mengambil peran di dalam pengkajian teks-teks keagamaan yang diwariskan para ulama Nusantara tersebut.

Melihat hal ini Ali Sodiqin berpendapat bahwa penerimaan dan pembaruan budaya lokal oleh Al- Quran menjadi argumentasi teologis bagi ulama, khususnya para Fuqaha. Nilai-nilai universal Al-Quran khususnya dalam masalah hukum, diterjemahkan kedalam realitas sosial yang dihadapi para fuqaha. Dari sinilah muncul ijtihad yang menjadi ikon dinamika perkembangan hukum islam. Tingkat ijtihad juga berfungsi sebagai metode untuk menunjukan kemampuan adaptabilitas hukum Islam dalam menghadapi problematika sosial. Berkaca dari model dialektika Al-Qur’an, maka fuqahapun merumuskan konsep dan kaidah tentang pengintegrasian budaya lokal ke dalam hukum islam. Maka muncullah konsep ‘Urf dan kaidah al-‘adah al muhakkamah dalam kajian fiqh dan ushul fiqh. (Doni Tri Wijayanto-Humas UIN Sunan Kalijaga).

Sumber:http://www.uin-suka.ac.id/berita/dberita/662

BIOGARFI PROF. DR. ABUYA AS – SAYYID MUHAMMAD BIN ALAWI AL MALIKI AL HASANI 1365 – 1425 H

Abuya As - Sayyid Muhammad Bin Alawy Al Maliky Al Hasany

Oleh: KH Ihya’ Ulumiddin
                     Pemimpin Ma’had Nurul Haromain, Ngroto, Pujon, Malang, Jawa Timur


Pada dini hari Jum’at, tanggal 15 Romadhon tahun 1425 hijriyyah yang lalu, seorang ulama besar, guru kita dan panutan kaum muslimin wafat. Innaa Lillah wa Innaa ilaihi roji’uun. Berkaitan dengan wafatnya seorang alim, Rosululloh Shollallohu alaihi wasallam bersabda:

مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيْـبَةٌ لاَ تُجْبَرُ وَثُلْـمَةٌ لاَ تُسَدُّ وَهُوَ نَجْمٌ طُمِسَ مَوْتُ

 قَبِـيْلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ

“ Meninggalnya seorang alim adalah malapetaka yang tidak bisa dipulihkan dan merupakan kecacatan yang tidak bisa ditambal. Meninggalnya seorang alim tak ubahnya bintang yang pudar sinarnya. Meninggalnya satu kelompok manusia jauh lebih ringan dibanding meninggalnya satu orang alim. “ ( HR Abu Dawud, Ibnu Hibban dan al Baihaqi dari sahabat Abu Darda’ ra. / al Matjarur Rabih, al Hafizh ad – Dimyathi, hal – 17 )

Sahabat Ali bin Abi Tholib Karromallohu Wajhahu menegaskan pernyataan Baginda Rosululloh Shollallohu alaihi wasallam . tersebut dan berkata:
إِذَا مَاتَ الْعَالِمُ انْثَلَمَتْ فِى اْلإِسْلاَمِ ثُلْمَةٌ لاَ يَسُدُّهَا شَيْءٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“ Jika seorang alim meninggal maka terjadilah kecacatan dalam Islam yang tidak bisa ditambal oleh apapun hingga hari kiamat “ ( HR al Khathib di kitab al Jami’ / Ushulut Tarbiyah an – Nabawiyyah, Abuya as – Sayyid Muhammad bin Alawi al – Maliki al Hasani , hal 22 )

Dalam kesempatan ini kita menulis dan membaca bukan dalam rangka meratapi wafat Beliau, karena setiap jiwa pasti akan merasakan kematian, tapi kita menulis dan membaca dalam rangka mengenang, mengingat dan menuturkan kebaikan – kebaikan al Faqid ( yang telah hilang dari kita ) sebagai seorang ulama salaf besar dan mutsaqof ( terdidik ). rohimallohu wa qoddasa sirrohu. Rosululloh Shollallohu alaihi wasallam bersabda:

أُذْكُرُوْا مَحَاسِنَ مَوْتَاكُمْ وَكُفُّوْا عَنْ مَسَاوِئِهِمْ

“ Tuturkanlah kebaikan – kebaikan orang – orang kalian yang sudah wafat, dan tahanlah diri kalian dari menuturkan keburukan – keburukan mereka “ ( HR Abu Dawud, al - Hakim dan al - Baihaqi dari sahabat Abdulloh bin Umar ra. Shahih / lihat Faidhul Qadir, Syarah al Jami’ as Shaghir. Al Munawi : 1 / 457 )

Menuturkan hasanat ( kebaikan – kebaikan ) Abuya As Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani secara lengkap rasanya kita tidak mampu, apalagi di lembaran tulisan yang amat singkat ini, karena tak terhitungnya kebaikan – kebaikan itu. Beliau ibaratnya adalah “Khazanah majami’ul khoir “ ( gudang segala kebaikan ). Pertama, beliau adalah min ahlil bait ( keturunan baginda Rosululloh shollallohu alaihi wasallam ). Beliau adalah pakar di berbagai bidang keilmuan islam. Beliau adalah seorang yang masuk dalam kategori “ basthotan fil ilmi wal jismi “ ( perkasa dalam ilmu dan fisik ). Berdomisili di tanah haram yang tak lepas dari minum air zam – zam. Ayah Beliau, Sayyid Alawi al Maliki, yang menjadi guru di madrasah al Falah dan Masjidil Haram selama kurang lebih 30 tahun, adalah guru Beliau yang pertama dan yang utama, yang mengajarnya sendiri secara khusus. Kakek Beliau, Sayyid Abbas al Maliki adalah mufti dan qodhi di Makkah serta imam dan khathib tanah suci Makkah, yang menjabat sebagai imam dan khathib tersebut pada masa khilafah Utsmaniyyah dan tetap menjabatnya hingga kerajaan Saudi Arabia berdiri.

Abuya as – Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani adalah seorang yang kaya raya yang dermawan dengan kekayaannya, sekaligus dermawan dalam ilmu dan waktunya. Beliau produktif menelorkan tulisan – tulisan yang mencapai hampir 100 buku. Beliau memiliki sanad – sanad keilmuan yang tinggi ( sanad ali ). Beliau da’i kaliber internasional. Beliau dijunjung tinggi dan disegani alim ulama di Makkah dan di seluruh penjuru dunia. Beliau memiliki mulazim ( pengikut setia ) dan banyak tersebar di berbagai negeri. Dan kebaikan – kebaikan Beliau lainnya tidak bisa disebutkan. Sebuah keunggulan yang lengkap dan langka, bifadhlillahi ta’ala.

Pada kesempatan kali ini kita mudah - mudahan bisa menuturkan kebaikan Beliau kaitannya dengan kepeloporan dan keterdepanan dalam mempertahankan dan menyebar – luaskan paham ahlus Sunnah wal Jama’ah di abad 21 ini. Beliau, Abuya as Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani, adalah seorang murobbi yang robbani. Cukuplah untuk membuktikan hal itu pengalaman masing – masing ( para murid dan santri Beliau ) selama di Makkah al Mukarromah ketika bergaul bersama Beliau. Abuya mentarbiyah kita ( para santri ) secara total mulai aspek aqliyyah, ruhiyyah / khuluqiyyah, hingga aspek jasmaniyyah, yang dalam bahasa lain adalah aspek kogntif, afektif, dan aspek psikomotorik. Abuya menempa kita dari masalah – masalah kecil / remeh hingga masalah – masalah besar. Beliau memberikan pemahaman kepada kita sesuai dan pas dengan kemampuan dan kejiwaan kita.

Saat ta’lim, kita mendapatkan kesempatan untuk didengarkan bacaan kita. Ikatan ruhiyyah selalu terjalin. Saat ta’lim itu kita tahu betapa dalam dan luas keilmuan Beliau. Alangkah bergairahnya Beliau mengajar. Saat menjelaskan hal – hal berat, jadi terasa ringan karena di selingi humor. Di saat duduk – duduk bersama santai, Abuya memaparkan situasi kondisi masyarakat dan Beliau menelaahnya dari berbagai aspek dan sudut pandang. Tanpa terasa, banyak hal baru yang kita dapatkan. Wawasan semakin bertambah luas. Kita justru banyak mendapatkan ilmu dari kegiatan non – formal seperti ini, berkah dari ber- mujalasah ( duduk bersama ) dengan Beliau.

Abuya banyak mencotohkan sesuatu dengan tindakan nyata. Kedisiplinan, misalnya, tidak sekedar perintah, namun Beliaulah orang pertama yang melakukan. Dalam melatih kesabaran, Beliua tidak memberikan banyak retorika. Cukup, satu contoh, kita semua disuruh menunggu waktu sholat dengan duduk satu jam sebelum adzan, sembari membaca wirid. Terkadang rentang waktunya lebih lama lagi.

Kita dilatih peka terhadap lingkungan, sekatan, serta di-didik menjadi pribadi yang tidak malas. Kebersihan, keindahan dan kerapian adalah hal yang tak lepas dari perhatian Beliau. Kita tidak diperkenankan berpakaian asal – asalan. Kita dituntut tampil indah, segar, dan rapi. Hal ini mengingatkan kita pada biogarafi Imam Malik bin Anas ra dan Imam Ibnu Hajar al – Asqalani yang selalu tampil indah dan bersih, lahir maupun batin.

Dari segi ruhiyyah, kita dibina untuk selalu mengingat Alloh, dengan banyak berdzikir baik lisan maupun hati. Begitu juga sholawat, tak bosan – bosannya Beliau mengingatkan kita, karena sesungguhnya dzikir dan sholawat itulah suplemen bagi jiwa kita, sumber ketenangan.

Beliau memperlakukan kita tak ubahnya sebagai anak – anak Beliau sendiri. Penuh dengan mahabbah dan kasih sayang. Beliau memperlakukan kita sebagai seorang sahabat akrab, dekat dan tak ada jarak. Inilah yang dalam prinsip pendidikan modern dikenal dengan istilah shuhbah atau sistem pendidikan “ liberal “, yakni sistem pendidikan yang bebas tapi bertanggung jawab.

Kerobbanian Beliau dalam mentarbiyah juga tampak dari kenyataan bahwa masing – masing di antara murid merasa paling dicintai oleh Beliau. Satu hal yang menjadi tujuan besar Beliau dari tarbiyah model di atas adalah takwinur rijaal, yaitu membentuk kader; membangun manusia yang siap dan mampu terjun berjuang di bidang pendidikan dan dakwah. Dan alhamdulillah, alumni – alumni Beliau betul – betul tumbuh menjadi rijal – rijal tarbiyah dan dakwah di negerinya sendiri seperti Yaman, Mesir, Dubai, Indonesia, Malaysia, dan negeri – negeri yang lain. Puluhan pesantren di Indonesia, misalnya, berada di bawah isyrof ( pengawasan dan bimbingan ) Beliau.

Suatu anugerah yang besar bila kita memiliki figur murobbi seperti Beliau. Suatu keberkahan bila kita pernah berada dalam tempaan Beliau. Suatu kebahagiaan bila kita pernah bergaul bersama Beliau.

إِنَّهُ وَصَلَ وَأَوْصَلَ

“Sungguh Beliau telah sampai ( kepada Alloh ) dan menyampaikan ( membawa orang sampai kepada Alloh )“
Jika para pengikut Imam Bukhori mengatakan:
لَوْلاَ الْبُخَارِى مَا رَاحَ مُسْلِمٌ وَلاَ جَاءَ

Seandainya tanpa Imam al Bukhori, Imam Muslim tidak akan berangkat dan tidak akan hadir
Maka, kepada Abuya Sayyidana al Walid, kita katakan:
لَوْلاَ أَبُوْيَ مَا رُحْـنَا وَلاَ جِئْـنَا

Seandainya tanpa Abuya, kita semua tidak akan berangkat dan tidak akan hadir
لَوْلاَ أَنْتَ يَا أَبُوْيَ مَا اهْتَدَيْـنَا

Seandainya tanpa engkau, wahai Abuya, niscaya kita semua tidak memperoleh petunjuk
Maka semoga Alloh memberikan balasan sebaik – baik balasanNya kepada para hamba yang saleh. Engkau memiliki anugerah atas kami yang tidak bisa dipungkiri. Sungguh Alloh sebaik – baik para saksi.
Beliau telah menempa kita hingga menjadi seperti sekarang ini. Alhamdulillah. Dan lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk membalasnya? Rasanya kita tidak mungkin bisa membalas jasa besar ini. Namun, ada hal yang barangkali bisa membuat Beliau gembira di alam barzakhnya manakala melihat dan mendengarnya, yaitu bila kita masing – masing ( para santri ) menjadi orang – orang yang siap meneruskan perjuangan Beliau, mampu mengembangkan dan menyebarluaskan pemikiran – pemikiran Beliau, dan tetap menjalin dan menyambung do’a terhadap Beliau selama – lamanya.


Abuya As - Sayyid Muhammad Bin Alawy Al Maliky Al Hasany


Tokoh Ahlus Sunnah wal Jama’ah Abad 21

Sebagai ulama besar kaliber internasional, kita menyadari, Beliau bukan saja milik kita, para santrinya, bahkan Beliau bukan saja milik Arab, Indonesia, Malaysia, atau milik negara Islam yang lain. Beliau adalah milik umat Islam sedunia, khususunya yang berpaham Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mereka semua mengenal atau setidak – tidaknya pernah mendengar. Hal ini bisa dibuktikan dari setiap kunjungan Beliau. Bila Beliau berkunjung ke luar negeri, para pemimpin, ulama, dan masyarakat awam di negeri tersebut menyambut Beliau dengan hangat dan gembira. Seringkali Beliau disambut ratusan ribu orang. Di musim haji, sekian banyak jamaah haji berziarah di kediaman Beliau yang selalu terbuka lebar untuk tamu. Beliau dicintai dan dihormati di seluruh dunia Islam.

Bukti itu semakin nyata saat Beliau wafat. puluhan ribu orang datang berta’ziah di kediaman Beliau. Ratusan ribu orang mengantar jenazah Beliau. Dan jutaan orang muslim di seluruh dunia mensholati ghoib, mendo’akan serta merasakan kehilangan dan duka amat mendalam. Innaa Lillah wa Innaa ilaihi rojiun. Wal Baqo’ Lillah.
Hidup Beliau memang bukan untuk diri sendiri. Beliau hidup untuk ummat dan dunia Islam. Beliau jelajahi Asia, Afrika, Eropa dan Amerika untuk menyeru umat manusia menegakkan kalimat Alloh, mentaati RosulNya dan berakhlak mulia. Hidup Beliau antara mengajar, beribadah, menulis dan berdakwah.
Tahun 1970 Abuya Al Walid mengajar di Universitas Ummul Quro Makkah, dan pada saat yang sama Beliau mendapatkan gelar doktor honoris causa dari al Azhar. Tahun 1971, setelah ayah Beliau wafat, ulama – ulama Makkah mendaulat Beliau untuk menggantikan sang ayah mengajar di tanah haram.

Awal tahun 80 –an Beliau melepas semua posisi itu, dengan dilandasi hati nurani dan akal bijaksana Beliau, karena fitnah yang demikian dahsyat yang dilancarkan ulama – ulama fanatik dari paham Wahabi. Ajaran dan keberadaan Beliau direspon mereka sebagai ancaman bagi ideologi dan otoritas paham Wahabi dengan dalih bid’ah dan syirik. Sejak saat itu, Beliau fokus mengajar di kediaman Beliau di Rushaifah. Namun, intan tetaplah intan di manapun berada. Pengajian Beliau di Rushaifah malam hari selalu dihadiri banyak orang setiap harinya, dan kian waktu kian bertambah.
Ulama – ulama Wahabi menyerang amaliah – amaliah keagamaan seperti dzikir jahri, tawassul, ziarah kubur, dzikral maulid dsb yang dianggap mereka sebagai bid’ah. Dan sasaran serangan itu yang utama adalah Abuya karena Beliaulah sunni yang berada di garis terdepan dalam mempertahankan prinsip – prinsip tasamuh ala Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sekian banyak buku dan artikel ditulis untuk menghantam Beliau. Sekian banyak ceramah dan kaset menghujat Beliau. Dan semua itu diekspos ke seluruh dunia melalui beragam media seperti membagi buku – buku secara gratis pada jamaah haji, internet dll. khususnya diarahkan kepada negeri – negeri yang Beliua mempunyai tempat di hati para penduduknya. Namun, Beliau tidak gentar dengan harus melakukan pembelaan diri, bahkan Alloh – lah yang akhirnya menggerakkan pena – pena penulis yang menerangkan pemikiran – pemikiran Abuya sekaligus pembelaan kepada Beliau. Di antara mereka berasal dari Maroko, Kuwait, Dubai, Yaman, India, dan Tunisia, seperti Dr Said Romdhon al Buthi, tokoh ulama Syiria. Di sinilah tampak keberanian, ketangguhan. Ghairah, sekaligus ketabahan Beliau yang luar biasa.

Seperti prinsip paham Ahlus Sunnah wal Jamaah pada umumnya, Abuya As Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani berpandangan bahwa masalah yang menjadi pertentangan sesungguhnya adalah masalah yang masih dalam kategori masalah khilafiyyah furu’iyyah di antara para ulama. Namun, oleh sebagian pihak, masalah tersebut dijadikan masalah besar, seakan – akan sebagai aqidah, akibat dari mereka belajar secara doktrinal. Efek dari hal ini adalah ghuluw ( melampaui batas kewajaran ). Karena itu, pandangan Abuya, dalam menggali ilmu haruslah ditempuh jalur tatsqif, yaitu membuka wawasan seluas – luasnya. Ayah Beliau As Sayyid Alawi al Maliki pernah mengatakan:

إِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ كُلَّمَا اتَّسَعَ أَفْقَهَ وَتَعَمَّقَ فِى التَّفَـقُّهِ فِى الدِّيْنِ قَلَّ إِنْكَارُهُ فِى كَثِيْرٍ مِنَ الْمَسَائِلِ

 وَالْقَضَايَا الْوَاقِعِـيَّةِ ِلأَنَّهَا يَسَعُهَا اخْـتِلاَفُ ذَوِى النَّظَرِ

“ Sesungguhnya orang yang belajar ilmu manakala berpandangan luas, yakni mendalam ilmunya dalam agama, maka sedikitlah keingkarannya terhadap masalah – masalah dan kasus – kasus kekinian, karena masalah itu telah ditampung oleh perbedaan pendapat dari para ulama yang mempunyai pandangan luas “ ( al Ghuluw. Abuya As Sayyid Muhammad / 46 )

Beliau mengkritisi para pembaharu abad 20 yang berupaya memutus umat Islam dari rantai generasi – generasi terdahulu atas nama memurnikan Islam, atas nama salafiyyah, atas nama ahli hadits, atas nama non madzhab, dsb. Beliau berpandangan bahwa mencela para pengikut madzhab, seperti dilakukan paham – paham ekstrim belakangan ini, berarti mencela seluruh umat Islam pada ratusan tahun sebelumnya. Menurut Beliau, itu bukan sikap seorang teman, namun merupakan sikap dan jalan yang ditempuh musuh Islam sekaligus mencari musuh dalam agama Islam dan membuahkan perpecahan. Beliau meyakini bahwa madzhab – madzhab besar yang mengikuti ulama sunni dan sufi ratusan tahun silam merupakan penghubung kita dengan Alqur’an dan as Sunnah.

Beliau mengakui eksistensi madzhab empat dan menyerukannya, tetapi tanpa fanatisme, agar ajaran Islam yang bak samudera tidak menjadi aliran pemikiran yang sempit. Terhadap pendapat orang lain, betapapun Beliau memiliki ilmu luas dan dalam, Beliau amat toleran. Beliau tidak menutup diri. Beliau menerima pendapat lain, bila didapati pendapat itu memiliki dalil yang kuat.

Abuya memiliki dzauq ( perasaan ) yang tinggi terhadap nilai keimanan dan keislaman seseorang. Aspek “ berbaik sangka kepada kaum muslimin “ Beliau amat besar, sehingga tidak mudah dan tidak sembarangan mengkafirkan dan membid’ahkan orang. Beliau meyakini bahwa mayoritas umat Islam ini adalah baik, hanya sedikit saja yang perlu diluruskan akibat fanatisme dan ideologi ekstrim. Abuya memahami bahwa yang diperlukan kaum muslimin dewasa ini adalah kerja- kerja nyata untuk mengangkat derajat kaum muslimin secara spiritual, sosial dan meterial serta bahu membahu memerangi kejahatan dan kemaksiatan, daripada membuang – buang waktu yang berharga untuk bermusuhan dan berdebat mengenai masalah – masalah yang telah disepakati perbedaannya oleh para ulama. Pandangan Beliau yang lurus, moderat, dan toleran ini tentu tumbuh dari sebuah kedalaman ilmu dan keluasan wawasan yang luar biasa. Dan itu semuanya telah Beliau monumenkan dalam puluhan karya tulis Beliau yang bisa dikaji, dibaca, dan disimak siapa saja.

Sementara tumbuhnya fanatisme, ghuluw dan semacamnya banyak diakibatkan oleh tiga hal, yaitu 1. kedangkalan ilmu dan atau belajar tanpa guru 2. bangga diri terhadap pendapat sendiri ( ujub ) 3. kecenderungan mengikuti hawa nafsu. Dari tiga hal inilah tumbuh takfir ( pengkafiran ), tabdi’ ( pembid’ahan ) dan tadhlil ( penyesatan ) terhadap pihak atau kelompok yang dianggap tidak sama dengan pandangannya.
Abuya menyuruh menghiasi dan memadu ilmu dengan ghairah ( semangat ) yang tinggi. Beliau berharap kader-kadernya menjadi “ alim “ sekaligus “ ghayur “, berilmu sekaligus juga memiliki ghirah yang tinggi. Menurut Beliau:

عِلْمٌ بِلاَ غَيْرَةٍ جَامِدٌ وَغَيْرَةٌ بِلاَ عِلْمٍ لاَ تَصْلُحُ لِلرِّيَاسَةِ

“ilmu tanpa ghirah beku sedang ghirah tanpa ilmu tidak layak menjadi pemimpin “
Di samping itu, Beliau juga menyeru untuk menempuh suluk, yaitu hal – hal yang berkaitan dengan prilaku, jiwa, dan hati, seperti mengamalkan wirid-wirid, berjamaah, qiyamullail, berakhlak luhur, mengajar, berdakwah, bisa hidup lebih bermanfaat bagi orang lain dsb. Tidak sekedar ilmu dan ilmu belaka. Dalam hal ini Beliau memiliki rangkaian sanad yang tinggi dan dekat dengan guru-guru besar tariqat-tariqat terkenal di dunia di samping mempunyai jaringan komunikasi dengan ulama-ulama besar dan dai-dai agung di dunia. Konsistensi Beliau membela paham Ahlus Sunnah wal Jamaah yang terus menerus dan tak kenal lelah itu pada akhirnya mendapatkan hasil. Beberapa tahun menjelang akhir hayat Beliau, tampak buah-buah perjuangan Beliau. Pemikiran dan pandangan Beliau bebas diakses. Beliau diakui sebagai ikon keterbukaan pemikiran di Saudi Arabia yang terkenal konservatif. Hal ini tercermin dari undangan untuk Beliau pada dialog nasional 5 -9 Dzul Qo’dah 1424 H di Makkah al Mukarramah, dengan tema “Al Ghuluw al I’tidal: Ru’yah Manhajiyyah Syamilah” yang diprakarsai oleh putera mahkota kerajaan Saudi saat itu, Pangeran Abdulloh yang sekarang menjadi Raja Saudi. Saat itu Beliau berhasil menyebarkan pemikiran – pemikiran Beliau ke segala penjuru dunia melalui berbagai stasiun televisi. Penguasa Saudi Arabia berubah mendamba figur Beliau yang moderat dan toleran. Beliau bahkan diminta kembali mengajar di kawasan Masjidil Haram. Tetapi keberhasilan itu setelah melalui masa – masa sulit, lebih dari 20 tahun, yaitu antara 1980 – 2000 –an. Sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan.
Demikianlah, betapa besar keterdepanan dan kepeloporan Beliau dalam mempertahankan dan menyebarluaskan paham Ahlus Sunnah wal Jamaah. Oleh karena itu, amat beralasan bila Beliau disebut - sebut sebagai tokoh Ahlus Sunnah wal Jamaah abad 21 ini. Mereka yang berseberangan pemikiran dan mabda’ ( prinsip ) dengan Beliau pun mengakuinya dengan suka atau terpaksa.

شَهِدَ اْلأَنَامُ بِفَضْلِهِ حَتىَّ الْعِدَا - وَالْفَضْلُ مَا شَهِدَتْ بِهِ اْلأَعْدَاءُ

“ Umat manusia bahkan lawan-lawan bersaksi akan kebesarannya. Dan kebesaran yang mengesankan adalah kebesaran yang diakui oleh para lawan “
Sekali lagi kita katakan, alangkah besarnya jasa – jasa Beliau dan betapa lemahnya kita membalas jasa- jasa besar itu. Tapi, ada hal – hal yang bisa kita lakukan yang barangkali bisa membuat Beliau gembira di pembaringan, yaitu: 1) Kita meneruskan perjuangan Beliau 2) Kita mengembangkan dan menyebarluaskan pemikiran-pemikiran Beliau 3) Kita tetap jalin dan sambung do’a kepada Beliau. Dalam syair dikatakan:

فَتَشَبَّهُوْا إِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا مِثْلَهُمْ - إِنَّ التَّـشَبُّهَ بِالْكِرَامِ فَلاَحُ

Jika kamu tidak mampu menjadi seperti mereka maka bertasyabbuhlah ( serupailah mereka ) .Sesungguhnya menyerupai orang – orang mulia itu suatu keberuntungan
Abuya As - Sayyid Muhammad Bin Alawy Al Maliky Al Hasany

Mudah –mudahan Alloh swt. senantiasa melimpahkan keluasan rahmat dan maghfirohNya kepada Beliau, menempatkan Beliau pada derajat yang tinggi di surgaNya bersama al Anbiya, ash shiddiqin, asy syuhada’, dan ash shalihin. Amin. Wahasuna ulaika rofiiqo. Dan semoga Alloh mengembalikan pancaran keberkahan, sirr, dan nur Beliau kepada khalifah Beliau, Sayyid Ahmad bin Muhammad bin Alawi al Maliki dan pendampingnya Sayyid Abdulloh bin Muhammad bin Alawi al Maliki, serta kepada kita semuanya. Amin ya Rabbal alamin.
Sumber:http://nurulharomain.org/

Kamis, 14 Februari 2013

Abuya Dimyati, Keramat dari Barat

Ulama dan guru tarekat yang ‘alim dan wara’ di Banten. Nama lengkapnya adalah KH. Muhammad Dimyati bin Muhammad Amin al-Banteni yang biasa dipanggil dengan Abuya Dimyati, atau oleh kalangan santri Jawa akrab dipanggil “Mbah Dim”.

Lahir sekitar tahun 1925 dari pasangan H. Amin dan Hj. Ruqayah. Sejak kecil Abuya Dimyati sudah menampakan kecerdasan dan keshalihannya. Ia belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya, menjelajah tanah Jawa hingga ke pulau Lombok demi memenuhi pundi-pundi keilmuannya.

Kepopuleran Mbah Dim setara dengan Abuya Busthomi (Cisantri) dan kiai Munfasir (Cihomas). Mbah Dim adalah tokoh yang senantiasa menjadi pusat perhatian, yang justru ketika dia lebih ingin “menyedikitkan” bergaul dengan makhluk demi mengisi sebagian besar waktunya dengan ngaji dan ber-tawajjuh ke hadratillah.

Sebagai misal, siapakah yang tidak kecil nyalinya, ketika begitu para santri keluar dari shalat jama’ah shubuh, ternyata di luar telah menanti dan berdesak-desakan para tamu (sepanjang 100 meter lebih) yang ingin bertemu Mbah Dim. Hal ini terjadi hampir setiap hari.

Para peziarah Walisanga yang tour keliling Jawa, semisal para peziarah dari Malang, Jember, ataupun Madura, merasa seakan belum lengkap jika belum mengunjungi ulama Cidahu ini, untuk sekadar melihat wajah Mbah Dim; untuk sekadar ber-mushafahah (bersalaman), atau meminta air dan berkah doa.

Mbah Dim menekankan pada pentingnya ngaji dan belajar, yang itu sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim kepada para santri dan kiai adalah jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain ataupun karena umur. Sebab, ngaji tidak dibatasi umur. Sampai-sampai, kata Mbah Dim, thariqah aing mah ngaji!, yang artinya ngaji dan belajar adalah thariqahku.

Bahkan kepada putera-puterinya (termasuk juga kepada santri-santrinya) Mbah Dim menekankan arti penting jama’ah dan ngaji sehingga seakan-akan mencapai derajat wajib. Artinya, tidak boleh ditawar bagi santri, apalagi putera-puterinya.

Mbah Dim tidak akan memulai shalat dan ngaji, kecuali putera-puterinya—yang seluruhnya adalah seorang hafidz (hafal Al-Qur’an) itu sudah berada rapi, berjajar di barisan (shaf) shalat. Jika belum dating, maka kentongan sebagai isyarat waktu shalat pun dipukul lagi bertalu-talu. Sampai semua hadir, dan shalat jama’ah pun dimulai.

Mbah Dim merintis pesantren di desa Cidahu Pandeglang sekitar tahun 1965, dan telah banyak melahirkan ulama-ulama ternama seperti Habib Hasan bin Ja’far Assegaf yang sekarang memimpin Majelis Nurul Musthofa di Jakarta. Dalam bidang tasawuf, Mbah Dim menganut tarekat Qodiriyyah-Naqsabandiyyah dari Syeikh Abdul Halim Kalahan. Tetapi praktik suluk dan tarekat, kepada jama’ah-jama’ah Mbah Dim hanya mengajarkan Thariqah Syadziliyah dari syekh Dalhar.

Itu sebabnya, dalam perilaku sehari-hari ia tampak tawadhu’, zuhud dan ikhlas. Banyak dari beberapa pihak maupun wartawan yang coba untuk mempublikasikan kegiatannya di pesantren selalu di tolak dengan halus oleh Mbah Dim, begitu pun ketika ia diberi sumbangan oleh para pejabat selalu ditolak dan dikembalikan sumbangan tersebut. Hal ini pernah menimpa Mbak Tutut (Anak Mantan presiden Soeharto) yang member sumbangan sebesar 1 milyar, tetapi oleh Mbah Dim dikembalikan.

Tanggal 3 Oktober 2003 tepat hari Jum’at dini hari Mbah Dim dipanggil oleh Allah SWT ke haribaan-Nya. Banten telah kehilangan sosok ulama kharismatik dan tawadhu’ yang menjadi tumpuan berbagai kalangan masyarakat untuk dimintai nasihat.

Bukan hanya masyarakat Banten, tapi juga umat Islam pada umumnya merasa kehilangan. Ia di makamkan tidak jauh dari rumahnya di Cidahu Pandeglang, dan hingga kini makamnya selalu ramai dikunjungi oleh para peziarah dari berbagai daerah di Tanah Air. (Ensiklopedi NU).


Sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,13-id,41140-lang,id-c,tokoh-t,Abuya+Dimyati++Keramat+dari+Barat-.phpx

Seminar Internasional di Kampus UIN Sunan Kalijaga. Maqosid Asy-syari’ah: Islam Mempunyai 8 dan 6 Pasangan Tepi, yang Bila Disatukan akan Membawa Kebahagiaan Hakiki



 
Jaser Audah mengatakan, dalam Islam ada 8 dan 6 pasangan tepi, yang apabila disatukan,akan membawa kejayaan umat Islam dan kebahagiaan dunia dan akherat. Dahulu, saat kaum Muslim perpegang teguh pada Ke-Islaman secara arif dan konsisten, kedelapan pasangan tepi itu tidak pernah menjauh. Akan tetapi, seiring waktu, terjadi degradasi dan kemerosotan paham dan terapan Islam, ke-8 pasangan tepi itu terlihat menjauh dan memunculkan jurang-jurang yang mengenaskan.

Ke-8 pasangan tepi yang semakin berjauhan itu sebenarnya adalah 8 gap antara yang diharapkan dan yang ada, menyangkut pengembangan keilmuan oleh umat manusia dan penerapannya di tengah-tengah kehidupan.

Hal tersebut disampaikan Sarjana Teknik berkebangsaan Mesir, yang konsen terhadap studi  ke-Islaman ini, di hadapan ratusan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga dalan Seminar Internasional bertajuk  “Shaping Islamic Tomorrow Today Maqasid Perspective Towards A New Paradigm of Islamic Research,” di Convention Hall kampus UIN Sunan Kalijaga, Kamis, 17 Januari 2013. Hadir juga menjadi pembicara Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah (Guru Besar UIN Sunan Kalijaga) dan Dekan Fakultas  Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga (Noorhaidi Hasan, Ph.D).

Lebih lanjut Jaser Audah memaparkan, 8 pasangan tepi itu, dan bagaimana menjembatani agar bersatu kembali. Yakni : 1. Antara World View Islami  dan World View Ilmiah. Islam yang dibawa Rosul Muhammad SAW lahir sebagai world view (pandangan hidup) ilmiah, sistematis dan konsekuen. Wahyu pertama Kitab Al Qur’an menyeru kepada manusia untuk Iqra’. Menyeru untuk mengumpulkan tanda-tanda wujud dari berbagai arah dan disiplin ilmu. Manusia diarahkan untuk mengumpulkan alamah menjadi satu kesatuan al-‘ilm (ilmu). Manusia diarahkan untuk mengumpulkan tanda-tanda kebesaran Allah dari ilmu janin, ilmu pendidikan, ilmu psikologi, ilmu ilmu yang lainnya... dan ilmu agama. Dengan akalnya pula manusia diarahkan untuk mengiat-kaitkan berbagai ilmu untuk menemukan hakekat ketauhidan Allah. Jika manusia dapat menemukan hakekat ketauhidan Allah melalui akal dan ilmunya akan bisa membawa kemuliaan akhlak. Seperti yang pernah dicapai kaum Muslim saat peradaban Islam berjaya dulu. 2. Pasangan tepi antar disiplin (ilmu).  Menurut Jaser Audah, jurang-jurang antar disiplin ilmu, bila tidak diperjuangkan untuk diinterkoneksikan kembali akan menghalangi tugas-tugas luhur manusia sebagai khalifah. 3. Pasangan tepi antara Drives dan Discipline.  Islam selalyu mengajak  untuk aktif mendialogkan antara fikih dengan lingkungan, agar memberi manfaat melalui memerakarsai kebaikan (amr bi al – ma’ruf) mencegah keburukan (Nahy ‘an al- munkar). 4. Pasangan tepi antara Penulis dan Pembaca. Sepanjang sejarah peradaban emas Islami, warga yang berakal, berilmu, memiliki integritas, diandalkan untuk melestarikan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang Madani, tidak hanya bergantung pada aturan hukum saja, apalagi hukum pidana. 5. Pasangan tepi antar Mazhab Islami. Penerapan syari’at Islam pada tingkatan yang lebih tinggi, yakni filsafat dan akhlak, akan terbukti melarutkan kekakuan antar mazhab, karena dari hasil penelitian, kata Jaser, terbukti bahwa kekakuan itu adalah hasil dari perselisihan politik sepanjang sejarah Islami. 6. Pasangan tepi antara Manusia Muslim dan masa lalunya. Menurut Jaser, umat Muslim hendaknya memiliki komitmen untuk membangun atas warisan keilmuan Islami, namun tetap kritis terhadap warisan yang bertentangan dengan komitmen dasar yang berwawasan ilmiah, sistematis dan konsekuen. 7. Pasangan tepi antara umat Muslim dan manusia dunia. Jaser Audah berupaya menyatukan umat Muslim dan manusia dunia berdasar komitmen bahwa semua manusia memimpikan kesejahteraan, kedamaian dan kelestarian lingkungan. 8. Pasangan tepi antara Citra dan cerita Intelektual Muslim. Melalui keaktifannya dalam berbagai organisasi dunia,  melakukan berbagai penelitian, menulis berbagai karya buku, melakukan berbagai pengamalan hasil ijtihad intelektualnya, Jaser Audah mengajak semua umat Muslim untuk giat melakukan sesuatu dan berkarya dengan segala kesederhanaan, keterbukaan untuk dikritik, kemurahan, kerendahan hati serta hormat pada ulama, agar citra dan cerita intelektual Muslim bersambut.

Sementara 6 pasangan tepi yang menunggu setiap umat Muslim untuk mendekatkannya/menyatukannya adalah : 1. Pasangan tepi antara Sang Khalik dengan Hambanya, 2. Pasangan tepi antara Manusia dengan Lingkungan alamnya, 3. Pasangan tepi antara Warga Negara dan Pemerintahnya, 4. Pasangan tepi antara dua belahan kemanusiaan Lelai dan Perempuan, 5. Pasangan tepi antara Aktivisme Islami dan Aktivisme Gerakan Islami Humanis, 6. Pasangan tepi antara Haves dan Have-nots dalam bingkai al Maqasid, deminian jelas Jaser Audah.

Sementara, apa  yang dipaparkan Jaser Audah tersebut sudah terangkum dalam salah satu buku karya Jaser Audah yang diterjemahkan oleh ‘Ali Abdelmon ‘im dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Penerbit Suka Press UIN Sunan Kalijaga, dengan judul “Al-Maqasid untuk Pemula. Buku tersebut dilaunching di sela-sela seminar.

Prof. Amin Abdullah, yang hadir menjadi pembicara pada forum tersebut antara lain menyampaikan, Jaser Audah adalah seorang Sarjana Teknik  yang belajar secara klasik tentang ilmu-ilmu agama di Masjid Jami’al Azhar. Ia memperoleh gelar Sarjana Ilmu Syari’ah, diikuti  gelar S2 dan S3 Studi Islam dari perguruan tinggi Barat. Ia juga memperoleh gelar S3 tentang kesisteman dari perguruan tinggi di Kanada. Dari perjalanan keilmuan dan aktivitas intelektualnya, telah terlahir banyak sumbangan pemikiran yang signifikan terhadap pengembangan studi ke-Islaman multi-disipliner sebagai upaya awal untuk memecahkan persoalan intelektual dan sosial-keberagamaan Islam era kekinian yang semakin hari semakin kompleks.

Dalam upaya transformasi institusi dan akademik perguruan tinggi agama Islam di Indonesia, yang sudah berjalan 10 tahun terakhir ini, karya-karya Jaser Audah seperti Maqasid al-Syariah:  as Philiosophy of Islamic Law: A Systems  Approach,  dan karya-karyanya yang lain, memiliki tingkat relevansi dan signifikansi yang tinggi dalam upaya untuk mengukuhkan orientasi integrasi-interkoneksi keilmuan, serta sinergi riset ilmiah untuk mengembangkan wawasan keilmuan ke-Islaman yang akan berdampak pada kebijakan pembangunan bidang keagamaan di tanah air dan dunia Islam pada umumnya, kata Amin Abdullah. 

Sumber:http://www.uin-suka.ac.id/berita/dberita/687


PPS UIN Sunan Kalijaga Luluskan Doktor Lagi - (Konsepsi Ahl As-Sunnah Wal-Jama’ah NU, Implementasi Cara Hidup Rusulullah dan Sahabat)


Chusnan B. Djaenuri (64 tahun) mengatakan,  NU memiliki paham yang berkembang menjadi fikrah Nahdiyyah dalam memahami, mensikapi dan mengamalkan ajaran Islam,  yang menyatukan antara aqidah, syari’ah dan akhlak tasawuf,  disebut Aswaja. Dalam merespon permasalahan, baik yang berhubungan dengan keagamaan dan kemasyarakatan, Aswaja NU memutuskan Manhaj fikrahnya sebagai berikut: 1. Bidang Aqidah, mengikuti pemikiran Ahlussunnah wal Jama’ah, khususnya pemikiran Abu Hasan al-Asy’ari (260-324H) dan Abu Mansur al-Maturidi (w 333 H). 2. Bidang Fiqh, NU bermazhab secara qauliy dan manhaji kepada al-Junaid al-arba’ah. 3. Bidang tasawuf, NU mengikuti al-Junaidi al-Baghdadi (w.297 H) dan Abu Hamid al – Ghazali (450-505 H / 1058-1111 M), juga Abu Hasan Ali As-Syadzil.

Hal tersebut disampaikan Kepala Madrasah Aliyah Negeri Pekalongan, yang juga dosen STAIN Pekalongan ini, saat mempresentasikan hasil riset disertasinya untuk meraih gelar Doktor bidang Ilmu Agama Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, bertempat di Gedung Convention Hall kampus setempat, Kamis, 31 Januari 2013. Disertasi putra kelahiran Brebes berjudul “Ahl As-Sunnah Wal-Jama’ah NU (Konsepsi dan Implementasi)” dipertahankan di hadapan tim penguji: Prof. Dr. H. Iskandar Zulkarnain, Prof. Dr. Nizar Ali, M. Ag., Dr. Phil Sahiron Syamsuddin, MA., Dr. Hamin Ilyas, MA., Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah, (promotor merangkap penguji), Prof. Dr. H. Khoiruddin, MA., (promoter merangkap penguji).  Sidang promosi dipimpin Prof. Dr. H. Musa Asy’arie dengan sekretaris Dr. Sekar Ayu aryani, MA.

Di hadapan promotor dan tim penguji, promovendus memaparkan, dalam mengimplementasikan fikrahnya, NU memiliki ciri khas Tasawuf Moderat, yang senantiasa berupaya bersikap seimbang (tawazun) dalam mensikapi berbagai persoalan. Nu tidak tafrit atau ifrat (ekstrim kanan atau ekstrim kiri), juga seimbang dalam memperjuangkan dunia dan akherat, naql dan ‘aql. NU bersikap toleran (tasamuh), selalu berupaya hidup berdampingan secara damai  dengan semua pihak, walaupun cara pikir, budaya, dan aqidahnya berbeda. NU mengedepankan sikap kesederhanaan/tidak berlebihan (I’tidal) dan selalu mengupayakan perbaikan menuju arah yang lebih baik (al-islah ila ma huwa al-aslah),tetapi juga dinamis, dalam arti selalu melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan. Sementara cara berpikir yang diterapkan NU adalah cara berpikir metodologis (minhaji), yakni senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada minhaj, dengan sikap keseharian yang amar makruf nahi munkar dan berpegang teguh pada Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Dalam mengimplementasikan Aswaja NU, bidang fiqh terbukti mendapat perhatian besar dari masyarakat, namun dalam hal aqidah dan tasawuf secara doktrinal dan ideologis masih perlu dikembangkan secara  sistematis sehingga masyarakat mudah memahaminya. Di Hadapan promotor dan tim penguji, promovendus juga memaparkan kritiknya terhadap Keorganisasian NU. Menurutnya,  implementasi dalam upaya pendidikan formal dan non – formal, masih banyak ditemukan pencampur-adukan antara ke-NU-an dengan pelajaran ke-aswaja-an, antara hal-hal yang sifatnya ilmiah dengan tradisi. NU juga dianggap lamban dalam upaya mereaksi perkembangan dan mereaktualisasi paham aswaja, khususnya di bidang fiqh. Buktinya, hasil-hasil munas dan muktamarnya terutama dalam hal hukum Islam belum bisa menjawab berbagai persoalan atau belum sepenuhnya dapat menjawab persoalan-persoalan  yang terus berkembang,  karena  qaul ulama NU terbatas sekali. Dalam hal tasawuf, meskipun NU peka dalam mebuktikan ri’yahnya, dengan tetap memelihara dan mengembangkan sistem thariqatnya. Namun thariqat NU terlihat masih sebatas ikhtiar untuk menciptakan suasana pelaksanaan beragama yang berkesinambungan  dan jalan tengah serta toleransi. Ke depan diharapkan, NU bisa menjadi organisasi yang mengontrol dan mengawasi tarekat, agar jangan sampai ada tarekat di negri ini yang menyimpang dan menyalahi syari’at, demikian harap bapak 3 putra dari istri Hj. Alfiah ini. (Weni Hidayati- Humas UIN)*

Sumber:http://www.uin-suka.ac.id/berita/dberita/698

Menyikapi Hari Valentine

Hari Valentine (Valentine Day) yang jatuh setiap tanggal 14 Februari memiliki sejarah panjang yang erat berhubungan dengan masyarakat nasrani. Kata ‘Valentine’ sendiri diambil dari seorang pendeta ‘pelayan tuhan’ yang bernama Santo Valentine. Ia-lah orang yang berani menolak kebijakan Kaisar Romawi Claudius melarang pernikahan dan pertunangan. 

Pelarangan ini berawal dari kesulitan pemerintahan Romawi merekrut pemuda dan para pria sebagai pasukan perang. Padahal pada masa itu, pemerintahan dalam keadaan perang dan sangat membutuhkan tenaga sebagai prajurit. Sang Kaisar menganggap kesulitan ini berasal dari keengganan mereka meninggalkan kekasih, istri dan keluarganya.  Oleh karenanya, Sang Kaisar mengeluarkan peraturan yang melarang pernikahan, karena pernikahan dianggap sebagai salah satu penghambat perkembangan politik Romawi. Peraturan ini kemudian ditolak oleh santo Valentine sehingga ia dihukum mati pada tanggal 14 Februari 270 M. 

Hari inilah yang diabadikan oleh gereja sebagai hari Valentine dan dijadikan momentum simbolik pengungkapan kasih sayang oleh masyarakat nasrani. Hanya saja, kemajuan teknologi informasi mampu meruntuhkan tembok pemisah ruang dan waktu. Hingga berbagai budaya itu dianggap milik bersama. Maka banyak sekali kaum muslim yang ikut memeriahkan hari Valentine dengan berbagai tradisinya dan banyak pula kaum nasrani yang ikut memeriahkan hari raya. Bahkan mereka saling memberikan ucapan selamat.

Baiknya, bagi kaum muslimin (khususnya yang sering berinteraksi dengan kaum nasrani) harus berhati-hati karena bisa saja terjatuh dalam kekufuran apabila dia salah meletakkan niat (maksud hatinya). Karena dalam Bughyatul Musytarsyidin dengan jelas diterangkan bahwa:

1) Apabila seorang muslim yang mempergunakan perhiasan/asesoris seperti yang digunakan kaum kafir dan terbersit dihatinya kekaguman pada agama mereka dan timbul rasa ingin meniru (gaya) mereka, maka muslim tersebut bisa dianggap kufur. Apalagi jikalau muslim itu sengaja menemani mereka ke tempat peribadatannya. 

2) Apabila dalam hati muslim itu ada keinginan untuk meniru model perayaan mereka, tanpa disertai kekaguman atas agama mereka, hal itu terbilang sebagai dosa. 

3) Dan apabila muslim itu meniru gaya mereka tanpa ada maksud apa-apa maka hukumnya makruh.
(مسألة ي) حاصل ما ذكره العلماء فى التزيي بزي الكفار أنه إما أن يتزيا بزيهم ميلا إلى دينهم وقاصدا التشبه بهم فى شعائر الكفر أو يمشي معهم إلى متعبداتهم فيكفر بذالك فيهما وإما أن لايقصد كذلك بل يقصد التشبه بهم فى شعائر العيد أو التوصل إلى معاملة جائزة معهم فيأثم وإما أن يتفق له من غير قصد فيكره كشد الرداء فى الصلاة    

Namun jika diperhatikan, fenomena sekarang tidaklah demikian. Kebanyakan kaum muda yang merayakan valentine dengan berbagai macam tradisinya itu sama sekali tidak berhubungan dengan agama. Bahkan jarang sekali dari mereka yang mengerti hubungan valentine dengan agama nasrani.

Yang berlaku sekarang dalam valentine (yang telah mentradisi di kalangan kaum muda juga para santri) menjurus kepada kemaksiatan yang dapat dihukumi haram. Misalkan merayakan valentine dengan mengutarakan rasa sayang di tempat yang sepi dan hanya berduaan. Atau merayakan valentine bersama-sama yang menggannggu ketertiban umum. Apalagi merayakannya dengan pestapora yang me-mubadzirkan harta. Sungguh semua itu diharamkan dalam ajaran Islam. Karena segala hal yang bisa dianggap menyebabkan terjadinya makshiayat hukumnya seperti maksyiatan itu sendiri. Demikian dalam Is’adurrafiq
ومنها الإعانة على المعصية أي على معصية من معاصي الله بقبول أو فعل أوغيره ثم إن كانت المعصية كبيرة كانت الإعانة عليها 

Sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,10-id,42490-lang,id-c,ubudiyyah-t,Menyikapi+Hari+Valentine-.phpx