BAB 6: Faedahnya Kumpulan/Majlis Dzikir


Video Kamera

                       


Daftar isi Bab 6 ini diantaranya:





  • Dalil-dalil dzikir dan uraian ulama-ulama pakar mengenai majlis dzikir



  • Ancaman bagi orang yang menghadiri suatu kumpulan tanpa disebut nama Allah dan Shalawat atas Nabi saw



  • Dalil mereka yang melarang dzikir secara jahar dan jawabannya 





  • {{Buku baru yang berjudul Kamus Syirik (Edisi Revisi Telaah Kritis atas doktrin faham Wahabi/Salafi) ,sekitar 500 halaman, Alhamdulillah sudah terbit bulan Agustus 2009. Buku ini belum beredar merata di Indonesia, bagi peminat mungkin bisa datang pada toko-toko kitab di jl. Sasak, Surabaya, ditoko Gramedia atau bisa hubungi pengedar buku tersebut, telefon nr. (62) 031 60604235}}. 
    Daftar Isi kitab kamus syirik ,mengingat jumlah halaman buku, tidak selengkap isi website kami ini, tetapi cukup untuk menjelaskan dalil-dalil amalan yang dikerjakan oleh golongan ahlus Sunnah wal jamaah dan amalan yang sering diteror oleh golongan pengingkar, misalnya tawassul/tabarruk, taklid imam madzhab, ziarah kubur, peringatan2 keagamaan, majlis dzikir dan lain sebagainya.  
      
    Pada zaman sekarang kumpulan dzikir lebih kita butuhkan, karena manusia telah dibisingkan oleh keduniaan saja, sehingga sedikit sekali untuk mengingat pada Allah dan Rasul-Nya dan kurang bersilator Rohmi! Sebelum kami mengutip dalil-dalil dan wejangan para pakar islam yang berkaitan dengan majlis dzikir, marilah kita baca ,berikut ini, Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta pada tahun 2001 dan 2002 yang diarsiteki oleh Saiful Mujani, direktur Freedom Institute, yang baru menyelesaikan doktoralnya di Universitas Ohio State, Amerika pada 10 Juni 2003. Kami kutip bagian yang penting saja, yang berkaitan dengan kumpulan majlis dzikir. 
    Dengan adanya kutipan dalil-dalil dibab ini, insya Allah pembaca bisa menilai sendiri serta mengambil kesimpulan tentang manfaat kumpulan (halaqat) dzikir  Istighothah, Tahlil/Yasinan dan lain lain untuk masyarakat dan ruginya orang yang tidak mau kumpul berdzikir bersama masyarakat. 
    "Temuan orang-orang seperti Alexis Tocqueville di Amerika yang termuat dalam bukunya yang terkenal, Democracy in America. Tocqueville mendeskripsikan tentang seorang yang religius (beragama) dan aktif dalam kegiatan keagamaan serta menjadi demokratis sekaligus mempunyai sumbangan bagi perkembangan demokrasi. Nah, urgensi agama dalam hubungannya dengan demokrasi akan terlihat bila agama diterjemahkan dalam kelompok-kelompok sosial yang menjadi kekuatan kolektif, membentuk jaringan sosial, dan seterusnya. Misalnya, mereka yang rajin berpuasa sunnah sendiri atau sholat tahajud pada gelap malam sendirian, ibadah-ibadah ini, sekalipun penting dan pokok dalam agama, kalau ditarik lebih lanjut dalam kehidupan sosial-politik yang lebih luas, hal tersebut tidaklah terlalu bermakna (dalam hubungan antara manusia). Untuk bisa suksesnya konteks demokrasi, maka dimensi-dimensi ritual yang beraspek kolektivitas yang lebih diperlukan dalam konteks demokrasi. Misalnya, sholat berjama’ah. Dalam Islampun, pahala sholat berjama‘ah lebih banyak ketimbang munfarid (sholat sendirian).
    Dalam tradisi (partai) NU, kita mengenal praktik yasinan, manakiban, tahlilan, tujuh harian bagi orang yang meninggal, haul, dan lain-lain. Praktik-praktik itu, dalam temuan dua penelitian saya secara nasional pada 2001 dan 2002, mempunyai efek ganda. Dengan begitu, dalam diri mereka ada semacam peran-peran dan status sosial yang lebih kompleks. Itulah yang menjadikan seorang yang religius tersebut menjadi positif untuk konteks demokrasi. Sebab, basis sosial semacam itulah yang sesungguhnya di butuhkan oleh demokrasi kalau kita melihatnya dari sisi masyarakat.
    Dalam ritual yasinan, tahlilan, manakiban dan lain-lain, terdapat dimensi transedental, yakni niat ibadah pada Allah. Hanya, implikasi ritual tersebut juga banyak kita temukan. Dalam ritual yasinan, kita kan tidak hanya membaca yasin, tapi juga bersilaturahmi, bertemu orang lain, dan saling menyapa. Itulah yang dalam konteks demokrasi disebut sebagai civic engagement (keterlibatan masyarakat). Sekiranya, modal sosial dalam tradisi kita tersebut yang mendorong orang untuk hidup secara kolektif  dan terlibat secara sosial dimusnahkan karena dianggap bid’ah bahkan kasus-kasus tertentu diklaim musyrik, tindakan itu tidak akan mendukung kearah demokrasi.
    Coba lihat, kehidupan keagamaan di Arab Saudi (zaman sekarang) begitu kering. Disitulah akar fundamentalisme dan konservatisme Islam yang sangat anti demokrasi berkembang. Apa penyebabnya? Mereka melihat kehidupan ini begitu simpel. Mereka tidak membawa ummat Islam dalam kehidupan yang sangat kaya dan heterogen secara sosial-budaya. Artinya, jika umat Islam makin terlibat dalam kehidupan sosial, dia makin terhindar dari benih-benih fundamentalisme. Karena itu, kita bisa menyaksi- kan orang-orang sufi termasuk yang cukup toleran. Hal itu disebabkan ada dimensi sosial yang mereka rasakan, lihat, dan alami sendiri. Dengan begitu, mereka tahu bahwa hidup bukan hanya hitam-putih atau untuk ibadah yang bersifat personal (perorangan) saja ". Demikianlah ungkapan dari Saiful Mujani.
                                                                      
    Dalil-dalil dzikir termasuk  dalil dzikir secara jahar (agak keras)
    Pada bab ziarah kubur disitus ini, kami telah menerangkan manfaat majlis dzikir (Tahlil dan bacaannya, Talqin dan lain-lain), marilah kita sekarang meneliti dalil-dalil mengenai berkumpulnya orang-orang untuk berdzikir pada Allah swt..
    Termasuk juga dalam kategori dzikir ialah pembacaan Tahlil, Talqin, Istighothah, peringatan-peringatan keagamaan (maulud, isra’ mi’raj Nabi saw) dan sebagainya. Dengan adanya dalil-dalil berikut ini,  para pembaca bisa menilai sendiri apakah kumpulan/majlis dzikir ,yang contohnya telah dikemukakan diatas, dilarang oleh syariat islam , sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh para pengingkar majlis/kumpulan dzikir.
    Apa makna/arti Dzikir yang selalu disebut-sebut dalam ayat al Qur’an dan hadits? Menurut pendapat para ulama yang dimaksud Dzikir ialah: ‘mengingat pada Allah swt.'. Makna ini mencakup segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia untuk mengingat pada Allah swt. dan Rasul-Nya, misalnya; sholat, bertasbih, bertahlil, bertakbir, majlis ilmu, memuji Allah dan Rasul-Nya, menyebutkan sifat-sifat kebesaran-Nya, sifat-sifat keindahan-Nya, sifat-sifat kesempurnaan yang telah dimiliki-Nya, membaca riwayat para utusan Allah dan sebagainya. Tidak lain semuanya ini untuk lebih mendekatkan diri kita pada Allah swt sehingga kita mencintai dan dicintai Allah swt. dan Rasul-Nya.
    Al-Hafidh Ibn Hajar Al-Asqalani dalam Al-Fath Al-Bari X1:209 mengatakan:
    “Yang dimaksud dengan dzikir adalah mengucapkan kata-kata yang diperintahkan untuk diperbanyak pengucapannya. Hal ini seperti Al-baqiyat ash-shalihat (amal sholeh yang kekal manfaatnya) berupa dzikir;. Suhhanallah wal-hamdulillah, wa la ilaha illallah wallahu Akbar (Maha suci Allah, segala puji hanya milik Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan Allah itu Mahabesar). Juga seperti dzikir-dzikir yang lainnya, yaitu membaca hauqalah  (la haula wa la quwwata illa billah, [tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah] ), basmalah (bismillah ar-Rahman ar-Rohim [dengan nama Allah yang Pengasih dan Penyayang] ), istighfar (astaghfirullah, [aku mohon ampunan dosa dari Allah] ), hasbalah (hasbunallah wa ni’ma al-wakil, ni’ma al-maula wa ni’ma an-nashir [cukuplah bagi kami Allah, dan Dia sebaik-baik pelindung, sebaik-baik majikan dan sebaik-baik penolong] ). Demikian pula do’a (permohonan) untuk kemaslahatan/ kebaikan dunia dan akhirat.
    Secara mutlak ,menurut Ibn Hajar selanjutnya, dzikir juga berarti mengamalkan secara terus menerus apa yang diwajibkan atau dianjurkan oleh Allah swt., seperti membaca Alqur’an, membaca hadits, belajar atau menuntut ilmu, juga melakukan sholat sunnah. Dzikir juga kadang-kadang berupa pelafalan/pengucapan dengan lidah dan orang yang mengucapkannya berpahala. Dalam dzikir semacam ini tidak disyaratkan untuk menghadirkan hati –atau mengkhusyu’kannya– hanya tidak boleh mempunyai tujuan selain yang sesuai dengan yang dibaca. Tetapi, jika dzikir semacam ini diikuti dengan penghayatan oleh hati, maka itu lebih sempurna. Dan jika dzikir tersebut disertai pemaknaan dan penghayatan seperti mengakui keagungan Allah dan membersihkan atau mensucikan-Nya dari segala sifat kekurangan, maka dzikir tersebut semakin sempurna.
    Jika –pemaknaan dan penghayatan mendalam seperti itu– terjadi pada setiap amal sholeh (perbuatan yang bagus) –baik yang diwajibkan, berupa sholat, jihad maupun selain keduanya– maka hal itu akan lebih menambah kesempurnaan ibadah yang dilakukan. Apalagi jika tawajjuh (menghadapkan jiwa raga kepada Allah) dapat dilurus kan (dibenarkan) disertai keikhlasan yang sungguh-sungguh, maka kesempurnaannya semakin bertambah. Ibnu Hajar selanjutnya mengatakan bahwa Al-Fakhr Ar-Razi berkata: ‘Yang dimaksud dzikir dengan lisan itu ialah (pengucapan) kata-kata yang mengandung tasbih [menyucikan Allah], tahmid [memuji Allah] dan tamjid (memuliakan dan mengagungkan Allah swt.]. Sedang yang dimaksud dengan dzikir qalb (dalam hati) ialah berpikir mengenai dalil-dalil atau bukti-bukti mengenai Dzat Allah, sifat-sifatNya dan yang berkaitan dengan taklif [kewajiban yang dibebankan oleh syariat] berupa perintah dan larangan. Dengan begitu, orang yang berdzikir akan mengetahui hukum-hukum serta rahasia-rahasia Allah yang ada pada (semua) makhluk-Nya.
    Sedangkan dzikir dengan anggota tubuh (lainnya) ialah bahwa anggota tubuh semuanya dipergunakan –secara optimal atau penuh– dalam taat kepada Allah swt.. Meskipun demikian, Allah swt. menyebut sholat itu sebagai dzikir. Seperti difirmankan-Nya:..maka pergilah (untuk menuju) ke dzikrullah (sholat jumat). Diriwayatkan dari sebagian al-‘arifin –ahli tauhid– bahwa dzikir itu dilakukan lewat tujuh segi; yaitu dzikir mata dengan menangis; dzikir telinga dengan mendengarkan (ajaran Allah); dzikir lidah dengan menyanjung atau memuji Allah swt; dzikir kedua tangan  dengan memberi infak,sedekah, zakat, hadiah dan lain-lainnya; dzikir badan dengan al-wafa (memenuhi tuntutan dan janji); dzikir hati dapat dilakukan dengan adanya khauf  (rasa takut akan murka Allah), dan raja’ (penuh pengharapan terhadap rahmat dan karunia Allah swt) serta dzikir ar-ruh dengan berserah diri kepada ketentuan Allah serta ridho/rela atas apa yang ditentukannya”.
    Demikianlah menurut Ibnu Hajar Al-‘Asqalani. 
    Sedangkan dalam buku Fiqih Sunnah oleh Sayid Sabiq jilid 4 hal. 247 cet. pertama th.1978B ditulis, bahwa Imam Qurtubi berkata: “Majlis dzikir maksudnya ilmu dan peringatan yakni majlis dimana disebut firman-firman Allah dan sunnah-sunnah Rasul-Nya. Begitupun berita-berita (riwayat-riwayat) mengenai orang-orang sholeh dari golongan Salaf, ucapan-ucapan imam dahulu yang zuhud, yang bebas dari bid’ah dan hal yang dibuat-buat, bersih dari maksud jelek dan maksud serakah”.   
    Firman-firman Allah swt dan hadits-hadits yang berkaitan dengan dzikir (jahar maupun lirih), antara lain: 
    Dalam surat Al-Ahzab 41-42 agar kita banyak berdzikir, yang artinya sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman! Berdzikirlah kamu pada Allah sebanyak-banyak- nya, dan bertasbihlah pada-Nya  diwaktu  pagi mau pun  petang!”.

    Dalam surat Al-Baqarah :152 Allah berfirman:                                                                                                                       
                          

                             فَاذْكُرُونِي أذْكُرْكُمْ ...........      


    Artinya: “Berdzikirlah (Ingatlah) kamu pada-Ku, niscaya Aku akan ingat pula padamu! ” 

    Dalam surat Ali Imran :191:

    اَلَّذِيْنَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنوُبِهِم 


    Artinya: “...Yakni orang-orang dzikir pada Allah baik diwaktu berdiri, ketika duduk dan diwaktu berbaring”.  

        

     
    Dalam surat Al-Ahzab :35:
      

    وَالذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللهُ لَهُمْ مَغْفِرَة وَأجْرًا عَظِيْمٌا                                  


    ArtinyaDan terhadap orang-orang yang banyak dzikir pada Allah, baik laki-laki maupun wanita, Allah menyediakan keampunan dan pahala besar”. 
    Dalam surat Ar-Ro’d : 28:
      

    الَّذِيْنَ آمَنُوا وَ تَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللهِألآ بِذِكْرِ الله تَطْمَئِنُّ الـقُلُوبُ.                           

                           

    Artinya: “Yaitu orang-orang yang beriman, dan hati mereka aman tenteram dengan dzikir pada Allah. Ingatlah dengan dzikir pada Allah itu, maka hatipun akan merasa aman dan tenteram”.  

                  
    Dalam hadits qudsi, dari Abu Hurairah, Rasulallah saw. bersabda : Allah swt.berfirman :


    اَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْـدِي بِي, وَاَنَا مَعَهُ حِيْنَ يَذْكـرُنِي, فَإنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي

     وَإنْ ذَكَرَنِي فِي مَلاَءٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلاَءٍ خَيْرٍ مِنْهُ وَإنِ اقْتَرَبَ اِلَيَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إلَيْهِ ذِرَاعًا

      وَإنِ اقْتَرَبَ إلَيَّ ذِرَاعًا اقْتَرَبْتُ إلَيْهِ بَاعًـا وَإنْ أتَانِيْ يَمْشِي أتَيْتُهُ هَرْوَلَة.                   

                                                                                                                                                                                                                                        

    Artinya: "Aku ini menurut prasangka hambaKu, dan Aku menyertainya, dimana saja ia berdzikir pada-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam hatinya, maka Aku akan ingat pula padanya dalam hati-Ku, jika ia mengingat-Ku didepan umum, maka Aku akan mengingatnya pula didepan khalayak yang lebih baik. Dan seandainya ia mendekatkan dirinya kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekatkan diri-Ku padanya sehasta, jika ia mendekat pada-Ku sehasta, Aku akan mendekatkan diri-Ku padanya sedepa, dan jika ia datang kepada-Ku berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan berlari”. (HR. Bukhori  [X11:384] , Muslim, Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Baihaqi).


    Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Al-Fath Al-Bari X111:387 mengatakan: “Sebagian ahli sunnah memberikan jawaban (pemahaman) mengenai hadits (diatas) ini, bahwa kemungkinan yang dimaksud dengan al-mala’ (sekolompok makhluk) ,yang lebih baik daripada kelompok manusia muslim yang sedang berdzikir itu, ialah kelompok para nabi dan syuhada (yang mati syahid), karena mereka –sebagaimana diberitakan Al-qur’an– hidup disisi Tuhannya (bahkan diberi rizki)”.

    Allamah Al-Jazari dalam kitabnya Miftaahul Hishnil Hashin berkata : ‘Hadits diatas ini terdapat dalil tentang bolehnya berdzikir dengan jahar/agak keras’.
    Imam Suyuthi juga berkata:  ‘Dzikir dihadapan orang orang (dalam hadits diatas) tentulah dzikir dengan jahar, maka hadits itulah yang menjadi dalil atas bolehnya’.

    Al-Hafidh Al-Suyuti (lihat: Al-Hawi Lil Fatawi 1:389) mengatakan : “Dan berdzikir dalam sekelompok orang itu (yang tertulis dalam hadits itu) tidak terbukti kecuali dengan jahar”.

    Hadits qudsi dari Mu’az bin Anas secara marfu’: Allah swt.berfirman:


    قَالَ اللهُ تَعَالَى: لاَ يَذْكُرُنِي اَحَدٌ فِى نفْسِهِ اِلاَّ ذَكّرْتُهُ فِي مَلاٍ مِنْ مَلاَئِكَتِي وَلاَيَذْكُرُنِي فِي مَلاٍ اِلاَّ ذَكَرْتُهُ فِي المَلاِ الاَعْلَي  


    Artinya: “Tidaklah seseorang berdzikir pada-Ku dalam hatinya kecuali Aku pun akan berdzikir untuknya dihadapan para malaikat-Ku. Dan tidak juga seseorang berdzikir pada-Ku dihadapan orang-orang kecuali Akupun akan berdzikir untuknya ditempat yang tertinggi’ “.  (HR. Thabrani).
    At-Targib wat-Tarhib 3/202 dan Majma’uz Zawaid 10/78. Al Mundziri berkata:  ‘Isnad hadits diatas ini baik/hasan. Sama seperti pengambilan dalil yang dikemukakan tadi bahwa berdzikir dihadapan orang-orang maksudnya ialah berdzikir secara jahar ’ !
      Hadits dari Abu Hurairah sebagai berikut:

    سَبَقَ المُفَرِّدُونَ , قاَلُوْا: وَمَا المُفَرِّدُونَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ الذَّاكِرُونَ اللهَ كَثِيْرًاوَالذَّاكِرَاتِ (رواه المسلم)
                                                                                               
    Artinya: “Telah majulah orang-orang istimewa! Tanya mereka ‘Siapakah orang-orang istimewa?’ Ujar Nabi saw. ‘Mereka ialah orang-orang yang berdzikir baik laki-laki maupun wanita’ ”. (HR. Muslim).
      Hadits dari Abu Musa Al-Asy’ary ra  sabda Rasulallah saw., yang artinya: 
    Perumpamaan orang-orang yang dzikir pada Allah dengan yang tidak, adalah seperti orang yang hidup dengan yang mati!” (HR.Bukhori).                               
    Dalam riwayat Muslim, yang artinya: “Perumpamaan perbedaan antara rumah yang dipergunakan dzikir kepada Allah didalamnya dengan rumah yang tidak ada dzikrullah didalamnya, bagaikan perbedaan antara hidup dengan mati”.
      
    Hadits dari Abu Sa’id Khudri dan Abu Hurairah ra. bahwa mereka mendengar sendiri dari Nabi saw. bersabda :
     لاَ يَقْـعُدُ قَوْمٌ يَذْكُـرُنَ اللهَ تَعَالَى إلاَّ حَفَّتْـهُمُ المَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمةُ, وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمْ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ.
                                             
    Artinya: Tidak satu kaum (kelompok) pun yang duduk dzikir kepada Allah Ta’ala, kecuali mereka akan dikelilingi Malaikat, akan diliputi oleh rahmat, akan beroleh ketenangan, dan akan disebut-sebut oleh Allah pada siapa-siapa yang berada disisi-Nya”. (HR.Muslim, Ahmad, Turmudzi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah dan Baihaqi).
    Hadits dari Mu’awiyah :    
    خَرَجَ رَسُولُ الله (صَ) عَلَى حَلَقَةِ مِنْ أصْحَابِهِ فَقَالَ: مَا اَجْلََسَكُم ؟ 
     قَالُوْا جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللهَ تَعَالَى وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلإسْلاَمِِ وَمَنَّ
     بِهِ عَلَيْنَا قَالَ: اللهُ مَا أجْلَسـَكُمْ إلاَّ ذَالِك ؟ قَالُوْا وَاللهُ مَا اَجْلَسَنَا
     اِلاَّ ذَاكَ. قَالَ : اَمَا إنِّي لَمْ أسْتَخْلِفكُم تُهْمَةُ لـَكُمْ, وَلَكِنَّهُ أتَانِي
     جِبْرِيْلُ فَأخْـبَرَنِي أنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبـَاهِي بِكُمُ المَلآئِكَةَ.    
                                                                                         
    Artinya: Nabi saw. pergi mendapatkan satu lingkaran dari sahabat-sahabatnya, tanyanya;  ‘Mengapa kalian duduk disini?’ Ujar mereka: ‘Maksud kami duduk disini adalah untuk dzikir pada Allah Ta’ala dan memuji-Nya atas petunjuk dan kurnia yang telah diberikan-Nya pada kami dengan menganut agama Islam’. Sabda Nabi saw.;  ‘Demi Allah tak salah sekali! Kalian duduk hanyalah karena itu'. Mereka berkata; Demi Allah kami duduk karena itu. Dan saya (Muhamad saw), saya tidaklah minta kalian bersumpah karena menaruh curiga pada kalian, tetapi sebetulnya Jibril telah datang dan menyampaikan bahwa Allah swt. telah membanggakan kalian terhadap Malaikat’ “. (HR.Muslim [1V:2075] )
      Diterima dari Ibnu Umar bahwa Nabi saw. bersabda :
    إذَا مَرَرْتُم بِرِيَاضِ الجَنَّة فَارْتَعُوْا, قَالُوا: وَمَا رِيَاضُ الجَنَّة يَا رَسُولُ الله ؟                        
     قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ فَإنَّ لِلَّهِ تَعَالَى سَيَّرَاتٍ مِنَ المَلآئِكَةَ يَطْلُبُونَ حِلَـقَ الذِّكْرِ فَإذَا أتَوْا عَلَيْهِمْ حَفُّوبِهِمْ.
                                                                 
    Artinya: “Jika kalian lewat di taman-taman surga, hendaklah kamu ikut bercengkerama! Tanya mereka; ‘Apakah itu taman-taman surga ya Rasulallah’? Ujar Nabi saw.; ‘Ialah lingkaran-lingkaran dzikir karena Allah swt. mempunyai rombongan pengelana dari Malaikat yang mencari-cari lingkaran dzikir. Maka jika ketemu dengannya mereka akan duduk mengelilinginya”.
      Hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulallah saw.bersabda :
                                                            وَعَنْ أبِيْ هُرَيْرَة(ر) قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله .صَ.: إنَّ ِللهِ مَلآئِكَةً
                                                            يَطًوفُونَ فِي الطُُّرُقِ يَلْتَمِسُـونَ أهْلَ الذِّكْرِ, فَإذَا وَجَدُوا
                                                            قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللهَ تَناَدَوْا: هَلُمُّـوْا إلَى حَاجَتِكُمْ  فَيَحُفُّونَهُمْ
                                                            بِأجْنِحَتِهِمْ إلَى السَّمَاءِ الدّ ُنْيَا, فَإذَا تَفَرَّقُوْا عَرَجُوْا وَصَعِدُوْا اِلَى
                                                            السَّمَاءِ فَيَسْألُهُمْ رَبُّهُم ( وَهُوَ أعْلَمُ  بِهِمْ ) مِنْ اَيْنَ جِئْتُمْ ؟
                                                             فَيَقُوْلُوْنَ : جِئْنَا مِنْ عِنْدِ عَبِيْدٍ فِي الاَرْضِ يُسَبِّحُوْنَكَ
                                                               وَيُكَبِّرُوْنَكَ وَيُهَلِّلُوْنَكَ. فَيَقُوْلُ: هَلْ رَأوْنِي؟ فَيَقُولُوْنَ : لاَ,   
                                                              فَيَقُوْلُ : لَوْ رَأوْنِي؟ فَيَقوُلُوْنَ: لَوْ رَأوْكَ كَانُوْا اَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً,
                                                               وَاَشَدَّ لَكَ تَمْجِيْدًا وَاَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيْحًا, فَيَقُـوْلُ : فَمَا يَسْألُوْنِى ؟
                                                              فَيَقـوُلُوْنَ : يَسْألُوْنَكَ الجَنَّةَ, فَيَقُوْلُ: وَهَلْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُولُوْنَ:
                                                              لاَ, فَيَقُوْلُ: كَيْفَ لَوْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُولُوْنَ: لَوْ اَنَّهُمْ رَأوْهَا كَانُوْا
                                                              اَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَ اَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَاَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً. فَيَقُوْلُ:
                                                              فَمِمَّ يَتَعَـوَّذُوْنَ؟ فَيَقُولُوْنَ: مِنَ النَّـارِ, فَيَقُوْلُ: وَهَلْ رَأوْهَا ؟
                                                             فَيَقُولُوْنَ : لاَ, فَيَقُوْلُ : كَيْفَ لَوْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُولُوْنَ: لَوْ رَأوْهَا
                                                             كاَنُوْا اَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا, فَيَقُوْلُ: اُشْهِدُكُمْ اَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ,
                                                             فَيَقُوْلُ مَلَكٌ مِنَ المَلاَئِـكَةِ : فُلاَنٌ لَيْسَ مِنهُمْ, اِنَّمَا جَائَهُمْ
                                                              لِحَـاجَةٍ فَيَقُوْلُ : هُمُ القَوْمُ  لاَ يَشْقَى جَلِيْسُهُمْ
                                                                                                   
    Artinya: “Sesungguhnya Allah memilik sekelompok Malaikat yang berkeling dijalan-jalan sambil mencari orang-orang yang berdzikir. Apabila mereka menemukan sekolompok orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka saling menyeru: 'Kemarilah kepada apa yang kamu semua hajatkan'. Lalu mereka mengelilingi orang-orang yang berdzikir itu dengan sayap-sayap mereka hingga kelangit. Apabila orang-orang itu telah berpisah (bubar dari majlis dzikir) maka para malaikat tersebut berpaling dan naik kelangit. Maka bertanyalah Allah swt. kepada mereka (padahal Dialah yang lebih mengetahui perihal mereka). Allah berfirman: ‘Darimana kalian semua’? Malaikat berkata: Kami datang dari sekelompok hamba-Mu dibumi. Mereka bertasbih, bertakbir dan bertahlil kepada-Mu.
    Allah berfirman; ‘Apakah mereka pernah melihatKu’? Malaikat berkataTidak pernah! Allah berfirman; ‘Seandainya mereka pernah melihatKu’? Malaikat berkata; Andai mereka pernah melihat-Mu niscaya mereka akan lebih meningkatkan ibadahnya kepada-Mu, lebih bersemangat memuji-Mu dan lebih banyak bertasbih pada-Mu. Allah berfirman; ‘Lalu apa yang mereka pinta pada-Ku’? Malaikat berkata; Mereka minta sorga kepada-Mu.
    Allah berfirman; ‘Apa mereka pernah melihat sorga’? Malaikat berkata; Tidak pernah! Allah berfirman; ‘Bagaimana kalau mereka pernah melihatnya’? Malikat berkata; Andai mereka pernah melihatnya niscaya mereka akan ber- tambah semangat terhadapnya, lebih bergairah memintanya dan semakin besar keinginan untuk memasukinya. Allah berfirman; ‘Dari hal apa mereka minta perlindungan’? Malaikat berkata; Dari api neraka. Allah berfirman;  ‘Apa mereka pernah melihat neraka’? Malaikat berkata; Tidak pernah!
    Allah berfirman: ‘Bagaimana kalau mereka pernah melihat neraka’? Malaikat berkata; Kalau mereka pernah melihatnya niscaya mereka akan sekuat tenaga menghindar- kan diri darinya. Allah berfirman; ‘Aku persaksikan kepadamu bahwasanya Aku telah mengampuni mereka’. Salah satu dari malaikat berkata; Disitu ada seseorang yang tidak termasuk dalam kelompok mereka, dia datang semata-mata karena ada satu keperluan (apakah dia akan diampuni juga?). Allah berfirman; ‘Mereka (termasuk seseorang ini) adalah satu kelompok dimana orang yang duduk bersama mereka tidak akan kecewa’ ".   Sedangkan dalam riwayat Muslim ada tambahan pada kalimat terakhir: 'Aku ampunkan segala dosa mereka, dan Aku beri permintaan mereka'. (HR. Bukhori X1 :209 dan Imam Muslim 1V:2070)
    Empat hadits terakhir diatas, jelas menunjukkan keutamaan kumpulan majlis dzikir, Allah swt.akan melimpahkan rahmat, ketenangan dan ridho-Nya pada para hadirin termasuk disini orang yang tidak niat untuk berdzikir, serta majlis seperti itulah yang sering dicari dan dihadiri oleh para malaikat. Alangkah bahagianya bila kita selalu kumpul bersama majlis-majlis dzikir yang dihadiri oleh malaikat tersebut sehingga do’a yang dibaca ditempat majlis dzikir tersebut lebih besar harapan untuk diterima oleh Allah swt. Juga hadits-hadits tersebut menunjukkan mereka berkumpul berdzikir secara jahar, karena berdzikir secara sirran/pelahan sudah biasa dilakukan oleh perorangan !
     Diriwayatkan juga dari Jabir ra. : “Rasulallah saw. pernah keluar menemui kami, seraya bersabda; ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu mempunyai beberapa tawanan dari (kelompok) malaikat yang berdiam (menempati tempat) dan berdiri (berhenti) pada majelis-majelis dzikir dibumi. Mereka bersenang-senang ditaman surga. Kami bertanya; ‘Dimanakah taman-taman surga itu’? Beliau saw. menjawab; ‘Pada majelis-majelis dzikir, maka pergilah pagi dan sore hari untuk berdzikir/mengingat Allah’ “. {HR.Abu Ya’la [3:391], Imam Al-Hakim dalam Al-Mustadrak [1:494]. Hadits ini shohih. Dan mengenai Umar bin Abdullah ─maula Ghufrah─  yang ada dalam sanad hadits tersebut dinilai tsiqah (dapat dipercaya) oleh Ibn Sa’id dan Imam Ahmad menilai dia tidak apa-apa. Umar bin Abdullah tidak meriwayatkan hadits tersebut dari seorang sahabat, sebab jika dia meriwayatkannya dari sahabat maka riwayatnya itu mursal (ah) } .

     Hadits dari Abu Darda ra. bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Sungguh Allah akan membangkitkan beberapa kaum –pada hari kiamat– yang pada wajah mereka itu memancar cahaya dari atas mimbar pertama, mereka itu sangat di-inginkan (disukai) oleh manusia. Mereka bukanlah para nabi dan  juga bukan para syuhada”. Abu Darda ra berkata: ‘Lalu ada seorang Arab Badui yang berlutut seraya berkata; Wahai Rasulallah, perlihatkanlah mereka supaya kami mengetahuinya. Beliau saw. bersabda: ‘ Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai dijalan Allah dari berbagai kabilah, dari berbagai negeri. Mereka berkumpul untuk melakukan dzikrullah (dzikir kepada Allah), mereka mengingat-Nya  [dengan menyebut-nyebut-Nya]’ “. (Al-Hafidh Al-Mundziri dalam kitab At-Targhib wa At-Tarhib [2:406] mengatakan; Hadits ini diriwayatkan Imam Thabrani dengan isnad Hasan. Demikian pula (oleh) Al-Hafidh Al-Haitsami dalam Mujma’ Al-Zawaid-nya [X:77] ).
      Al-Baihaqiy meriwayatkan Hadits dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulallah saw. bersabda:   

                  

    لاَنْ اَقْعُدَنَّ مَعَ قَوْمٍ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالَى مِنْ بَعْدِ صَلاَةِ الْفَجْرِ ِالَى طُلُوْعِ الشَّمْسِ اَحَبُّاِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا (رواه البيهاقي  

                                                                                      

    Artinya: “Sungguhlah aku berdzikir menyebut (mengingat) Allah swt. bersama jamaah usai sholat Shubuh hingga matahari terbit, itu lebih kusukai daripada dunia seisinya.”


      Juga dari Anas bin Malik ra riwayat Abu Daud dan Al-Baihaqiy bahwa Nabi saw. bersabda: Sungguhlah aku duduk bersama jamaah berdzikir menyebut Allah swt. dari sholat ‘ashar hingga matahari terbenam, itu lebih kusukai daripada memerdekakan empat orang budak’.
      Riwayat Al Baihaqy dari Abu Sa’id Al Khudrij ra, Rasulallah saw bersabda : 


    يَقُوْلُ الرَّبُّ جَلَّ وَعَلاَ يَوْمَ القِيَامَةِ سَيَعْلَمُ هَؤُلاَءِ الْجَمْعَ الْيَوْمَ مَنْ اَهْلُ الْكَرَمِ؟ فَقِيْلَ مَنْ اَهْلُ الْكَرَمِ؟ قَالَ : اَهْلُ مَجَالِسِ الذِّكْرِ فِي الْمَسَاجِدِ (رواه البيهاقي     

    Artinya: “Allah jalla wa ‘Ala pada hari kiamat kelak akan bersabda: ’Pada hari ini ahlul jam’i akan mengetahui siapa orang ahlul karam (orang yang mulia). Ada yang bertanya: Siapakah orang-orang yg mulia itu? Allah menjawab, Mereka adalah orang-orang peserta majlis-majlis dzikir di masjid-masjid ”.


      Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan: “Dikeluarkan oleh Imam Turmudzi, Ibn Majah dan dishohihkan oleh Imam Al-Hakim dari hadits Abu Darda ra. secara marfu’ Rasulallah saw. bersabda:
    ‘Senangkah kalian jika aku beritahukan mengenai amal yang paling baik dan paling bersih/suci disisi Raja kalian. Lebih tinggi derajatnya bagi kalian, bahkan lebih baik bagimu daripada menginfakkan emas dan kertas (uang), serta lebih baik daripada bertemu dengan musuh kalian lalu kalian menebas leher musuh itu dan (atau) mereka membunuh kalian (menebas leher kalian)’? Mereka menjawab: ‘Ya’. Rasulallah saw. bersabda: ‘Itulah dzikrullah mengingat Allah ‘Azza wa Jalla (Yang Maha Perkasa dan Agung)’ “. (HR.Turmudzi [V:459, Ibn Majah [2:1245], Al-Hakim [1:496]. Hadits ini shohih).
    Ibn Hajar telah mengisyaratkan mengenai dzikir tersebut, ketika menjelaskan jihad dan keutamaan orang yang berjihad (al-mujahid). Bahwa mujahid itu seperti orang yang sedang beribadah puasa tidak berbuka (sering berpuasa), seperti yang bangun malam (untuk ibadah) tidak pernah tidur dan keutamaan-keutamaan lainnya yang menunjukkan keutamaan jihad dibandingkan dengan amal-amal sholeh lainnya. Untuk mengkompromikan dalil-dalil tersebut wallahu a’lam bahwa yang dimaksud dengan dzikrullah dalam hadits Abu Darda’ yang sangat besar pahalanya itu adalah dzikir al-kamil  (yang sempurna).Yakni dzikir yang dilakukan dengan lisan dan disertai oleh hati, dengan memikirkan makna, serta menangkap keagungan Allah swt.. Dan orang yang dapat melakukan dzikir semacam itu akan mendapatkan keutamaan dari sisi Allah swt. lebih utama daripada orang-orang yang berperang melawan orang-orang kafir tanpa penghayatan terhadap perbuatan atau ibadahnya itu.
    Keutamaan jihad berjuang untuk kemaslahatan dan kejayaan agama Islam itu juga diakui lebih utama dibandingkan dengan dzikir dengan lisan saja tanpa pemaknaan dan penghayatan. Jika ada yang kebetulan berkesempatan atau dengan sengaja menyempatkan diri untuk melakukan dzikir dengan lisan dan hati- nya, serta menghayatinya –dan itu semua dilaksanakan ketika dia melakukan sholat, puasa, sedekah atau berperang melawan orang-orang kafir maka itulah yang mencapai derajat yang tinggi (yakni seperti digambarkan dalam hadits Abu Darda’). Sedang menurut Al-Qadhi Abu Bakar bin Al’Arabi bahwa tiada perbuatan sholeh kecuali dzikir merupakan syarat untuk membenarkan atau meluruskannya. Sehingga, siapa saja yang tidak berdzikir umpamanya ketika bersedekah atau puasa, maka amal ibadahnya tidak sempurna. Jadi, dzikir, jika dilihat dari fungsinya yang seperti itu dapat dinilai sebagai amal yang paling mulia. Perhatikanlah, hadits yang berarti : ‘Niat Mukmin itu lebih hebat (ablagh) daripada amalnya’ “ .
    Demikianlah menurut Ibn Hajar Al-‘Asqalani dari Al-Fath X1:210. (HR.Thabarani dalam Al-kabir V1:185; Baihaqi dalam Su’ab Al-Iman V:343; Al-Hafidh All-Sakhawi dalam Al-Maqashlud Al-Hasanah hal. 450, mengenai jalan (sanad) hadits tersebut, mengatakan : ‘Jalan-jalan hadits tersebut meski dho’if, tetapi semuanya dapat memperkuat hadits tersebut’. Lihat pula kita Majma’ Al-Zawa’id 1:61.

    Mari kita rujuk lagi hadits-hadits yang jelas berkaitan dengan dzikir secara jahar. Hadits dari Abi Sa’id Al-Khudri ra. dia berkata:
               اَكْثِرُوْا ذِكْرَاللهَ حَتَّى يَقُولُ اِنَّهُ مَجْنُوْنٌ
                                                               

    Artinya: “Sabda Rasulallah saw.  Perbanyaklah dzikir kepada Allah sehingga mereka (yang melihat dan mendengar) akan berkata: Sesungguhnya dia orang gila’".

    (HR..Hakim, Baihaqi dalam Syu’abul Iman, Ibnu Hibban, Ahmad, Abu Ya’la dan Ibnus Sunni)

      Hadits dari Ibnu Abbas ra. dia berkata : Rasulallah saw. bersabda:
     اَكْثِرُوْا ذِكْرَاللهَ حَتَّى يَقُولَ المُنَافِقُوْنَ اِنَّكُمْ تُرَاؤُوْنَ                                       
                                       

    Artinya: Banyak banyaklah kalian berdzikir kepada Allah sehingga orang-orang munafik akan berkata : ’Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang riya’ (HR. Thabrani).


     Imam Suyuthi dalam kitabnya Natiijatul Fikri fil jahri biz dzikri berkata : “Bentuk istidlal dengan dua hadits terakhir diatas ini adalah bahwasanya ucapan dengan ‘Dia itu gila’ dan ‘Kamu itu riya’ , hanyalah dikatakan terhadap orang-orang yang berdzikir dengan jahar, bukan dengan lirih (sir)”.
     Hadits dari Zaid bin Aslam dari sebagian sahabat, dia berkata :


    ِ اِنْطَلَقْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ(صَ) لَيْلَةً, فَمَرَّ بِرَجُلٍ فِي المَسْجِدِ يِرْفَعُ صَوْتَهُ فَقُلْتُ :

     يَا رَسُوْلَ اللهِ عَسَى اَنْ يَكُوْنَ هَذَا مُرَائِيًا فَقَالَ: لاَ وَلاَكِنَّهُ اَوَّاهُ. (رواه البيهاقي)

                           

    Artinya: Aku pernah berjalan dengan Rasulallah saw. disuatu malam. Lalu beliau melewati seorang lelaki yang sedang meninggikan suaranya disebuah masjid. Akupun berkata;Wahai Rasuallah, jangan-jangan orang ini sedang riya’. Beliau berkata; Tidak! ‘Akan tetapi dia itu seorang awwah (berdoa, mengadu, penghiba  kepada Allah)’”.

    (HR.Baihaqi) .

    Lihat hadits ini Rasulallah saw. tidak melarang orang yang meninggikan suara dimasjid (berdzikir secara jahar), malah beliau saw. mengatakan dia adalah seorang yang banyak mengadu, berdoa pada Allah (beriba hati pada Allah swt.). Sifat awwah itu adalah sifat yang paling baik! 
    Nabi Ibrahim as juga termasuk seorang yang awwah (baca QS.Hud:75, QS.at-Taubah:114) .

    Hadits dari Uqbah bahwasanya Rasulallah saw. pernah berkata kepada seorang lelaki yang biasa dipanggil Zul Bijaadain; “Sesungguhnya dia orang yang banyak mengadu kepada Allah. Yang demikian itu karena dia sering berdzikir kepada Allah”. (HR.Baihaqi). (Julukan seperti ini jelas menunjukkan bahwa Zul-Bijaadain sering berdzikir secara jahar).                                  
               
    Hadits dari Amar bin Dinar, dia berkata: “Aku dikabari oleh Abu Ma’bad bekas budak Ibnu Abbas yang paling jujur dari tuannya yakni Ibnu Abbas dimana beliau berkata:             

    اَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ المَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ                                 

    Artinya: ‘Sesungguhnya berdzikir dengan mengeraskan suara ketika orang selesai melakukan shalat fardhu pernah terjadi dimasa Rasulallah saw.’“. (HR. Bukhori dan Muslim).


    Dalam riwayat yang lain diterangkan bahwa Ibnu Abbas berkata: “Aku mengetahui selesainya shalat Rasulallah saw. dengan adanya ucapan takbir beliau (yakni ketika berdzikir)”.  (HR Bukhori [ 2 :324] dalam Al-Fath Al-Bari dan oleh Imam Muslim [1:410])
    Ibnu Hajr (Fath-Al-Bari 2:325) mengatakan: ‘Dalam hadits tersebut terkandung makna bolehnya mengeraskan dzikir setelah menunaikan sholat’.
    Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitab I’lam Al-Muqi’in [2:289] mengatakan:
    “Ada ketentuan atau ketetapan (taqir atau ikrar) nabi Muhammad saw. terhadap para sahabatnya untuk mengangkat suara dalam dzikir setelah mengucapkan salam
    (penutup sholat wajib). Sehingga orang yang ada diluar masjid mengetahui bahwa yang didalam masjid itu telah selesai mendirikan sholatnya. Dan tidak seorangpun yang mengingkari (perbuatan) mereka (para sahabat) itu”.



    Sedangkan hadits-hadits lain, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim mengenai berdzikir secara jahar seusai sholat sebagai berikut:

    Hadits nr. 357: Dari Ibnu Abbas, katanya: "Dahulu kami mengetahui selesainya sembahyang Rasulallah saw. dengan ucapan beliau "takbir".
    Hadits nr. 358: Dari Ibnu Abbas, katanya; "Bahwa dzikr dengan suara jahar/agak keras seusai sembahyang adalah kebiasaaan dizaman Nabi saw.  Kata Ibnu Abbas, jika telah kudengar suara berdzikir, tahulah saya bahwa orang telah bubar sembahyang".
     Hadits nr. 366: Dari Abu Zubair katanya; "Adalah Abdullah bin Zubair mengucapkan pada tiap-tiap selesai sembahyang sesudah memberi salam:...." Kata Abdullah bin Zubair, Adalah Rasulallah saw. mengucapkannya dengan suara yang lantang tiap-tiap selesai sembahyang". 
    (Ketiga hadits terakhir ini dikutip dari kitab "Terjemahan hadits Shahih Muslim" jilid I, II dan III terbitan Pustaka Al Husna, I/39 Kebon Sirih Barat, Jakarta, 1980.)
    Al-Imam al-Hafidz Al-Maqdisiy dalam kitabnya ‘Al-Umdah Fi Al-Ahkaam’  hal.25 berkata: 
    Abdullah bin Abbas menyebutkan bahwa berdzikir dengan mengangkat suara dikala para jema’ah selesai dari sembahyang fardhu adalah diamalkan sentiasa dizaman Rasulallah saw. Ibnu Abbas berkata, ‘Saya memang mengetahui keadaan selesainya Nabi saw. dari sembahyangnya (ialah dengan sebab saya mendengar) suara takbir’ (yang disuarakan dengan nyaring) ". (HR Imam Al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Juraij).
    Hadits yang sama dikemukakan juga oleh Imam Abd Wahab Asy-Sya'rani dalam kitabnya Kasyf al-Ghummah hal.110; demikian juga Imam Al-Kasymiriy dalam kitabnya Fathul Baari hal. 315 dan As-Sayyid Muhammad Siddiq Hasan Khan dalam kitabnya Nuzul Al-Abrar hal.97; Imam Al-Baghawiy dalam kitabnya Mashaabiih as-Sunnah 1/48 dan Imam as-Syaukani dalam Nail al-Autar.
    Dalam shohih Bukhori dari Ibnu Abbas ra beliau berkata; ‘Kami tidak mengetahui selesainya shalat orang-orang di masa Rasulallah saw. kecuali dengan berdzikir secara jahar’.
    Ibnu Hajr dalam kitabnya Khatimatul Fatawa mengatakan: “Wirid-wirid, bacaan-bacaan secara jahar, yang dibaca oleh kaum Sufi (para penghayat ilmu tasawwuf) setelah sholat menurut kebiasaan dan suluh (amalan-amalan khusus yang ditempuh kaum Sufi) sungguh mempunyai akar/dalil yang sangat kuat”.
    Dzikir dengan jahar itu dapat menggugah semangat dan melembutkan hati, menghilangkan ngantuk, sesuatu yang tidak akan didapat kan pada dzikir secara lirih (sir). Dan diantara yang membolehkan lagi dzikir jahar ini adalah ulama mutaakhhirin terkemuka Al-‘Allaamah Khairuddin ar-Ramli, dalam risalahnya yang berjudul Taushiilul murid ilal murood bibayaani ahkaamil ahzaab wal-aurood beliau mengatakan sebagai berikut:
    “Jahar dengan dzikir dan tilawah, begitu juga berkumpul untuk berdzikir baik itu dimajlis ataupun di masjid adalah sesuatu yang dibolehkan dan disyari’atkan berdasarkan hadits (qudsi) Nabi saw.: ‘Barangsiapa berdzikir kepada-Ku (Allah) dihadapan orang-orang, maka Aku pun akan berdzikir untuknya dihadapan orang-orang yang lebih baik darinya’ dan firman Allah swt. ‘Seperti dzikirmu terhadap nenek-moyangmu atau dzikir yang lebih mantap lagi’ (Al-Baqoroh: 200), bisa juga dijadikan sebagai dalilnya (dalil jahar)“.
    Sebagian ulama hanya memakruhkan dzikir jahar yang terlalu keras (jerat jerit), begitu juga jahar yang tidak keterlaluan bila menyebabkan dirinya riya’ atau mewajibkan dzikir secara jahar. Berapa banyak perkara yang sebenarnya mubah tapi karena diwajibkan atau disyariatkan pelaksanaanya dengan cara-cara tertentu ,padahal agama tidak mengajarkan demikian, maka ia akan berubah menjadi makruh, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qori’ dalam Syarhul Miskat, Al-Hashkafi dalam Ad-Durrul Mukhtar dan beberapa ulama lainnya.
    Sedangkan  Syeikh Sulaiman bin Sahman An-Najdi Al-Hanbali wafat th 1349H dalam kitabnya Tahqiq Al-Kalam fi Masyruiyyati Al-Jahr Bi-al-Dzikir ba’da As-Salam (Menegaskan pembicaraan mengenai disyariatkan menjahar dzikir setelah mengucapkan salam) cet.Dar Al-‘Ashimah Riyadh, cet.2, 1408H hal.48, mengatakan:
    “Hadits shohih dari Nabi Muhammad saw. menyebutkan bahwa menjahar dzikir setelah mendirikan sholat fardhu itu tidak mengganggu orang lain. Justru pendapat yang menentang sunnah tersebutlah yang mengganggu dan membingungkan umat Islam. Bahkan itulah kebathilan yang paling bathil dan kemungkaran yang sangat jelas karena bertentangan dengan nash. Pendapat seperti itu juga merupakan penolakan tanpa ilmu dan argumentasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan”.
    Demikian pula yang dikatakan oleh Ibn Hazm dalam Al-Mahali [1V:260] Mas’alatu Raf’I Ash-Shauwti Bi-At Takbir Itsra Kulli Shalatin Hasanun [ Masalah mengangkat suara dengan takbir setelah melakukan sholat (fardhu) itu adalah baik].
    Imam Suyuti dalam kitab Natijt Al-Fikr fi Al-Jahr Bi Al Dzikr (Hasil pemikiran mengenai dzikir dengan suara keras). Karangan tersebut dimuat dan dicetak dalam kitab Imam Suyuti Al-Hawi Lil Fatawi. Imam Suyuti (Lihat Al-Hawi Lil Fatawi 1:393) mengatakan: “Bila kamu memperhatikan secara cermat hadits-hadits yang kami (Imam Suyuti) kemukakan, maka kamu akan memahami dari keseluruhannya bahwa menjahar dzikir setelah sholat itu tidak dimakruhkan sama sekali, justru ada isyarat untuk mensunnah kan baik isyarat tersebut secara terang-terangan atau secara tersirat saja”.
               

    Memang ada hadits riwayat Baihaqi, Ibnu Majah dan Ahmad; “Sebaik-baik dzikir adalah secara lirih (sir) .. ”. Sebenarnya hadits ini adalah lemah. Perhatikan dalam Sohih Ibn Hibban 3: 91 dan kitab Al-Maqashid Al-Hasanah karangan Al-Sakhawi ha. 207, bahwa maknanya tidak seperti yang dipahami oleh sebagian orang. Al-Sakhawi selanjut nya mengatakan; ‘Maknanya bahwa menyembunyikan amal, tidak mencari kemasyhuran dan berisyarat kepada seseorang dengan jari jemari tangan itu lebih baik daripada kebalikannya dan lebih menyelamatkan didunia dan akhirat. Jadi makna dzikir dalam hadits dhoif itu ialah as-syrah al-dzatiyah (perilaku dzatiyah manusia), yakni, bahwa al-khumul (ketidakmasyhuran) itu lebih baik daripada kemasyhuran.


    Hadits terakhir diatas tersebut memang dho’if/lemah dalam sanadnya, karena mengikuti tiga jalur (thariq) yang mengandung tiga ilal (kelemahan atau penyakit) yaitu Muhamad bin Abdurrahman bin Abu Sayibah dan Al-Laitsi keduanya lemah. Sedang riwayat Ibn Abi Syaibah dari Sa’d bin Abu Waqqash itu munqathi’ah terputus (yakni menjadi mursalah). 
    Imam as-Suyuthi mengatakan kata-kata 'Sebaik-baik' dalam suatu hadits berarti Keutamaan bukan yang lebih utama.
    Jadi hadits 'Sebaik-baik dzikir..' ,umpamanya shohih, bukan menunjukkan kepada jeleknya atau dilarangnya dzikir secara jahar, karena banyak riwayat hadits shohih yang mengarah pada bolehnya dzikir secara jahar.
               
    “Imam As-Suyuthi didalam Natijatul/fikri Jahri Bidz Dzikri, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan padanya mengenai tokoh Sufi yang membentuk kelompok-kelompok dzikir dengan suara agak keras, apakah itu merupakan perbuatan makruh atau tidak? Jawab beliau: Itu tidak ada buruknya (tidak makruh)! Ada hadits yang menganjurkan dzikir dengan suara agak keras (jahar) dan ada pula menganjurkan dengan suara pelan (sirran). Penyatuan dua macam hadits ini yang tampaknya berlawanan, semua tidak lain tergantung pada keadaan tempat dan pribadi orang yang akan melakukan itu sendiri.
    Dengan merinci manfaat membaca Al-Qur’an dan berdzikir secara jahar/jahran dan lirih/sirran itu Imam Suyuthi berhasil menyerasikan dua hal ini kedalam suatu pengertian yang benar mengenai hadits-hadits terkait. Jika anda berkata bahwa Allah swt. telah berfirman:                                               


    وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيْفَةً وَدُوْنَ الجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُضُوِّ وَالآصَالِ وَلاَ تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِيْنَ.      

                                                                                  


    Artinya: ‘Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hati dengan merendahkan diri disertai perasaan dan tanpa mengeraskan suara’. (Al A’raf:205). Itu dapat saya (Imam Suyuthi) jawab dari tiga sisi:


    1.  Ayat diatas ini adalah ayat Makkiyah ( turun di Makkah sebelum hijrah). Masa turun ayat (Al A’raf 205) ini berdekatan dengan masa turunnya ayat berikut ini: 


                                  وَلاَ تَجْهَرْ بصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِبَيْنَ ذَالِكَ سَبِيْلاً                                           


    Artinya: ‘Dan janganlah engkau (hai Nabi) mengeraskan suaramu diwaktu sholat, dan jangan pula engkau melirihkannya…’    (Al Isra’:110).


    Ayat itu (Al A’raf :205) turun pada saat Nabi saw. sholat dengan suara agak keras (jahar), kemudian didengar oleh kaum musyrikin Quraisy, lalu mereka memaki Al Qur’an dan yang menurunkannya (Allah swt). Karena itulah beliau saw. diperintah (oleh Allah) untuk meninggalkan cara jahar (pembacaan al-qur'an) guna mencegah terjadinya kemungkinan yang buruk (saddudz-dzari’ah). Makna ini hilang setelah Nabi saw. hijrah ke Madinah dan kaum Muslimin mempunyai kekuatan untuk mematahkan permusuhan kaum musyrikin. Demikian juga yang dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya.

    {Info: Nabi Muhammad saw. dilarang untuk mengeraskan suaranya –waktu membaca Al-qur'an dalam sholat– hanya untuk menghindari bahaya atau sekedar memenuhi keperluan saja. Sebagaimana beliau saw. pernah dilarang untuk mencela berhala-berhala dengan alasan yang sama, sebagaimana firman Allah swt. yang artinya; ‘Maka janganlah kamu mencela orang-orang yang memanggil selain Allah (berhala) sehingga mereka pun mencela Allah karena permusuhan (dan) tanpa ilmu’, makna yang dikandung ayat ini telah hilang setelah muslimin mempunyai kekuatan. [Zaman sekarang –celaan terhadap berhala, baca al-qur'an secara jahar ketika sholat– semua itu boleh dilakukan, walaupun orang-orang kafir telah terang-terangan melakukan penghinaan terhadap Islam--red.]. Makna dan pemahaman seperti itu telah di-isyaratkan oleh Ibn Katsir dalam tafsirnya. Hal ini berbeda dengan hadits-hadits shohih yang telah kami kemukakan masalah dzikir seusai sholat dan majlis dzikir---pen}.
    2. Jama’ah ahli tafsir (Jama’atul Mufassirin), diantaranya Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan Ibnu Jarir, menerapkan makna ayat diatas tentang dzikir pada masalah membaca Al-Qur’an. Nabi saw. menerima perintah jahran (agak keras) membaca Al-Qur’an sebagai pemuliaan (ta’dziman) terhadap Kitabullah tersebut., khususnya di- waktu sholat tertentu. Hal itu diperkuat kaitannya dengan turunnya ayat: ‘Apabila Al-Qur’an sedang dibaca maka hendaklah kalian mendengarkannya...’ (Al A’raf:204). Dengan turunnya perintah ‘mendengarkan’ maka orang yang mendengar Al-Qur’an yang sedang dibaca, jika ia (orang yang beriman) tentu takut dalam perbuatan dosa. Selain itu ayat tersebut juga menganjurkan diam (tidak bicara) tetapi kesadaran berdzikir dihati tidak boleh berubah, dengan demikian orang tidak lengah meninggalkan dzikir (menyebut) nama Allah. Karena ayat tersebut diakhiri dengan: ‘Dan janganlah engkau termasuk orang-orang yang lalai’.
    3. Orang-orang Sufi mengatakan berdzikir sirran (lirih) itu hanya khusus dapat dilakukan dengan sempurna oleh Rasulallah saw., karena beliau saw. manusia yang disempurnakan oleh Allah swt. Manusia-manusia selain beliau saw. sangat repot sekali melakukan dengan sempurna sering diikuti was-was, penuh berbagai angan-angan perasaan, karena itulah mereka berdzikir secara agak keras/ jahran. Dzikir jahran semua was-was, angan-angan dan perasaan, lebih mudah dihilangkan, serta akan mengusir setan-setan jahat.
    Pendapat demikian ini diperkuat oleh sebuah hadits yang diketengahkan oleh Al- Bazzar dari Mu’adz bin Jabal ra. bahwa Rasulallah saw. bersabda: ‘Barangsiapa diantara kamu sholat diwaktu malam hendaklah bacaannya diucapkan  dengan jahran (agak keras). Sebab para malaikat turut sholat seperti sholat yang dilakukannya, dan mendengarkan bacaan-bacaan sholatnya. Jin-jin beriman yang berada di antariksa dan tetangga yang serumah dengannya, merekapun sholat seperti yang dilakukannya dan mendengarkan bacaan-bacaannya. Sholat dengan bacaan keras akan mengusir jin-jin durhaka dan setan-setan jahat’.”  Demikianlah pendapat Imam Suyuthi.
    Pendapat Ibnu Taimiyyah mengenai majlis dzikir didalam kitab Majmu 'al fatawa  edisi King Khalid ibn 'Abd al-Aziz, sebagai berikut: Ibnu Taimiyyah telah ditanya mengenai pendapat beliau mengenai perbuatan berkumpul beramai-ramai berdzikir, membaca al-Qur’an, berdo’a sambil menanggalkan serban dan menangis, sedangkan niat mereka bukanlah karena ria’ ataupun membanggakan diri tetapi hanyalah karena hendak mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Adakah perbuatan-perbuatan ini boleh diterima? Beliau menjawab: ‘Segala puji hanya bagi Allah, perbuatan-perbuatan itu semuanya adalah baik dan merupakan suruhan didalam Shari'a (mustahab) untuk berkumpul dan membaca al-Qur’an dan berdzikir serta berdo’a....’ ". Pertanyaan ini berkaitan dengan kelompok/majlis dzikir dimasjid-masjid yang dilakukan kaum Sufi Syadziliyyah.
    Ibnu Hajr mengatakan, bahwa pembentukan jama’ah-jama’ah seperti itu adalah sunnah, tidak ada alasan untuk menyalah-nyalahkannya. Sebab berkumpul untuk berdzikir telah diungkapkan pada hadits Qudsi Shohih:  ‘Tiap hambaKu yang menyebutKu ditengah sejumlah orang, ia pasti Kusebut (amal kebaikannya) di tengah jama’ah yang lebih baik’.
    Dengan kumpulnya orang bersama untuk berdzikir ini sudah tentu menunjukkan dzikir tersebut  dengan suara yang bisa didengar sesamanya (agak keras). Bila tidak demikian, apa keistimewaan hadits tentang kumpulan (halaqat) dzikir yang dibanggakan oleh Malaikat dan Rasulallah saw.?, karena berdzikir secara sirran/lirih sudah biasa dilakukan oleh perorangan!
    Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm berkata sebagai berikut: 
    Aku memilih untuk imam dan makmum agar keduanya berdzikir pada Allah sesudah salam dari shalat dan keduanya melakukan dzikir secara lirih kecuali imam yang menginginkan para makmum mengetahui kalimat-kalimat dzikirnya, maka dia boleh melakukan jahar sampai dia yakin bahwa para makmum itu sudah mengetahuinya kemudian diapun berdzikir secara sir lagi”. Dengan demikian tidak diketemukan dikalangan ulama Syafi’iyah pernyataan-pernyataan yang melarang/mengharamkan dzikir secara jahar apalagi sampai memutuskannya dengan bid’ah munkar !
    Mari kita rujuk lagi riwayat hadits ,berikut ini, bahwa setan akan lari bila mendengar suara adzan atau iqamah, karena yang dibaca dalam adzan/iqamah kalimat dzikir dan sekaligus mencakup kalimat-kalimat tauhid juga, sebagaimana juga bacaan yang dibaca pada kumpulan majlis-majlis dzikir (tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan sebagainya).
    Hadits nomer 581 riwayat Muslim sabda Rasulallah saw.: “Sesungguhnya apabila setan mendengar adzan untuk sholat ia pergi menjauh sampai ke Rauha’, berkata Sulaiman; ‘Saya bertanya tentang Rauha’ itu,  jawab Nabi saw.; ‘jaraknya dari Madinah 36 mil’ “.
    Hadits nomer 582 riwayat Muslim dari Abu Hurairah: “Sesungguhnya apabila setan mendengar adzan sholat ia bersembunyi mencari perlindungan sehingga suara adzan itu tidak terdengarnya lagi. Tapi apabila setan itu mendengar iqamah, ia menjauh (lagi) sehingga suara iqamah tidak terdengar lagi. Namun apabila iqamah berakhir, setan kembail (lagi) melakukan waswas, yaitu membisikkan bisikan jahat “.
    Lihat hadits dari Mu’adz bin Jabal yang telah dikemukakan, bahwa dengan baca Al-Qur’an waktu sholat malam secara jahar akan didengar oleh malaikat, jin-jin beriman dan lainnya, serta bisa mengusir setan-setan yang jahat dan durhaka, begitu juga dua hadits terakhir diatas mengenai adzan/iqamah. Walaupun hadits-hadits ini berkaitan dengan bacaan Al-Qur’an pada waktu sholat malam hari, serta bacaan adzan dan iqomah, tapi intinya sama yaitu pembacaan ayat Al-Qur’an dan bacaan kalimat-kalimat tauhid dan termasuk dzikir secara jahar. Perbedaannya adalah satu ketika sholat membacanya, yang lain diluar waktu sholat, tetapi kedua-duanya bisa didengar oleh malaikat, jin dan mengusir setan. Dengan berdasarkan hadits-hadits tadi, maka tidak ada saat bagi setan untuk memperdayai manusia selama manusia itu sering berdzikir karena dzikirnya itu bisa di dengar oleh setan-setan tersebut ! 

     Imam An-Nawawi menyatukan dua hadits (jahar dan lirih) itu sebagaimana katanya: Membaca Al-Qur’an maupun berdzikir lebih afdhol/utama secara sirran/lirih bila orang yang membaca khawatir untuk riya’, atau mengganggu orang yang sedang sholat ditempat itu, atau orang yang sedang tidur. Diluar situasi seperti ini maka dzikir secara jahran/agak keras adalah lebih afdhol/baik. Karena dalam hal itu kadar amalannya lebih banyak daripada membaca  Al-Qur’an atau dzikir secara lirih/sirran.
    Selain itu juga membaca Qur’an dan dzikir secara jahran/keras ini manfaatnya berdampak pada orang-orang yang mendengar, lebih konsentrasi atau memusatkan pendengarannya sendiri, membangkitkan hati pembaca sendiri, hasrat berdzikir lebih besar, menghilangkan rasa ngantuk dan lain-lain. Menurut sebagian ulama bahwa beberapa bagian Al-Quran lebih baik dibaca secara jahar/jahran, sedangkan bagian lainnya dibaca secara lirih/sirran. Bila membaca secara lirih akan menjenuhkan bacalah secara jahar dan bila secara jahar melelahkan maka bacalah secara lirih.
    Sebagian orang senang berdzikir secara agak keras/jahran untuk dapat memerangi bisikan busuk (was-was), godaan hawa nafsu, lebih konsentrasi tidak mudah lengah, dan langsung menyatukan ucapan lisan dengan hatinya, lebih khusyu’ apalagi dengan irama dzikir yang enak, menghilangkan ngantuk dan lain-lain. Masjid-masjid yang di- jadikan tempat dzikir oleh kaum Sufi ini diantaranya  masjid Ar Ribath.
    Bagi yang memilih dzikir secara sirran (lirih, pelan) untuk memudahkan perjuangan melawan hawa nafsu, melatih diri agar tidak berbau riya’ (mengharap pujian-pujian orang) dan menahan nafsu agar tidak menjadi orang yang terkenal.
    Terdapat riwayat bahwa Umar bin Khattab ra. berdzikir secara jahar/agak keras sedangkan sahabat Abubakar ra dengan suara lirih (sirran). Waktu mereka berdua ditanya oleh Rasulallah saw. mereka menjawab dengan penjelasan seperti diatas itu. Ternyata Rasulallah saw. membenarkan mereka berdua ini! (lihat; Al-Fatawa al-Haditsiyah hal. 56, Ibnu Hajr al-Haitami).
    Orang dianjurkan berdzikir setiap saat baik dalam keadaan junub, haid, nifas maupun dalam keadaan suci (kecuali bacaan ayat Al-Qur’annya), sedang sibuk atau lenggang waktu, sedang berbaring atau duduk dan pada setiap tempat. Itulah yang dimaksud ayat Allah swt. diantaranya surat An-Nisa:103, karena dzikir semacam ini boleh dilaksanakan terus menerus! Lain halnya dengan sholat, ada syarat dan waktu-waktu tertentu yang tidak boleh melakukan sholat, umpama: orang yang sedang haid, nifas, junub (harus mandi dulu), sholat sunnah mutlak yang hanya niat sholat saja setelah sholat ashar/shubuh dan sebagainya. Begitu juga ibadah puasa akan batal bagi orang yang sedang haidh, nifas atau junub dan hal-hal lain yang bisa membatalkan puasa.
    Kalau kita baca ayat-ayat al-Qur’an, hadits dan wejangan para ulama yang telah dikemukakan tadi, jelas bahwa berdzikir baik orang berdzikir sendirian, berkelompok, secara sir atau jahar/agak keras itu semua baik/mustahab dan sebagai anjuran syari’at Islam. Bagaimana tercelanya saudara kita yang selalu menteror, mencela dan mensesatkan kumpulan dzikir (tahlil/yasinan, istighotsah dan sebagainya), yang mana disitu selalu dikumandangkan; ayat-ayat Al-Qur’an, sholawat pada Nabi saw., pembacaan Tasbih, Takbir dan lain sebagainya serta mendo’akan sesama muslimin? Bacaan yang dibaca didalam majlis tersebut, semuanya tidak ada larangan syari’at, malah sebaliknya banyak hadits Rasulallah saw. yang menunjukkan kebolehannya/kesunnahannya dan mendapatkan pahala.
    Kita sering bertanya-tanya juga: Mengapa Para Imam didalam masjidil Haram Mekkah dan Madinah tidak pernah mengangkat suaranya waktu berdzikir seusai sholat?, padahal cukup jelas riwayat-riwayat shohih bahwa para sahabat (tokoh para salaf) berdzikir dengan jahar seusai sholat Fardhu! Apakah para tokoh Salaf ini melakukan Bid'ah atau mengada-adakan sesuatu amalan yang mungkar tanpa adanya dalil? Apakah para tokoh Salaf tersebut tidak memahami makna Firman Allah swt. dalam Surat Al-A'raf 205, ataukah golongan pengingkar yang tidak pernah menemukan riwayat-riwayat, yang telah kami kemukakan tersebut?
    Dengan adanya keterangan-keterangan diatas ini kita bisa menarik kesimpulan bahwa ada ulama yang senang berdzikir secara lirih dan ada yang lebih senang secara jahar, tergantung situasi sekitarnya dan pribadi masing-masing, bila situasi mengizinkan maka secara jahar itu lebih baik/afdhol. Jadi kedua macam cara itu dibolehkan!!    
                                                                                        
    Aturan/adab (paling baik/tidak wajib) dalam dzikir, menurut Syaikh ‘Ali Al-Marshafy, dalam kitabnya Manhajus Shalih mengatakan antara lain: 
    Kita selalu dalam keadaan bersih yakni mandi dan berwudu’, menghadap kiblat (kalau bisa), duduk ditempat yang suci (bukan najis). Orang agar sepenuhnya konsentrasi (penuh perhatian) dengan hatinya mengenai dzikir yang dibaca itu. Tempat dzikir tersebut ditaburi dengan minyak wangi. Berdzikir dengan ikhlas karena Allah swt...”. Dan masih banyak yang beliau anjurkan cara yang terbaik untuk berdzikir tapi empat diatas itu cukup buat kita agar tercapainya dzikir itu, sehingga kita bisa menikmatinya dan menenangkan jiwa.
    Yang dimaksud Syaikh ‘Ali Al Marshafy ditaburi minyak wangi pada tempat dzikir  ialah agar tempat dzikir tersebut semerbak wangi baunya. Dalam hal ini dibolehkan semua jenis bahan yang bisa menimbulkan bau harum umpama minyak wangi, sebangsa kayu-kayuan (gahru dan sebagainya) atau menyan Arab, yang kalau dibakar asapnya berbau wangi. Bau-bauan wangi ini lebih mengkhusyukkan/mengkonsentrasikan, menyegarkan pribadi orang atau para hadirin, menyenangkan malaikat-malaikat dan jin-jin yang beriman, yang hadir di majlis dzikir ini. Bau harum ini malah lebih diperlukan bila berada di ruangan yang banyak dihadiri oleh manusia agar berbau semerbak ruangan tersebut. Gahru, uluwwah atau menyan ini banyak dijual baik di Indonesia, Makkah, Madinah maupun dinegara lainnya. Yang paling mahal harganya adalah Gahru kwaliteit istemewa.
    Hadits dari Abu Hurairah ra, Rasulallah saw bersabda: “Siapa yang diberi wangi-wangian janganlah ditolak, karena ia mudah dibawa dan semerbak harumnya”.   (HR.Muslim, Nasa’I dan Abu Dawud)
    Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Nasa’i: “Adakalanya Ibnu Umar ra. membakar uluwwah tanpa campuran, dan adakalanya kapur barus yang dicampur dengan uluwwah seraya berkata, ‘Beginilah Rasulallah saw. mengasapi dirinya’.”
    Dinegara Saudi Arabia ,central lokasi madzhab wahabi/salafi, pada waktu kami umrah 2001 bulan suci Ramadhan di Madinah, disana setiap usai sholat Isya’ di tempat sekitar Raudhah (antara Rumah dan Mimbar Rasulallah saw.) dan disekitar Mimbar Rasulallah saw. selalu di asapi kayu gahru yang wangi. Bagi orang-orang yang pernah hadir disekitar tempat ini pada waktu tertentu itu, insya Allah bisa menyaksikan serta menikmati bau-bauan harum tersebut. Malah kami dengar dari para jemaah haji, sampai sekarang masih diamalkan pembakaran dupa disekitar Raudhah dan mimbar Rasulallah saw.  Padahal ada kelompok wahabi/salafi sering mengeritik dan membuat ceritera khurafat atau mengisukan yang tidak-tidak terhadap golongan muslimin, yang membakar dupa/gahru waktu mengadakan majlis dzikir.
    Diantara golongan wahabi dan pengikutnya ini ada yang mengatakan pembakaran dupa/gahru dan sebagainya waktu sedang berkumpul  berdzikir maupun sendirian untuk mendatangkan setan-setan dan lain-lain!
    Tetapi kalau kita baca banyak hadits Nabi saw.bahwa setan malah lari mendengar bacaan dzikir itu, dan senang bersemayam dirumah dan diri orang yang tidak mengada- kan majlis dzikir. Lihatlah, karena kejahilan atau kedangkalan ilmu mengenai majlis dzikir, golongan pengingkar ini membuat fitnah dan mengadakan khurafat-khurafat (tahayul) yang di karang-karang sendiri, agar manusia mengikuti faham mereka dan tidak menghadiri majlis dzikir tersebut.
    Mengapa golongan pengingkar ini tidak berkata pada sipenjual Gahru, menyan arab di Makkah dan Madinah bahwa itu haram, khurafat karena bisa mendatangkan setan-setan?
    Ancaman bagi orang yang menghadiri kumpulan tanpa disebut nama Allah dan Shalawat atas Nabi saw.

    مَا قَعَدَ قَوْمُ مَقْعَدًا لَمْ يَذْكُرُونَ اللهَ فِيهِ وَلَمْ يُصَلُّوْا عَلَى النَّبِيِّ اِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه الترمذي وقال حسن

                                                                                                 

    Artinya: Tiada suatu golongan pun yang duduk menghadiri suatu majlis, tapi mereka disana tidak dzikir pada Allah swt. dan tidak mengucapkan shalawat atas Nabi saw., kecuali mereka akan mendapat kekecewaan di hari kiamat”.


    Juga diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dengan kata-katanya yang berbunyi sebagai berikut :
      Hadits riwayat Turmudzi (yang menyatakan Hasan) dari Abu Hurairah, sabda Nabi saw : 
                وَرَوَاهُ اَحْمَدُ بِلَفْظٍ مَا جَلَسَ قَوْمُ مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُوْا اللهَ فِيهِ اِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ تَرَةً   

                                                         


    Artinya: Tiada ampunan yang menghadiri suatu majlis tanpa adanya dzikir kepada Allah Ta’ala, kecuali mereka akan mendapat tiratun artinya kesulitan... “.

    Dalam buku Fathul ‘Alam tertera : Hadits tersebut menjadi alasan atas wajibnya (pentingnya) berdzikir dan membaca shalawat atas Nabi saw. pada setiap majlis.


     Hadits dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. bersabda yang artinya : 
       

    قَالَ : قَالَ رَسُوْلَ اللهِ  وَعَنْ اَبِي هُرَيْرَة (ر)

     .صَ. مَا مِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالىَ فِيْهِ اِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً  (رواه ابو داود

    Artinya: “Tiada suatu kaum yang bangun (bubaran) dari suatu majlis dimana mereka tidak berdzikir kepada Allah dalam majlis itu, melainkan mereka bangun dari sesuatu yang serupa dengan bangkai himar/keledai, dan akan menjadi penyesalan mereka kelak dihari kiamat ”.  (HR.Abu Daud)

    Dalil-dalil mereka yang melarang dzikir secara jahar dan jawabannya 
    Dengan adanya riwayat-riwayat yang dikemukakan tadi dan riwayat lain yang tidak dikemukakan disini, buat kita insya Allah sudah cukup jelas mengenai dibolehkannya dzikir baik secara lirih maupun secara jahar. Tetapi golongan pengingkar selalu mengajukan dalil-dalil yang menurut paham mereka sebagai larangan/haramnya orang berkumpul berdzikir secara jahar. Dalil-dalil yang mereka ajukan antara lain:
    A. Firman Allah swt (Al ‘Araf : 204): ‘Dan apabila dibacakan (kepadamu) ayat-ayat suci Al-Qur’an, maka dengarkanlah dia dan perhatikan agar kamu diberikan rahmat’. Ayat ini dibuat dalil oleh mereka untuk melarang  pembacaan Al-Qur’an secara bersama, yang diamalkan orang-orang pada majlis dzikir (Istighothah, tahlilan, yasinan dan lain lain).
    Sudah tentu pemikiran seperti ini adalah paham yang keliru, karena makna atau yang dimaksud firman Allah swt itu ialah: Bila ada orang membaca al-qur’an (diluar sholat), sedangkan orang lainnya tidak ikut membaca bersama orang tersebut, maka yang tidak ikut membaca ini dianjurkan/disunnahkan untuk mendengarkan serta memperhatikan bacaan al-qur’an itu agar mereka mendapat pahala dan rahmat dari Allah swt. Jadi bukan berarti ayat ini melarang orang bersama-sama membaca al-qur’an dalam kumpulan majlis dzikir! Karena cukup banyak hadits yang menjanjikan pahala bagi orang yang membaca al-qur’an disitu tidak disyariatkan agar dibaca secara berkelompok atau perorangan serta tidak ada nash baik dalam al-qur’an maupun sunnah yang melarang membaca al-qur’an secara bersama-sama!

    B. Mereka berdalil juga pada firman Allah Al-A’raf :205 yang berbunyi: ‘Dan  ingatlah Tuhanmu didalam hatimu sambil merendahkan diri dan merasa takut serta tidak dengan suara keras (yang berlebihan) dipagi maupun sore hari’.
    Ayat ini juga tidak bisa dibuat dalil untuk melarang semua bentuk dzikir secara jahar. Sebenarnya yang dimaksud ayat ini adalah untuk orang-orang yang sedang mendengarkan Al-Qur’an, yang sedang dibaca oleh orang lain, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat yang telah dikemukakan yaitu surat Al-A’raaf : 204. Dengan demikian, makna surat Al-A’raf : 205 tadi adalah: ‘Berdzikirlah kepada Tuhanmu didalam hati wahai orang yang memperhatikan dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an dengan merendahkan diri serta rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara (yang berlebihan)...’.
    Seperti ini pula makna yang dikehendaki oleh ulama pakar diantaranya: Ibnu Jarir, Abu Syaikh dari Ibnu Zaed. Sedangkan Imam Suyuthi dalam kitabnya Natijatul Fikri berkata: Ketika Allah swt. memerintahkan untuk inshot (memperhatikan bacaan Al Qur’an) dikhawatirkan terjadinya kelalaian dari mengingat Allah swt., maka dari itu disamping perintah inshot dzikir didalam hati tetap dibebankan agar tidak terjadi kelalaian mengingat Allah swt. Karenanya ayat tersebut diakhiri dengan ‘Dan janganlah kamu termasuk diantara orang-orang yang lalai’. (baca keterangan pada halaman sebelum ini)
    Malah menurut Imam Ar-Rozi bahwa ayat Al A’raf : 205  justru menetapkan dzikir dengan jahar yang tidak berlebihan, bukan malah mencegahnya karena disitu disebut juga  ‘...dan bukan dengan mengeraskan suara (jahar yang berlebihan)...’ Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tuntutan ayat itu adalah ’melakukan dzikir antara sir dan jahar yang berlebihan’ makna  yang demikian sesuai dan dikuatkan oleh firman Allah swt  dalam surat Al-Isra’: 110 yang berbunyi: ‘Janganlah kamu mengeraskan suara dalam berdo’a dan janganlah pula kamu melirihkannya melainkan carilah jalan tengah diantara yang demikian itu’.
    Janganlah kita hanya mengambil dalil dari al-qur'an atau hadits yang berkaitan dengan dzikir secara lirih dan mengenyampingkan ayat dan hadits yang lain, yang membolehkan dzikir secara jahar. Kita harus meneliti dan mengetahui motif dari ayat dan hadits tersebut.
    C. Golongan pengingkar ini juga berdalil pada hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Marduwaih dan Al-Baihaqi dari Abu Musa Al-Asy’ari ra yang berkata:
    “Kami pernah bersama Rasulallah saw. dalam sebuah peperangan, maka terjadilah satu keadaan dimana kami tidaklah menuruni lembah dan tidak pula mendaki bukit kecuali kami mengeraskan suara takbir kami. Maka mendekatlah Rasulallah saw. kepada kami dan bersabda: ‘Lemah lembutlah kalian dalam bersuara karena yang kalian seru bukanlah zat yang tuli atau tidak ada. Hanyalah yang kalian seru adalah zat Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Sesungguhnya yang kalian seru itu lebih dekat kepadamu ketimbang leher-leher onta tungganganmu’ “. Hadits ini tercantum dalam kitab-kitab hadits yang enam. 
    Imam Turmudzi dalam bab Fadhlut Tasbih menyebutkan juga hadits dari Abu Musa al-Asy’ari yang senada tapi sedikit berbeda dan ditambah dengan sabda Rasulallah saw. “Wahai Abdullah bin Qais, maukah kamu aku beritahukan sebagian dari perbendaharaan sorga...? Dialah : ‘Laa Haulaa Walaa Quwwata Illa Billah’ “. Turmudzi berkata: Ini adalah hadits yang shohih.
    Golongan ini berkata: “Mengapa kita harus mengeraskan suara dalam berdzikir...?, padahal hadits dari Abu Musa Al-Asy’ari diatas memerintahkan untuk  merendahkan suara di ketika berdzikir karena Zat yang didzikirkan yakni Allah swt. bukan Zat yang tuli, bukan Zat yang tidak ada bahkan ilmu dan kekuasan-Nya ada dihadapan kita ! Dia lebih dekat kepada kita dibanding leher-leher onta tunggangan kita !
    Alasan inipun tidak tepat untuk dijadikan dalil melarang atau mengharamkan semua bentuk dzikir jahar, perintah irba’uu dihadits tersebut bukanlah hukum wajib sehingga berakibat haramnya berdzikir secara jahar. Hal ini karena perintah dengan menggunakan kata ar-rab’u adalah semata-mata untuk memberikan kemudahan kepada mereka. Berdasarkan inilah maka Syeikh Ad-Dahlawi dalam Al-Lama’aat Syarhul Misykat mengatakan bahwa irba’uu adalah satu isyarat dimana larangan jahar hanyalah untuk memudahkan, bukan karena jahar itu tidak disyariatkan ! Sebenarnya hadits ini berkaitan dengan larangan mengangkat suara dzikir dijalan(an) atau ketika sedang berjalan-jalan, berbeda dengan hadits-hadits yang telah kami kemukakan itu. Berdzikir secara jahar seusai sholat atau berdzikir berkelompok telah disebutkan dalam hadits-hadits shohih diantaranya juga disebutkan dalam shohihain (shohih Bukhori dan Muslim).
    Kalau sekiranya Rasulallah saw. tidak mencegah para sahabat berdzikir secara keras dijalanan apalagi dalam waktu peperangan menaiki dan menuruni bukit, maka mereka jelas akan menyangka bahwa mengeraskan suara dzikir yang berlebihan (jerat-jerit) itu sewaktu dalam perjalanan adalah disunnahkan, karena perbuatan mereka itu didiamkan/diridhoi oleh Rasulallah saw.. Padahal kesunnahan yang seperti itu tidaklah dikehendaki oleh beliau saw. Mengeraskan dzikir pada saat itu sedang dalam perjalanan perang menuju Khaibar seperti itu tidak ada mashlahatnya/kebaikannya, bahkan bisa menimbulkan bencana kalau sampai didengar oleh musuh orang-orang kafir. Terlebih-lebih ada hadits mengatakan ‘Perang itu adalah satu tipu daya’.
    Begitupun juga beliau saw. melarang mereka supaya nantinya tidak merasa lebih lelah dan kesulitan dalam menghadapi peperangan. Beginilah juga yang diterangkan oleh Al-Bazzaazi makna pelarangan pengerasan suara pada waktu itu. Pengarang kitab Fathul Wadud Syarah Sunan Abi Daud mengatakan, bahwa kata-kata rofa’uu ashwaatahum menunjukkan bahwa mereka itu terlalu berlebihan dalam menjaharkan dzikir. Maka hadits itu tidaklah menuntut terlarangnya menjaharkan dzikir secara mutlak! Jadi dzikir jahar yang dilakukan oleh para sahabat itu adalah jahar yang berlebihan (jerat-jerit) sebagaimana ditunjukkan oleh kaitan larangan itu dalam beberapa riwayat.
    Bila hadits dari Abu Musa Al-Asy’ari diatas ini dipakai sebagai dalil untuk melarang semua bentuk dzikir secara jahar, maka akan berbenturan dengan hadits-hadits shohih  yang berkaitan dengan dzikir secara jahar!
    D. Sebagian golongan ini juga melarang kumpulan majlis dzikir dengan berdalil suatu riwayat bahwa Umar bin Khattab ra. mencambuk suatu kaum yang berkumpul karena kaum ini berdo’a untuk kebaikan kaum muslimin dan para pemimpin ! Dengan berdalil pada hadits ini, mereka melarang semua bentuk berdzikir secara jahar.
    Umpama riwayat tersebut benar-benar ada dan shohih, kita harus meneliti dahulu apa sebab Umar bin Khattab ra melarang mereka berkumpul untuk berdo’a kebaikan tersebut, sehingga tidak langsung menghukum semua berkumpulnya manusia untuk do’a kebaikan itu dilarang. Dzikir dan do’a itu termasuk amalan ibadah yang sangat dianjurkan baik oleh Allah swt. maupun Rasulallah saw.. Tidak ada penentuan/kewajiban dalam syariat tentang cara-cara berdzikir dan berdo’a, boleh dilakukan secara berkumpul atau pun secara individu !
    Penafsiran mereka seperti itu adalah sangat sembrono sekali, karena ini bisa mengakibatkan orang akan merendahkan sifat Umar bin Khattab, sehingga orang-orang non muslim maupun muslim akan mensadiskan beliau karena mencambuk (tanpa alasan yang tepat) orang yang berkumpul hanya karena berdo’a kebaikan untuk muslimin dan pemimpinnya. Hati-hatilah! Disamping itu riwayat ini berlawanan dengan firman Allah swt (hadits Qudsi) dan hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai keutamaan berdo’a dan halaqat dzikir (lingkaran dzikir) !
    E. Juga golongan ini mengatakan ada riwayat dari Bukhori yang berkata ada suatu kaum/kelompok setelah melaksanakan sholat Maghrib seorang dari mereka berkata: “Bertakbirlah kalian semua pada Allah seperti ini… bertasbihlah seperti ini….dan bertahmidlah seperti ini…maka Ibnu Mas’ud ra mendatangi orang ini dan berkata: '….sungguh kalian telah datang dengan perkataan bid’ah yang keji atau kalian telah menganggap lebih mengetahui dari sahabat Nabi'”.
    Riwayat diatas itu dibuat juga oleh golongan pengingkar sebagai dalil untuk melarang semua kumpulan majlis dzikir, alasan seperti ini juga tidak tepat sama sekali. Pertama kita harus mengetahui dahulu kalimat takbir, tasbih atau tahmid apa yang diperintahkan orang tersebut pada sekelompok muslimin itu. Kedua umpama bacaan takbir, tasbih, tahmid serta cara pemberitahuan sesuai yang dianjur kan oleh Nabi saw. maka tidak mungkin Ibnu Mas’ud ra akan melarangnya, karena Rasulallah saw. sendiri meridhoi dan memberi kabar gembira bagi kelompok kaum yang sedang berdzikir. Ketiga, kelompok tersebut belum melakukan dzikir yang diperintahkan oleh orang itu, oleh karenanya Ibnu Mas’ud bukan tidak menyenangi kumpulan dzikir dan bacaannya tapi beliau tidak menyenangi cara pemberitahuan orang tersebut kepada kelompok itu, yang seakan-akan mewajibkan atau mensyari’atkan kelompok tersebut untuk mengamalkan hal tersebut, karena dzikir adalah amalan-amalan sunnah/bukan wajib !! Wallahu a'lam
    Janganlah kita main pukul rata mengharamkan semua jenis kelompok dzikir secara jahar dengan alasan sebagian sahabat telah melarangnya pada kelompok manusia tertentu, tapi kita harus meneliti motif atau sebab apa dzikir tersebut pada waktu itu dilarang oleh  sahabat Nabi tersebut. Dengan demikian kita tidak akan ke bingungan atau kesulitan untuk mengamalkan hadits Rasulallah saw. lainnya yang mengarah kepada kebolehan dan kesunnahan untuk berdzikir  baik secara individu maupun berkelompok, baik secara lirih maupun jahar sebagaimana yang telah dijelaskan juga oleh ulama-ulama pakar, Imam Nawawi, Ibnu Hajr, Imam Suyuthi serta lain-lainnya.
    Begitu juga bila ada sebagian ulama pakar tidak menyenangi berdzikir secara jahar atau secara lirih itu tidak berarti semua dzikir secara jahar atau lirih itu haram diamalkan! Tidak lain hal tersebut tergantung pada pribadi ulama itu masing-masing atau tergantung pada situasi lokasi dan tempat untuk berdzikir tersebut.
    Contoh zaman sekarang yang bisa kita dengar dan beli kaset-kaset/cd dzikir umpama pembacaan al-Qur’an, qosidah-qosidah (bacaan sholawat Nabi saw. dan lain-lain), yang dijual dan dikumandangkan dipasar-pasar atau ditoko-toko diberbagai negara; Saudi Arabia, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Marokko, Mesir dan lain lain. Malah sekarang dinegara Eropa yang sebagian penghuninya orang muslimin, umpama di Perancis, Jerman, Belanda, Inggris, disana banyak sekali dijual dan dikumandangkan kaset-kaset dzikir tersebut. Kalau semua dzikir jahar ini mungkar dan dilarang maka menjual dan mengumandangkan kaset-kaset inipun harus dilarang terutama dinegara-negara Islam yang anti majlis dzikir. Tapi nyatanya sampai detik ini tetap berjalan malah lebih banyak lagi toko yang jual kaset-kaset tersebut karena banyak peminatnya.
               
    Insya Allah dengan keterangan yang sederhana ini, kita dapat mengambil manfaatnya dan mengerti serta jelas apa yang dianjurkan oleh Allah swt. melalui perantara junjungan kita Nabi besar Muhammad saw. Insya Allah saudara-saudara kita muslimin yang belum pernah menghadiri atau mendapat kesalahan informasi mengenai kumpulan dzikir, baca tahlil/yasinan dan sebagainya, akan diberi hidayah dan taufiq oleh Allah swt. serta bisa menghadiri majlis dzikir yang penuh berkah, atau setidaknya tidak akan mencela, mensyirikkan dan mensesatkan orang yang mengamalkan amalan tersebut. Mencela, mensesatkan sesuatu amal kebaikan itu hanya akan menambah dosa bukan menambah pahala.

    Sebagai manusia yang penuh kekurangan, kami mengharap masukan dan saran dari segenap

    para pembaca budiman silahkan kirim via email syafii_ali55@yahoo.com. 

    Semoga Allah swt. memberi hidayah kepada semua kaum muslimin. Amin.

     Sumber:http://www.everyoneweb.com/tabarruk/

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar