Bab 5: Ziarah Kubur, Membaca Al-Qur’an, Talqin dan Tahlil untuk orang mati

Mikroskop Kamera



Daftar isi Bab 5 ini diantaranya:





  • Dalil-dalil Ziarah kubur 



  • Ziarah kubur bagi wanita 



  • Adab berziarah dan berdo'a didepan pusara Rasulallah saw.



  • Dalil-dalil yang melarang ziarah kubur dan jawabannya.



  • Pembacaan Al-Qur’an di kuburan dan hadiah pahala bacaan untuk orang yang telah wafat



  • Keterangan dari Ustadz Quraish Shihab



  • Fatwa-fatwa ulama Syafi'iyah 



  • Celaan orang yang tidak setuju dengah hadiah pahala bacaan



  • Contoh-contoh fatwa imam Syafi'i yang ditahqiq (dikritisi) kembali



  • Pahalanya membaca Al-Qur’an



  • Amalan orang hidup yang bermanfaat bagi si mayyit



  • Kehidupan ruh-ruh manusia yang telah wafat



  • Talqin (mengajari dan memberi pemahaman/peringatan) mayyit yang baru dimakamkan 



  • Pembacaan Tahlil/Yasinan



  • Keterangan singkat tentang Haul (peringatan tahunan)



  • Haul ala Wahabi/Salafi



  • Dalil-dalil orang yang membantah dan jawabannya



  • Pahala sedekah untuk orang yang telah wafat 



  • Pahala Puasa dan Sholat untuk orang yang telah wafat 



  • Pahala Haji untuk orang yang telah wafat



  • Keterangan singkat sholat jenazah yang ghoib



  • Membangun masjid disisi kuburan



  • Memberi penerangan terhadap kuburan



  • Membangun kubbah diatas kuburan




  • {{Buku baru yang berjudul kAMUS SYIRIK (Edisi Revisi Telaah kritis atas doktrin faham Salafi/Wahabi)  setebal 512 halaman, ukuran 17x25cm, ALHAMDULILLAH SUDAH TERBIT BULAN AGUSTUS 2009. Buku ini belum beredar merata pada toko-toko buku di Indonesia. Bagi peminat bisa langsung hubungi toko-toko di jalan Sasak. Surabaya-Indonesia, di toko Gramedia atau hubungi pengedarnya (62) 031 60604235.

    Daftar Isi kitab kamus syirik ,mengingat jumlah halaman buku, tidak selengkap isi website kami ini, tetapi cukup untuk menjelaskan dalil-dalil amalan yang dikerjakan oleh golongan ahlus Sunnah wal jamaah dan amalan yang sering diteror oleh golongan pengingkar, misalnya tawassul/tabarruk, taklid imam madzhab, ziarah kubur, peringatan2 keagamaan, majlis dzikir dan lain sebagainya}}.  




    Setiap kaum muslimin mengetahui kewajibannya terhadap saudara kita muslimin yang telah wafat yaitu harus memandikannya, mensalatkannya dan mengantarkannya sampai keliang kubur. Ini adalah merupakan fardhu kifayah (kewajiban bila telah dilakukan oleh sebagian orang, maka gugurlah kewajiban seluruh muslimin).  
    Insya Allah dengan adanya kutipan dan kumpulan dalil-dalil di bab ini, cukup jelas bagi kaum muslimin bahwa; ziarah kubur, membaca ayat suci al-Qur’an yang pahalanya di hadiahkan pada si mayit dan sebagainya, itu semua menurut tuntunan syariat Islam yang benar serta diamalkan oleh para salaf dan para pakar Islam.

     Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah sebagai berikut:



    اَنَّ النَّبِيَّ .صَ. كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِِ الْمُتَوَفَّّى عَلَيْهِ الدَّيْنُ فَيَسْألُ هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِـهِ فَضْلا ؟                      

     فَاِنْ حُدَِّث اَنَّهُ تَرَكَ وَفَاءً صَلَّى, وَاِلاَّ قَاَل لِلْمُسْـلِمِيْنَ  "صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ" (رواه البخاري و مسلم)      




    Artinya: “Bahwa seorang lelaki yang wafat dalam keadaan berhutang, disampaikan beritanya pada Nabi saw. Maka Nabi saw menanyakan apakah ia ada meninggalkan kelebihan buat membayar hutangnya. Jika dikatakan bahwa ia ada meninggalkan harta untuk membayarnya, maka beliau menyalatkannya. Jika tidak beliau akan memerintahkan kaum muslimin; ‘Shalatkanlah teman sejawatmu’ “.
    Begitu juga masih banyak hadits yang menyebutkan pahala orang yang menyalatkan mayat dan mengantarkannya sampai keliang kubur.
               
    Shalat jenazah juga mempunyai rukun-rukun yang dapat mewujudkan hakikatnya, hingga bila salah satu rukun tersebut tidak terpenuhi, maka ia dianggap kurang sempurna oleh syara’. Jumlah rukun-rukun tersebut menurut ahli fiqih ada delapan. Sudah tentu yang pertama niat, takbir dan terakhir salam, sebagaimana syarat dari semua macam shalat. Diantara rukun-rukun tersebut yaitu do’a untuk si mayat tersebut.

     Sebagaimana sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Abud Daud dan Baihaqi serta disahkan oleh Ibnu Hibban sebagai berikut :  

    اِذَا صَلَّيْتُمْ عَلَى الْمَيِّتِ فَأَخْلِصُوْا لَهُ الدُّعَاء(رواه أيو داود والبيهقي وابن الحبّان وصححه)

    Artinya: “Jika kamu menyalatkan jenazah, maka berdo’alah untuknya dengan tulus ikhlas”.

    Banyak juga riwayat hadits Rasulallah saw yang mengajarkan kita kalimat-kalimat doa yang diucapkan dalam shalat jenazah tersebut. Rasulallah saw menganjurkan pada kaum muslimin yang masih hidup untuk menyalatkan yang mana do’a itu sebagai salah satu rukun daripadanya pada saudaranya muslim-muslimah yang wafat. Ini membuktikan bahwa semua amalan-amalan tersebut di antaranya do’a pengampunan dan lain sebagainya sangat bermanfaat baik bagi si mayat khususnya maupun kaum muslimin yang menyalatinya. Juga menunjukkan bahwa kita harus doa mendoakan sesama kaum muslimin baik waktu masih hidup atau sudah wafat,  bukan sesat mensesatkan, kafir mengafirkan antara sesama muslimnya. Doa ini tidak hanya dianjurkan pada waktu shalat jenazah saja, tapi untuk setiap waktu baik setelah shalat wajib atau dalam hidup sehari-hari, sebagaimana banyak hadits yang mengungkapkan hal tersebut dan ayat-ayat Qur’an yang menyebutkan do’a-do’a yang diucapkan oleh manusia, baik untuk pribadi mereka sendiri maupun untuk muslimin lainnya.

    Dalil-dalil Ziarah Kubur 
    Ziarah kubur itu adalah sunnah Rasulallah saw., sebagaimana hadits dari Sulaiman bin Buraidah yang diterima dari bapaknya, bahwa Nabi saw bersada:

             كُنْتُ نَهَيْتُكُم عَنْ زِيَارَةِ القُبُورِ, فَزُورُوهَا, وَفِي                                                   
                                                                               رِوَايَةٍ..... فَإنَّهَا تُذَكِّرُ بالآخرة     
            
    Artinya:Dahulu saya melarang kalian berziarah kubur, namun kini berziarahlah kalian!. Dalam riwayat lain; ...‘(Maka siapa yang ingin berziarah kekubur, hendaknya berziarah), karena sesungguhnya (ziarah kubur)  itu mengingatkan kepada akhirat’.  (HR.Muslim)
           
    – Juga ada hadits yang serupa diatas tapi berbeda sedikit versinya dari Buraidah ra. bahwa Nabi saw. bersabda: 
    “Dahulu saya melarang kalian menziarahi kubur, sekarang telah di-izinkan dengan Muhammad untuk berziarah pada kubur ibunya, karena itu berziarahlah ke perkuburan, sebab hal itu dapat mengingatkan pada akhirat”. (HR. Muslim [lht.shohih Muslim jilid 2 hal.366 Kitab al-Jana’iz], Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i, Ahmad).

    Imam Syafi’i dalam kitabnya Al Umm meriwayatkan hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulallah saw. bersabda: 
    “Saya pernah melarang kamu berziarah kubur, maka berziarahlah padanya dan jangan kamu mengatakan ucapan yang mungkar [Hajaran]”. (Tartib Musnad Imam Syafi’i, pembahasan tentang sholat, bab ke 23 ‘Sholat jenazah dan hukum-hukumnya’ hadits nr. 603 jilid 1 hal. 217)

    Hadits-hadits tadi, jelaslah bahwa awal mulanya Nabi saw. melarang ziarah kubur namun kemudian membolehkannya setelah turunnya pensyariatan (legalitas) ziarah kubur dari Allah swt Dzat Penentu hukum (Syari’ al-Muqaddas). Anjuran sunnah untuk berziarah itu berlaku baik untuk lelaki maupun wanita. Karena dalam hadits itu tidak disebutkan kekhususan hanya untuk kaum pria saja. 

    Dalam kitab Makrifatul as-Sunan wal Atsar jilid 3 halaman 203 bab ziarah kubur disebutkan bahwa Imam Syafi’i telah mengatakan: “Ziarah kubur hukumnya tidak apa-apa (boleh). Namun sewaktu menziarahi kubur hendaknya tidak mengatakan hal-hal yang menyebab kan murka Allah”. 

    –  Al-Hakim an-Naisaburi dalam kitab Mustadrak Ala as-Shahihain jilid 1 halaman 377 menyatakan: “Ziarah kubur merupakan sunnah yang sangat di tekankan”.
    Hal yang sama juga dapat kita jumpai dalam kitab-kitab para ulama dan tokoh Ahlusunah seperti Ibnu Hazm dalam kitab al-Mahalli jilid 5 halaman 160; Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin jilid 4 halaman 531; Abdurrahman al-Jaziri dalam kitab al-Fikh alal Madzahibil Arba’ah jilid 1 halaman 540 (dalam penutupan kajian ziarah kubur) dan banyak lagi ulama dari Ahlusunah lainnya. Atas dasar itulah Syeikh Manshur Ali Nashif dalam kitab at-Tajul Jami’ lil Ushul jilid 1 halaman 381 menyatakan: “Menurut mayoritas Ahlusunah dinyatakan bahwa ziarah kubur adalah sunnah”.

    Selain riwayat diatas, masih ada lagi hadits Nabi saw. yang memerintahkan untuk ziarah kubur, tapi kami hanya ingin menambahkan dua hadits lagi, insya Allah  akan lebih jelas buat pembaca bahwa ziarah kubur dan pemberian salam terhadap ahli kubur itu adalah sunnah Rasulallah saw.

    Hadits dari Ibnu Abbas berkata: Ketika Rasulallah saw. melewati perkuburan di kota Madinah maka beliau menghadapkan wajahnya pada mereka seraya mengucapkan: ‘Semoga salam sejahtera senantiasa tercurah atas kalian wahai penghuni perkuburan ini, semoga Allah berkenan memberi ampun bagi kami dan bagi kalian. Kalian telah mendahului kami dan kami akan menyusul kalian’. (HR. Turmudzi).

    –  Hadits dari Aisyah ra.berkata:

    كَانَ النَّبِي .صَ. كُلَّمَا كَانَ لَيْلَتَهَا يَخْرُجُ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ إلَى الْبَقِيْعِ فَيَقُوْلُ:              
     السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَ ار قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ, وَاَتَاكُمْ مَا تُوْعَدُوْنَ غَدًا مُؤَجِّلُوْنَ,                    
     وَاِنَّا اِنْشَا ءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ اللهُمَّ اغْفِرْ ِلاَهْلِ بَقِيْعِ الْفَرْقَدْ (رواه المسلم)             


    Artinya: “Adalah Nabi saw. pada tiap malam gilirannya keluar pada tengah malam kekuburan Baqi’ lalu bersabda: ‘Selamat sejahtera padamu tempat kaum mukminin, dan nanti pada waktu yang telah ditentukan kamu akan menemui apa yang dijanjikan. Dan insya Allah kami akan menyusulmu dibelakang. Ya Allah berilah ampunan bagi penduduk Baqi’ yang berbahagia ini’”. (HR. Muslim).


    Ziarah kubur bagi wanita
    Golongan madzhab Wahabi/Salafi (pengikut paham syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab) melarang wanita ziarah kubur dengan berpegang kepada kalimat hadits yang diriwayatkan di kitab-kitab as-Sunan -kecuali Bukhori dan Muslim- yaitu: “Allah melaknat perempuan-perempuan yang menziarahi kubur” ( kitab Mushannaf Abdur Razzaq jilid 3 hal. 569). 

    Sebenarnya hadits ini telah dihapus (mansukh) dengan hadits yang menyebutkan bahwa ‘Aisyah ra. menziarahi kuburan saudaranya, yang diungkapkan oleh adz-Dzahabi dalam kitab Sunan al-Kubra, Abdurrazaq dalam kitab Mushannaf, al-Hakim an-Naisaburi dalam kitab Mustadrak Alas Shahihain dan hadits riwayat Imam Muslim (lihat catatan pada halaman selanjutnya ). 

    Begitu juga jika kita teliti lebih detail lagi, ternyata sanad hadits yang menyebutkan “Allah melaknat perempuan-perempuan yang menziarahi kubur” itu melalui tiga jalur utama: 1. Hasan bin Tsabit. 2. Ibnu Abbas dan 3. Abu Hurairah [ra]. 

    Ibnu Majah dalam kitab Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 502 menukil hadits tersebut melalui tiga jalur diatas.
    Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 3 menukil hadits tersebut melalui dua jalur yaitu Hasan bin Tsabit (Lihat jilid 3 halaman 442) dan Abu Hurairah (Lihat jilid 3 halaman 337/356). At-Turmudzi dalam kitab al-Jami’ as-Shahih jilid 2 halaman 370 hanya menukil dari satu jalur saja yaitu Abu Hurairah. Abu Dawud dalam kitab Sunan Abu Dawud jilid 3 halaman 317 hanya menukil melalui satu jalur saja yaitu Ibnu Abbas. 
    Sedangkan Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkan hadits itu sama sekali. Begitu juga –jika dilihat dari sisi jalur sanad haditsnya– tidak ada kesepakatan di antara para penulis kitab as-Sunan dalam menukil hadits tersebut.
    Ibnu Majah, Imam Ahmad bin Hanbal dan Turmudzi sepakat meriwayatkan melalui jalur Abu Hurairah. Sedangkan dari jalur Hasan bin Tsabit hanya dinukil oleh Ibnu Majah dan Imam Ahmad saja, sedangkan jalur Ibnu Abbas dinukil oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah.

    Dari jalur pertama yang berakhir pada Hasan bin Tsabit –yang dinukil oleh Ibnu Majah dan Imam Ahmad– terdapat pribadi yang bernama Abdullah bin Utsman bin Khatsim. Semua hadits yang diriwayatkan olehnya dihukumi tidak kuat/lemah. Hal itu sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Daruqi dari Ibnu Mu’in. Ibnu Abi Hatim sewaktu berbicara tentang Abdullah bin Utsman tadi menyatakan bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Utsman tidak dapat dijadikan dalil. An-Nasa’i dalam menjelaskan kepribadian Ibnu Usman tadi mengatakan: “Ia sangat mudah meriwayatkan (menganggap remeh periwayatan.-red) hadits” (Lihat kitab Mizan al-I’tidal jilid 2 halaman 459). Dan melalui jalur tersebut juga terdapat pribadi seperti Abdurrahman bin Bahman. Tidak ada yang meriwayatkan hadits darinya selain Ibnu Khatsim. Ibnu al-Madyani mengatakan: “Aku tidak mengenal pribadinya” (Lihat kitab Mizan al-I’tidal jilid 2 halaman 551).

    Dari jalur kedua yang berakhir pada Ibnu Abbas ra. terdapat pribadi seperti Abu Shaleh yang aslinya bernama Badzan.
    Abu Hatim berkata tentang dia: “Hadits-hadits dia tidak dapat dipakai sebagai dalil”. An-Nasa’i menyatakan: “Dia bukanlah orang yang dapat dipercaya”. Ibnu ‘Adi mengatakan: “Tak seorang pun dari para pendahulu yang tak kuketahui dimana mereka tidak menunjukkan kerelaannya (ridho) terhadap pribadinya (Badzan)” (Lihat kitab Tahdzib al-Kamal jilid 4 halaman 6).

    Dari jalur ketiga yang berakhir pada Abu Hurairah ra terdapat pribadi seperti Umar bin Abi Salmah yang an-Nasa’i mengatakan tentang dirinya: “Dia tidak kuat (dalam periwayatan .red)”. Ibnu Khuzaimah mengatakan: “Haditsnya tidak dapat dijadikan dalil”.  Ibnu Mu’in mengatakan: “Dia orang yang lemah”. Sedangkan Abu Hatim menyatakan: “Haditsnya tidak dapat dijadikan dalil” (Lihat kitab Siar A’lam an-Nubala’ jilid 6 halaman 133).

    Mungkin karena sanad haditsnya tidak sehat inilah akhirnya Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkan hadits tadi. Bukankah dua karya besar itu memiliki gelar shahih sehingga terhindar dari hadits-hadits yang tidak jelas sanadnya? Melihat hal-hal tadi maka hadits pelarangan ziarah kubur buat perempuan di atas tadi tidak dapat dijadikan dalil pengharaman.

    – Salah seorang ulama madzhab Wahabi/Salafi yang bernama syeikh Nashiruddin al-Albani pernah menyatakan tentang hadits pelaknatan penziarah wanita tadi dengan ungkapan berikut ini:
    “Di antara sekian banyak hadits tidak kutemui hadits-hadits yang menguatkan hadits tadi. Sebagaimana tidak kutemui hadits-hadits lain yang dapat memberi kesaksian atas hal tersebut. Hadits ini adalah penggalan dari hadits: “Laknat Allah atas perempuan-perempuan yang menziarahi kubur dan orang-orang yang menjadikannya (kuburan) sebagai masjid dan tempat yang terang benderang” yang disifati sebagai hadits lemah (Dha’if). Walau pun sebagian saudara-saudara dari pengikut Salaf (baca: Wahabi) suka menggunakan hadits ini sebagai dalil. Namun saya nasehatkan kepada mereka agar tidak menyandarkan hadits tersebut kepada Nabi, karena hadits itu adalah hadits yang lemah (Lihat kitab Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah wa Atsaruha as-Salbi fil Ummah halaman 260).

    Tetapi sayangnya sampai sekarang bisa kita lihat dan alami kaum wanita –pelaksana haji atau umrah di Makkah dan Madinah– , masih tetap dilarang oleh ulama Madzhab Wahabi untuk berziarah di kuburan Baqi’ (Madinah) dan di Ma’la (di Makkah), untuk menziarahi makam para keluarga dan sahabat Rasulallah saw.. Mereka menvonis saudara-saudara mereka sesama muslim dengan sebutan penghamba Kubur (Quburiyuun), bahkan mereka berkepala keras menyatakan bahwa ziarah kubur bagi perempuan adalah haram menurut ajaran Rasulallah saw dan para Salaf Sholeh ?

    Menurut ahli fiqh, adanya hadits yang melarang wanita ziarah kubur bila ini shohih, karena umumnya sifat wanita itu ialah lemah, sedikitnya kesabaran sehingga mengakibat- kan jeritan tangis yang meraung-raung (An-Niyahah), menampar pipinya sendiri dan perbuatan-perbuatan jahiliyah dikuburan itu, yang mana ini semua tidak dibenarkan oleh agama Islam. Begitu juga sifat wanita senang berhias atau mempersolek dirinya sedemikian rupa atau tidak mengenakan hijab sehingga dikuatirkan –dengan campur baurnya antara lelaki dan wanita– mereka ini tidak bisa menjaga dirinya dikuburan itu sehingga menggairahkan para ziarah kaum lelaki.
    Hal tersebut dipertegas dalam kitab I’anatut Thalibin jilid 2/142. Begitupun juga Al-Hafidz Ibnu Arabi (435-543H), pensyarah hadits Turmudzi dalam mengomentari masalah ini berkata:  "Yang benar adalah bahwa Nabi saw. membolehkan ziarah kubur untuk laki-laki dan wanita. Jika ada sebagian orang menganggapnya makruh bagi kaum wanita, maka hal itu dikarenakan lemahnya kemampuan wanita itu untuk bersikap tabah dan sabar sewaktu berada diatas pekuburan atau dikarenakan penampilannya yang tidak mengenakan hijab (menutup aurat nya) dengan sempurna".
    Kalimat semacam diatas juga dinyatakan dalam kitab at-Taajul Jami’ lil Ushul jilid 2 halaman 381, atau kitab Mirqotul Mafatih karya Mula Ali Qori jilid 4 halaman 248.

    Rasulallah saw. membolehkan dan bahkan menekankan kepada umatnya untuk menziarahi kubur, hal itu berarti mencakup kaum perempuan juga. Walau dalam hadits tadi Rasulallah saw. menggunakan kata ganti (Dhamir) lelaki, namun hal itu tidak lain dikarenakan hukum kebanyakan (Taghlib) pelaku ziarah tersebut adalah dari kaum lelaki. Ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Mula Ali Qori dalam kitab Mirqotul Mafatih jilid 4 halaman 248 dan at-Turmudzi dalam kitab al-Jami’ as-Shahih jilid 3 halaman 372 hadits ke-1056. Kalaupun kita harus berbicara tentang jumlah obyek yang diajak bicara (mukhatab), terbukti dalam tata bahasa Arab walau ada seribu perempuan dan lelaki hanya segelintir saja jumlahnya, maka kata ganti yang dipakai untuk berbicara kepada semua –yang sesuai dengan tata bahasa yang baik dan benar– yang hadir tadi adalah menggunakan kata ganti lelaki.  
    Jadi kesimpulannya ialah ziarah kubur itu tidak disunnahkan untuk wanita bila para wanita diwaktu berziarah melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama atau dimakruhkan seperti yang tersebut diatas, tapi kalau semuanya ini bisa dijaga dengan baik, maka tidak ada halangan bagi wanita tersebut untuk berziarah kubur seperti halnya kaum lelaki. Dengan demikian bukan ziarah kuburnya yang dilarang, tetapi kelakuan wanita yang berziarah itulah yang harus diperhatikan.

    Mari kita lanjutkan dalil-dalil mengenai ziarah kubur bagi wanita: 

    – Imam Malik, sebagian golongan Hanafi, berita dari Imam Ahmad dan kebanyakan ulama memberi keringanan bagi wanita untuk ziarah kubur. Mereka berdasarkan sabda Nabi saw. terhadap Aisyah ra. yang diriyatkan oleh Imam Muslim. Beliau saw. didatangi malaikat Jibril as. dan disuruh menyampaikan kepada Aisyah ra.sebagai berikut : 




    إنَّ رَبَّك بِأمْرِك أنْ تَـأتِيَ أهْلَ البَقِيْع وَتَسْتَغْفِرِلَهُمْ                   

    Artinya: “Sesungguhnya Tuhanmu menyuruhmu untuk menziarahi para penghuni perkuburan Baqi’ untuk engkau mintakan ampun bagi mereka”.

    Kata Aisyah ra; 'Wahai Rasulallah, Apa yang harus aku ucapkan bila berziarah pada mereka'? Sabda beliau saw. :


    قُوْلِيْ: السَّـلاَمُ عَلََى أهْـلِ الدِّيَـارِ مِنَ المُؤْمِنـِيْنَ وَالمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ الله المُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالمُسْتَأخِرِيْنَ, وَإنَّا إنْشَاءَ الله بِكُمْ لآحِقُوْنَ




    Artinya:Ucapkanlah; salam atasmu wahai penduduk kampung, dari golongan mukminin dan muslimin. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya pada kita bersama, baik yang telah terdahulu maupun yang terbelakang, dan insya Allah kami akan menyusul kemudian’ “. 



    Untuk lebih jelasnya hadits yang dimaksud diatas adalah bahwasanya Nabi saw. bersabda pada Aisyah ra.: 
    “Jibril telah datang padaku seraya berkata: ‘Sesungguhnya Tuhanmu menyuruhmu untuk menziarahi para penghuni perkuburan Baqi’ untuk engkau mintakan ampun bagi mereka.’ Kata Aisyah; ‘Wahai Rasulallah, apa yang harus aku ucapkan bagi mereka? Sabda beliau saw: ‘Ucapkanlah: Semoga salam sejahtera senantiasa tercurah bagi para penduduk perkuburan ini dari orang-orang beriman dan orang-orang Islam, semoga Allah merahmati orang-orang kami yang terdahulu maupun yang terkemudian, insya Allah kamipun akan menyusul kalian’ “. (HR.Muslim) 
    Dalam riwayat lain disebutkan: ‘Semoga salam sejahtera senantiasa tercurahkan bagi para penghuni perkuburan dari orang-orang beriman dan Islam, dan kamipun insya Allah akan menyusul kalian, kami berharap semoga Allah berkenan memberi keselamatan bagi kami dan kalian’.                                    
               
     Juga riwayat dari Abdullah bin Abi Mulaikah, bahwa pada suatu hari Aisyah datang dari pekuburan, maka dia bertanya: 
    “Ya Ummul Mukminin, darimana anda? Ujarnya: Dari makam, saudaraku Abdurrahman. Lalu saya tanyakan pula: Bukankah Nabi saw. telah melarang ziarah kubur? Benar, ujarnya, mula-mula Nabi melarang ziarah kubur, kemudian menyuruh menziarahinya”. ( Adz-Dzahabi dalam kitab Sunan al-Kubra jilid 4 halaman 131, Abdur Razaq dalam kitab Mushannaf Abdurazaq jilid 3 halaman 572/574 dan dalam kitab Mustadrak alas Shahihain karya al-Hakim an-Naisaburi jilid 1 halaman 532 hadits ke-1392). Adz-Dzahabi telah menyatakan kesahihannya sebagaimana yang telah tercantum dalam catatan kaki yang ia tulis dalam kitab Mustadrak karya al-Hakim an-Naisaburi tersebut. (Lihat: Mustadrak al-Hakim an-Naisaburi Jil:1 Hal: 374)  

    Dalam kitab-kitab itu juga diriwayatkan bahwa Siti Fathimah Az-Zahrah ra, puteri tercinta Rasulullah saw. hampir setiap minggu dua atau tiga kali menziarahi para syuhada perang Uhud, khususnya paman beliau Sayyidina Hamzah ra.

    Dalam kitab Sunan at-Tirmidzi disebutkan: “Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa hadits itu (larangan ziarah kubur bagi perempuan) diucapkan sebelum Nabi saw membolehkan untuk melakukan ziarah kubur. Setelah Rasulullah saw membolehkannya, laki-laki dan perempuan tercakup dalam kebolehan itu”. (Sunan At-TIrmidzi: 976)


    Aisyah ra. melakukan ziarah kubur, berarti apa yang dilakukan Aisyah adalah sebaik-baik dalil dalam mengungkap hakekat hukum penziarah kubur dari kalangan perempuan. Hal itu dikarenakan selain Aisyah sebagai istri Rasulallah saw. yang bergelar ummul mukminin (ibu kaum mukmin) sekaligus sebagai Salaf Sholeh. Karena Salaf Sholeh tidak hanya dikhususkan buat sahabat dari kaum lelaki saja, namun mencakup kaum perempuan juga (shahabiyah).
               
     Hadits dari Anas bin Malik berkata:  
                                                                                            
              عَنْ أَنَسٍ إبْنِ مَالِكٍ (ر) مَارَ النَّبِيِّ (ص) بِأَمْرَأَةٍ تَبْكِي   عِنْدَ قَبْرِ   فَقَالَ: إِتَّقِي اللهَ واصْبِرِي , فَقَالَتْ: إلَيْكَ عَنِّي فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ  بِمُصِيبَتِي وَلَمْ                                                  
    تَعْرِفْـهُ, فَقِيْلَ لَهَا إِنَّهُ النَّبِيِّ (ص) فَاتَتْ بَابَـهُ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ بَوَّابِـينَ فَقَالَتْ لَمْ أعْرِفُكَ, فَقَالَ: إِنَّمَا الصَّبْرُ     عِنْدَ صَدَمَةِ الأُولَى

                                         .
    Artinya: “Pada suatu hari Rasulallah saw. berjalan melalui seorang wanita yang sedang menangis diatas kuburan. Maka Nabi saw. bersabda: ‘Takut lah kepada Allah dan sabarlah’.  Dijawab oleh wanita itu:  ‘Tinggalkanlah aku dengan musibah yang sedang menimpaku dan tidak menimpamu!’ Wanita itu tidak tahu kepada siapakah dia berbicara. Ketika dia diberitahu, bahwa orang yang berkata padanya itu adalah Nabi saw., maka ia segera datang ke rumah Nabi saw. yang kebetulan pada waktu itu tidak dijaga oleh seorang pun. Kata wanita itu: ‘Sesungguhnya saya tadi tidak mengetahui bahwa yang berbicara adalah engkau ya Rasulallah. Sabda beliau saw.: “Sesungguh nya kesabaran itu hanyalah pada pukulan yang pertama dari datangnya musibah’.  (HR Bukhori dan Muslim). Al-Bukhari memberi terjemah (judul bab) untuk hadits ini dengan judul “Bab tentang ziarah kubur,” menunjukkan bahwa beliau tidak membedakan antara laki-laki dan wanita dalam berziarah kubur. ( Shohih Al-Bukhari 3/110-116). 

    Lihat hadits terakhir diatas ini, Rasulallah saw melihat seorang wanita dipekuburan dan tidak melarangnya untuk berziarah, hanya di anjurkan agar sabar menerima atas kewafatan anaknya (yang diziarahi tersebut).

    – Al-Imam Al-Qurthubi berkata : “Laknat yang disebutkan didalam hadits adalah bagi wanita-wanita yang memperbanyak ziarah karena bentuk lafadhnya menunjukkan mubalaghah (berlebih-lebihan)”. Dan sebabnya mungkin karena hal itu akan membawa wanita kepada penyelewengan hak suami, berhias diri belebihan dan akan memunculkan teriakan, raungan-raungan dan semisalnya.Jika semua hal tersebut tidak terjadi, maka tidak ada yang bisa mencegah untuk memberikan izin kepada para wanita untuk ziarah kubur, sebab mengingat mati diperlukan bagi laki-laki maupun wanita”. (Lihat: Al Jami’ li Ahkamul Qur`an).  
     Muhibbuddin at-Thabari pun dalam kitabnya yang berjudul ar-Riyadh an-Nadhirah jilid 2 halaman 330 menyebutkan bahwa: “ Suatu saat, ketika Umar bin Khatab (Khalifah kedua ) ra. bersama beberapa sahabatnya pergi untuk melaksanakan ibadah haji ditengah jalan ia berjumpa dengan seorang tua yang meminta tolong kepadanya. Sepulang dari haji kembali ia melewati tempat dimana orang tua itu tinggal dan menanyakan keadaan orang tua tadi. Penduduk daerah itu mengatakan: ‘Ia telah meninggal dunia’. Perawi berkata: Kulihat Umar bergegas menuju kuburan orang tua itu dan di sana ia melakukan shalat. Kemudian dipeluknya kuburan itu sambil menangis”.

    Nah, insya Allah jelas bagi kita bahwa ziarah kubur itu sunnah Rasulallah saw. dan berlaku baik bagi lelaki maupun wanita. Sebab hikmah ziarah kubur adalah untuk mendapat pelajaran dan ingat akhirat serta mendoakan ahli kubur agar mendapat ampunan dari Allah swt. Ziarah kubur yang dilarang adalah menyembah dan meminta-minta kepada penghuni kubur. Adapun hadits yang menyatakan larangan ziarah kubur bagi wanita itu (mengenai hadits larangan ini silahkan rujuk uraian diatas) telah dicabut/dihapus dengan dalil-dalil berziarah baik laki-laki maupun perempuan adalah sunnah.

    Yang lebih heran lagi kami pernah mendengar dari saudara muslim bahwa ada orang yang pergi ke tanah suci untuk menunaikan Haji atau Umrah tapi tidak mau ziarah pada junjungan kita Rasulallah saw., karena hal ini dianggap bid’ah sesat. Mungkin saudara-saudara kita ini mendapat kesalahan informasi tentang ziarah kubur. Kalau kita membaca keterangan tadi, banyak hadits shohih Rasulallah saw. yang menganjurkan kaum muslimin untuk berziarah, berdo’a untuk si mayit baik pada waktu sholat jenazah maupun pada waktu berziarah tersebut, dengan tujuan agar kita lebih mengingat pada Allah swt., akhirat serta kita saling doa mendoa antara kaum muslimin baik yang masih hidup maupun yang telah wafat. 
    Kalau kita disunnahkan ziarah kubur pada kaum muslimin, bagaimana kita bisa melupakan ziarah kubur makhluk Ilahi yang paling mulya dan taqwa yakni Rasulallah saw. Tanpa beliau kita tidak mengetahui syariat-syariat Islam,  juga dengan berdiri dimuka (makam) beliau saw. kita akan lebih konsentrasi untuk ingat pada Allah dan Rasul-Nya !.

    Adab berziarah dan berdo’a di depan (makam) Rasulallah saw.
    Sebagaimana yang telah kami kemukakan tadi, bahwa adab berziarah ke kuburan orang muslimin yang diajarkan oleh Rasulallah saw. yaitu menghadapkan wajah kita kekuburan itu kemudian memberi salam dan berdo’a. Tetapi golongan Wahabi/Salafi yang menjaga disekitar makam Rasulallah saw. sering membentak orang-orang yang sedang berziarah agar waktu berdo’a harus menghadap ke kiblat.  
    Padahal banyak fatwa ulama yang mengatakan, bahwa diperbolehkan bagi orang yang berziarah kemakam Rasulallah saw., berdiri mengucapkan do’a mohon kepada Allah swt. agar dikarunia kebajikan dan kebaikan apa saja yang di-inginkan, dan tidak harus menghadap kearah kiblat (Ka’bah). Berdiri seperti ini bukan bid’ah, bukan perbuatan sesat dan bukan pula perbuatan syirik. Para ulama telah menfatwakan masalah itu bahkan ada diantara mereka yang memandangnya mustahab/baik. 

    Masalah tersebut pada mulanya berasal dari peristiwa yang dialami oleh Imam Malik bin Anas ra., yaitu ketika beliau mendapat tegoran dari Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur di dalam masjid Nabawi di Madinah. Ketika itu Imam Malik menjawab: “Ya Amirul-Mu’minin, janganlah anda bersuara keras di dalam masjid ini, karena Allah swt. telah mengajarkan tatakrama kepada ummat ini dengan firman-Nya: ‘Janganlah kalian memperkeras suara kalian (dalam berbicara) melebihi suara Nabi….dan seterusnya (QS.Al-Hujurat:2). Allah swt juga memuji sejumlah orang dengan firman-Nya: ‘Sesungguhnya mereka yang melirihkan suaranya dihadapan Rasulallah…dan seterusnya(QS.Al-Hujurat:3). Begitu juga Allah swt. mencela sejumlah orang dengan firman-Nya: ‘Sesungguhnya orang-orang yang memanggil-manggilmu dari luar kamar…dan seterusnya’. (QS.Al-Hujurat :4). 
    Rasulallah saw adalah tetap mulia, baik selagi beliau masih hidup maupun setelah wafat. Mendengar jawaban itu Abu Ja’far terdiam, tetapi kemudian bertanya: ‘Hai Abu ‘Abdullah (nama panggilan Imam Malik), apakah aku harus berdo’a sambil menghadap Kiblat, atau menghadap (pusara) Rasulallah saw.?’. Imam Malik menjawab: ‘ Mengapa anda memalingkan muka dari beliau saw, padahal beliau saw adalah wasilah anda dan wasilah Bapak anda, Adam as, kepada Allah swt pada hari kiamat kelak? Hadapkanlah wajah anda kepada beliau saw dan mohonlah syafa’at beliau, beliau pasti akan memberi syafa’at kepada anda di sisi Allah swt. Allah swt telah berfirman: ‘Sesungguhnya jikalau mereka ketika berbuat dhalim terhadap dirinya sendiri (lalu segera) datang menghadapmu (Muhammad saw.)dan seterusnya’ ". (QS. An-Nisa:64) . (Kisah ini diriwayatkan oleh Al-Qadhi ‘Iyadh dengan isnadnya yang terdapat didalam kitabnya Al-Ma’ruf Bisy-Syifa Fit-Ta’rif pada bab Ziarah.) Banyak ulama yang menyebut peristiwa/riwayat diatas ini.

    Ibnu Taimiyyah sendiri dalam Iqtidha-us Shiratul-Mustaqim halaman 397, menuturkan apa yang pernah diriwayatkan oleh Ibnu Wahb mengenai Imam Malik bin Anas. “Tiap saat ia (Imam Malik) mengucapkan salam kepada Nabi saw., ia berdiri dan menghadapkan wajahnya ke arah pusara Nabi saw., tidak kearah kiblat. Ia mendekat, mengucap kan salam dan berdo’a, tetapi tidak menyentuh pusara dengan tangannya” (Mengenai riwayat menyentuh pusara silahkan baca bab Tawassul/Tabarruk di website ini—pen). 

    Imam Nawawi didalam kitabnya yang berjudul Al-Idhah Fi Babiz-Ziyarah mengetengahkan juga kisah itu. Demikian juga didalam Al-Majmu jilid VIII halalam 272.

    Al-Khufajiy didalam Syarhusy-Syifa menyebut, bahwa As-Sabki mengatakan sebagai berikut: “ Sahabat-sahabat kami menyatakan, adalah mustahab jika orang pada saat datang berziarah ke pusara Rasulallah saw. menghadapkan wajah kepadanya (Rasulallah saw) dan membelakangi Kiblat, kemudian mengucapkan salam kepada beliau saw., beserta keluarganya (ahlu-bait beliau saw.) dan para sahabatnya, lalu mendatangi pusara dua orang sahabat beliau saw. (Khalifah Abubakar dan Umar –radhiyallhu ‘anhuma). Setelah itu lalu kembali ketempat semula dan berdiri sambil berdo’a “. (Syarhusy-Syifa jilid III halaman 398). Lihat pula  Mafahim Yajibu An Tushahhah, oleh As-Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani, seorang ulama di Tanah Suci, Makkah. 
    Dengan demikian tidak ada ulama yang mengatakan cara berziarah sambil berdoa menghadap makam Rasulalallah saw, adalah haram, bid’ah sesat dan lain sebagainya, kecuali golongan Wahabi/Salafi dan pengikutnya. Lebih heran lagi muthowwik wahabi sekitar makam Rasulallah saw tsb. tidak berani melarang famili Raja Saud atau pejabat tinggi Saudi yang ziarah disana dan berdoa menghadap kemakam beliau saw. dan tidak menghadap kekiblat (untuk bukti klik situs www.abusalafy.com. fotonya raja Abdullah ketika ziarah kemakam Rasulallah saw). Mereka hanya berani melarang kepada para pendatang dari jamaah haji. Untuk melakukan amal ma'ruf dan nahi mungkar, maka seharusnya mereka melarang setiap orang baik itu Raja, President maupun rakyat biasa–  untuk tidak melaksanakan perbuatan yang mereka anggap wajib tersebut, jadi tidak membeda-bedakannya.

    Dalil-dalil yang melarang ziarah kubur dan jawabannya. 
    Golongan yang melarang ziarah kubur menukil dalil-dalil sebagai berikut:
    1. Fatwa Ibnu Taimiyah dalam kitab Minhaj as-Sunah jilid 2 halaman 441 menyatakan: “Semua hadits-hadits Nabi yang berkaitan dengan menziarahi kuburnya merupakan hadits yang lemah (Dzaif), bahkan dibuat-buat (Ja’li) ”.  
    Dan dalam kitab yang berjudul at-Tawassul wal Wasilah halaman 156 kembali Ibnu Taimiyah mengatakan: “Semua hadits yang berkaitan dengan ziarah kubur Nabi adalah hadits lemah, bahkan hadits bohong”. Ungkapan Ibnu Taimiyah ini di-ikuti secara fanatik oleh semua ulama Wahabi, termasuk Abdul Aziz bin Baz dalam kitab kumpulan fatwanya yang berjudul Majmuatul Fatawa bin Baz jilid: 2 halaman 754, dan banyak lagi ulama Wahabi lainnya.

    2.  Disamping dalil diatas, mereka juga berdalil dengan ayat al-Qur’an yang sama sekali tidak bisa diterapkan kepada kaum muslimin, yakni firman Allah swt. dalam surat at-Taubah:84: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendo’akan) dikuburnya”.  

    Kaum pengikut Wahabi menganggap bahwa ayat itu membuktikan akan pelarangan ziarah kubur secara mutlak. Padahal, mayoritas ulama Ahlusunah yang menafsirkan ayat tadi dengan tegas menyatakan bahwa ayat itu berkaitan dengan kuburan kaum munafik, bukan kaum muslim, apalagi kaum mukmin. Jadi ayat tersebut tidak berlaku jika penghuni kubur itu adalah seorang muslim dan mukmin sejati, apalagi jika penghuni kubur tadi tergolong kekasih (Wali) Allah swt..
    Al-Baidhawi dalam kitab Anwarut Tanzil jilid 1 hal.416 dan al-Alusi dalam kitab Ruhul Ma’ani jilid 10 hal.155 dalam menafsirkan ayat at Taubah:84 menyatakan bahwa ayat itu diturunkan untuk penghuni kubur yang tergolong kaum munafik dan kafir.

    Bagaimana mungkin kelompok Wahabi memutlakkannya, yang berarti mencakup segenap kaum muslimin secara keseluruhan, termasuk mencakup kuburan wali Allah? Apakah kaum Wahabi telah menganggap bahwa segenap kaum muslimin dihukumi sama dengan kaum kafir dan munafik? Apakah hanya yang meyakini akidah Wahabi yang dianggap muslim dan monoteis (Muwahhid) sejati? Pikiran semacam itu adalah pikiran yang dangkal sekali.  
    Kita ingin bertanya lagi pada golongan pengingkar itu; “Bagaimana dengan argumentasi hadits-hadits diatas dan hadits-hadits lainnya yang tercantum dalam kitab-kitab standart dan karya para ulama terkemuka Ahlusunah wal Jama’ah? Dalam kitab-kitab hadits disebutkan bahwa Nabi saw. bukan hanya tidak melarang umatnya untuk menziarahi kubur, bahkan beliau menganjurkan hal tersebut, guna mengingat kematian dan akherat. Hal itu dikarenakan dengan ziarah kubur manusia akan mengingat akhirat. Dan dengan itu akan meniscayakan manusia yang beriman akan semakin ingat dengan Tuhannya. Malah beliau saw. mengajarkan kepada kita bagaimana adab atau cara berziarah. Begitu juga beberapa fatwa para Imam madzhab fikih Ahlusunah wal Jama’ah yang membuktikan bahwa ziarah kubur disunnahkan.

    Apakah Ibnu Taimiyyah  dan golongan Wahabi serta pengikutnya akan meragukan keshahihan Shahih Muslim dan para perawi lainnya yang tersebut diatas, sehingga mereka mengatakan bahwa legalitas hadits ziarah kubur merupakan kebohongan? Jika menziarahi kuburan muslim biasa saja diperbolehkan secara syariat, lantas apa alasan mereka mengatakan bahwa menziarahi kubur manusia agung seperti Muhammad Rasulullah saw. yang merupakan kekasih sejati Allah pun adalah kebohongan? 
    Mengapa golongan pengingkar itu tidak menvonis Umar bin Khatab ra. yang shalat dan menangis didepan kuburan orang tua itu sebagai seorang penyembah kuburan atau amalan seorang musyrik? Mengapa mereka tidak mengatakan bahwa ummul mukminin Aisyah ra. dan Umar bin Khattab ra. telah melakukan hal yang tanpa dalil (bid’ah)? Mungkinkah khalifah kedua dan ummul mukiminin Aisyah melakukan syirik, perbuatan yang paling dibenci oleh Allah? Bukankah mereka berdua adalah tokoh dari Salaf Sholeh yang konon ajarannya akan di hidupkan kembali oleh pengikut Wahabi, lantas mengapa mereka ini berfatwa tidak sesuai dengan ajaran mereka berdua, dan tidak sesuai dengan ajaran Rasulallah saw.?  
    Jika benar bahwa kelompok Wahabi memiliki misi untuk menghidupkan kembali ajaran Salaf Sholeh maka hendaknya mereka membolehkan berziarah kubur, melaksana kan shalat di sisi kuburan atau menangis disamping kubur sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khattab (khalifah kedua)!

    3. Ada lagi dari golongan pengingkar yang melarang ziarah kemakam Nabi saw. dengan alasan hadits berikut ini: “Jangan susah-payah bepergian jauh kecuali ke tiga buah masjid; Al-Masjidul-Haram, masjidku ini (di Madinah) dan Al-Masjidul-Aqsha (di Palestina)”. 

    Sebenarnya hadits diatas ini berkaitan dengan masalah sembahyang, jadi bukan masalah ziarah kubur. Yang dimaksud hadits tersebut ialah ‘jangan bersusah-payah bepergian jauh hanya karena ingin bersembahyang di masjid lain, kecuali tiga masjid yang disebutkan dalam hadits itu’. Karena sembahyang disemua masjid itu sama pahalanya kecuali tiga masjid tersebut.
    Makna ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal yaitu Rasulallah saw. pernah bersabda: “Orang tidak perlu bepergian jauh dengan niat mendatangi masjid karena ingin menunaikan sholat didalamnya, kecuali Al-Masjidul-Haram (di Makkah), Al-Masjidul-Aqsha (di Palestina) dan masjidku (di Madinah) Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits ini terkenal luas (masyhur) dan baik.
    Hadits yang semakna diatas tapi sedikit perbedaan kalimatnya yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra. dan dipandang sebagai hadits baik dan masyhur oleh Imam Al-Hafidz Al-Haitsami yaitu: “Orang tidak perlu berniat hendak bepergian jauh mendatangi sebuah masjid karena ingin menunaikan sholat didalamnya kecuali Al-Masjidul-Haram, Al-Masjidul-Aqsha (di Palestina) dan masjidku ini (di Madinah). (Majma’uz-Zawa’id jilid 4/3). Dan beredar banyak hadits yang semakna tapi berbeda versinya.
    Dengan demikian hadits-hadits diatas ini semuanya berkaitan dengan sholat bukan sebagai larangan untuk berziarah kubur kepada Rasulallah saw. dan kaum muslimin lainnya!

    4.  Ada lagi pikiran yang aneh dari golongan pengingkar, yang mengatakan bahwa ziarah kubur dilarang pada masa awal perkembangan Islam karena masalah ini memang akan bisa menjatuhkan orang dalam bahaya kesyirikan dan kondisi keimanan seseorang. Jadi sebagai tindakan hati-hati sangatlah wajar jika kita kaum muslimin untuk tidak melakukan ziarah kubur. Lebih lanjut kata mereka: Sering terjadi  kekeliruan waktu Ziarah Kubur misalnya:
    -Mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk berziarah (bulan Sya’ban, idul Fithri dll)
    -Menaburkan bunga-bunga dan meletakkan pelepah pepohonan di atas pusara kubur. Adapun apa yang dilakukan Nabi saw. ketika meletakkan pelepah kurma di atas kubur adalah kekhususan untuk beliau dan berkaitan dengan perkara ghaib, karena Allah memperlihatkan kepada beliau keadaan penghuni kubur yang sedang disiksa.
    -Sujud, membungkuk ke arah kuburan kemudian mencium dan mengusapnya
    -Berdo’a kepada penghuni kubur. Begitu juga sering orang mempunyai persangkaan bahwa berdo’a di kubur itu lebih terkabulkan, sehingga memilih tempat tersebut
    -Memakai sandal ketika memasuki pekuburan
    -Duduk, sholat di atas kubur. Shalat diatas kuburan ini tidak diperbolehkan kecuali shalat jenazah dan Nabi saw. bersabda (Janganlah kalian sholat di atas kubur) 

    Jawabannya:
    Pemikiran-pemikiran seperti diatas dari golongan pengingkar sebagai alasan untuk mengharamkan atau melarang ziarah kubur adalah tidak berdasarkan dalil dari Sunnah Rasulallah saw., tidak lain berdasarkan pikiran, logika  dan angan-angan mereka sendiri. Begitu juga bila pemikiran diatas dijadikan alasan untuk melarang ziarah kubur maka hal itu akan berbenturan dengan hadits-hadits shohih Rasulallah saw yang membolehkan dan menganjurkan ziarah kubur, memberi salam dan berdo’a untuk dimuka makam ahli kubur, dan lain sebagainya (baca keterangan diatas dan uraian selanjutnya dibab ini atau bab tawassul/tabarruk di website ini).  

    Hadits Nabi saw yang menyebutkan ‘Dahulu saya melarang ziarah kubur, namun kini berziarahlah….’. jelas sekali bagi orang yang mau berpikir hukum yang lama yaitu ‘larangan ziarah kubur’ akan terhapus/mansukh dengan hukum yang baru yaitu ‘diperbolehkannya’  ziarah tersebut. Begitu juga adanya dalil-dalil shohih mengenai ziarah kubur yang telah kami kemukakan. Mengapa golongan pengingkar ini selalu takut-takut sendiri orang jatuh kedalam kesyirikan bila berziarah kekuburan? Sedangkan manusia yang paling taqwa dan mulia disisi Allah swt Muhammad Rasulallah saw telah menganjurkannya!!
    Apakah beliau saw. akan menganjurkan sesuatu amalan yang mengakibatkan kesyirikan atau kemungkaran? Apakah para sahabat Nabi saw. yang mulia dan tokoh dari para  Salaf Sholeh serta para pakar islam baik pada zaman Rasulallah saw., sahabat, tabi'in maupun pada zaman berikutnya yang berziarah kemakam Rasulallah saw, kemakam para sholihin serta bertawassul dan bertabarruk (baca bab tawassul/tabarruk dibuku ini) kepada mereka tidak mengerti hukum syari’at Islam?, dan hanya ulama dari pengikut madzhab Wahabi/Salafi saja yang memahaminya? Kami kira para pembaca yang budiman bisa menjawabnya dengan mudah sekali.

    Waktu-waktu tertentu untuk berziarah:
    Rasulallah saw tidak pernah mewajibkan maupun mengharamkan waktu-waktu tertentu untuk berziarah kubur, orang boleh berziarah pada waktu apapun baik itu malam, pagi, siang hari atau pada bulan Sya’ban, Idul Fihtri dan lain sebagainya. Mengapa justru golongan pengingkar ini yang melarangnya? Dalam syariat Islam telah diriwayat kan, adanya bulan dan hari yang mulia umpama, bulan-bulan Hurum/suci (Muharam, Dzul-Kiddah, Dzul-Hijjah, Rajab) begitu juga bulan Sya’ban, Ramadhan, hari raya idul fithri, hari Kamis, Jum’at dan lain sebagainya (mengenai hal ini silahkan baca pada bab amalan-amalan nishfu Sya’ban, disitus ini). Pada bulan dan hari tersebut, Allah swt lebih meluaskan Rahmat dan Ampunan-Nya kepada makhluk yang berdoa, beramal sholeh dan lain sebagainya, melebihi dari hari-hari atau bulan-bulan biasa. Dalam waktu-waktu yang mulia itu, kaum muslimin sempatkan pula untuk berziarah kekuburan kerabatnya atau para sholihin. Jadi tidak ada diantara para penziarah yang berfirasat atau mensyariatkan, hanya (khusus) pada bulan atau hari tertentu tersebut mereka berziarah kekuburan. Ini tidak lain hanya pikiran, karangan dan dongengan golongan pengingkar sendiri! Apakah mereka ini tahu hukumnya dalam Islam, orang yang melarang sesuatu amalan yang halal dan menghalalkan suatu amalan yang haram? Kalau sudah mengetahui hukumnya, mengapa masih sering berani menghukumi setiap amalan yang tidak sepaham dengannya, sebagai amalan munkar, haram, syirik dan lain sebagainya? Ingat firman Allah swt dalam surat An-Nahl:116; " Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘Ini halal dan ini haram’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah…".

    Golongan pengingkar ini sering mengharamkan, memunkarkan, mensesatkan suatu amalan yang tidak sepaham dengan mereka dengan alasan bahwa Nabi saw atau para sahabat tidak pernah melakukan mengapa kita melakukan hal itu. Kaedah seperti inilah yang sering digembar-gemborkan oleh mereka. Padahal Allah swt, berfirman dalam surat Al-Hasyr :7 :

    وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا

    Artinya: Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang daripadanya, maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr :7). Dalam ayat ini jelas bahwa perintah untuk tidak mengerjakan sesuatu itu adalah apabila telah tegas dan jelas larangannya dari Rasulallah saw. !

    Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan :  

    وَماَلَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا                                   

    Artinya: ‘Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakannya (oleh Rasulallah), maka berhentilah (mengerjakannya)’.

    Juga dalam hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh imam Bukhori: 

      اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ  فَاجْتَنِبُوْهُ         

    Artinya: ‘Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah dia' ! 

    Dalam hadits ini Rasulallah saw. tidak mengatakan:  
                                        وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
    Artinya:  ‘Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia'!

    Begitu juga syari’at Islam telah menyatakan adanya kehidupan ruh-ruh orang mukmin, yang telah wafat dialam barzakh bisa mengerjakan sholat, bisa menghadiri tempat kuburnya, terbang kemana-mana menurut kehendaknya, berdoa kepada Allah swt untuk para kerabatnya yang masih hidup, mendengar omongan orang yang hidup dan lain sebagainya (baca keterangan selanjutnya dan pada bab tawassul/tabarruk dibuku ini). Dengan adanya hadits-hadits tadi, disamping para penziarah berdoa kepada Allah swt untuk ahli kubur bukan berdoa kepada ahli kubur tetapi untuk ahli kubur juga bertawassul, bertabarruk dengan penghuni kubur, agar penghuni kubur itu ikut berdoa kepada Allah swt untuk penziarah itu.

    Menaburkan bunga, menanam pelepah pohon:
    Dengan adanya hadits-hadits tentang kehidupan ruh-ruh itu itu, para penziarah ada yang menaburkan bunga diatas kuburan, tidak lain hanya sebagai penghormatan atau kecintaan kepada ahli kubur itu, sebagaimana orang yang masih hidup yang sering antara satu dan lain memberi bunga untuk penghormatan. Itu semua tidak ada salahnya, selama penghormatan kepada manusia baik yang hidup maupun yang telah mati tidak dibarengi dengan keyakinan, bahwa obyek yang dihormati itu memiliki sifat ketuhanan. Begitu juga menaruh atau menanam pelepah diatas kuburan, juga tidak ada salahnya. Nabi saw sendiri telah mencontohkannya didalam haditsnya, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan lain-lain dari Ibnu Abbas ra. Dalam hadits itu Nabi saw minta pelepah pucuk kurma, lalu dibelahnya satu ditanamkannya kepada satu kubur dan satu lagi pada kubur yang lain, dengan berdoa semoga mereka berdua diberi keringanan (dari siksa kubur) selama pelepah ini belum kering.

    Dengan adanya hadits itu, umat beliau saw juga mencontoh perbuatan beliau saw yaitu, menanamkan pelepah pohonan diatas kubur sambil berdoa kepada ahli kubur. Dalam hadits itu Nabi saw tidak melarang atau menyuruh umatnya untuk berbuat seperti beliau saw, begitu juga beliau saw tidak mengatakan perbuatan itu hanya khusus untuk beliau saw! Ada lagi orang mengatakan, yah, itu Nabi yang mengerjakannya tetapi kita tidak boleh menirunya. Omongan seperti ini adalah karangan mereka! Beliau saw adalah sebagai contoh dari umatnya, bila hal tersebut dilarang untuk umatnya, maka sudah pasti beliau saw memberitahukan bahwa perbuatan tersebut khusus untuk beliau. Dengan demikian, penanaman pelepah tersebut mungkin ada hikmahnya, Allah dan Rasul-Nya yang mengetahui. Kalau tidak demikian halnya, mengapa beliau tidak cukup mendoakan ahli kubur itu saja, tanpa harus meletakkan daun pelepah? Malah ada hadits shohih, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori bahwa Buraidah Aslami berpesan agar pada kuburnya ditanamkan dua pucuk kurma. Nah, apa salahnya kalau orang meniru perbuatan Rasulallah saw tersebut? Pertanyaan lagi terhadap golongan pengingkar, mengapa mereka melarang perbuatan itu, sedangkan Nabi saw tidak melarang perbuatannya tersebut bila ditiru oleh umatnya? Apakah Buraidah Aslami waktu berwasiat itu, tidak mengerti hukum syariat Islam?

    Berdiri secara khidmat, atau berbuat tawadhu’ (rendah diri) dan sopan dihadapan kuburan,
    Ini tidak ada salahnya, selama perbuatan itu sebagai ta’dhim/ penghormatan saja terhadap ahli kubur dan bukan sebagai ibadah. Begitu juga mencium atau mengusap-usap kuburan, tidak ada salahnya selama niatnya sebagai tabarruk/pengambilan barokah (baca bab Tabarruk/Tawassul). Apakah golongan pengingkar ini masih ingat ayat al-qur’an yang menyebutkan, tentang sujudnya para malaikat kepada Adam as dan sujudnya saudara-saudara Yusuf as kepada Nabi Yusuf? Semua ahli tafsir mengatakan, bahwa sujud di ayat itu sebagai sujud penghormatan, bukan sebagai ibadah kepada obyek yang dihormati. Kalau sujud disitu tidak dicela oleh Allah swt, karena tidak lain hanya merupakan penghormatan, mengapa golongan pengingkar berani mengharamkan sampai berani mensyirikkan orang yang berdiri khidmat sebagai peng- hormatan dihadapan kuburan Rasulallah saw, para sahabat atau para wali? Semua amalan itu tergantung dari niatnya....(hadits shohih), kalau niat orang itu untuk penghormatan atau bertabarruk kepada ahli kubur, maka tidak ada masalahnya, tetapi kalau niatnya beribadah kepada kuburan, maka inilah yang tidak dibolehkan oleh syariat. Sama halnya orang yang rukuk dan sujud dimuka bangunan dari batu yaitu Ka’bah, bila dia rukuk atau sujud menganggap sebagai ibadah kepada Ka’bah, maka akan hancurlah keimanannya, karena ibadah hanya ditujukan kepada Allah swt! Bila ada penziarah kubur berkeyakinan, bahwa ahli kubur (obyek yang di ziarahi) itu bisa merdeka (tanpa izin Allah swt) memberi syafaat pada penziarah kubur, keyakinan inilah yang dilarang oleh agama. Jadi sekali lagi semua itu terletak pada keyakinan seseorang. Kita tidak boleh mengharamkan ziarah kubur, karena melihat secara lahiriyah perbuatan perorangan, atau karena situasi lokasi dikuburan itu banyak kemungkaran yang terjadi.

    Al-Allamah syeikh Ibnu Hajar ditanya tentang ziarah kemakam para wali, padahal dikuburan sana sering terjadi bercampurnya lelaki dan wanita, menyalakan lampu secara berlebih-lebihan dan lain sebagainya. Beliau menjawab, ‘Ziarah kubur para wali dan melakukan perjalanan kesana, merupakan pendekatan diri yang dihukumi sunnah. Adapun mengenai perkara-perkara yang bid’ah atau yang diharamkan (yang terjadi disana) tidak bisa ditinggalkan. Justru menjadi kewajiban setiap manusia untuk tetap melakukan ibadah, dan mengingkari bid’ah, dan melarangnya jika memang memungkinkan’. (Imam Nawawi, Al-Fatawi Al-Kubro juz.II hal.24). Dengan demikian kita diwajibkan untuk melarang (kalau ini memungkinkan) perbuatan yang melanggar syariat dilokasi kuburan, tetapi bukan ziarah kuburnya yang dilarang, karena ziarah kubur adalah sejalan dengan hukum syariat Islam! 

    Berdoa dipekuburan:
    Cukup banyak riwayat hadits bahwa Rasulallah saw dan para sahabatnya ketika ziarah kubur mendoakan dan memberi salam kepada ahli kubur dan berdoa juga untuk diri- nya. Begitu juga banyak riwayat bahwa para sahabat, para salaf dan khalaf ketika ziarah (makam) Rasulallah saw, para sholihin sambil tawassul, bertabarruk kepada mereka. Allah swt. akan mengabulkan do’a para hamba-Nya dimanapun dia berada, tetapi bila kita berdo’a disekitar Ka’bah, Maqam Ibrahim dan tempat-tempat lain yang mulia disisi Allah swt. termasuk juga disekitar kuburan Rasulallah saw., kuburan para Nabi lainnya, para sahabat Rasulallah saw. dan para kaum sholihin yang pribadi mereka di muliakan oleh Allah swt.harapan cepat terkabulnya do’a lebih besar, daripada kalau kita berdo’a kepada Allah swt. dirumah atau dipasar. Banyak riwayat yang menceriterakan tempat-tempat mustajab do’a, jadi tidak semua tempat sama ! 

    Syari’at Islam telah menyatakan adanya kehidupan ruh-ruh orang mu’min yang telah wafat dialam barzakh (bisa mengerjakan sholat, bisa menghadiri tempat kuburnya, terbang kemana-mana menurut kehendaknya, berdo’a kepada Allah swt. untuk para kerabatnya yang masih hidup, mendengar omongan orang yang hidup dan lain sebagainya baca keterangan selanjutnya dibab ini dan pada bab tawassul/tabarruk diwebsite ini.
    Kalau ruhnya orang mu’min biasa saja bisa berbuat demikian, apalagi dengan Ruhnya Rasulallah saw., para Nabi, para wali, dan kaum sholihin. Dengan adanya hadits-hadits itu, para penziarah berdo’a kepada Allah swt. untuk ahli kubur tersebut bukan berdo’a kepada ahli kubur tetapi untuk ahli kubur juga bertawassul, bertabarruk dengan penghuni kubur itu,  agar penghuni kubur itu ikut berdo’a kepada Allah swt.untuk penziarah itu. Untuk keterangan lebih mendetail silahkan rujuk ke bab Tawassul/Tabarruk di website ini.

    Memakai sandal di kuburan:
    Para ulama berbeda pendapat hukumnya. Kebanyakan ulama berpendapat tak ada salahnya berjalan di pekuburan dengan memakai terompah dan ada lagi ulama yang memakruhkan memakai terompah yang mewah bila tidak ada udzurnya (banyak duri dll). Jureir bin Ibnu Hazim berkata: ‘Saya melihat Hasan dan Ibnu Sirin berjalan diantara kubur-kubur dengan memakai terompah’.

    Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Muslim, Abu Daud dan Nasa’i dari Anas bin Malik ra. bahwa Nabi saw. bersabda: “Seorang hamba bila ia telah diletakkan dalam kuburnya dan teman-temannya telah berpaling, maka sesungguhnya ia (si mayyit) mendengar bunyi terompah-terompah mereka”.
    Hadits ini sebagai alasan atau dalil dibolehkannya berjalan di kuburan memakai terompah. Karena tidaklah akan didengar oleh simayyit bunyi terompah itu jika tidak dipakai!

    Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal telah menganggap makruh memakai terompah Sibtit terompah mewah dipekuburan, berdasarkan riwayat Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah dari Basyir bekas budak Nabi saw. yang berkata: “Rasulallah saw. melihat seorang lelaki yang berjalan di pekuburan dengan berterompah, maka sabdanya; ‘Hai orang yang berterompah Sibtit, lemparkanlah terompahmu itu’!. Lelaki itu pun menoleh, dan demi dikenalnya Rasulallah saw. maka ditanggalkannya terompahnya lalu dilemparkannya”. Imam Ahmad mengatakan makruh ialah jika tidak ada udzur. Maka jika terdapat sesuatu keudzuran yang mengharuskan seseorang buat memakai terompah misalnya karena banyak duri atau najis, lenyaplah hukum makruh itu !!

    Berkata Khathabi: “Tampaknya hal itu dimakruhkan ialah karena menunjukkan kemewahan, sebab terompah Sibtit itu biasanya dipakai oleh golongan mampu yang bermewah-mewah. Lalu katanya lagi: ‘Maka Keinginan Nabi saw. hendaklah memasuki pekuburan itu dengan sikap tawadhu’ (rendah diri) dan berpakaian seperti orang khusyu’ “.
    Dengan adanya dalil-dalil diatas para pembaca bisa menilai sendiri apakah benar komentar golongan pengingkar yang mengharamkan orang yang pakai sandal di pekubur
    an? Hukum makruhnya saja masih belum mutlak!

    Duduk, sholat diatas kubur:
    Duduk diatas kubur, dianggap kurang penghargaan terhadap penghuni kubur, maka dari itu para ulama berbeda pendapat juga waktu menerangkan hadits Rasulallah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ahmad, Abu Daud dan lainnya dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw. bersabda: “Lebih baik jika seseorang diantaramu duduk diatas bara panas hingga membakar pakaiannya dan tembus kekulitnya daripada ia duduk diatas kubur ”. Hadits ini malah bisa dijadikan dalil bahwa orang yang telah wafat layak untuk dihormati, bila tidak demikian halnya, maka tidak perlu adanya hadits yang memakruhkan untuk duduk diatas pusara kubur.
    Jumhur (pada umumnya) ulama memakruhkan hal itu, ada lagi yang membolehkan dan ada lagi yang mengharamkan. Untuk mempersingkat halaman marilah kita ambil dalil dari mayoritas ulama yang memakruhkan, antara lain:
    Imam Nawawi berkata: “Melihat gelagat ucapan Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm, begitu pun golongan terbesar dari kawan-kawan sealiran, dimakruhkan duduk dikubur, maksudnya larangan itu adalah buat makruh, sebagaimana biasa terdapat dalam pengertian fukaha, bahkan banyak diantara mereka yang menyatakannya dengan tegas. Ulasnya pula: Demikian pula halnya pendapat jumhur ulama, termasuk didalamnya Nakh’i, Laits, Ahmad dan Abu Daud’. Imam Nawawi melanjutkan; Juga sama makruh hukumnya, bertelekan diatasnya dan bersandar padanya”.
    Sebaliknya Ibnu Umar dari golongan sahabat, Imam Abu Hanifah,  dan Imam Malik menyatakan tidak ada salahnya (boleh) duduk di kubur. Sedangkan pendapat yang mengharamkan ialah Ibnu Hazmin. (Keterangan diatas mengenai memakai sandal dan duduk diatas kubur dinukil dari kitab Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq jilid 4 cet.pertama th 1978 hal.175 dan 181).

    Sedangkan hadits ,riwayat Imam Bukhori, mengenai membina masjid diatas (bukan disisi) kubur Mereka (Yahudi dan Nasrani) itu, jika ada  seorang yang sholeh di- antara mereka meninggal, mereka binalah diatas makamnya sebuah masjid dan mereka buat didalamnya patung-patung....sampai akhir hadits”dan hadits lainnya tentang sholat diatas kuburan, itu masih belum jelas apakah pelarangan (tempat ibadah dan arah kiblat) menjurus kepada hukum haram ataupun hanya sekedar makruh (tidak sampai pada derajat haram) saja. Hal itu dikarenakan Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya (lihat kitab Shahih al-Bukhari jilid 2 hal.111) dimana beliau mengumpul- kan hadits-hadits semacam itu ke dalam topik “Bab apa yang dimakruhkan dari menjadikan masjid di atas kuburan” (Bab maa yukrahu min ittikhodz al-Masajid ‘alal Qubur) dimana ini meniscayakan bahwa hal itu sekedar pelarangan yang bersifat makruh saja yang selayaknya dihindari, bukan mutlak haram.  Begitu juga hadits diatas itu jelas makruh membina masjid atau sholat diatas kuburan bukan disisi kuburan.
    Larangan Nabi saw. dalam hadits tadi dapat diambil suatu pelajaran bahwa kaum Yahudi dan Nasrani telah menjadikan kuburan para nabi dan manusia sholeh dari mereka bukan hanya sebagai tempat ibadah melainkan sekaligus sebagai kiblat (arah ibadah). Lainnya halnya dengan orang muslimin yang mengambil tempat sholat disisi kuburan orang sholeh hanya sebagai tabarrukan (pengambilan barokah) bukan sebagai arah kiblat.

    Imam Syafi’i dalam kitabnya Al Umm bab ‘Pekerjaan setelah penguburan’ mengatakan: “Saya memandang makruh membangun masjid di atas kuburan, atau diratakan kemudian sholat diatasnya. Namun apabila ia telah sholat, maka ia tidak mengapa, tapi ia telah berbuat yang tidak baik”.

    Memahami omongan imam Syafi'i, bahwa sholat diatas kuburan adalah makruh jadi tidak sampai kederajat haram. Begitu juga yang dimakruhkan adalah sholat diatas kuburan bukan disisi kuburan. Kalau golongan pengingkar tetap bersikeras mengharamkan sholat disisi atau menghadap kuburan dan lain sebagainya seperti yang telah dikemukakan, kami ingin bertanya kepada mereka: Dimana letak kuburan Rasulallah saw., khalifah Abubakar dan khalifah Umar bin Khattab [ra], apakah tidak terletak didalam masjid Nabawi? Mengapa ulama-ulama mereka yang di Madinah membiarkan orang muslimin sholat dihadapan, dibelakang, disamping kuburan tersebut? Malah kebanyakan kaum muslimin ingin sholat dekat atau disekitar kuburan Rasulallah saw. dan dua sahabatnya itu, sebagai tabarukkan. Keterangan lebih mendetail, silahkan baca halaman selanjutnya mengenai membina masjid disisi kuburan dan memberi penerangan dikuburan diwebsite ini. Wallahu a’lam

    Pembacaan Al-Qur’an di kuburan dan hadiah pahala bacaan untuk orang yang telah wafat


    Membaca Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan untuk orang yang telah wafat adalah pendapat jumhur (umum) dari golongan Ahlus-Sunnah. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal dan segolongan dari sahabat Imam Syafi’i mengatakan bahwa pahalanya akan sampai kepada si mayit. Si pembaca sebaiknya mengucapkan do’a setelah pembacaan Al-Qur’an: ‘Ya Allah sampaikanlah pahala seperti pahala bacaan saya itu kepada si Anu’. 



    Marilah kita ikuti ,berikut ini, wejangan para pakar Islam mengenai pahala bacaan untuk orang yang telah wafat.

    Berkata Muhamad bin Ahmad al-Marwazi: “Saya mendengar Ahmad bin Hambal berkata: ‘Jika kamu masuk kepekuburan, maka bacalah Fatihatul kitab, al-ikhlas, al-Falaq dan an-Nas dan jadikanlah pahalanya untuk para penghuni kubur. Maka sesungguhnya pahala itu sampai kepada mereka. Tetapi yang lebih baik adalah agar si pembaca itu berdoa sesudah selesai dengan: ‘Ya Allah, sampaikanlah pahala ayat yang telah aku baca ini kepada si fulan….’”.(Hujjatu Ahlis Sunnah Wal-Jamaah hal.15).

    Ibnu ‘Ukeil berkata: “Jika seseorang melakukan amal kebaikan seperti sholat, puasa dan membaca Al-Qur’an dan dihadiahkannya –artinya pahalanya diperuntukkan bagi mayat Muslim– maka pahala itu (sebaiknya) didahului oleh niat yang segera disertai dengan perbuatan”. Pendapat beliau ini diperkuat juga oleh Ibnul Qayyim, disetiap negeri dan membaca Al-Qur’an lalu menghadiahkan kepada orang-orang yang telah meninggal diantara mereka, dan tak seorangpun yang membantahnya, hingga telah merupakan ijma (kesepakatan)”.

    Berkata Ibnul Qayyim: “Ibadat itu dua macam; mengenai harta (maliyah) dan mengenai badan (badaniyah). Dengan sampainya pahala sedekah, syara’ mengisyaratkan sampainya pada sekalian ibadat yang menyangkut harta, dan dengan sampainya pahala puasa, di-isyaratkan pula sampainya sekalian ibadah badaniyah. Kemudian dinyata kan pula sampainya pahala ibadah haji, suatu gabungan dari ibadah maliyah dan badaniyah. Maka ketiga macam bentuk ibadah itu –jelaslah sampainya (hadiah pahala)– baik dengan keterangan dari nash maupun dengan jalan perbandingan (Qiyas). (keterangan pembacaan Al-Qur’an kami nukil dari kitab Fiqih Sunnah oleh Sayid Sabiq jilid 4 hal. 217-218 cet. pertama th.1978). 

    Menurut madzhab Hanafi, setiap orang yang melakukan ibadah –baik berupa do’a, istiqhfar, shadaqah, tilawatul Qur’an, dzikir, shalat, puasa, thawaf, haji, ‘umrah maupun bentuk-bentuk ibadah lainnya yang bersifat ketaatan dan kebaktian– dan berniat menghadiahkan pahalanya kepada orang lain, baik yang masih hidup atau yang telah wafat, pahala ibadah yang dilakukannya itu akan sampai kepadamereka dan juga akan diperolehnya sendiri. Demikianlah sebagaimana disebut dalam Al-Hidayah, Al-Bahr dan kitab-kitab lainnya. Di dalam kitab Al-Kamal terdapat penjelasan panjang lebar mengenai itu. 

    Ditinjau dari dalil Ijma’ (sepakat) ulama dan Qiyas bahwa do’a dalam sholat jenazah akan bermanfaat bagi mayit, bebasnya hutang mayit yang di tanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga (HR.Ahmad dari Abi Qatadah) dan lain sebagainya, semuanya ini bisa bermanfaat bagi mayit. Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ada halangan sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta atau membebaskan hutang untuk orang lain diwaktu hidupnya dan setelah wafatnya. Begitu juga menghadiahkan pahala kurban untuk orang yang belum sempat berkurban, padahal kurban adalah melalui menumpahkan darah. 

    Begitu juga kita perhatikan arti fardhu kifayah, dimana sebagian orang bisa mewakili sebagian yang lain. Persoalan menghadiahkan pahala itu boleh/ mustahab, jadi bukan menggantikan pahala, sebagaimana seorang buruh tidak boleh digantikan orang lain, tapi gajiannya/upahnya boleh diberikan kepada orang lain jika ia mau. Islam telah memberikan penjelasan sampainya pahala ibadah badaniyyah seperti membaca Al-Qur’an dan lainnya diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa adalah menahan diri dari yang membatalkan disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayit. Jika demikian bagaimana mungkin tidak sampainya pahala membaca Alqur’an yang berupa perbuatan dan niat juga? 
    Hubungan melalui agama merupakan sebab yang paling besar bagi sampainya manfaat orang Islam kepada saudaranya dikala hidup dan sesudah wafatnya. Bahkan do’a orang Islam dapat bermanfa’at untuk orang Islam lain. Al-Qur’an tidak menafikan seseorang mengambil manfaat dari usaha orang lain. Adapun amal orang lain adalah miliknya, jika orang lain tersebut menghadiahkan amalnya untuk dia, maka pahalanya akan sampai kepadanya bukan pahala amalnya. Allah swt. menjelaskan bahwa Dia tidak menyiksa seseorang karena kesalahan orang lain, dan seseorang tidak mendapatkan kebahagiaan kecuali dengan usahanya sendiri. Dan dalam firman-Nya itu, Allah swt. tidak menyatakan bahwa orang tidak dapat mengambil manfaat kecuali dari usahanya sendiri. Ini tidak lain menunjukkan keadilan Allah swt.


    – Ibnu Taimiyyah didalam Fatawa-nya mengatakan: Adalah benar bahwa orang yang telah wafat beroleh manfaat dari semua ibadah jasmaniah seperti shalat, puasa, membaca Al-Qur’an dan lain-lain –yang dilakukan orang yang masih hidup baginya. Ia (si mayit) pun beroleh manfaat juga dari ibadah maliyah seperti shadaqah dan sebagainya. Semua ini sama halnya jika orang yang masih hidup berdo’a dan beristiqhfar baginya. Mengenai ini para Imam madzhab sepakat.

    Ibnu Taimiyah mengatakan juga: "Sesungguhnya mayit itu dapat beroleh manfaat dengan bacaan Al-Qur'an sebagaimana dia beroleh manfaat dengan ibadah-ibadah kebendaan seperti sedekah dan yang seumpamanya" (Yasaluunaka fid din wal hayat jilid 1/442) 

    Berkata Syeikh Ali bin Muhamad bin Abil Iz:  “Adapun membaca Al-Qur’an dan menghadiahkan (pahala)nya kepada orang mati secara sukarela dengan tanpa upah, maka pahalanya akan sampai kepadanya sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji”. (Syarah Aqidah Thahawiyah hal.457)

    Berkata Dr.Ahmad  Syarbasi : “Sesungguhnya jumhur ulama telah menyebutkan bahwa bacaan Al-Qur’an Karim dapat memberi manfaat kepada mayit atau sampai pahala bacaan itu kepadanya. Dan terhadap yang demikian sekelompok ulama yang lain tidak menyetujui. Dan menurut mereka yang menyukai hal tersebut, akan menjadi bagus jika si pembaca berdoa sesudah selesai dengan: ‘Ya Allah, sampaikanlah seumpama pahala ayat yang telah aku baca kepada si fulan atau fulanah’”. (Yasaluunaka fid din wal hayat jilid 111/413).

      Ibnul Qayyim juga berkata dalam kitabnya Ar-Ruh: “Al-Khallal dalam kitabnya Al-Jami’ sewaktu membahas ‘Bacaan disamping kubur’, berkata: Menceriterakan kepada kami Abbas bin Muhamad ad-Dauri, menceriterakan kepada kami Yahya bin Mu’in, menceriterakan kepada kami Mubassyar al-Halabi, menceriterakan kepada kami Abdurrahman bin Ala’ bin al-Lajlaj dari bapaknya, dia berkata : Berkata bapakku: ‘Jika aku telah mati, maka letakkanlah aku diliang lahad dan ucapkanlah Bismillah wa ala sunnati Rasulillah dan ratakanlah tanah atasku dan baca permulaan al-Baqarah disamping kepalaku karena sesungguhnya aku mendengar Abdullah bin Umar mengatakan yang demikian. Ibnul Qayyim ini didalam kitab dan halaman yang sama juga mengutip ucapan Al-Khallal:
    “Mengkabarkan kepadaku Hasan bin Ahmad al-Warraq, menceriterakan kepadaku Ali bin Musa al-Haddad dan dia adalah seorang yang sangat jujur, dia berkata: ‘Pernah aku bersama Ahmad bin Hambal dan Muhamad bin Qudomah al-Jauhari menghadiri jenazah, maka tatkala mayit itu telah dimakamkan, seorang lelaki yang kurus duduk disamping kubur (sambil membaca Al-Qur’an). Melihat itu berkatalah Imam Ahmad kepadanya: ‘Hai, sesungguhnya membaca Al-Qur’an disamping kubur itu bid’ah’! Maka tatkala kami keluar dari kubur berkatalah Muhamad bin Qudomah kepada Ahmad bin Hambal: ‘Wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapatmu tentang Mubassyar al-Halabi? Imam Ahmad menjawab: ‘Beliau orang yang tsiqah (terpercaya), apakah engkau ada meriwayatkan sesuatu darinya? Muhamad bin Qudomah berkata: ‘Ya, mengkabarkan kepadaku Mubassyar dari Abdurrahman bin Ala’ bin al-Lajlaj dari bapaknya bahwa dia berwasiat apabila telah dikuburkan agar dibaca akan disamping kepalanya permulaan surat al-Baqarah dan akhirnya, dan dia berkata: Aku telah mendengar Ibnu Umar berwasiat dengan yang demikian itu’. Mendengar riwayat tersebut Imam Ahmad berkata: ‘Kembalilah dan katakan kepada lelaki itu agar diteruskan bacaan Al-Qur’annya’”.

      Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah juga berkata: "Sesuatu yang paling utama dihadiahkan kepada mayit adalah sedekah, istighfar, berdoa untuknya dan berhaji atas nama dia. Adapun membaca Al-Qur'an dan menghadiahkan pahalanya kepada si mayit dengan cara sukarela tanpa imbalan, maka akan sampai kepadanya, sebagaimana pahala puasa dan haji juga akan sampai kepadanya"(Yasaluunaka fid din wal hayat jilid 1/442) 

    Berkata Syeikh Hasanain Muhamad Makhluf ,mantan mufti Mesir, : “Tokoh-tokoh madzhab Hanafi berpendapat bahwa tiap-tiap orang yang melakukan ibadah baik sedekah atau membaca al-Qur’an atau selain yang demikian daripada bermacam-macam kebaikan, boleh baginya menghadiahkan pahalanya kepada orang lain dan pahalanya itu akan sampai kepadanya”.

    Berkata Syeikh Ali Ma’shum: “Dalam madzhab Maliki tidak ada khilaf dalam hal sampainya pahala sedekah kepada mayit. Yang ada khilafnya adalah masalah boleh tidak- nya membaca Al-Qur’an untuk mayit.  Menurut dasar madzhab, hukumnya makruh. Namun ulama-ulama mutaakhhirin berpendapat boleh dan itulah yang diamalkan. Dengan demikian, maka pahala bacaan tersebut sampai kepada mayit dan Ibnu Farhun menukil bahwa pendapat inilah yang rojih (kuat)”. (Hujjatu Ahlis Sunnah wal-jamaah hal.13).

     Berkata Allamah Muhamad al-Arobi: “Sesungguhnya membaca Al-Qur’an untuk orang-orang yang sudah meninggal hukumnya boleh dan sampai pahalanya kepada mereka menurut jumhur fuqaha Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah, walaupun dengan adanya imbalan berdasarkan pendapat yang tahqiq”. (Majmu’ Tsalatsi rosaail).

    Berkata Imam Qurtubi : “Telah ijmak ulama atas sampainya pahala sedekah untuk orang-orang yang sudah wafat, maka seperti itu pula pendapat ulama dalam hal bacaan Al-Qur’an, doa dan istiqfar karena masing-masingnya termasuk sedekah dan dikuatkan hal ini oleh hadits: ‘Setiap kebaikan adalah sedekah’. Disini tidak dikhususkan sedekah itu dengan harta”. (Tadzkirah Al-Qurtubi hal.26).

    Berkata Imam Sya’bi: “Orang-orang Anshar jika ada diantara mereka yang wafat, maka mereka berbondong-bondong kekuburnya sambil membaca Al-Qur’an disamping- nya”. (ucapan Sya’bi ini dikutip oleh Ibnul Qayim dalam kitabnya Ar-Ruh hal.13).

    Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang bacaan Al-Qur’an untuk mayit dan juga tentang tasbih, tahmid, tahlil dan takbir jika dihadiahkan kepada mayit, sampaikah pahalanya atau tidak? Beliau menjawab sebagaimana tersebut dalam kitab beliau Majmu’ Fatawa jilid 24 hal.324:  “Sampai kepada mayit pahala bacaan Al-Qur’an dari keluarganya. Dan tasbih, takbir serta seluruh dzikir mereka kepada Allah Taala apabila mereka menghadiahkan pahalanya kepada mayit akan sampai pula kepadanya”.

    Dengan adanya kutipan kami yang singkat ini ,dapatlah kita ketahui bahwa banyak para ulama selain madzhab Syafi’i, yang menyetujui hadiah pahala bacaan Al-Qur’an. Mari kita ikuti kajian berikut ini.

    Hadits tentang wasiat Ibnu Umar ra yang tertulis dalam syarah Aqidah Thahawiyah hal. 458:


    عَنِ إبْنِ عُمَر(ر) أوْصَى أنْ يُقْرَأ عَلَى قَبْرِهِ وَقْتَ الدَفنِ بِفَوَاتِحِ سُوْرَةِ البَقَرَةِ وَخَوَاتِمِهَا


    Artinya: “Dari Ibnu Umar ra: “Bahwasanya beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awal-awal surat al-Baqarah dan akhir-
    nya.. ".  


    Hadits ini menjadi pegangan Muhammad bin Hasan dan Imam Ahmad bin Hanbal padahal Imam Ahmad ini sebelumnya termasuk orang yang mengingkari sampainya pahala amalan dari orang yang hidup pada orang yang telah mati. Namun setelah beliau mendengar dari orang-orang kepercayaan tentang wasiat Ibnu Umar ini beliaupun mencabut pengingkarannya itu (Mukhtasar Tazkirah Qurtubi hal. 25).



    – Ada hadits yang serupa diatas, dalam Sunan Baihaqi dengan isnad Hasan:“Bahwasanya Ibnu Umar menyukai agar dibaca diatas pekuburan sesudah pemakaman awal surat Al-Baqarah dan akhirnya”.
    Perbedaan dua hadits terakhir diatas ialah yang pertama adalah wasiat Ibnu Umar sedangkan yang kedua adalah pernyataan bahwa beliau menyukai hal tersebut. 

    Hadits dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulallah saw.bersabda:Jika mati seorang dari kamu, maka janganlah kamu menahannya dan segeralah membawanya kekubur dan bacakanlah Fatihatul Kitab disamping kepalanya”. (HR. Thabrani dan Baihaqi)

    Abu Hurairah ra.meriwayatkan bahwasanya Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa yang berziarah di kuburan, kemudian ia membaca ‘Al-Fatihah’, ‘Qul Huwallahu Ahad’ dan ‘Alhaakumut takatsur’, lalu ia berdo’a Ya Allah, kuhadiahkan pahala pembacaan firman-Mu pada kaum Mu’minin dan Mu’minat penghuni kubur ini, maka mereka akan menjadi penolong baginya (pemberi syafa’at) pada hari kiamat”.
               
    Hadits-hadits diatas atau hadits-hadits lainnya dijadikan dalil yang kuat oleh para ulama untuk menfatwakan sampainya pahala pembacaan Al-Qur’an bagi orang yang telah wafat. Apa mungkin para sahabat Nabi seperti Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah [ra] mengeluarkan kata-kata yang mengandung ilmu ghaib (yaitu mengenai imbalan pahala) kalau tidak dari Rasulallah saw.? Mungkinkah para sahabat itu meriwayatkan sesuatu amalan yang berbau kesyirikan atau larangan dalam agama Islam? Mereka berdua adalah termasuk salah satu tokoh dari golongan Salaf Sholeh, mengapa golongan pengingkar ini menolaknya ?

    Ustadz Quraish Shihab ,seorang ulama di Indonesia, dalam bukunya Fatwa-fatwa Seputar ibadah dan Muamalah halaman 27 mengenai ‘berdo’a dan membacakan Al-Qur’an untuk orang mati’  menulis sebagai berikut:          
    “Berdo’a untuk kaum Muslimin yang hidup atau yang sudah wafat adalah anjuran agama. Membaca Al-Qur’an juga merupakan salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan. Hanya saja, terdapat perbedaan paham di kalangan para ulama masalah bermanfaat atau tidaknya bacaan itu bagi orang yang telah wafat. Memang, dalam kitab-kitab hadits, ditemukan yang menganjurkan pembacaan Al-Qur’an bagi orang yang akan atau telah wafat. Diantaranya, Abu Dawud meriwayatkan bahwa sahabat Nabi, Ma’qil bin Yasar, menyatakan bahwa Nabi saw. bersabda: ‘Bacalah surat Yaa Sin untuk orang-orang yang (akan atau sudah) mati (dari kaum Muslim).
               
    Nilai keshohihan hadits diatas ini dan semacamnya masih ada yang memperselisihkannya. Sekalipun ada golongan yang mengatakan hadits-hadits tersebut lemah atau tidak ada sama sekali tidak ada halangan untuk membaca ayat Al-Qur’an bagi orang yang akan wafat atau telah wafat. Dikalangan para ulama hadits, dikenal kaidah yang menyatakan bahwa hadits-hadits yang tidak terlalu lemah dapat diamalkan khususnya dalam bidang fadhail (keutamaan) !

    Para Ulama juga menyatakan bahwa membaca Al-Qur’anpada dasarnya dibenarkan oleh agama dan mendapat pahala, kapan (kecuali orang yang sedang junub/haid--pen.) dan dimanapun berada (kecuali di WC--pen.). Diantara perselisihan ulama itu adalah ‘Apakah dapat diterima hadiah pahala bacaan tersebut oleh almarhum atau tidak!  (Jadi bukan masalah pembacaannya! --pen.)
               
    Syekh Muhammad Al-Syarabashi dalam bukunya Yas’alunaka mengutip pendapat Al-Qarafi dalam kitab Al-Furuq bahwa kebaikan yang dilakukan seseorang untuk orang lain yang telah meninggal mencakup tiga kategori:

    a).  Disepakati tidak bermanfaat: memberi pahala keimanan kepada orang yang telah wafat.
    b). Disepakati bermanfaat: seperti shodaqah yang pahalanya diberikan kepada orang telah wafat.
    c)  Diperselisihkan apakah bermanfaat atau tidak: seperti menghajikan, berpuasa dan membaca Al-Qur’an untuk orang yang telah meninggal.

    Sementara madzhab Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, berpendapat pahalanya dapat diterima oleh yang telah mati. Kemudian Imam Al-Qarafi yang bermadzhab Maliki ini menutup keterangannya bahwa persoalan ini (pahala untuk yang wafat), walaupun diperselisihkan, tidak wajar untuk ditinggalkan dalam hal pengamalannya. Sebab, siapa tahu, hal itu benar-benar dapat diterima oleh orang yang telah wafat, karena yang demikian itu berada diluar jangkauan pengetahuan kita.  
    Perbedaan pendapat terjadi bukan pada hukum boleh tidaknya membaca Al-Qur’an untuk orang yang akan atau telah wafat, melainkan pada kenyataan sampai tidaknya pahala bacaan itu kepada si mayit!“ Demikianlah keterangan yang diungkapkan oleh Ustadz Quraish Shihab dalam bukunya ‘Fatwa-fatwa seputar ibadah dan muamalah’.

    Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa para pakar Islam yang mengakui sampainya hadiah pahala bacaan, yang ditujukan untuk simayit diantaranya sebagai berikut:
    "Imam Ahmad bin Hanbal; ulama-ulama dalam madzhab Hanafi, Maliki dan madzhab Syafi’i; Muhammad bin Ahmad al-Marwazi dalam kitab Hujjatu Ahli Sunnah Wal-Jama’ah hal.15 ; Syaikh Ali bin Muhammad bin Abil Iz (Syarah Aqidah Thahawiyah hal. 457); Dr. Ahmad Syarbasi ( Yasaluunaka fid din wal-hayat 3/413 ); Ibnu Taimiyyah (Yasaluunaka fid din wal-hayat jilid 1/442 ) ; Ibnul Qayyim al-Jauziyyah (Yasaluunaka fid din wal-hayat jilid 1/442) juga Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ar-Ruh mengatakan bahwa  “Al-Khallal  dalam kitabnya Al-Jami’ “ sewaktu membahas ‘Bacaan disamping kubur’ ; Al-Allamah Muhammad al-Arobi  (Majmu’ Tsholatsi Rosaail ) ; Imam Qurtubi (Tazkirah Al-Qurtubi hal. 26 ) ; Imam Sya’bi mengatakan: ‘Orang-orang Anshor jika ada diantara mereka yang wafat, maka mereka berbondong-bondong kekuburnya sambil membaca Al-Qur’an disampingnya (kuburan nya)’. Ucapan Syekh Sya’bi ini dikutip oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ar-Ruh halaman 13; Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa.

    Dan masih banyak lagi para ulama berbeda madzhab yang membenarkan hadiah pahala bacaan ini. Jadi jelas bagi kita setelah membaca dan meneliti kutipan pada lembaran sebelum dan berikut ini banyak hadits Nabi saw. serta anjuran para sahabat dan para pakar Islam tentang dibolehkannya serta sampainya pahala amalan orang yang masih hidup ditujukan kepada si mayyit. Disamping itu, semua madzhab sepakat bahwa pembacaan Al-Qur’an akan mendapat pahala bagi pembacanya kapan dan dimana pun, yang mana pahala itu selalu diharapkan oleh setiap muslim.

    Kita tidak boleh langsung menuduh suatu amalan itu haram untuk diamalkannya, karena menurut pendapat sebagian ulama hadits mengenai amalan itu lemah, palsu, atau tidak ada haditsnya. Kita harus meneliti lebih jauh lagi bagaimana pendapat ulama lainnya dan harus meneliti apakah amalan tersebut  menyalahi atau keluar dari syariat yang telah digariskan Islam atau tidak?, bila tidak menyalahi syari’at Islam, apalagi sangat bermanfaat bagi kaum muslimin, boleh diamalkan! Apalagi amalan-amalan yang masih mempunyai dalil ,baik secara langsung maupun tidak langsung, maka tidak ada alasan orang untuk mengharamkan, mensesatkan atau membid’ahkan munkar amalan-amalan tersebut. Untuk menghramkan suatu amalan, harus mengemukakan dalil yang jelas dan shohih dari Rasulallah saw.


    Fatwa -fatwa ulama madzhab Syafi’i adalah sebagai berikut :
    Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar  hal.140: “Dalam hal sampainya bacaan Al-Qur’an para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang masyhur dari madzhab Syafi’i dan sekelompok ulama bahwa pahalanya tidak sampai. Namun Ahmad bin Hambal beserta sekelompok ulama dan juga sekelompok para sahabat Syafi’i berpendapat bahwa pahalanya sampai. Maka yang lebih baik adalah si pembaca menghaturkan doa: ‘Ya Allah sampaikanlah pahala ayat yang aku baca ini kepada si fulan…”. 

    Dalam kitab Al-Majmu’  jilid 15/522: “Berkata Ibnu Nahwi dalam syarah Minhaj: ‘Dalam madzhab Syafi’i menurut qaul yang masyhur, pahala bacaan tidak sampai. Tetapi menurut qaul yang mukhtar sampai apabila dimohonkan kepada Allah agar disampaikan pahala bacaan tersebut. Dan seyogyannya memantapkan pendapat ini karena dia adalah doa. Maka jika boleh berdoa untuk mayit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh si pendoa, maka kebolehan berdoa dengan sesuatu yang dimiliki oleh si penulis adalah lebih utama’”. 
    Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam madzhab Syafi’i terdapat dua qaul dalam hal pahala bacaan:
    1.Qaul yang masyhur; pahala bacaan tidak sampai 2. Qaul yang mukhtar; pahala bacaan sampai.

    Untuk menanggapi qaul yang masyhur tersebut Syeikh Zakaria al-Anshari pengarang dalam kitab Fathul Wahhab jilid II/19 mengatakan: “Apa yang dikatakan sebagai qaul yang masyhur dalam madzhab Syafi’i itu dibawa atas satu pengertian: ‘Jika Al-Qur’an itu tidak dibaca dihadapan mayit dan tidak pula meniatkan pahala bacaan itu untuknya’”.
    Sedangkan syarat-syarat untuk sampainya pahala bacaan, Syeikh Sulaiman al-Jamal dalam kitabnya Hasiyatul Jamal jilid 4/67 mengatakan: “Berkata Syeikh Muhamad Ramli: ‘Sampai pahala bacaan jika terdapat salah satu dari tiga perkara yaitu: 1. Pembacaan dilakukan disamping kuburnya. 2. Berdoa untuk mayit sesudah membaca Al-Qur’an yakni memohon agar pahalanya disampaikan kepadanya.3.Meniatkan sampainya pahalanya bacaan itu kepadanya’ “.

    Hal yang senada diatas diungkapkan juga oleh Syeikh Ahmad bin Qasim al-Ubbadi dalam Hasiyah Tuhfatul Muhtaj jild 7/74: “Kesimpulannya bahwa jika seseorang meniatkan pahala bacaan kepada mayit atau dia mendoakan sampainya pahala bacaan itu kepada mayit sesudah membaca Al-Qur’an atau dia membaca disamping kuburnya, maka hasillah bagi mayit itu seumpama pahala bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang membaca’ ”.
    Namun demikian akan menjadi lebih baik dan lebih terjamin jika: 1. Pembacaan yang dilakukan dihadapan mayit di-iringi pula dengan meniatkan pahala bacaan itu kepada- nya. 2. Pembacaan yang dilakukan bukan dihadapan mayit agar disamping meniatkannya untuk si mayit juga disertai dengan doa penyampaian pahala sesudah selesai membaca. Langkah seperti ini dijadikan syarat oleh sebagian ulama seperti tersebut dalam kitab Tuhfah dan Syarah Minhaj (lihat I’anatut Thalibin jilid 3/24).

    Celaan orang yang tidak setuju dengan hadiah pahala
    Golongan pengingkar bacaan pahala sering kali mengecam dan mencela orang yang mengamalkannya. Yang mereka anggap senjata ampuh terhadap kelompok madzhab Syafi’i untuk penolakan hadiah pahala dengan ucapan mereka : “Imam Syafi’i sendiri toh mengatakan bahwa pahala bacaan Al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayit, walaupun didoakan kepada Allah agar disampaikan….?

    Menanggapi pertanyaan seperti ini, perlu dikemukakan bahwa Imam Syafi’i tidak pernah mengatakan amalan tersebut sebagai bid’ah atau melarang apalagi mencela orang-orang yang mengamalkannya. Beliau jelas mengetahui bahwa para tokoh ulama madzhab Hanafi, Maliki dan Imam Ahmad bin Hambal sendiri berpendapat bahwa pahala bacaan itu sampai kepada mayit. Kalau imam Syafi’i sampai mengecam apalagi menuduh sebagai amalan bid’ah, maka sama saja beliau menuduh para imam penganut tiga madzhab tersebut sebagai ahli bid’ah yang akan masuk neraka. Harus dibedakan antara ‘pendapat madzhab Syafi’i’ dan ‘pendapat Imam Syafi’i’. Tidak semua produk hukum yang ada dan berlaku dalam madzhab Syafi’i bersesuaian dengan pendapat Imam Syafi’i sendiri, karena terdapat kemungkinan dan kebolehan untuk mentahqiq kembali pendapat sang Imam ini.Tidak terdapat juga ucapan imam Syafi’i yang mengatakan, bahwa pendapat yang sudah beliau kemukakan harus diamalkan dan tidak boleh diganggu gugat oleh pengikut-pengikut beliau yang sesudahnya. Justru beliau sendiri mengatakan :Jika kamu dapatkan didalam kitabku sesuatu yang menyalahi sunnah Rasulallah saw, maka ambillah sunnah Rasulallah saw itu dan tinggalkan ucapanku”. 
    Ucapan beliau ini walaupun merupakan pertanda ketawadhu’an namun dengan penuh pertimbangan dan semangat kehati-hatian telah dilaksanakan oleh para ulama pengikut beliau. Jadi tidak benar kalau dikatakan bahwa para ulama Syafi’iyah mengikuti saja secara membabi buta ucapan imam Syafi’i, karena kalau itu dilakukan berarti menentang perintah Imam Syafi'i sendiri. 

    Contoh-contoh fatwa imam Syafi’i yang ditahqiq (dikritisi) kembali
    Ada beberapa masalah yang sudah diputuskan oleh Imam Syafi’i, tetapi dengan pertimbangan-pertimbangan yang teliti ditahqiq kembali oleh para ulama madzhab Syafi’i belakangan dan hasil pentahqigan mereka itulah yang berlaku dan diamalkan didalam madzhab Syafi’i. Contoh diantara masalah-masalah tersebut ialah: 

    – Hukum shalat idul fithri dan idul Adha ,menurut imam Syafi’i, wajib atas orang-orang yang berkewajiban menghadiri shalat Jum’at. Beliau mengatakan didalam Al-Mukhtasar: “Barangsiapa wajib atasnya menghadiri jum’at, maka wajib atasnya menghadiri idul fithri dan idul adha”.
    Pendapat beliau ini oleh para sahabat Syafi’i dibawa kepada pengertian yang tidak seperti dhohirnya, karena menimbulkan hukum kewajiban (fardhu a’in) atas sholat dua hari raya tersebut dan ini menyalahi ijmak kaum muslimin. Oleh karen itulah beberapa tokoh madzhab Syafi’i seperti Abu Ishaq dan Al-Istakhri memberi komentar sebagai berikut: a.Menurut Abu Ishaq, ucapan imam Syafi’i itu adalah: “Barangsiapa dituntut shalat jum’at secara wajib, maka dia dituntut shalat id secara sunnah”.
    b. Menurut Al-Istakhry, maknanya ialah: “Barangsiapa dituntut shalat jum’at secara fardhu, maka dia dituntut shalat id secara (fardhu) kifayah”. Dan ternyata yang terpakai dalam madzhab Syafi’i adalah bahwa hukum sholat dua hari raya itu bukan wajib melainkan sunnah muakkadah.

    – Dua qaul dari Imam Syafi’i yakni qaul jadid dan qaul qadim. Tujuan beliau dengan qaul jadid ialah agar inilah yang dipakai dan diamalkan sedangkan qaul qadimnya ditnggalkan. Namun oleh para ulama madzhab Syafi’i dengan pertimbangan yang teliti, mengecualikan 20 masalah. Dalam  20 masalah ini yang dipakai adalah qaul qadim, sedangkan qaul jadidnya ditinggalkan.
    – Masalah hadiah pahala bacaan Al-Qur’an. Imam Syafi’i ,kalau itu memang benar,  mengatakan tidak sampainya pahala bacaan, namun dengan pertimbangan beberapa dalil para ulama Syafi’iyah , sebagian nama ulama telah kami kemukakan, pahala bacaan itu akan sampai dan fatwa inilah yang berlaku dan diamalkan dalam madzhab Syafi’i.   
    a. Didalam kitab Bujairimi Minhaj jilid 3/286 : “Perkataan: ‘Sesungguhnya tidak sampai pahala bacaan’ adalah dhoif, sedangkan perkataan : ‘Dan sebagian ashab Syafi’i mengatakan sampai’ adalah muktamad (terpegang)”. 
    b. Memahami bahwa pernyataan Imam Syafi’i itu mengandung pengertian jika Al-Qur’an tidak dibaca dihadapan mayit dan tidak pula meniatkan pahala bacaan itu untuknya.

    Pengertian seperti ini tersebut dalam kitab Fathul Wahhab karangan Syeikh Zakaria al-Anshari jilid II/19. Walaupun sekiranya imam Syafi’i mengatakan tidak sampai pahalanya, tetapi beliau tetap mengakui adanya segi positif bacaan Al-Qur’an terhadap orang mati. Hal ini karena terbukti beliau menyukai diamalkannya hal tersebut.
    Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar hal.137 menulis: “Berkata imam Syafi’i dan para ashab: ‘Disunnahkan seseorang membaca sebagian ayat Al-Qur’an untuk orang yang wafat. Para sahabat beliau berkata: Jika dia menamatkan seluruh Al-Qur’an niscaya akan baik sekali’”.

    Dalam kitab Tuhfah jilid VII/71, imam Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan: “Imam Syafi’i dan ashab menashkan bahwa sunnah membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang mudah disamping mayit dan berdoa sesudahnya, karena doa disitu lebih bisa diharapkan pengabulannya dan karena mayit akan mendapatkan berkah bacaan Al-Qur’an seperti halnya orang yang hadir”.

    Dalam kitab Ar-Ruh hal. 13 Ibnul Qayyim menyebutkan: “Berkata Hasan bin Sholeh Az-Za’farani: ‘Aku pernah bertanya kepada imam Syafi’i tentang membaca Al-Qur’an disamping kubur. Beliau menjawab: Tidak mengapa…..’ “.

    Imam Nawawi dalam Syahrul Muhadzdzib mengatakan: ‘Disunnahkan bagi orang yang berziarah kekuburan membaca beberapa ayat Al-Qur’an dan berdo’a untuk  penghuni kubur’. Imam Nawawi menyimpulkan bahwa membaca Al-Qur’an bagi arwah orang-orang yang telah wafat dilakukan juga oleh kaum Salaf (terdahulu). Pada akhirnya Imam Nawawi mengutip penegasan Taqiyyuddin Abul Abbas Ahmad bin Taimiyah (Ibnu Taimiyyah) sebagai berikut:
    “Barangsiapa berkeyakinan bahwa seorang hanya dapat memperoleh pahala dari amal perbuatannya sendiri, ia menyimpang dari  ijma’ para ulama dan di lihat dari berbagai sudut pandang keyakinan demikian itu tidak dapat dibenarkan”. 
    Demikianlah keterangan fatwa imam Syafi'i yang ditahqiq oleh para ulama madzhab Syafi'iyah.



    Amalan orang hidup yang bermanfaat bagi si mayit  

    Mari kita telaah lagi amalan orang hidup yang bermanfaat bagi si mayit. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Abbas ra berkata:


    وَعَنِ ابْنِ عَبَّـاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُـمَا  قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ .صَ. يَقُوْلُ مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ     
     فَيَقُوْمُ عَلَى جَنَـازَتِهِ أرْبَعُوْنَ رَجُلاً لاَ يُشْرِكُوْنَ بِاللهِ شَيْئًا اِلاَّ شَفَّعَهُمُ اللهُ بِهِ (رواه مسلم)               

    Saya telah mendengar Rasulallah saw. bersabda: ‘Tiada seorang muslim wafat, maka berdiri menyembahyangkannya empat puluh (40) orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, melainkan dapat dipastikan Allah menerima syafa’at dan permintaan ampun mereka itu’.  (HR. Muslim)

    Hadits dari Martsad bin Abdullah Alyazani berkata:

    وَعَنْ مَرْثََـدِ ابْنِ عَبْدِاللهِ اليَزَنِيِّ (ر)  قَالَ: كَانَ مَالِكُ بْنُ هُبَيْرَةَ اِذَا صَلَّى عَلَى الْجَنَازَةِ فَتَقَالَّ النَّاسَ                       
     عَلَيْهَا جَزَّئَهُمْ ثَلاَثَةَ أجْزَاءٍ ثًمَّ قَالَ: قَالَ رَسُوْل اللهِ صَ مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ ثَلاَثَةُ صُفُوْفٍ فَقَدْ أوْجَبَ  (رواه ابو داود و الترميذي)
                                                                               
    "Adalah Malik bin Hubairoh jika menyembahyangkan jenazah dan melihat orang-orangnya hanya sedikit, maka dibagi mereka tiga (3) baris, kemudian ia berkata: Rasulallah saw. bersabda:Siapa yang disembahyangkan oleh tiga barisan, maka telah dapat dipastikan’ ”. (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi)

    Maksud kata-kata dapat dipastikan dalam hadits itu ialah pasti diampunkan mayitnya dan Allah akan menerima syafa’at dan permohonan mereka.

    Hadits dari Abu Hurairah berkata: Ada seorang tukang sapu masjid, pada beberapa hari tidak terlihat oleh Rasulallah saw. sehingga beliau bertanya tentang orang itu. Dijawab; Ia telah wafat. Nabi bersabda: Mengapakah kamu tidak memberitahu padaku? Tunjukkan padaku kuburannya. Maka orang-orang menunjukkan kepada Nabi saw. kuburan tukang sapu itu, dan disitu Nabi sholat mayat (jenazah). Kemudian setelah sholat bersabda: Sesungguhnya kubur-kubur ini tadi penuh kegelapan, dan Allah telah menerangi padanya dengan sholatku pada mereka”. (HR.Bukhori, Muslim).

    Hadits-hadits diatas ini menunjukkan juga bahwa seorang yang telah wafat masih dapat tertolong oleh bantuan amalan orang yang masih hidup, dan yang demikian ini terserah pada Allah, karena rahmat Allah dan kurnia-Nya tidak terbatas. Juga hadits terakhir diatas menunjukkan dibolehkannya orang yang ketinggalan sholat jenazah untuk bersholat didepan kuburannya. Ini berlaku untuk semua muslimin karena dihadits itu tidak disebutkan sholat jenazah ditempat kuburan tersebut hanya khusus berlaku untuk Nabi saw. Beliau saw. adalah contoh bagi ummatnya, bila itu dilarang atau khusus untuk beliau saja, maka beliau saw. pasti akan memberitahunya!
    Semuanya ini menunjukkan bahwa do’a itu manfaatnya sangat banyak baik untuk orang yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Allah swt. sendiri telah menjanjikan [siapa yang berdo’a kepada-Nya pasti akan dikabulkannya (“Dan Tuhanmu berfirman; ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kukabulkan bagimu’ ”.  [Al- Mu’min :60] dan Firman-Nya: “Dan seandainya hamba-hambaKu bertanya padamu (Muhammad) mengenai Aku, maka sesungguhnya Aku ini Maha dekat. Aku akan mengabulkan  permohonan dari orang yang berdo’a, jika ia berdo’a pada-Ku”. [Al-Baqoroh : 186]  ).
    Dia juga berfirman bahwa ada manusia yang berdo’a baik untuk dirinya maupun untuk lainnya sebagaimana firman-Nya: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo’a; Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami ”.  (Al-Hasyr:10). 

    Ibnu Hajr dalam kitabnya Khatimatul Fatwa mengatakan bahwa manfaat terbesar yang dapat diperoleh dengan do’a ialah orang yang berdo’a tidak akan dikecewakan sama sekali. Bila takdirnya bergantung  pada do’a, maka ia akan melihat manfaat do’anya, namun bila takdirnya itu tidak bergantung pada do’a maka manfaat do’a adalah ganjaran pahala, karena do’a termasuk ibadah.  

    Hadits dari Salman Farisi bahwa Rasulallah saw. bersabda; "Tidak dapat menolak gadha/takdir (Allah swt.) kecuali do’a’, dan tidak bisa menambah umur kecuali kebaikan !" (HR.At-Tirmidzi).

    Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Bazzar dan Thabrani juga oleh Hakim yang menyatakan isnadnya sah dari Aisyah ra. bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Tidak mempan (tidak bisa menolak) sikap berhati-hati terhadap takdir, sedang do’a itu akan memberi manfaat, baik terhadap hal-hal yang telah terjadi maupun yang belum terjadi. Dan sungguh, malapetaka itu turun, lalu disambut oleh do’a, maka bergulatlah keduanya sampai hari kiamat". Maksud hadits itu ialah Allah swt. bisa merubah takdir mala-petaka yang akan dikenakan pada hamba-Nya dikarenakan do'a hamba itu kepada-Nya.

    Masih banyak lagi ayat Ilahi dan hadits Rasulallah saw. mengenai do’a ini, yang tidak kami kemukakan satu persatu disini. Kita dibolehkan berdo’a apa saja kepada Allah swt. yang penting dalam kebaikan, tetapi bacaan atau kalimat do’a yang terbaik ialah yang diajarkan oleh Rasulallah saw. termasuk disini ialah bacaan/kalimat do’a pada waktu sholat jenazah atau waktu ziarah kubur. Sudah tentu dalam sholat jenazah atau ziarah kubur kita dibolehkan membaca do’a selain yang diajarkan oleh Rasulallah saw. yang terpenting semua ini terfokus (tertuju) untuk mohon pengampunan bagi si mayat. (info: berdo’a pada waktu sholat banyak ahli fiqih mengatakan harus berbahasa Arab, bila tidak, bisa membatalkan sholatnya). 
    Ini semua sunnah Rasulallah saw. serta menunjukkan bahwa si mayit itu masih bisa menerima syafa’at dari amalan orang lain yang masih hidup. Dengan demikian isi dan inti do’a dalam sholat jenazah dan ziarah kubur ialah  mohon ampunan untuk si mayit, ampunan ini adalah salah satu syafa’at dan manfaat yang besar serta selalu diharapkan oleh setiap  muslimin. Begitu juga halnya dalam majlis tahlil/yasinan (baca keterangan selanjutnya) tujuan utama setelah membaca ayat-ayat Al-Qur’an, tasbih, tahmid, sholawat pada Nabi saw. dan sebagainya adalah berdo’a  pada Allah swt. khusus untuk si mayyit dan untuk semua muslimin. Rasulallah saw. menganjurkan kita untuk ziarah kubur dan mengajarkan kalimat-kalimat salam dan do’a untuk ahli kubur tersebut. Disini tidak ada bedanya orang yang baru wafat atau sudah lama wafat semuanya adalah mayit.          
    Ingat sekali lagi, jangan melihat cara atau bagaimana orang melakukan suatu amalan, tapi lihatlah apakah amalan tersebut melanggar yang telah digariskan oleh syari’at Islam atau tidak.


    Pahalanya membaca Al-Qur’an 
    Setelah keterangan singkat tadi mengenai hadiah pahala bacaan untuk si mayyit, marilah kita meneliti dalil-dalil dan wejangan para pakar islam mengenai pahala orang yang membaca ayat Al-Qur’an, juga anjuran-anjuran untuk membaca surat Yaasin, surat Al-Ikhlas dan lainnya pada orang-orang yang akan atau sudah wafat. Dengan demikian buat pembaca lebih jelas lagi bahwa bacaan yang dibaca (didalam majlis-majlis dzikir termasuk tahlil/yasinan dan lainnya) pasti akan mendapatkan pahala dari Allah swt., jadi bukan sebaliknya akan mendapat dosa dan sebagainya sebagaimana yang dikatakan oleh golongan pengingkar .

    Ibn Mas’ud ra berkata: Rasulallah saw. bersabda:


    عَنِ ابْنِ مَسْعُود(ر) ِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله.صَ. مَنْ قَرَأ حَرْفاً مِنْ كِتَابِ الله فَلَهُ حَسَن,                      

     وَالحَسَنَة بِعَشْرِ أمْثَالِهَا, لآ أقوْلُ الم حَرْفٌ, بَلْ ألِف حَرْفٌ, وَلاَْم  حَرْفٌ وَمِيْم حَرْفٌ.   (رواه الترميذي) 

                                                

    Artinya: “Siapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, maka mendapat hasanat/ kebaikan dan tiap hasanat mempunyai pahala berlipat sepuluh kali. Saya tidak berkata: Alif lam mim itu satu huruf, tetapi Alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf”.(HR. Attirmidzy).

               

    Lihat hadits ini siapa yang membaca al-Qur’an akan dilipatkan pahala setiap hurufnya menjadi sepuluh kali. Pahala apa yang akan diberikan Allah swt. setiap hurufnya itu tidak ada keterangan yang jelas. Sekarang kita bisa renungkan sendiri berapa pahala yang akan kita peroleh hanya dengan bacaan surat Fatihah saja? Ingat Rahmat dan Kurnia Allah swt. tidak ada batasnya. Jangan kita sendiri yang membatasinya !

    Dalil-dalil lainnya tentang pembacaan Al-Qur’an yang bermanfaat bagi orang yang akan atau sudah wafat berikut ini:

                                     Iqrauu yaasin ‘alaa mautaakum


    Artinya:Bacalah Yaa Siin bagi orang-orang yang (akan atau telah) meninggal diantara kalian (muslimin)’.

    Riwayat serupa oleh Abu Hurairah ra  juga telah dicatat oleh Abu Ya’la dalam Musnad beliau dan Hafidz ibn Katsir telah mengklasifikasikan rantai periwayatnya (sanadnya) sebagai Hasan/baik (lihat Tafsiir Ibn Katsiir Juz 3 hal. 570).

    Al-Baihaqi dalam Sya’bul Iman menjelaskan sebuah hadits riwayat Mi’qal bin Yasar bahwa Rasulallah saw. bersabda :


    مَنْ قَرَأ يَس إبْتِغَاء وَجْه اللهِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ , فَاقْرَؤُاهَاعِنْدَ مَوْتَاكُمْ.




    Artinya: “Barangsiapa membaca Yaa Sin semata-semata demi keridhaan Allah, ia memperoleh ampunan atas dosa-dosanya yang telah lalu. Karena itu hendaklah kalian membacakan Yaa Sin bagi orang yang (akan atau telah) wafat diantara kalian (muslimin)”. (Hadits ini disebutkan juga dalam Al-Jami’us Shaghier dan Misykatul Mashabih).



    –  Ma'aqal ibn Yassaar ra meriwayatkan bahwa Rasulallah saw. bersabda; 

    "Yasin adalah kalbu (hati) dari Al-Quran. Tak seorang pun yang membacanya dengan niat menginginkan Akhirat melainkan Allah akan mengampuninya. Bacalah atas orang-orang yang (akan dan telah) wafat diantaramu." (Sunan Abu Dawud). Imam Hakim mengklasifikasikan hadits ini sebagai Shohih/ Autentik, lihat Mustadrak al-Haakim juz 1, halaman 565; lihat juga at-Targhiib juz 2 halaman 376. Hadits yang serupa juga diriwayatkan oleh Hafidz As–Salafi (Mukhtasar Al-Qurtubi hal. 26).

    –  Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam Musnad-nya dengan sanad dari Safwaan bahwa ia berkata: “Para ulama biasa berkata bahwa jika Yaasin dibaca oleh orang-orang yang akan wafat, Allah akan memudahkan maut itu baginya.” (Lihat tafsir Ibnu Katsir jild 3 halaman 571).

    Dari Jund bin Abdullah ra. meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda: Barang siapa membaca Surat Yaasin pada malam hari dengan niat mencari ridha Allah dosa-dosanya akan diampuni” (Imam Malik bin Anas, dalam kitabnya Al Muwattha’). Ibnu Hibban menshohihkannya (lihat shohih Ibn Hibban jilid 6 halaman 312, juga lihat At Targhiib jilid 2 hal. 377).

    Hadits ini menyebutkan pahala tertentu bacaan surat Yaasin, Allah swt. akan mengampuni dosa-dosa si pembacanya. Manfaat pengampunan ini yang selalu diharapkan oleh setiap Muslimin !!

    Riwayat serupa dari Abu Hurairah ra juga dicatat oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya dan Ibnu Katsir telah mengklasifikasikan rantai perawinya sebagai Hasan/baik. (Lihat tafsir Ibnu Katsir jilid 3 hal.570).

    Syaikh Muhammad Al-‘Arabi At-Tibani, seorang ulama Masjidil Haram dalam risalahnya yang berjudul Is’aful Muslimin wal Muslimat bi Jawazil Qira’ah wa Wushulu Tsawabiha Lil Amwat mengatakan membaca Al-Qur’an itu dapat sampai kepada arwah orang yang telah meninggal.


    –  Ma'aqal ibn Yassaar ra meriwayatkan bahwa Rasulallah saw. bersabda;


    مَنْ مَرَّ عَلَى المَقَبِرِ وَقَرَأ قُلْ هُوَا الله اَحَدٌ إحْدَ عَشَرَةَ مَرَّةٌ, ثُمَّ وَهَـبَ أجْرُهَا لِلأَمْوَاتِ , أعْطِي مِنَ الأجْرِ بِعددِ الأمْوَات



    Artinya: "Barangsiapa lewat melalui kuburan, kemudian ia membaca ‘Qul Huwallahu Ahad’ sebelas kali dengan niat menghadiahkan pahalanya pada para penghuni kubur, ia sendiri akan memperoleh pahala sebanyak orang yang mati disitu (atau mendapat pahala yang diperoleh semua penghuni kubur)”.


    Berdasarkan riwayat surat Yaasin yang cukup banyak maka ulama-ulama pakar atau orang-orang lainnya yang memegang hadits-hadits ini, meng- amalkannya baik secara individu atau berkelompok sebagai amalan tambahan.

    Mari kita rujuk lagi hadits-hadits mengenai pahala-pahala dan keistemewaan tertentu surat Al-Qur’an selain surat Yaasin. Walaupun kita setiap hari membaca berulang-ulang hanya satu surat saja dari Al-Qur’an tersebut akan tetap dapat pahala bagi yang membacanya karena termasuk ayat Al-Qur’an dan tidak ada satu hadits atau ayat ilahi yang melarang orang membaca hanya satu ayat dari Al-Qur’an. Dan tidak ada satu orang pun dari kaum muslimin yang mengamalkan ini berkeyakinan atau mengatakan bahwa Al-Qur’an itu hanya terdiri dari satu ayat yang dibaca itu saja serta mengharuskan/mewajibkan orang membaca hanya ayat itu saja. Itu hanya angan-angan dan dongengan golongan pengingkar ! 
    Golongan pengingkar ada yang mengatakan bahwa Ibnul Qayyim berkata: "Barangsiapa membaca surat ini akan diberikan pahala begini dan begitu semua hadits tentang itu adalah Palsu !  Beliau dengan alasan bahwa orang-orang yang memalsukan hadits-hadits itu telah mengakuinya sendiri bahwa tujuan mereka membuat hadits palsu tersebut adalah agar manusia sibuk dengan membaca surat-surat tertentu dari Al-Qur’an serta menjauhkan mereka membaca isi Al-Quran yang lain "!! 

    Umpama saja Ibnul Qayyim benar berkata demikian, ini juga bukan suatu dalil/hujjah untuk melarang membaca ayat-ayat tertentu dari ayat Al-Qur’an, karena tidak sedikit hadits yang menyebutkan keistemewaan tertentu dan pahala tertentu pada ayat-ayat Al-Quran, dengan demikian pendapat Ibnul-Qayyim terbantah dengan hadits-hadits tentang bacaan surat Yasin diatas dan surat-surat lain berikut ini: 

    Hadits dari Abu Sa’id ra bahwa Nabi saw bersabda: “Apakah kalian sanggup membaca sepertiga (1/3) Qur’an dalam satu malam?’ Rupanya hal itu memang terasa berat bagi mereka, maka jawab mereka: ‘Siapa pula yang akan sanggup melakukan itu diantara kami, ya Rasulallah!’. Maka sabda Nabi saw ’Allaahul wahidus shamad ’ maksudnya surat Al Ikhlas  adalah sepertiga dari Al- Qur’an”.  (HR.Bukhori, Muslim dan An-Nasa’i). Ada riwayat yang serupa dari Abu Hurairah ra yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.  
    Lihat hadits diatas ini termasuk juga sebagai pahala tertentu, siapa baca sekali surat Al-Ikhlas sudah memadai seperti baca sepertiga ayat dari Al- Qur’an. Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Ikhlas saja dan kita hanya diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lain- nya, seperti isu-isu belaka golongan pengingkar ini !

    Hadits dari Abu Sa’id Al Khudri ra bahwa Nabi saw bersabda: 'Adanya Rasulallah saw. berlindung dari gangguan jin dan mata manusia dengan beberapa do’a, tetapi setelah diturunkan kepadanya Almu’awwidatain ( Surat Al-Falaq dan An-Naas), beliau saw. membaca keduanya itu dan meninggalkan segala do’a-do’a lainnya'. (HR At Tirmidzi). 
    Hadits diatas ini menunjukkan dua surat (Al-Falaq dan An-Naas) mempunyai keistemewaan tertentu juga, bisa menghalangi dan menolak gangguan jin dan mata manusia. Juga mendapat pahala yang membacanya. Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Falaq dan An-Naas saja dan kita hanya diharuskan membaca dua surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya !

    Hadits dari Abu Mas’ud Al Badry ra berkata, bersabda Nabi saw:: “Siapa yang membaca dua ayat dari akhir surat Al-Baqoroh pada waktu malam telah “. (HR.Bukhori dan Muslim).  
    Kata-kata telah mencukupinya dalam hadits itu berarti ia telah terjamin keselamatannya dari gangguan syaithon pada malam itu. Ini juga termasuk keistemewaan tertentu dari dua ayat terakhir dari surat Al Baqoroh (yaitu dimulai dari Aamanar Rosuulu bimaa unzila ilaihi ayat 285...sampai akhir ayat al Baqoroh). Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Baqarah dan kita hanya diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya!

    Hadits dari Abu Hurairah ra, Rasulallah saw bersabda: ‘Didalam Qur’an ada surat berisi tiga puluh ayat dapat membela seseorang hingga diampunkan baginya yaitu Tabarokalladzi Biyadihil Mulku (surat Al-Mulk)’. (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi). 
    Hadits ini menunjukkan keistemewaan dan pahala tertentu juga bahwa siapa yang membacanya akan dapat membelanya dan mengampunkan dosanya! Pahala pengampunan ini sangat diharapkan oleh semua kaum muslimin. Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Mulk saja dan kita hanya diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya !

    Hadits dari Abu Hurairah ra Nabi saw bersabda: ‘Jangan kamu menjadikan rumahmu bagaikan kubur (hanya untuk tidur belaka), sesungguhnya setan  lari dari rumah yang dibacakan padanya surat Al-Baqarah’.  (HR.Muslim). 
    Hadits ini juga mempunyai keistemewaan tertentu Al-Baqarah bisa mengusir setan dari rumah kita. Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Baqoroh saja dan kita hanya diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya !

    Hadits dari Abu Darda ra, Sabda Rasulallah saw.: ‘Siapa yang hafal sepuluh ayat dari permulaan surat Al-Kahfi, akan terpelihara dari godaan fitnah Dajjal’. (HR.Muslim). Dalam lain riwayat: ‘Sepuluh ayat dari akhir surat Al- Kahfi’ 
    Hadits ini menunjukkan keistemewaan tertentu yaitu siapa yang dapat menghafal dan membacanya dari ayat tersebut, terhindar dari fitnahan Dajjal. Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari sepuluh ayat dari surat Al-Kahfi saja dan kita hanya diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya!  
    Dan masih banyak lagi mengenai keistemewaan dan pahala tertentu mengenai Ayat Kursi, ayat Al-Fatihah (Ummul Kitab/ibunya Qur’an), mengenai keutamaan mengucapkan Laa ilaaha illallah, membaca Tasbih, Takbir dan Sholawat atas Nabi saw. dan sebagainya yang tidak dikemukakan satu persatu disini. Juga pahala-pahala tertentu amalan-amalan puasa, sholat dan sebagainya.

    Apakah semua hadits-hadits keistemewaan dan pahala tertentu tersebut diatas yang diriwayatkan oleh perawi-perawi terkenal adalah hadits palsu ? Apakah dengan adanya hadits-hadits tersebut, orang mempunyai firasat hanya harus membaca ayat-ayat tertentu itu dan meniadakan ayat Al-Qur’an lainnya ? Sudah Tentu Tidak ! 
    Pandangan yang demikian itu menunjukkan kedangkalan ilmu serta kefanatikan golongan pengingkar ini terhadap pahamnya sendiri sehingga semua hadits yang tidak sepaham dengan mereka dianggap tidak ada, palsu, lemah dan lain sebagainya ! Kami berlindung pada Allah swt...

    Kehidupan ruh-ruh manusia yang telah wafat 
    Ayat-ayat dan hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai ruh-ruh orang yang telah wafat:

    Firman Allah swt.: “Janganlah kalian berkata; bahwa orang-orang yang gugur dijalan Allah itu mati, bahkan mereka hidup (dialam lain), tetapi kalian tidak menyadari nya”. (Al-Baqarah : 154)

    Dan firman-Nya: “Janganlah kalian mengira bahwa orang-orang yang gugur dijalan Allah itu mati. Bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dan mereka memperoleh rizki (kenikmatan besar)” ( Ali Imran : 169)

    Firman-Nya juga: “Mereka bertanya kepadamu (hai Muhammad) tentang ruh. Jawablah: ‘Itu termasuk urusan Tuhanku’, dan tidaklah kamu diberi ilmu (pengetahuan) melainkan sedikit”  (Al Israa : 85)

    Dua firman Allah diatas disamping menyebutkan orang-orang yang gugur di jalan Allah itu tidak mati tetap hidup (ruhnya) mendapat kenikmatan, juga dalam ayat-ayat itu tidak menyebutkan adanya pembatasan yakni hanya ruh-ruh orang-orang yang gugur dalam peperangan saja yang masih hidup. Dengan demikian baik wafatnya itu waktu dalam peperangan sabil maupun wafat diatas tempat tidur, ruh-ruh (jadi bukan jasadnya) ini semuanya masih hidup di alam barzakh, makna yang demikian ini sejalan dengan hadits-hadits Rasulallah saw. tentang ruh manusia yang telah wafat (baca keterangan selanjutnya). 

     Firman Allah swt.: “Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatang kan kamu (Muhammad saw) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).” (QS 4:41)

     Firman-Nya juga; “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat pertengahan (yang adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad saw) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu“ (QS 2:143)
    Diantara para Muthawwi’ atau penjaga sekitar makam Rasulallah saw. di Madinah sering  membentak kepada para penziarah dengan ucapan, ‘Wahai haji, Rasul telah mati, berikan salam dan segera pergilah’ dan jika ada yang sedikit berlama-lama dalam berziarah lantas diteriaki, ‘Wahai haji, itu perbuatan syirik…!!’.
    Bagi si pembaca bisa menyaksikan sendiri bila nantinya berziarah ke makam Rasulallah saw.. Apa maksud kata-kata itu?.Apakah mereka ini tidak memahami ayat-ayat ilahi diatas? Kalau golongan Wahabi mengatakan Rasulallah sudah wafat, bagaimana beliau saw. akan menjadi saksi bagi ummatnya setelah wafatnya beliau saw.? Tidak mungkin pula Nabi saw. dipanggil sebagai seorang saksi atas apa yang tidak beliau ketahui atau tidak beliau lihat!! Buat apa kita ucapkan salam sambil menghadapkan wajah kita ke Rasulallah saw , kalau  beliau saw orang yang telah wafat ?

     Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal  dalam Musnad-nya jilid III halaman 3 dari Abu ‘Amir,  Abu ‘Amir menerimanya dari ‘Abdulmalik bin Hasan Al-Haritsiy, ‘Abdulmalik menerimanya dari Sa’id bin ‘Amr bin Sulaim, yang menuturkan sebagai berikut: "Saya mendengar dari seorang diantara kita, namanya aku lupa, tetapi (menurut ingatanku) ia bernama Mu’awiyah atau Ibnu Mu’awiyah. Ia menyampaikan hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri ra. yang mengatakan, bahwasanya Rasulallah saw. pernah menyatakan; ‘Seorang mayyit mengetahui siapa yang mengangkatnya, siapa yang memandikannya dan siapa yang menurunkannya ke liang kubur’.  Ketika dalam suatu majlis Ibnu ‘Umar mendengar hadits tersebut ia bertanya; ‘Dari siapa anda mendengar hadits itu’? Orang yang ditanya menjawab; ‘Dari Abu Sa’id Al-Khudri’. Ibnu ‘Umar pergi untuk menemui Abu Sa’id, kepadanya ia bertanya; ‘Hai Abu Sa’id, dari siapakah anda mendengar hadits itu ?’ Abu Sa’id menjawab; ‘Dari Rasulallah saw.’" 

    Ibnul Qayyim didalam kitabnya Ar-Ruh menyatakan, bahwa ruh Abubakar Ash-Shiddiq ra. tampak (setelah ia wafat) didalam suatu peperangan bertempur bersama-sama pasukan muslimin melawan kaum musyrikin.

    Ibnul-Wadhih pun dalam Tarikh-nya mengemukakan kesaksian seorang yang melihat Rasulallah saw. (beliau saw. telah lama wafat) membawa sebuah tombak pendek ikut berperang melawan musuh-musuh Ahlul-Bait beliau di Karbala, medan perang tempat Al-Husain ra. gugur sebagai pahlawan syahid.

    Dalam hadits-hadits Nabi saw. menerangkan bahwa ruh-ruh orang yang wafat itu hidup dialam barzakh, bisa mendengar terompah-terompah kaki orang yang mengantarkan kekuburnya (HR Bukhori, Muslim dan lain-lain), bisa mendo’akan kerabatnya dan sebagainya (HR Ahmad dan Turmudzi dari Anas). Begitu juga Imam Bukhori dan Muslim mengemukakan kisah perjalanan Isra-Mi’raj Nabi saw.. Setiap beliau saw. bertemu para Nabi dan Rasul terdahulu, semua mendo’akan kebajikan bagi beliau saw.. Dengan demikian disini menunjukkan bahwa arwah orang yang telah wafat di alam baqa bisa berdo’a.

    Rasulallah saw. juga bersabda bahwa arwah kaum mu’minin bisa terbang kemana saja yang mereka kehendaki (dari Salman Al-Farisy yang ditulis oleh Ibnul Qayyim ‘Mengenai soal ruh’ halaman 144, serta ada sabda Rasulallah saw. yang serupa juga diriwayatkan oleh Imam Malik ra). Begitu juga mengenai adzab/siksa didalam kubur dan lain sebagainya.

    Didalam buku fiqih Sunnah Sayid Sabiq ,Indonesia, jilid 4 dari hal.221 bab pertanyaan didalam kubur, antara lain ditulis:
    “Berkata Ibnul Qayim:’Menurut madzhab golongan Salaf serta para imam mereka, jika seseorang wafat, maka adakalanya ia akan berbahagia dan adakalanya pula celaka, hal mana akan dirasakan oleh ruh dan badannya. Ruhnya itu akan tetap ada setelah ia berpisah dari badan, mengalami kebahagiaan atau kesengsaraan, dan sewaktu-waktu ia akan kembali berhubungan dengan badannya, buat menikmati kebahagiaan atau menderitakan kesengsaraan itu bersama-sama. Kemudian bila datang saatnya kiamat besar, ruh-ruh itu pun kembali kepada tubuh masing-masing, dan bangkit lah mereka dari kubur untuk menghadap Allah Rabbul ‘Alamin. Dan mengenai kembalinya badan-badan ini, disepakati bersama baik oleh golongan Muslimin, Yahudi maupun Nasrani’ “.

    Dalam halaman 223 dibuku fiqih sunnah tersebut juga ditulis, bahwa Hafidz berkata dalam Al-Fath:
    “Ahmad bin Hazmin dan Ibnu Hurairah berpendapat bahwa pertanyaan (kubur) itu hanya diajukan kepada ruh saja, tanpa kembalinya kepada tubuh. Pendapat ini berbeda dengan pendapat jumhur yang mengatakan, Ruh itu dikembalikan kepada tubuh atau kepada sebagian daripadanya sebagaimana diterangkan oleh hadits. Seandainya hanya kepada ruh saja, maka badan tidak mempunyai keistemewaan apa-apa. Dan tidak ada halangannya jika tubuh mayat telah terpisah-pisah, karena Allah mampu mengembalikan kehidupan kepada satu bagian dari tubuh tsb., yang akan menjadi sasaran pertanyaan, disamping Dia mampu pula menghimpun bagian-bagian tubuh yang telah berserakan”.

    Yang menjadi alasan bagi orang yang mengatakan bahwa pertanyaan kubur itu hanya ditujukan kepada ruh saja, ialah karena menurut pengamatan, tidak ada tanda-tanda dan bekas tampak pada tubuh itu sewaktu ditanya, seperti bangkit duduk, digencet atau dilapangkan tempat dan lain-lain. Dan demikian pula halnya dengan mayat yang tidak ditanam seperti yang disalib dan lain-lain. Sebagai jawabannya, jumhur mengatakan bahwa itu tidak menjadi halangan dalam kodrat Ilahi, bahkan ada bandingannya dalam kehidupan sehari-hari. Yaitu orang yang tidur, kadang-kadang ia merasakan kesenangan atau kesakitan, sedang teman yang didekatnya tidak mengetahuinya. Bahkan juga orang yang tidak tidur (sedang bangun), kadang-kadang ia merasakan kesenangan atau kesakitan, sedang teman yang didekatnya tidak mengetahuinya. Atau dia sedang merasa susah atau senangdisebabkan apa yang sedang didengar atau dipikirkannya, padahal kawan duduknya tidak menyadarinya.
    Pokok pangkal kesalahan terletak dalam menyamaratakan yang ghaib dengan yang nyata, suasana dialam barzakh dengan dialam dunia.Rupanya Allah swt telah menurunkan hijab/tirai dan menutupi pandangan dan pendengaran hamba dari menyaksikan peristiwa-peristiwa itu, agar mereka tidak takut dan tidak melarikan diri. Apalagi alat-alat indera duniawi tidak mempunyai kemampuan buat menembus soal-soal dialam malakut, kecuali bagi orang-orang yang di-izinkan Allah swt.
    Demikianlah antara lain yang dikutip oleh Sayid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnahnya. Kami sengaja sering mengutip dari bukunya Sayid Sabiq karena sebagian besar pendapat beliau sepaham dengan golongan Wahabi/Salafi.

    Agama Islam mewajibkan mempercayai adanya alam ruh walaupun semuanya ini belum terjangkau dengan akal manusia. Semuanya ini telah dijelaskan baik dalam ayat ilahi maupun sunnah Rasulallah saw.. Hadits-hadits diatas ini (bisa melihat siapa yang memandikannya, yang mengantarkan keliang kubur, bisa terbang kealam mana saja yang dia dikehendaki dan lain sebagainya) juga menunjukkan dan memperkuat kenyataan adanya kehidupan dialam ghaib (barzakh).

    Marilah kita ikuti kajian berikutnya.
    Hadits dari Anas bin Malik sebagai berikut :  َّ

       عَنْ أنَسٍ بْنِ مَالِكٍ (ر) أنَّ رَسُوْلَ الله .صَ. تَرَكَ قََتـْلَى بَدْ ٍر ثَلاَثًا ثُمَّ أتَاهُـمْ فَقَامَ عَلَيْهِمْ فَنَادَاهُمْ فَقَالَ:          
     يَا أبَا جَهلٍ ابْنَ هِشَـامٍ يَا أمَيَّةُ ابْنَ خَلَفٍ يَا عُتْبَةُ ابْنَ رَبِيْعَة يَا شَيْبَة ابْنَ رَبِيـْعَة اَلَيْسَ قَدْ وَجَدْتُمْ              
    مَا وَعَد رَبُّكُمْ حَقـًّا فَاِنّيِ قَدْ وَجَدْتُ مَا وَعَدَنِي رَبِّي حَقـًّا.فَسَمِعَ عُمَرُ قَوْلَ النَّبِي فَقَالَ: يَا رَسُولَ الله          
     كَيْفَ يَسْمَعُوْا وأنَّي يُجِيبُوْا وَ قَدْ جَيِِّفُوْا. قَالَ: وَالَّـذِي نَفْسِي بِيَدِه مَا أنْـتُمْ بِأسْمَع لِمَا أقُوْلُ مِنْهُمْ                     
      وَلَـكِنَّهُمْ لاَ يَقـدِرُوْنَ اَنْ يجِيْبُوا (رواه البخاري ومسلم)                                                           

    Artinya: “Bahwa Rasulallah saw. membiarkan mayyit orang kafir yang terbunuh dalam peperangan Badar selama tiga hari. Kemudian beliau saw mendatangi mereka lalu berdiri sambil menyeru mereka:  ‘ Hai Abu Jahal bin Hisyam, Hai Umayyah bin Khalaf, Hai Utbah bin Rabi’ah, Hai Syaibah bin Rabi’ah! Bukankah kamu telah mendapat- kan janji Tuhanku sebagai sesuatu yang benar (yakni kalah dan terbunuh). Sesungguhnya aku telah mendapatkan janji Tuhanku sebagai sesuatu yang benar (yakni memperoleh kemenangan)’  Umar bin Khattab ra mendengar ucapan Nabi saw. bertanya: ‘ Wahai Rasulallah, bagaimana mereka bisa mendengar dan bagaimana pula mereka bisa menjawab sedangkan mereka telah menjadi bangkai ? Maka Rasulallah saw. bersabda: ‘Demi zat yang diriku ada di tangan-Nya, tidaklah kamu memiliki kemampuan mendengar yang melebihi mereka terhadap apa yang aku ucapkan, akan tetapi mereka tidak mampu menjawab’ “. (HR.Bukhori, Muslim). 

    Lihat hadits terakhir diatas ini yang mana Rasulallah saw. telah tegas menjawab pertanyaan khalifah Umar bin Khattab ra bahwa mayit itu bisa mendengar perkataan Nabi saw. malah pendengaran mereka itu lebih tajam dari para sahabat yang hadir. Hadits ini menunjukkan kebolehan kita untuk memanggil orang yang telah wafat dengan kata-kata Ya Fulan (Hai anu).  Mengapa justru golongan pengingkar melarang kita memanggil junjungan kita Muhammad saw. dengan kata-kata Ya Rasulallah…, apa salahnya dalam hal ini? (keterangan lebih jelas silahkan baca bab tawassul dan tabarruk dalam website ini).

    Ada golongan yang senang memutar balik makna hadits dari Anas bin Malik tersebut dengan mengatakan, hal ini karena Rasulallah saw. yang berkata kepada si mayit, bila selain beliau saw. maka mayit tersebut tidak akan bisa mendengar. Pikiran mereka semacam ini sudah tentu salah karena yang pertama dalam hadits itu  Rasulallah saw. tidak mengatakan khusus untuk beliau mayit tersebut bisa mendengar ucapannya, sedangkan selain beliau mayyit itu tidak bisa mendengar. Bila demikian Rasulallah saw akan menjawab terhadap Umar ra ‘mereka itu mendengar karena aku yang berbicara padanya dan selain aku maka mereka tidak bisa mendengarnya’ tapi jawaban beliau saw. adalah: ‘tidaklah kamu memiliki kemampuan mendengar yang melebihi mereka terhadap apa yang aku ucapkan’..  

    Yang kedua; banyak hadits lain mengatakan bahwa orang yang sudah dikuburkan itu dikembalikan ruhnya kedalam tubuhnya, bisa mendengar terompah para pengantar jenazahnya, bisa merasakan hidup bahagia atau sengsara (adzab kubur) di-alam barzakh, dan lain sebagainya. Dalam hadits lain Rasulallah saw. menyuruh kita menziarahi kubur dan memberi salam kepada mereka. Tidak lain yang menjadikan semua mayit bisa mendengar dan sebagainya ini adalah Allah swt. dan tidak ada seorang pun yang meragukan bahwa Allah swt. mampu melakukan yang demikian ini.

    Telitilah hadits-hadits Rasulallah baik yang telah kami kemukakan maupun pada halaman berikut ini yang mana beliau saw. bisa menjawab semua salam yang disampai- kan kepadanya. Beliau saw. juga bisa berdo'a kepada Allah swt. untuk kaum muslimin yang masih hidup dan lain sebagainya, walaupun beliau saw. sudah wafat. Begitupun juga ruh kaum mukminin lainnya.

     Hadits dari Abu Ya’la dalam mengemukakan persoalan Nabi ‘Isa as. dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Jika orang berdiri diatas kuburku lalu memanggil ‘Ya Muhammad Rasulallah’ pasti kujawab”. Hadits ini dikemukakan juga oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Al-Mathalibil-Aliyah jilid 4/23 pada bab: ‘Kehidupan Rasulallah saw. didalam kuburnya’.  

    Anas bin Malik ra meriwayatkan sebuah hadits, bahwa Rasulallah saw. pernah menerangkan: “Para Nabi hidup didalam kubur mereka dan mereka bersembahyang”. Hadits ini diketengahkan oleh Abu Ya’la dan Al-Bazaar di dalam kitab Majma’uz- Zawaid jilid 8/211. Imam Al-Baihaqi juga mengetengahkan juga dalam bagian khusus dari risalahnya.  

     Anas bin Malik ra. juga mengatakan, bahwa Rasulallah saw. pernah memberitahu para sahabatnya bahwa: “Para Nabi tidak dibiarkan didalam kubur mereka setelah empat puluh hari, tetapi mereka bersembah-sujud dihadapan Allah swt.hingga saat sangkala ditiup (pada hari kiamat). 

    Al-Baihaqi menanggapi hadits ini dengan tegas mengatakan: ‘Tentang kehidupan para Nabi setelah mereka wafat banyak diberitakan oleh hadits-hadits shohih’. Setelah itu ia menunjuk kepada sebuah hadits shohih yang meriwayatkan bahwa Rasulallah saw. bersabda :Aku melewati Musa (dalam waktu Isra’) sedang berdiri sembahyang didalam kuburnya”. 

    Sebagaimana telah diketahui oleh kaum muslimin, bahwa dalam perjalanan Isra’ Rasulallah saw. melihat Nabi Musa as. sedang berdiri sholat, Nabi ‘Isa as. juga sedang berdiri sholat. Bahkan Rasulallah saw. mengatakan bahwa Nabi ‘Isa as mirip dengan ‘Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafy. Beliau saw. juga melihat Nabi Ibrahim as. sedang berdiri sholat dan Nabi ini mirip dengan beliau saw. Setiba saat sholat berjama’ah beliaulah yang meng- imami para Nabi dan Rasul sebelumnya. Usai sholat malaikat Jibril as berkata kepada beliau saw.: ‘Ya Rasulallah, lihatlah, itu malaikat Malik, pengawal neraka, ucapkanlah salam kepadanya’. Akan tetapi baru saja Rasulallah saw. menoleh ternyata malaikat Malik sudah mengucapkan salam lebih dahulu.  
    Riwayat tentang Isra’ ini dapat kita baca dalam Shohih Muslim yaitu riwayat yang berasal dari Anas bin Malik dan diketengahkan oleh ‘Abdurrazzaq di dalam Al-Mushannaf jilid 3/577.  

    Dalam Dala’ilun-Nubuwwah Al-Baihaqi mengetengahkan sebuah hadits shohih dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulallah saw. mengatakan setelah Isra’: “Pada malam Isra’ aku melihat Musa dibukit pasir merah sedang berdiri sembahyang dalam kuburnya”. Hadits ini diketengahkan juga oleh Muslim dan Shohih-nya jilid 11/268.  
    Banyak hadits dari Rasulallah saw. waktu beliau saw. Isra’ dan Mi’raj telah melihat para Nabi dan Rasul ; Musa as. ‘Isa as. Ibrahim as. Idris as., Yunus, Yusuf as. dan lain-lain. Ini juga membuktikan bahwa para Nabi dan Rasul hidup di alam barzakh dengan kemuliaan, keagungan dan keluhuran yang serba sempurna berkat karunia Allah swt. dan mereka tetap bersembah sujud kepada Allah swt. Begitu juga dalam riwayat Isra’ dan Mi’raj ini, setiap Rasulallah saw. bertemu para Rasul selalu berdo’a kepada Allah swt. kebaikan dan kebajikan untuk Rasulallah saw. Dengan demikian menunjuk kan bahwa orang yang telah wafat masih bisa juga berdo’a kepada Allah swt. untuk orang yang masih hidup.

    Sedangkan hadits-hadits Nabi saw. mengenai pertanyaan dan siksa kubur diantaranya: Diriwayatkan oleh Muslim dari Zaid bin Tsabit, diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Qatadah yang diterimanya dari Anas bin Malik, diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim dan Ash Habus Sunan dari Barra’ bin ‘Azib, dan yang tercantum dalam Musnad Imam Ahmad, dan shohih Abu Hatim, diriwayatkan shohih Bukhori yang diterima dari Samurah bin Jundub, diriwayatkan oleh Thahawi dari Ibnu Mas’ud, diriwayatkan oleh Nasa’i dan Muslim yang diterima dari Anas, yang diriwayatkan oleh Nasa’I, Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar.
    (Kami sengaja mencantumkan perawi-perawinya saja dan tidak mencantumkan hadits-haditsnya karena cukup panjang sehingga memerlukan halaman yang lebih banyak lagi. Bagi pembaca yang ingin mengetahui hadits mengenai ruh-ruh dialam barzakh dan adzab kubur, lebih mudahnya silahkan rujuk pada buku terjemahan bahasa Indonsia Fikih Sunnah oleh Sayyid Sabiq jilid 4 dari hal. 221). 

    Jadi jelas sekali banyak riwayat hadits mengenai ruh-ruh orang mukmin di alam barzakh, mereka bisa tetap mendapat pahala, bisa berdo’a, terbang kemana-mana menurut kehendaknya dan sebagainya. Semuanya ini adalah kekuasaan Ilahi yang kadang kala tidak terjangkau oleh pikiran manusia biasa, yang belum diberi ilmu oleh Allah swt. mengenai hal itu.
    Nabi saw. juga mensunnahkan memohonkan ampun bagi mayat pada waktu sholat jenazah, ziarah kubur dan waktu lainnya atau berdo’a pada ketika baru selesai dimakam- kan, agar dikuatkan pendiriannya. Sebuah hadits yang diterima dari Usman bin Affan di riwayatkan oleh Abu Dawud dan oleh Hakim yang menyatakan sahnya, juga oleh Al Bazzar.

    كَانَ النَّبِي.صَ. إذَا فُرِغَ مِنَ الدَّْفْنِ المَيِّت وَقَفَ عَلَيْهِ, فَقَالَ: إستَغْفِرُوا ِلأخِيْكُمْ وَسَلوُا لَهُ التَثبِـيْتَ فَإنّـَهُ الأنَ يُسْألُ 
     (رواه ابو داود والحكم وصححه والبزار)                                                                             
                      
    Artinya: “Bila selesai menguburkan mayat, Nabi saw., berdiri di depannya dan bersabda: Mohonkanlah ampun bagi saudaramu, dan mintalah dikuatkan hatinya, karena sekarang ini ia sedang ditanya (oleh Malaikat Munkar dan Nakir)”.

    Talqin
    Dengan adanya ayat ilahi dan hadits-hadits tadi dari Anas bin Malik mengenai mendengarnya gembong-gembong kafir yang telah wafat atas ucapan Rasulallah saw. dan hadits terakhir diatas dari Utsman bin Affan serta hadits-hadits lainnya tentang kehidupan ruh-ruh manusia yang telah wafat, banyak para pakar menganjurkan bacaan Talqin (berarti mengajari dan memberi pemahaman/peringatan) dimuka kuburan mayyit yang baru selesai di makamkan, yang akan berhadapan dengan malaikat Munkar dan Nakir untuk menanyainya. Sudah tentu semua orang itu tergantung dari amal sholehnya waktu dia masih hidup bukan hanya tergantung dari Talqin ini. Tapi ini bukan berarti si mayit tidak bisa mengambil manfa’at dari amalan orang yang masih hidup (diantaranya Talqin ini), juga bukan berarti Allah swt. telah menutup manfa’at amalan orang yang masih hidup, yang ditujukan pada si mayit ini. Rahmat, Kurnia dan Ampunan Ilahi sangat luas sekali, janganlah kita sendiri yang membatasinya !

    Menurut istilah talqin ini memiliki dua pengertian yaitu; Mengajarkan kepada orang yang akan wafat kalimat tauhid yakini Laa ilaaha illallah  yang kedua ialah: Mengingatkan orang yang sudah wafat, yang baru saja dikuburkan beberapa hal yang penting baginya untuk menghadapi dua malaikat yang akan datang padanya.

    Salah satu hadits mengenai talqin adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, imam Abi Dawud, dan imam An Nasai  :
    لقنوا موتاكم لا إله إلا الله
    “Talqinilah orang-orang mati kalian dengan لا إله إلا الله
    Memang mayoritas ulama mengatakan bahwa yang dimaksud lafadz  موتاكم dalam hadits diatas ialah orang-orang yang hampir mati bukan orang-orang yang telah mati, sehingga hadits tersebut menggunakan arti majas (arti kiasan) bukan arti aslinya. Akan tetapi, tidak salah juga jika kita artikan lafadz tersebut dengan arti aslinya yaitu orang yang telah mati. Karena menurut kaidah bahasa arab, untuk mengarahkan suatu lafadz kepada makna majasnya diperlukan adanya qorinah (indikasi) baik berupa kata atau keadaan yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan perkataan tersebut adalah makna majasnya bukan makna aslinya.
    Sebagai contoh jika kita katakan “talqinillah mayit kalian sebelum matinya”  maka kata-kata “sebelum matinya” merupakan qorinah yang mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan kata mayit dalam kalimat ini bukan makna aslinya (yaitu orang yang telah mati), tapi makna majasnya (orang yang hampir mati).Sedangkan dalam hadits tersebut tidak diketemukan Qorinah untuk mengarahkan lafadz موتاكم kepada makna majasnya, maka sah saja jika kita mengartikannya dengan makna aslinya yaitu orang-orang yang telah mati bukan makna majasnya. Pendapat inilah yang dipilih  oleh sebagian ulama seperti Imam Ath Thobary, Ibnul Humam, Asy Syaukany, dan Ulama lainya.


    Selain hadits diatas, didalam kitab Fikih Sunnah (bahasa Indonesia) oleh Sayyid Sabiq bab Hukum menalkinkan mayit jilid 4 halaman 168-169 cetakan pertama 1978, cetakan (angka terakhir) 2019181716151413 diterbitkan oleh PT Alma’arif, dihalaman buku ini ditulis:  
    " Dianggap sunnah oleh Imam Syafi’i dan sebagian ulama lainnya menalkinkan mayat yakni yang telah mukallaf, bukan anak kecil setelah ia (mayit) dikuburkan, berdasar- kan apa yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dari Rasyid bin Sa’ad dan Dhamrah bin Habib dan Hakim bin ‘Umeir (ketiga mereka ini adalah tabi’in yakni yang bertemu dengan para sahabat dan tidak menjumpai Nabi saw.) kata mereka:
    “Jika kubur mayat itu telah selesai diratakan dan orang-orang telah berpaling mereka menganggap sunnah mengajarkan kepada mayat dikuburnya itu sebagai berikut: ‘ Hai Anu (nama si mayit disebutkan), ucapkanlah Laa ilaaha illallah asyhadu an laa ilaaha illallah’, sebanyak tiga kali ! Hai Anu, katakanlah; ‘Tuhanku ialah Allah, agama- ku ialah Islam dan Nabiku Muhammad saw.’  Setelah mengajarkan itu barulah orang tadi berpaling ". Riwayat dari tabi’in ini ada disebutkan juga oleh Hafidz dalam At-Takhlis dan beliau berdiam diri mengenai hal itu.

    Imam Thabarani meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Umamah yang katanya sebagai berikut: 
    Jika salah seorang diantara saudaramu meninggal dunia, dan kuburnya telah kamu ratakan, maka hendaklah salah seorang diantaramu berdiri dekat kepala kubur itu dan mengatakan: ‘Hai Anu anak si Anu ! Karena sebenarnya ia (si mayit) bisa mendengarnya tetapi tidak dapat menjawab. Lalu hendaklah dipanggilnya lagi; Hai Anu anak si Anu! Maka mayit itu akan duduk lurus. Lalu dipanggilnya lagi; Hai Anu anak si Anu ! Maka ia (si mayit) akan menjawab; Ajarilah kami ini! Hanya kamu (orang-orang yang masih hidup) tidak menyadarinya. Maka hendaklah diajarinya (sebagai berikut):
    ‘Ingatlah apa yang kaubawa sebagai bekal tatkala meninggalkan dunia ini, yaitu mengakui bahwa tiada Tuhan, melainkan Allah, dan bahwa Muhammad itu hamba dan utusan-Nya, dan bahwa engkau telah meridhoi Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi dan Al-Qur’an sebagai Imam’. Maka Munkar dan Nakir akan saling memegang tangan sahabatnya dan mengatakan: Ayolah kita berangkat ! Apa perlunya klita menunggu orang yang diajari jawabannya yang benar ini ! Seorang lelaki bertanya: Ya Rasulallah, bagaimana kalau ibunya tidak dikenal? Ujarnya (Nabi saw.) ‘Hubungkan saja dengan neneknya Hawa dan katakan; Hai Anu anak Hawa ‘ “.

    Berdasarkan hadits ini, para ulama Syafi`iyah, sebagian besar ulama Hanbaliyah, dan sebagian ulama Hanafiyah serta Malikiyah menyatakan bahwa mentalqini mayit adalah mustahab (sunah). Berkata Hafidz dalam At-Talkhish: ‘Isnad hadits itu baik dan dikuatkan oleh Dhiya’ dalam buku Ahkam-nya. Dan pada sanadnya terdapat: ‘Ashim bin Abdullah, seorang yang lemah. Berkata Haritsani setelah mengemukakan hadits diatas ini: ‘Pada sanadnya terdapat sejumlah orang yang tidak saya kenal’.
    Sedangkan kata Imam Nawawi: ‘Hadits ini walaupun lemah, tapi dapat diterima’! Para ulama hadits dan lain-lain telah menyetujui sikap yang luwes dalam menerima hadits-hadits mengenai keutamaan-keutamaan, anjuran-anjuran dan ancaman-ancaman. Apalagi ia telah dikuatkan oleh keterangan-keterangan lain seperti hadits yang lalu  'dan mohonlah agar hatinya dikuatkan'. Dan wasiat dari Amr bin Ash, sedang keduanya merupakan keterangan yang sah. Dan hal ini tetap dilakukan oleh penduduk Syria, dari masa Amr itu hingga sekarang. Sedangkan menurut keterangan yang masyhur pendapat golongan Maliki dan sebagian golongan Hambali, talqin itu hukumnya makruh".  
    Demikianlah yang ditulis oleh Sayid Sabiq.

    Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim r.a :

    وعن عمرو بن العاص – رضي الله عنه – ، قَالَ : إِذَا دَفَنْتُمُونِي ، فَأقِيمُوا حَوْلَ قَبْرِي قَدْرَ مَا تُنْحَرُ جَزُورٌ ، وَيُقَسَّمُ لَحمُهَا حَتَّى أَسْتَأنِسَ بِكُمْ ، وَأعْلَمَ مَاذَا أُرَاجِعُ بِهِ رُسُلَ رَبِّي . رواه مسلم


    Artinya: Diriwayatkan dari `Amr bin Al `Ash, beliau berkata : Apabila kalian menguburkanku, maka hendaklah kalian menetap di sekeliling kuburanku seukuran disembelih- nya unta dan dibagi dagingnya sampai aku merasa terhibur dengan kalian dan saya mengetahui apa yang akan saya jawab apabila ditanya Mungkar dan Nakir.

    Semua hadits ini menunjukkan bahwa talqin mayit memiliki dasar yang kuat. Juga menunjukkan bahwa mayit bisa mendengar apa yang dikatakan pentalqin dan merasa terhibur dengannya. Salah satu ayat yang mendukung hadits di atas adalah firman Allah swt.:

    وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

    Artinya:Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. “



    Ayat ini memerintah kita untuk memberi peringatan secara mutlak tanpa mengkhususkan orang yang masih hidup. Karena mayit bisa mendengar perkataan pentalqin, maka talqin bisa juga dikatakan peringatan bagi mayit, sebab salah satu tujuannya adalah mengingatkan mayit kepada Allah agar bisa menjawab pertanyaan malaikat kubur dan memang mayit di dalam kuburnya sangat membutuhkan peringatan tersebut. Jadi ucapan pentalqin bukanlah ucapan sia-sia karena semua bentuk peringatan pasti bermanfaat bagi orang-orang mukmin.  


    Lebih mudahnya, kami anjurkan bagi pembaca yang ingin tahu mendetail mengenai dalil-dalil dan wejangan para pakar tentang pembolehan talqin ini bisa membaca buku yang berjudul Argumentasi Ulama Syafi’iyah oleh Ust.H.Mujiburrahman atau langsung merujuk kitab-kitab ulama berikut ini ,yang disebutkan dibuku itu, antara lain ialah: Imam Nawawi dalam kitabnya Majmu’ Syarah Muhazzab 5/303 dan kitabnya Al-Azkar hal.206 didalam kitab ini disebutkan juga nama ulama salaf yang membolehkan talqin. 
    Syaikh Dr. Wahbah Zuhaily dalam kitabnya Al-Fighul Islami 11/536 
    Syaikh Yusuf Ardubeli dalam kitabnya Al-Anwar 1/124 
    Syaikh Khatib Syarbini dalam kitabnya Al-Iqna’/183 
    Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj 3/207 
    Imam Ramli dalam kitabnya Nihayatul Muhtaj 3/40. Dan masih ada lagi para pakar lainnya yang membolehkan talqin ini, tidak lain semuanya merupakan Fadha’ilul A’mal amalan-amalan yang mengandung keutamaan yang terdiri dari do’a-do’a dan dzikir . 

    Dengan demikian amalan Talqin sudah dikenal dan diamalkan oleh para salaf serta para pakar dari zaman dahulu. Bagi orang yang tidak mau mengamalkan hal ini karena mengikuti wejangan ulamanya silahkan, karena hal ini bukan amalan wajib, tapi janganlah mencela, mensesatkan, mengharamkan sampai-sampai berani  mensyirik- kan orang yang mau mengamalkan talqin ini, karena mereka ini juga mempunyai dalil dan mengikuti wejangan para pakar Islam serta para salaf. 

    Sekalipun ada golongan yang mengatakan hadits-hadits mengenai talqin diatas adalah lemah atau tidak ada sama sekali, tidak ada halangan untuk mengamalkan amalan-amalan yang mengandung keutamaan yang terdiri dari do’a-do’a dan dzikir. Sebagaimana kaidah yang dikenal para pakar hadits diantaranya Ibnu Hajr dalam kitab Fathul Mubin :32 yang mengatakan: ‘Sesungguhnya para ulama sepakat bahwa hadits lemah boleh dipakai/diamalkan pada Fadha’ilul ‘Amal (amal-amal yang mengandung ke utamaan)’.  
    Sudah tentau hadits Fadha'ilul Amal yang lemah ini tidak boleh bertentangan dengan hadits shohih.  
                                                                                                                              
    Mari kita rujuk lagi dalil-dalil bahwa manusia yang telah wafat dapat berdo’a dan melihat amalan para kerabatnya yang masih hidup didunia: 

    Firman Allah swt. dalam At-Taubah:105: “Dan katakanlah (hai Muhammad); Hendaklah kalian berbuat. Allah dan Rasul-Nya serta kaum Mu’minin akan melihat perbuatan/pekerjaaan kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada-Nya yang Maha Mengetahui segala yang ghaib dan yang nyata, lalu oleh-Nya kalian akan di beritahukan apa yang telah kalian perbuat/kerjakan”.  
    Sekaitan dengan makna ayat diatas ini, ada beberapa hadits Nabi yang menerangkan bahwa semua perbuatan kaum Mu’minin akan dihadapkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad saw. dan kepada sanak-keluarga dan kaum kerabat yang telah wafat. Mereka yang telah meninggal itu akan bersedih hati bila kerabat mereka yang didunia melakukan amalan-amalan yang dilarang oleh Allah swt., sehingga mereka berdo’a pada Allah swt. agar kerabatnya yang didunia mendapat hidayah dari Allah sebelum mereka wafat. Mereka juga akan merasa bahagia bila mendengar amalan-amalan baik dari kerabatnya yang didunia. Ibnu Mas’ud ra menuturkan, bahwa Rasulallah saw. telah menyatakan:

    ......حَياَتيِ خَيْرُْ لَّكُمْ فَاِذَا أَنَامِتُّ كَانَتْ وَفَاتِى خَيْرًا لَكُمْ تُعْرَضُ عَلَىَّ أَعْمَالكُمْ فَاِنْ رَأَيْتُ خَيْرًا حَمِدْتُ الله وَأِنْ رَأَيْتُ شَرًّا اسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ

     Artinya:"Hidupku didunia adalah suatu kebaikan bagi kalian. Bila aku telah wafat, maka wafatku pun kebaikan bagi kalian. Amal perbuatan kalian akan diperlihatkan kepadaku. Jika aku melihat sesuatu baik, kupanjatkan puji syukur kehadirat Allah, dan jika aku melihat sesuatu yang buruk aku mohonkan ampunan kepada-Nya bagi kalian"

    Hadits diatas ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam Musnadnya dengan sanad yang jayyid (bagus) dari Ibnu Mas’ud dan para perawi yang shahih, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Al-Hafidz As-Suyuthi dalam Khasa’is Kubra 2/281,  Al-Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 8/594 no 14250, Al-Hafidz Al-Iraqi dalam Tharh Tatsrib Fi Syarh Taqrib 3/275 dan lain-lainya. Hadits ini di riwayatkan dari Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abi Rawad. Beberapa ulama menolaknya dengan alasan dia adalah paham Irja’, padahal penolakan dengan alasan itu bukan merusak kredibilitas Abdul Majid sebagai perawi hadits. Demikian juga Adz-Dzahabi dalam Man Takallamu Fiihi Wa Huwa Muwats- tsaq 1/124 no 220 mengetahui bahwa Abdul Majid seorang Murjiah yang menyebarkan pahamnya, beliau tetap menyatakan Abdul Majid itu tsiqat.

    Hadits diatas juga diriwayatkan dengan sanad yang shahih sampai ke Bakr bin Abdullah Al-Muzanni. Dalam sanad hadits dari Bakr bin Abdullah ini tidak ada satupun yang memuat nama Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abi Rawad.Qadhi Ismail bin Ishaq dalam kitab Fadhail Shalatu Ala Nabi no 25 dan no 26 meriwayatkan hadis tersebut dengan sanad dari Bakr bin Abdullah Al-Muzani,. begitu juga Ibnu Sa’ad dengan sanad yang shahih dalam Thabaqat Ibnu Sa’ad 2/194. Dengan demikian Abdul Majid tidak menyendiri ketika meriwayatkan hadits ini.

    Hadits yang diriwayatkan Ibnu Jarir dari Abu Hurairah ra., sebagai berikut

                                             

    إنَّ أعْمَالَـكُمْ تُعْرَضُ عَلََى اَقربَائِكُمْ مِنْ مَوْتَاكـُمْ فَإنْ رَأوْا خَيْرًا فَرِحُوا بِهِ, وَإذَا رَأوا شَرًّا كَرِهُوْا (رواه ابن جرير


    Artinya: Sesungguhnya perbuatanmu akan dihadapkan pada kaum kerabatmu yang telah meninggal. Jika dilihatnya baik, maka mereka akan gembira, dan jika dilihatnya jelek, mereka akan kecewa”.  (Riwayat Ibnu Jarir dari Abu Hurairah



    Ibnu Katsir juga menerangkan bahwa amal perbuatan orang-orang yang masih hidup diperlihatkan kepada sanak-keluarga dan kaum kerabat yang telah wafat, dialam barzakh.
    Kemudian ia mengetengahkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud At-Thayalaisi, berasal dari Jabir ra. yang menuturkan, bahwasanya Rasulallah saw. telah menegaskan: Amal perbuatan kalian akan diperlihatkan kepada sanak-keluarga dan kaum kerabat (yang telah wafat). Jika amal kalian itu baik mereka menyambutnya dengan gembira jika  sebaliknya mereka berdo’a; Ya Allah berilah mereka ilham agar berbuat baik dan ta’at kepada-Mu. .
    Selanjutnya Ibnu Katsir mengetengahkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad berasal dari Anas bin Malik ra. yang menuturkan bahwa Rasulallah saw. bersabda: 



    إِنَّ أعْمَالَـكُمْ تُعْرَضُ عَلََى اَقارِبكُمْ وَعَشَائِرِكُمْ مِنَ اللأمْوَاتِ فَإنْ كَاَن خَيْرًا إسْتَبـْشِرُوْا بِهِ,

     وَإنْ كَانَ غَيْرَذَالِكَ قَالُوْا: اللَّـهُمَّ لاَ تَمُتْهُمْ حَتىَّ تُهْدِيْـهِمْ كَمَا هَدَيْتَنَا. (رواه احمد و الترميذي)


    Artinya: “Sesungguhnya amal perbuatanmu akan dihadapkan kepada kaum kerabat dan keluargamu yang telah wafat. Jika baik, mereka akan gembira karenanya, dan jika tidak mereka akan memohon: ‘Ya Allah, janganlah mereka diwafat kan sebelum mereka Engkau tunjuki, sebagaimana Engkau telah menunjuki kami’“.(HR. Ahmad dan Turmudzi dari Anas). 


    Begitu juga masih banyak hadits yang serupa tapi versinya berbeda. Tidak lain semuanya menunjukkan bahwa rahmat dan karunia Allah ta’ala tidak ada batasnya. Jika kita tidak mempercayai kehidupan selain di alam dunia saja, seperti yang disebutkan oleh ayat-ayat Ilahi dan hadits-hadits Nabi saw. serta tidak mau tahu hal-hal ghaib maka kita bukan tergolong sebagai orang yang beriman. Allah sendiri menerangkan bahwa urusan ruh tersebut adalah urusan Allah swt.(Al-Israa : 85), karena ilmu manusia yang sangat minim ini sangatlah sulit untuk menjangkau hal-hal yang ghaib, kecuali orang-orang pilihan yang diberi ilmu oleh Allah swt. untuk mengetahuinya. 

               

    Mungkin golongan pengingkar akan mengatakan sebagaimana kebiasaan mereka bahwa hadits-hadits yang telah dikemukakan semuanya tidak dapat dipercaya, bukan hadits shohih ! Baiklah, tetapi apakah mereka ini dapat membuktikan atas dasar kesaksiannya sendiri bahwa hadits itu bohong atau tidak shohih? Tidak lain mereka ini akan mengemukakan hadits atau wejangan menurut pandangan ulama, terutama ulama mereka mengenai masalah diatas. Apakah mereka hendak memaksakan dan mewajibkan kepada orang lain supaya mempercayai atau mengikuti sebagian ulama dan melarang mengikuti paham ulama lainnya mengenai ‘kebenarannya hadits ’ ? Renungkanlah !


    Banyak sekali contoh pada zaman modern ini yang kita lihat dan dengar sendiri tentang kejadian yang menakjubkan, tapi tidak semua yang terjadi tersebut terjangkau oleh setiap akal manusia. Begitu juga ayat-ayat Ilahi yang menerangkan kisah-kisah yang semuanya masih diluar jangkauan akal manusia, seperti kisah pada zaman Nabi Sulaiman as. yang tercantum didalam surat An-Naml; 38-40, kisah para pemuda yang berada di gua Kahfi (Al-Kahfi: 9-12), juga mengenai orang yang dimatikan oleh Allah swt. selama seratus tahun kemudian dihidupkannya kembali ( Al-Baqarah: 259) dan masih banyak ayat-ayat lainnya yang tidak terjangkau dengan akal manusia. Semua kisah ini adalah firman Ilahi yang harus kita imani/percayai walaupun belum bisa terjangkau dengan akal manusia kecuali mereka yang telah diberikan ilmu oleh Allah swt. Wallahu a'lam . 

    Tahlil/Yasinan (amalan atau hadiah pahala untuk orang mati serta dalilnya) 
    Setelah kita membaca uraian mengenai amalan orang hidup yang bisa bermanfaat bagi si mayit, hadiah pahala pembacaan Al-Qur’an dikuburan, ruh-ruh kaum muslimin, talqin dan lain sebagainya, insya Allah jelas bagi pembaca bahwa amalan-amalan yang diamalkan saudara-saudara kita ,selain sekte Wahabi dan pengikutnya, itu mempunyai dalil dan akar yang kuat. Begitu juga dengan majlis dzikir tahlil/yasinan yang sering kita lihat, dengar atau kita alami sendiri terutama di Indonesia. Didalam majlis ini dikumandangkan pembacaan bersama ayat Al-Qur’an, berdo’a yang ditujukan untuk kita, kaum muslimin umumnya dan khususnya untuk saudara-saudara kita muslimin yang baru wafat atau yang telah lama wafat. Tahlilan boleh diamalkan baik secara bersama maupun perorangan. Hal yang sama ini dilakukan juga baik oleh ulama maupun orang awam di beberapa kawasan dunia umpamanya: Malaysia, Singapore, Yaman dan lainnya.

    Memang berkumpul untuk membaca tahlil ini tidak pernah diamalkan pada zamannya Rasulallah saw.. Itu memang bid’ah (rekayasa), tetapi bid’ah hasanah (rekayasa baik), karena sejalan dengan dalil-dalil hukum syara’ dan sejalan pula dengan kaidah-kaidah umum agama. Sifat rekayasa terletak pada bentuk berkumpulnya jama’ah (secara massal), bukan terletak pada bacaan yang dibaca pada majlis tersebut. Karena bacaan yang dibaca di sana banyak diriwayatkan dalam hadits Rasulallah saw. Tidak lain semuanya ini sebagai ijtihad para ulama-ulama pakar untuk mengumpulkan orang dan mengamalkan hal tersebut.  

    Bentuk atau cara bacaan Tahlil/Yasinan yang dibaca di Indonesia, Malaysia, Singapora, Yaman Selatan ialah: Pertama-tama berdo’a dengan di-iringi niat untuk orang muslimin yang telah lama wafat dan baru wafat tersebut, kemudian disambung dengan bacaan surat Al-Fatihah, surat Yaasin, ayat Kursi (Al-Baqoroh :255) dan beberapa ayat lainnya dari Al-Qur’an, tahlil (Pengucapan Lailahaillallah), tasbih (Pengucapan subhanallah), sholawat Nabi saw. dan sebagainya. Setelah itu ditutup dengan do’a kepada Allah swt. agar pahala bacaan yang telah dibaca itu dihadiahkan untuk orang orang yang telah wafat terutama dikhususkan untuk orang yang baru wafat itu, yang oleh karenanya berkumpulnya orang-orang ini untuk dia. Juga berdo'a pada Allah swt. agar dosa-dosa orang muslimin baik yang masih hidup maupun telah wafat di- ampuni oleh-Nya dan lain sebagainya. Nah, dalam hal ini apanya yang salah...? Allah swt. Maha Pengampun dan Dia telah berfirman akan mengabulkan do'a seseorang yang berdo'a pada-Nya !

    Sedangkan mengenai makanan-makanan yang dihidangkan oleh sipembuat hajat itu bukan masalah pokok tahlilan ini, tidak lain hanya untuk menggembirakan dan menyemarakkan para hadirin sebagai amalan sedekah dan dan tidak ada paksaan! Bila ada orang yang sampai hutang-hutang untuk mengeluarkan jamuan yang mewah, ini bukan anjuran dari agama untuk berbuat demikian, setiap orang boleh mengamalkan menurut kemampuannya. Dengan adanya ini nanti dibuat alasan oleh golongan pengingkar untuk mengharamkan tahlil dan makan disitu. Pengharaman dengan alasan seperti itu sebenarnya bukan alasan yang tepat karena tahlil tidak harus diharamkan atau ditutup karena penjamuan tersebut. Sekali lagi penjamuan tamu itu bukan suatu larangan, kewajiban dan paksaan, setiap orang boleh mengamalkan menurut kemampuannya, tidak ada hadits yang mengharamkan atau melarang keluarga mayyit untuk menjamu tamu yang ta’ziah atau yang berkumpul untuk membaca tahlil  untuk si mayyit..  

    Imam Syafi’i dalam kitabnya Al Umm mengatakan bahwa disunnahkan agar orang membuat makanan untuk keluarga mayyit sehingga dapat menyenangkan mereka, yang mana hal ini telah diriwayatkan dalam hadits bahwa Rasulallah saw. tatkala datang berita wafatnya Ja’far bersabda; ‘Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang kepada mereka urusan yang menyibukkan’ (Tartib Musnad Imam Syafi’i, pembahasan tentang sholat, bab ke 23 ‘Sholat jenazah dan hukum-hukumnya’ hadits nr. 602 jilid 1 hal. 216). 
    Tetapi riwayat itu bukan berarti keluarga si mayyit haram untuk mengeluarkan jamuan kepada para tamu yang hadir. Begitu juga orang yang hadir tidak diharamkan untuk menyuap makanan yang disediakan oleh keluarga mayyit. Penjamuaan itu semua adalah sebagai amalan sedekah dan suka rela terserah pada keluarga mayyit. Rasulallah saw. sendiri setelah mengubur mayit pernah diundang makan oleh keluarga si mayyit dan beliau memakannya.

    .Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu dawud dan Baihaqi dari Ashim bin Kulaib dari ayah seorang sahabat Anshar, berkata: 
    “Kami telah keluar menyertai Rasulallah saw. mengiringi jenazah, maka kulihat Rasulallah saw. berpesan kepada penggali kubur, kata beliau saw.,  ‘perluaslah arah kedua kakinya, perluaslah arah kepalanya’. Ketika beliau pulang ditemuilah orang yang mengundang dari pihak istrinya (istri mayyit), beliau pun memenuhi undangan itu dan kami menyertainya lalu dihidangkan makanan, maka beliau mengulurkan tangannya, kemudian hadirin mengulurkan tangan mereka, lalu mereka makan, dan aku melihat Rasulallah saw. mengunyah suapan di mulutnya”. 

    Ada riwayat hadits dari Thawus al-Yamani seorang tabi`in terkemuka dari kalangan penduduk Yaman yang bertemu dengan para sahabat Nabi saw.yang menyatakan; ’bahwa orang-orang mati di fitnah atau di uji atau di soal dalam kubur-kubur mereka selama tujuh hari, maka mereka menyukai untuk di berikan makanan (kepada yang masih hidup) sebagai sedekah bagi pihak si mayit sepanjang waktu tersebut’.
    Hadits Thawus ini dikategorikan oleh para ulama kita sebagai mursal marfu’ yang sahih. Dinamakan mursal marfu’ karena riwayat ini hanya terhenti kepada Thawus tanpa di beritahu siapa perawinya dari kalangan sahabat dan seterusnya dari Rasulallah saw.. Tetapi walaupun demikian, hadits yang melibatkan perkara ghaib (keadaan di alam barzakh), tidak akan diketahui oleh seorang pun kalau tidak dari Rasulallah saw. (penerima wahyu Ilahi).  
    Para ulama dalam tiga madzhab (Hanafi, Maliki dan Hanbali) menyatakan bahwa hadits mursal marfu’ ini boleh dijadikan hujjah/dalil secara mutlak, sedangkan ulama madzhab Syafi`i menyatakan boleh dijadikan hujjah jika mempunyai penyokong (selain dari mursal Ibnu Mutsayyib). Dalam konteks hadits Thawus ini, ada dua riwayat penyokongnya yaitu hadits dari ‘Ubaid dan dari Mujahid.

    Sebagaimana yang telah dibahas oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam ’al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah’ jilid 2 halaman 30. Beliau ini ditanya dengan satu pertanyaan yang berhubungan dengan adanya pendapat ulama yang mengatakan bahwa orang mati itu difitnah/diuji atau disoal tujuh hari dalam kubur mereka, apa hadits ini mempunyai asal dari syari’at? Imam Ibnu Hajar menjawab;
    Bahwa pendapat tersebut mempunyai asal yang kokoh (ashlun ashilun) dalam syara’ di mana sejumlah ulama telah meriwayatkan; 1). Dari Thawus dengan sanad yang shahih, 2). DariUbaid bin ‘Umair, dengan bersanad dalilnya dengan Ibnu ‘Abdul Bar, yang merupakan seorang yang lebih terkenal kedudukannya (maqamnya) dari kalangan tabi`in daripada Thawus, bahkan ada yang berkata dan menyatakan bahwa ‘Ubaid bin ‘Umair ini adalah seorang sahabat karena beliau dilahirkan dalam zaman Nabi saw. dan hidup pada sebagian zaman Sayyidina ‘Umar di Makkah. 3). Dari Mujahid. Dan tiga riwayat ini adalah hadits mursal marfu’ karena masalah yang dikatakan itu (berkaitan dengan orang mati) adalah perkara ghaib yang tidak bisa diketahui melalui/secara akal. Apabila masalah semacam ini datangnya dari tabi`in maka ia dihukum kan mursal marfu’ kepada Rasulallah s.a.w. sebagaimana dijelaskan oleh para imam hadits:
    ’Hadits Mursal boleh dijadikan hujjah menurut tiga imam (Hanafi, Maliki dan Hanbali) dan juga di sisi kita (yakni Syafi`i) apabila ia (hadits ini) disokong oleh riwayat lain. Dan Mursal Thawus telah disokong dengan dua (riwayat) mursal yang lain (yaitu Mursal ‘Ubaid dan Mursal Mujahid), bahkan jika kita berpendapat bahwa ‘Ubaid itu seorang sahabat niscaya bersambungan riwayat nya dengan junjungan Nabi saw.’. 
    Selanjutnya Imam Ibnu Hajar menyatakan bahwa telah sah riwayat daripada Thawus, ’mereka menyukai/memustahabkan untuk diberi makan bagi pihak si mati selama waktu tujuh hari tersebut’. Imam Ibnu Hajar menyatakan bahwa ’mereka’ disini (dalam kalimat hadits itu--pen) mempunyai dua pengertian disisi ahli hadits dan ushul. Pengertian pertama ialah ’mereka’ adalah ’umat pada zaman Nabi saw. dimana mereka melakukannya dengan diketahui dan di persetujui oleh Nabi saw.’. Pengertian kedua mengenai ’mereka’ berarti  ’para sahabat saja tanpa dilanjutkan kepada Nabi saw.’. (yakni hanya di lakukan oleh para sahabat saja)”.

    Imam as-Sayuthi juga telah membahas masalah ini dengan panjang lebar dalam kitabnya ’al-Hawi lil Fatawi’ jilid 2 dalam bab ’Thulu’ ats-Tsarayaa bi idhzhaari maa kaana khafayaa’, dimana antara lain yang dikemukakan pada halaman 194 ialah: ”Sesungguhnya sunnat memberi makan tujuh hari, telah sampai kepadaku (yakni Imam as-Sayuthi) bahwasanya amalan ini selalu diamalkan sehingga sekarang (yakni zaman Imam as-Sayuthi) di Makkah dan Madinah. Maka dzahirnya amalan ini tidak pernah ditinggalkan sejak masa para sahabat sehingga sekarang, dan generasi yang datang kemudian telah mengambilnya dari generasi terdahulu sehingga ke generasi awal Islam lagi (ash-shadrul awwal). Dan aku telah melihat kitab-kitab sejarah sewaktu membicarakan biografi para imam, banyak menyebut: ’dan telah berhenti/berdiri manusia atas kuburnya selama tujuh hari di mana mereka membacakan al-Quran’ ”.

    Telah dikemukakan juga oleh al-Hafidz al-Kabir Abul Qasim Ibnu ‘Asaakir dalam kitabnya yang berjudul ’Tabyiin Kadzibil Muftari fi ma nusiba ilal Imam Abil Hasan al-’Asy’ariy ’ bahwa dia telah mendengar asy-Syaikh al-Faqih Abul Fath NashrUllah bin Muhammad bin ‘Abdul Qawi al-Mashishi berkata: ”Telah wafat asy-Syaikh Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi pada hari Selasa 9 Muharram tahun 490 H di Damsyik. Kami telah berdiri/berhenti/berada dikuburnya selama tujuh malam, membaca al-Qur’an pada setiap malam duapuluh kali khatam”.

    Ibnu Taimiyyah pernah ditanyai mengenai (hadits): “Bertahlil 70,000 kali dan dihadiahkan (pahalanya) kepada orang mati, agar menjadi kebebasan bagi si mayit dari api neraka, adakah hadits tersebut shohih atau tidak? Dan apabila bertahlil seseorang dan dihadiahkan (pahalanya) kepada orang mati apakah pahalanya sampai kepada si mati atau tidak”? Maka dijawab (oleh Ibnu Taimiyyah): ‘Apabila seseorang bertahlil dengan yang demikian 70,000 atau kurang atau lebih dan dihadiahkan (pahalanya) kepada si mati, Allah menjadikannya bermanfaat baginya dengan yang sedemikian itu. Dan hadits tersebut tidaklah shohih dan tidak juga dhoif. Allahlah yang Maha Mengetahui (majmu al-fatawa jilid 24 hal.324).

    Dengan demikian amalan pembacaan alqur’an dan shodaqah pemberian makanan yang dihadiahkan kepada si mayit itu telah dikenal sejak zamannya para salaf sholeh. Bahkan Imam ar-Rafi`i menyatakan bahwa amalan ini masyhur dikalangan para sahabat tanpa di-ingkari. Amalan memberi makan atau sedekah kematian selama tujuh hari mempunyai nash yang kokoh dan merupakan amalan yang dianjurkan oleh generasi pertama Islam. Begitu juga pembacaan alqur’an sudah pasti mendapat pahala bagi siapa yang membacanya dan banyak para ulama pakar yang menyatakan sampai pahalanya kepada si mayit bila si pembaca meniatkan pahala bacaannya itu dihadiahkan kepada si mayit itu.

    Bentuk atau cara pengamalan itu terserah kepada keluarga si mayyit, hanya yang perlu diperhatikan disini adalah amalan memberi makanan atau itu sebagai amalan suka rela dan niat sebagai amalan shodaqah untuk si mayit. Dengan demikian amalan tersebut mustahab/baik dan akan sampai pahalanya kepada si mayit. Tetapi bila keluarga si mayit mengamalkannya dengan terpaksa atau dengan alasan hanya menurut adat istiadat setempat maka amalan ini menurut sebagian ulama menjadi makruh hukum- nya.

    Lebih jauh lagi, golongan pengingkar majlis tahlil ada yang mengatakan, bahwa membaca Tahlil/Yasinan dirumah si mayyit yang baru wafat, diadopsi oleh para Da’i terdahulu dari upacara kepercayaan Animisme, agama Budha dan Hindu. Menurut kepercayaan Animesme ruh-ruh keluarga yang wafat akan datang kerumahnya masing-masing setelah pada hari 1-3-7 dan seterusnya, dan ruh-ruh ini mengharap sajian-sajian dari keluarganya, bila tidak mereka akan marah dan lain-lain. Setelah mereka masuk Islam, akidah yang sama tersebut masih dijalankan golongan ini (repot untuk dihilangkannya). Maka para Da’i –penyebar Islam di Indonesia termasuk wali songo– merubah keyakinan mereka dan memasukkan ajaran-ajaran dzikir untuk orang yang telah wafat. Mereka mengatakanjuga bahwa ajaran para wali itu masih kecampuran kemusyrikan Hindu dan Budha, padahal para Wali itu telah meng-Islam-kan 85 % penduduk negeri ini. Mampukah golongan Wahabi/Salafi itu meng-Islam-kan yang 15% sisanya? Mempertahankan yang 85 % dari terkaman orang kafir saja tidak bakal mampu, apalagi mau menambah 15 % sisanya? Justru mereka dengan mudahnya mengkafirkan orang-orang yang bertauhid kepada Allah swt. 

    Penafsiran golongan ini bahwa majlis tahlil sebagai adopsi dari Hindu yang tidak beragama Islam serta mempunyai banyak Tuhan dan sebagainya adalah pemikiran yang tidak benar dan tidak berdasarkan dalil serta pikiran yang dangkal sekali ! Sejarah mencatat bahwa penyebaran agama Islam ke Indonesia dimulai pada permulaan abad ke 12-13 M ialah orang-orang Arab, khususnya kaum Alawiyin dari hadramaut/yaman selatan. Dari negaranya ini, mereka menyebar ke Gujarat (India), ada diantara mereka ini yang kenegeri Cina, Kamboja, Siam (thailand) sampai tiba ke Indonesia (baca riwayat singkat pada bab kemuliaan keturunan Nabi saw diwebsite ini). Para Da’i ini adalah para ulama yang sangat besar ketakwaannya kepada Allah swt dan mengenal baik apa yang dihalalkan dan diharamkan oleh Syari’at Islam. Mereka mengetahui banyak hadits Rasulallah saw mengenai hadiah pahala bacaan atau hadiah pahala amalan yang ditujukan kepada orang-orang yang telah wafat.

    Semuanya ini telah diterangkan dan dijelaskan dalam hadits Nabi saw dan diriwayatkan para rawi yang dapat dipercaya, beberapa ratus tahun sebelum para Da’i datang ke Indonesia. Amalan penghadiahan pahala bacaan kepada mayit ini di Indonesia terkenal dengan nama majlis tahlil/yasinan. Cara pengamalan majlis tahlil bisa juga setiap negara berbeda-beda, tapi inti dan maknanya sama yaitu pembacaan doa dan penghadiahan pahala bacaan khususnya kepada orang yang telah wafat. Ada yang mengamalkannya sendirian/perorangan saja dan ada pula yang mengamalkan dengan mengumpulkan orang banyak untuk berdoa bersama yang ditujukan untuk simayyit. Bertambah banyak orang yang berkumpul untuk berdoa kepada Allah swt sudah tentu bertambah besar kemungkinan terkabulnya doa dan lebih besar syafa’at yang diterima untuk si mayyit itu.



    Begitu juga majlis peringatan hari lahir Nabi saw (silahkan baca bab maulidin Nabi saw dalam website ini), peringatan kelahiran dan kewafatan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kw, peringatan kelahiran dan kewafatan Sayyidah Fatimah Az-Zahra putri Muhammad saw dan lain sebagainya, sudah sering diadakan dan diamalkan juga oleh kaum muslimin dari berbagai madzhab: Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan lainnya diseluruh dunia. Pengikut madzhab-madzhab ini sudah ada dimulai pertengahan abad ke 8 M atau sekitar tahun 100 Hijriah yaitu mulai zamannya Imam Ja’far Shodiq ( 80-148 H/ 699-765 M) bin Muhamad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husin bin Ali bin Abi Thalib kw, yang mana Imam Hanafi, Imam Malik [ra] pernah berguru pada Imam Ja’far ini. Malah sekarang ,peringatan maulid Nabi saw khususnya, sudah menyebar serta dilaksanakan oleh sebagian besar kaum muslimin diseluruh dunia diantaranya: Malaysia, Indonesia, Mesir, Irak, Iran, Afrika,Turki, Yemen, Marokko, negara Saudi Arabia, Pakistan dan orang-orang muslimin yang berdomisili di Eropa dan Amerika.Tidak lain mengumpulkan orang untuk peringatan keagamaan ini atau ntuk membaca dzikir tahlil adalah hasil ijtihad yang baik dari para pakar Islam, yang semuanya ini tidak keluar dari garis yang telah ditentukan oleh syari’at. 

    Didalam Islam kita dibolehkan serta dianjurkan untuk berdakwah dengan cara apapun selama cara tersebut tidak keluar dari garis-garis syariat akidah Islam. Para Da’i masa lalu memasukkan unsur-unsur ajaran islam yang mudah diserap, dengan merubah beberapa kata dan kalimat keyakinan orang-orang Hindu yang muallaf ini, kepada kalimat dan tauhid yang benar. Jadi para Da’i/ahli dakwah ini tidak merubah adat mereka ini tapi memberi wejangan agar mereka berkumpul tersebut membaca dzikir pada Allah swt dan berdoa untuk si mayat, sedangkan sajian-sajian tersebut tidak ditujukan pada ruh mayat tapi diberikan para hadirin sebagai sedekah/penghormatan untuk tamu!  
    Dengan demikian para Da’i merubah keyakinan orang-orang hindu yang salah kepada yang benar, yang sesuai dengan syari’at Islam. Dakwah mereka ini sangat hebat sekali mudah diterima dan dipraktekkan oleh orang-orang yang fanatik dengan agama dan adatnya sehingga –yang tadinya di Jawa 85 % beragama Hindu menjadi 85% beragama Islam– mereka memeluk agama yang bertauhid satu! Berdzikir pada Allah swt itu boleh diamalkan setiap detik, menit, hari, bulan dan lain-lain lebih sering lebih baik. Dakwah yang bisa merubah adat buruk suatu kaum kepada adat yang sejalan dengan syari’at Islam serta bernafaskan tauhid adalah dakwah yang sangat baik sekali. Dengan demikian kaum itu akan kembali kejalan yang benar, yang diridhoi Allah swt. Jadi para Da’i waktu itu bukannya mengadopsi adat-adat hindu –sebagaimana isu-isu golongan pengingkar– tetapi mengajari pengikut adat Hindu ini kepada jalan yang benar yang dibolehkan oleh syari'at Islam. Dalam hal ini apanya yang salah....? 

      
    Umpama saja, kita toleran dan benarkan sejarah yang ditulis oleh golongan pengingkar ini mengenai majlis tahlil tersebut, sekali lagi umpamanya diketemukan sejarah yang benar/authentik dari zamannya para Da'i ke Indonesia yaitu meneruskan adat Hindu ini dengan mengarahkan kepada amalan-amalan dzikir/tahlil yang ditujukan untuk yang hadir dan si mayit apanya yang salah dalam hal ini? Para Da'i merubah dan mengarahkan adat hindu yang keliru ini yang mempercayai akan marahnya ruh kerabat-kerabat mereka yang baru wafat bila tidak diberi sajian-sajian kepada si mayyit ini selama 1-3-7 hari  kepada adat yang dibolehkan dan sejalan dengan syari'at Islam. Dengan demikian adat-adat hindu yang masih dilakukan oleh orang-orang yang baru memeluk agama Islam/muallaf ini, diteruskan dengan bacaan-bacaan dzikir serta do'a-do'a pada Allah swt. yang bisa bermanfaat baik untuk si mayit khususnya maupun untuk orang yang masih hidup. Sedangkan sajian-sajian yang biasanya oleh kaum hindu disajikan kepada ruh si mayyit, dirubah oleh para Da'i untuk disajikan kepada para kerabat mereka atau kepada para hadirin yang ada disitu.

    Sedangkan waktu pelaksanaan berdzikir dan berdo'a kepada Allah swt. untuk si mayyit  selama 1-3-7 hari atau lebih banyak hari lagi, ini semua boleh diamalkan. Karena didalam syari'at Islam tidak ada larangan waktu tertentu setiap waktu untuk berdzikir dan berdo'a kepada Allah swt. yang ditujukan baik untuk orang yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Malah sebaliknya banyak riwayat Ilahi dan hadits Rasulallah saw. yang menganjurkan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk berdzikir dan berdo'a setiap saat, lebih banyak waktu yang digunakan untuk berdzikir dan berdo'a itu malah lebih baik!!  
    Sekali lagi bahwa para Da'i waktu itu bukannya mengadopsi adat-adat hindu sebagaimana pandangan golongan pengingkar tetapi mengajari pengikut adat Hindu ini kepada jalan yang benar yang dibolehkan oleh syari'at Islam. Dua kata-kata mengadopsi dan mengajari itu mempunyai arti yang berbeda!


    Ada golongan pengingkar yang melarang tahlil/yasinan ini dengan berdalil hadits; 'Man tasyabbaha biqaumin fa hua minhum' (Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka (dia) itu bersama dengan mereka (kaum tsb.)'  Kata mereka selanjutnya; bukankah tahlil itu menyerupai perbuatan kaum hindu, dengan demikian orang yang menyerupai perbuatan kaum ini maka tergolong sebagai kaum itu juga.

    Penafsiran mereka tentang hadits diatas adalah penafsiran yang tidak tepat dan dangkal sekali. Lebih mudahnya kami ingin bertanya kepada golongan pengingkar apakah Rasulallah saw juga akan bersama dengan kaum Yahudi? Karena Rasulallah saw menganjurkan kepada kita untuk puasa Asyurah (10 muharram), padahal kalau kita kaji riwayatnya bahwa beliau saw. melihat kaum Yahudi di Madinah puasa pada hari 10 Muharram tersebut. Beliau saw. bertanya kepada kaum Yahudi mengapa mereka ini berpuasa pada hari itu? Mereka menjawab: Pada hari ini Allah swt. menyelamatkan nabi mereka dan menenggelamkan musuh mereka. Kemudian Nabi saw. menjawab: Kami lebih berhak memperingati Musa  daripada kalian! (Nahnu  aula bi muusaa minkum). Walaupun puasa Asyura ini meniru perbuatan kaum yahudi, tetapi baik untuk diamalkan karena tujuannya sangat baik sekali yaitu menghormati dan bersyukur kepada Allah yang menyelamatkan Nabi Musa as.  

    Jika pikiran golongan pengingkar yang telah dikemukakan dituruti, beranikah mereka ini menuduh Nabi saw sebagai seorang Yahudi atau beliau saw tergolong sebagai seorang yahudi?, karena puasa sunnah ‘Asyura (10 Muharram) yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. dan beliau anjurkan kepada para sahabatnya sebagai perbuatan meniru-niru orang Yahudi atau sebagai adopsi dari kaum ini. 


    Wahai golongan pengingkar majlis tahlil, janganlah kalian selalu mencari-cari alasan untuk melarang orang tahlil dengan memasukkan macam-macam riwayat atau sejarah yang mana semuanya ini tidak ada sangkut pautnya dengan larangan agama untuk membaca tahlil/yasinan dan hanya menambah dosa kalian saja !! Jadi selama ini yang mengatakan menurut ceritera bahwa tahlil/yasinan adalah warisan atau adopsi dari kepercayaan Animesme, Hindu atau Budha adalah tidak benar! Ini hanya sekedar Dongengan Belaka yang diada-adakan oleh mereka yang anti majlis dzikir.  
    Ingatlah saudara-saudaraku, mereka ini berkumpul untuk berdzikir pada Allah swt. dengan niat dan tujuan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, yang mana pembacaan dzikir ini sudah pasti mendapat pahala, karena banyak ayat ilahi dan hadits Rasulallah saw. mengenai pahala bacaan-bacaan dzikir (tahmid, sholawat, takbir, tahlil dan lain-lain) yang dibaca dimajlis-majlis tersebut (rujuklah pahala baca Al-Qur’an).
    Bila golongan yang tidak senang amalan tersebut serta ingin menyerukan yang baik dan melarang yang munkar/jelek, laranglah dan nasehatilah  secara baik pada orang-orang yang melanggar agama yang pelanggaran tersebut sudah di sepakati oleh seluruh ulama madzhab Sunnah tentang haramnya (pelacuran, peminum alkohol dan lain-lain). Janganlah selalu menteror, mensesatkan atau mengharamkan majlis dzikir, tawassul, tabarruk dan sebagainya, yang semuanya masih mempunyai dalil.  
    Dan janganlah mudah mengafirkan golongan muslimin yang berdosa tersebut selama mereka masih mentauhidkan Allah swt. dan mengakui kesalahan-kesalahan yang di perbuatnya. Camkanlah hadits Rasulallah saw. yang mengecam orang yang menuduh muslimin sebagai kafir, fasiq, munafik dan lain sebagainya !

    Bila golongan pengingkar ini tidak mau mengamalkan tawassul, tabarruk, ziarah kubur, kumpulan majlis dzikir dan sebagainya, disebab kan mengikuti wejangan ulama mereka yang melarang hal tersebut, silahkan dan itu adalah urusan mereka sendiri dan tidak ada kaum muslimin lainnya yang mencela, mensesatkan mereka atau merasa rugi dalam hal ini, karena semuanya itu amalan sunnah bukan wajib. Tapi janganlah, karena keegoisan dan kefanatikannya pada wejangan ulamanya sendiri, menyuruh dan mewajibkan muslimin seluruh dunia untuk tidak melaksanakan tawassul, tabarruk, kumpulan dzikir bersama dan sebagainya, sampai-sampai berani mengkafirkan, menghalalkan darahnya, mensesatkan dan memunkarkan mereka karena mengamalkan hal-hal tersebut. Orang-orang yang mengamalkan kebaikan ini sebagai amalan tambahannya serta tidak ada diantara mereka yang mensyariatkan atau mewajibkan amalan-amalan tersebut.  
    Pikiran mereka seperti itu juga akan dibodohkan oleh muslimin, karena banyak  wejangan para pakar yang berkaitan dengan amalan-amalan diatas, serta mereka ini ikut bercengkerama didalam majlis-majlis tersebut! Bagi non-muslim akan lebih mempunyai bukti atas kelemahan muslimin dan mereka akan berpikiran bahwa agama Islam adalah agama yang suka mencela, tidak toleransi, dengan sesama agamanya saja mereka mensesatkan atau mensyirikkan, apalagi dengan kita yang non-muslim ! 
    Perselisihan/perbedaan dalam  hal tersebut seharusnya diselesaikan secara baik oleh sesama ulama-ulama Islam, sehingga bisa mewujudkan persatuan dan kesatuan ummat Islam.   
    Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perbedaan pendapat setiap manusia atau golongan itu selalu ada, tetapi bukan untuk diperuncing atau di pertajam. Setiap golongan muslimin berdalil pada Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw., tetapi berbeda cara penafsiran dan penguraiannya. Alangkah baiknya kalau sesama muslim satu sama lain tidak mengkafirkan, mensesatkan pada orang yang senang mengamalkan amalan-amalan sunnah yang baik itu! Begitupun juga kita harus saling toleransi baik antara muslimin sesamanya maupun antara muslimin dan non-muslimin (yang tidak memerangi kita). Dengan demikian keharmonisan hidup akan terlaksana dengan baik. 

    Telah dikemukakan juga bahwa kita dibolehkan mengeritik/meluruskan paham atau keyakinan suatu golongan muslimin yang sudah jelas dan tegas dilarang oleh agama umpamanya; menyembah berhala, mengatakan bahwa Nabi Muhammad sebagai anak Allah swt., menyerupakan/tasybih dan tajsim/penjasmanian Allah swt. dengan makhluk-Nya secara hakiki, tidak mempercayai adanya Malaikat, menghalalkan makan babi, main judi, membolehkan orang meninggalkan sholat wajib dengan sengaja dan sebagainya, ini semua sudah jelas bertentangan dengan ajaran syariat Islam. Semoga kita semua diberi Taufiq oleh Allah swt. Amin 

    Keterangan singkat mengenai Peringatan Haul 
    Sebenarnya peringatan Haul (peringatan tahunan) ini tidak perlu kami kutip disini, karena keterangan ziarah kubur, kehidupan ruh-ruh, tahlil/yasinan dan semua yang tercantum dibab ziarah kubur ini, telah mencakup juga keabsahan dari peringatan Haul ini. Tetapi selama masih ada orang yang salah paham mengenai Haul ini, tidak ada salahnya kalau kami uraikan lagi berikut ini.

    Friman Allah swt: ‘Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikir lah lebih banyak dari itu’  (QS.Al-Baqarah: 200).
    Firman Allah swt ini, berkaitan dengan orang-orang Arab pada zaman Jahiliyyah, yang setelah menunaikan haji mereka hanya bermegah-megahan tentang kebesaran nenek moyangnya saja. Kemudian turun perintah Allah swt , agar mereka –sebagaimana mereka menyebut-yebut nenek moyangnya– banyak berdzikir pada Allah swt. Dalam ayat ini, tidak ada isyarat yang melarang adat mereka setiap tahun usai haji menceriterakan riwayat hidup dan membangga-banggakan nenek moyangnya, hanya Allah swt menghendaki agar orang Arab Jahiliyah disamping membangga-banggakan nenek moyangnya, juga banyak berdzikir pada Allah swt!   
    Sebagian ulama mengatakan, ayat ini bisa dijadikan sebagai dalil dibolehkannya orang setiap tahun memperingati para wali atau sholihin yang telah wafat (Haul). Karena dalam peringatan ini, para hadirin berdzikir kepada Allah swt dan para ulama akan mengumandangkan pada  hadirin, riwayat hidup para wali/sholihin yang diperingati tersebut. Kemudian diakhiri dengan berdoa kepada Allah swt, agar amalan-amalan para wali/sholihin ini diterima oleh Allah swt, dan para hadirin serta semua muslimin diberi taufiq oleh Allah, sehingga bisa mencontoh amal perbuatan para sholihin yang terpuji, dimasa hidupnya mereka.

    Diriwayatkan juga bahwa Rasulallah saw, setiap tahun selalu berziarah ke makam para syuhada dibukit Uhud. Sesampainya di Uhud, beliau mengucapkan salam, yang kalimatnya termaktub dalam al-qur’an surat Ar-Ra’d ayat 24, yang artinya: ‘Keselamatan atasmu berkat kesabaran mu, maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu”.  
    Para sahabat pun melakukan apa yang telah dilakukan Rasulullah saw, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dari Al-Wakidi:
    “bahwa Nabi saw senantiasa berziarah kemakam para syuhada dibukit Uhud setiap tahun. Dan sesampainya disana beliau mengucapkan salam dengan mengeraskan suaranya, “Salamun alaikum bima shabartum fani’ma uqbad daar –[QS Ar-Ra’d: 24]– (artinya, Keselamatan atasmu berkat kesabaranmu, maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu).
    Lanjutan riwayat: Abu Bakar juga melakukan hal itu setiap tahun, kemudian Umar, lalu Utsman. Fatimah juga pernah berziarah ke bukit Uhud dan berdoa. Saad bin Abi Waqqash mengucapkan salam kepada para syuhada tersebut, kemudian ia menghadap kepada para sahabatnya lalu berkata, ‘Mengapa kalian tidak mengucapkan salam kepada orang-orang yang akan menjawab salam kalian?’ 
    Demikianlah dalam kitab syarah Al-Ihya juz 10 pada pasal tentang ziarah kubur. Lalu dalam kitab Najhul Balaghah dan kitab Manaqib As-Sayyidis Syuhada Hamzah ra oleh Sayid Ja’far Al-Barzanji, dijelaskan bahwa hadits itu menjadi sandaran hukum bagi orang-orang Madinah yang melakukan Ziarah Rajabiyah (ziarah tahunan setiap bulan Rajab) kemakam Sayidina Hamzah, yang ditradisikan oleh keluarga Syeikh Junaid al-Masra’i,  yang pernah bermimpi dengan Sayidina Hamzah, yang menyuruhnya melakukan ziarah tersebut. 

    Kami telah mengemukakan, bahwa kaum mukminin apalagi kaum sholihin yang telah wafat bisa mendengar, berdoa pada Allah swt, baik untuk para kerabatnya maupun para hadirin yang berziarah dimakam-makam mereka. Ruh-ruh mereka bisa hadir ditempat makamnya atau tempat lainnya yang mereka kehendaki setiap waktu. Dengan demikian peringatan Haul ini banyak manfaat baik bagi orang yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Bagi yang sudah wafat mendapat doa dari jama’ah, fadhilah atau hadiah pahala pembacaan al-qur’an, yang ditujukan kepadanya. Sedangkan berkumpulnya jama’ah (para hadirin) yang membaca doa ini sudah tentu akan mendapat pahala, rahmat dan berkah dari Allah swt, karena ziarah kubur pada orang muslim yang biasa saja, sudah termasuk sunnah Rasulallah saw apalagi menziarahi para ulama, para sholihin dan para wali yakni, orang-orang yang dibanggakan, dipuji oleh Allah swt dan Rasul-Nya. 

    Dalam Jala’ Adh-Dholaam ‘Ala ‘Aqidatil Awam disebutkan:
    “Ketahuilah, bahwa sangat dianjurkan bagi setiap muslim, yang menginginkan anugerah Allah dan kebaikan-kebaikannya untuk selalu menghadang barokah pemberian, makbulnya doa dan turunnya rahmat dihadapan para wali (waliyullah), pada majlis-majlis perkumpulan mereka, baik ketika masih hidup atau setelah wafatnya.Begitu juga ketika berada dimakamnya atau ketika berziarah menyebut keutamaannya atau membaca manaqib-manaqibnya”.

    Jika haul –yakni berkumpulnya orang banyak untuk ziarah dimuka kuburan para wali– sebagai bid’ah, itu sungguh merupakan bid’ah mahmudah (bid’ah yang terpuji) atau bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) karena sejalan dengan kaidah hukum syariat Islam. 
    Tidak ada alasan untuk menuduh penyelenggaraan Haul itu bid’ah dholalah (bid’ah sesat) atau haram, selagi tuduhan itu tidak didasarkan pada nash-nash Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw, yang dengan tegas dan jelas mengharamkan Haul tersebut. Mengharamkan sesuatu yang oleh syara’ tidak diharamkan, apalagi jika tidak disertai dalil yang tegas dari Kitabullah dan Sunnah Rasulallah, itu bukan lain hanyalah omong kosong dan semata-mata mengada-adakan kedustaan terhadap Allah dan Rasul-Nya, dan sama sekali bukan dari ajaran agama! Ingat firman Allah swt dalam surat Asy-Syuraa:21: “....mereka yang mensyariatkan sebagian dari agama sesuatu yang tidak di-izinkan Allah”, dan dalam surat an-Nahl : 116; Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-disebut oleh lidahmu secara dusta ‘Ini halal dan ini haram untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah...”.
    Jadi sesuatu yang menurut asalnya (pada dasarnya) halal, tidak boleh di haramkan kecuali atas dasar dalil yang benar dan jelas, serta sejalan dengan penegasan Allah dan Rasul-Nya tentang pengharamannya. Wallahua'lam.

    Haul ala  Wahabi




    Golongan Wahabi/Salafi melarang keras pengkultusan terhadap diri Baginda Rasulallah saw, dan membid’ahkan munkar peringatan haul para ulama atau para waliyullah, akan tetapi kalau mereka sendiri melakukan pengkultusan atau peringatan terhadap diri Syeikh Muhamad Abdul Wahhab –imam sekte wahabi/salafi– dan Syekh al-Utsaimin, itu boleh-boleh saja. Alasan mereka bahwa peringatan untuk kedua syeikh mereka ini tidak diadakan setiap tahun, lain halnya dengan peringatan maulid Nabi saw atau peringatan haul para wali diadakan tiap tahun. Jawaban ini aneh sekali, tidak lain dalil karangan mereka sendiri. Dimana dalil akidah seperti ini?, karena suatu amalan yang diharamkan itu tidak akan berubah menjadi halal hukumnya bila diamalkan hanya sekali saja. Betapa ganjilnya sikap kelompok Wahabi ini.

    Di Riyadh, Saudi Arabia pada hari saptu tanggal 21-04-1400H s/d hari kamis tanggal  27-04-1400H  (selama 7 hari),bertepatan dengan tanggal 08-03-1980 s/d tanggal 14-03-1980, dibawah kelolaan University Islam (ala za’mihi) Muhammad Ibn Sa’ud Al-Islamiyah. diadakan perayaan yang berslogankan ‘perayaan menyambut ” Minggu Muhammad Abdul WahhabMajlis ini dimeriahkan lagi dengan kehadiran “kepala pengat wahhabiyah” , Abdul Aziz Bin Baz, yang merangkap sebagai ketua umum bagi Pejabat Al-Buhuts Al-Ilmiyyah Wal-ifta’ wad-dakwah wal-irsyad (ala-za’mihim) yang di-iringi oleh Hasan Bin Abdullah Ali Syeikh, Menteri Pengajian Tinggi.

    Mereka juga memperingati semacam haul untuk Syekh.al-Utsaimin dengan nama ‘Haflah Takrim.” . Haul’ al-Utsaimin mereka adakan pada bulan Januari 2010 lalu di sebuah hotel di Kairo di bawah naungan Duta Besar Saudi di Kairo, Hisham Muhyiddin. Rangkaian acara haul itu dibuka dengan pembacaan ayat-ayat Quran, dilanjutkan sambutan-sambutan berisi pujian terhadap almarhum. Sambutan pertama disampaikan ketua yayasan ar-Rusyd sekaligus Presiden Asosiasi Penerbit Saudi, yang memuji peran Syekh Utsaimin dalam penyebaran agama Islam. Sambutan selanjutnya disampaikan Abdullah, putra Utsaimin, kemudian Atase Kebudayaan Saudi Muhammad bin Abdul Aziz Al-Aqil,. yang belakangan ini banyak mengulas manakib Syekh al-Utsaimin dengan menjelaskan tahun lahir dan wafatnya. Dia berkata; “Perayaan ini adalah sedikit yang bisa kami persembahkan untuk mendiang Syekh Utsaimin,” Acara haul ditutup dengan saling tukar tanda kehormatan antara Yayasan ar-Rusyd, Yayasan Utsaimin, Atase Kebudayaan dan Deputi Menteri Kebudayaan dan Informasi. Begitu pentingnya perayaan untuk Utsaimin ini sampai-sampai seorang pengagumnya menggubah sebuah syair:وَاللهِ لَوْ وَضَعَ اْلأَناَمُ مَحَافِلاَ # مَاوَفَتِ الشَّيْخَ اْلوَقُورَحَقَّهُ

    “Demi Allah, Seandainya segenap manusia membuat banyak perayaan untuk Syeikh Utsaimin, hal itu tidaklah mampu memenuhi hak beliau.”

    Syair ini jelas menunjukkan pengkultusan orang-orang Wahabi terhadap Syekh Utsaimin. Pengagungan yang kebablasan juga mereka berikan kepada pendiri aliran Wahabi, Muhammad bin Abdul WahabSeorang Mahasiswa Universitas Riyadh pernah memprotes dosennya, Dr. Abdul Adhim al-Syanawi, karena memuji Rasulullah saw Sang dosen menanyakan apa penyebab si mahasiswa membenci Nabi saw? Mahasiswa itu menjawab bahwa yang memulai perang kebencian adalah Baginda Nabi sendiri (sambil menyitir hadits seputar fitnah yg muncul dari Najed, tempat kelahiran Muhamad bin Abdul Wahab). “Kalau begitu, siapa yang kamu cintai?” tanya sang dosen. Lalu si mahasiswa menjawab bahwa yang dicintainya adalah Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Selanjutnya sang dosen menanyakan alasan kecintaan mahasiswanya itu. Mahasiswa itu menjawab: “Karena Syekh Muhammad Abdul Wahab menghidupkan sunnah dan menghancurkan bid’ah,” (kisah ini dicatat Ibrahim Abd al-Wahid al-Sayyid,dalam kitabnya, Kasf al-Litsam ‘an Fikr al-Li’am hlm.3-4.) 

    Syekh Utsaimin adalah salah satu penerus Muhammad bin Abdul Wahab. Ia juga gencar menyebarkan fitnah lewat tulisan-tulisannya. Salah satu fitnah itu seperti tertera di dalam karyanya, al-Manahi al-Lafdziyyah hal 161. Disitu ia menulis:

    وَلاَ أَعْلَمُ إِلىَ سَاعَتيِ هَذِهِ اَنَّهُ جَاءَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَفْضَلُ اْلخَلْقِ مُطْلَقاً فيِ كُلِّ شَئٍْ

    “Dan saya tidak mengetahui sampai detik ini bahwa Muhamad (baca:Nabi Muhamad saw) adalah makhluk Allah yang lebih utama dari segala makhluk apa pun secara mutlak.” Agaknya kalimat inilah yang membuat penganut Wahabi lebih mengagungkan Utsaimin dari pada Baginda Rasulullah saw….! Ibnu KhariQ
    Sumber :Majalah Cahaya Nabawiy edisi 96 Juli 2011/Sya’ban 1432 H


    Demikianlah keterangan singkat tentang Haul. Semoga Allah swt memberi petunjuk pada kita. Amin 

    Dalil-dalil orang yang membantah hadiah pahala bacaan untuk mayit dan jawabannya
    Banyak orang salah mengartikan makna beberapa hadits atau ayat ilahi berikut ini, dengan adanya salah penafsiran tersebut mereka mudah mengharamkan atau mensesatkan amalan-amalan orang hidup yang ditujukan pahalanya untuk orang yang mati.
    Golongan yang menolak hadiah pahala bacaan kepada simayit, berdalil dengan riwayat-riwayat berikut ini:

    1.  Hadits riwayat Muslim, dari Abu Hurairah ra :



              عَنْ أبِى هُرَيْرَة (ر) أنَّ رَسُول الله .صَ. قَالَ: إذَا مَاتَ الإنسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ:   

      صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَو عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ, اَووَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُولَهُ                              

              

    Artinya: “Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah (terus menerus berjalan) atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya atau anak  shalih yang mendo’akannya”.      

         

    Golongan pengingkar berkata: Kata-kata ingata’a amaluhu (putus amalnya) pada hadits tersebut menunjukkan bahwa amalan-amalan apapun kecuali yang tiga itu tidak akan sampai pahalanya kepada mayyit !


    Pikiran seperti itu adalah tidak tepat, karena sebenarnya yang dimaksud hadits tersebut sangat jelas bahwa tiap mayit telah selesai dan putus amalnya, karena ia tidak di wajibkan lagi untuk beramal. Tetapi ini bukan berarti putus pengambilan manfaat dari amalan orang yang masih hidup untuk si mayit itu. Begitu juga tidak ada keterangan dalam hadits tersebut bahwa si mayit tidak dapat menerima syafa’at, hadiah bantuan do’a dan sebagainya dari orang lain selain dari anaknya yang sholeh.

    – Dalam syarah Thahawiyah halaman 456 disebutkan: bahwa dalam hadits tersebut tidak dikatakan ingata’a intifa’uhu (terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat) hanya disebutkan ingata’a amaluhu (terputus amalnya). Adapun amalan orang lain maka itu adalah milik orang yang mengamalkannya, jika dia menghadiahkannya kepada si mayit, maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi yang sampai itu adalah pahala orang yang mengamalkan bukan pahala amal si mayit itu.
               
    Banyak hadits Nabi saw. yang menyebutkan bahwa amalan-amalan orang yang hidup bermanfaat bagi si mayit diantaranya ialah do’a kaum muslimin  (jadi bukan hanya doa dari anaknya saja) untuk si mayit pada sholat jenazah dan sebagainya (baca keterangan sebelumnya), yang mana do’a ini akan diterima oleh Allah swt., pelunasan hutang setelah wafat, pahala haji, pahala puasa dan sebagainya (baca haditsnya dihalaman selanjutnya) serta do’a kaum muslimin untuk sesama muslimin ,baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat, sebagaimana yang tercantum pada ayat Ilahi Al-Hasyr.10 .   
    Mengapa dalam hadits diatas dicontohkan do’a anak yang sholeh karena dialah yang bakal selalu ingat pada orang tuanya, dimana orang-orang lain telah melupakan ayah- nya. Sedangkan anak yang tidak pernah atau tidak mau mendo’akan orang tuanya yang telah wafat itu berarti tidak termasuk sebagai anak yang sholeh 
    Dari anak sholeh ini si mayit sudah pasti dan selalu (kontinu) menerima syafa’at darinya. Begitulah yang dimaksud makna dari hadits ini. Dengan demikian hadits ini tidak akan berlawanan/berbenturan maknanya dengan hadits-hadits lain yang menerangkan akan sampainya pahala amalan orang yang masih hidup (penebusan hutang, puasa, haji, sholat dan lain-lain) yang ditujukan kepada simayit. Begitu juga mengenai amal jariahnya dan ilmu yang bermanfaat, selama dua hal ini masih diamalkan oleh manusia yang masih hidup, maka si mayit selalu (kontinu) menerima juga syafa’at darinya.

    Kalau kita tetap memakai penafsiran golongan pengingkar yang hanya membatasi do'a dari anak sholeh yang bisa sampai kepada mayit, bagaimana halnya dengan orang yang tidak mempunyai anak? Apakah orang yang tidak punya anak ini tidak bisa mendapat syafa'at/manfaat do'a dari amalan orang yang masih hidup? Bagaimana do’a kaum muslimin pada waktu sholat jenazah, apakah tidak akan sampai kepada si mayyit? Sekali lagi penafsiran dan pembatasan hanya do'a anak sholeh yang bermanfa’at bagi si mayit adalah tafsiran yang salah, karena bertentangan dengan hadits-hadits shohih mengenai amalan-amalan orang hidup yang bermanfaat buat si mayyit.

    – Dalam Al-Majmu’ jilid 15/522  Imam Nawawi telah menghikayatkan ijma’ ulama bahwa ‘sedekah itu dapat terjadi untuk mayyit dan sampai pahalanya dan beliau tidak mengaitkan bahwa sedekah itu harus dari seorang anak ’.  
    Hal yang serupa ini juga diungkapkan oleh Syaikh Bakri Syatha Dimyati dalam kitab I’anatut Thalibin jilid 3/218: Dan sedekah untuk mayyit dapat memberi manfaat kepadanya baik sedekah itu dari ahli warisnya maupun dari yang selainnya’

    – Juga hadits-hadits Nabi saw. mengenai hadiah pahala Qurban diantaranya yang diriyayatkan oleh Muslim dari Anas bin Malik ra:
                                                                                                                 
    عَنْ أنَسِ (ر) عَنْ عَلِىّ (كَرَّمَهُ اللهُ وَجْهَه) اَنَّهُ كَانَ يُضَحِّى بِكَبْشَيْنِ اَحَدُهُمَا عَنِ النَّبِى.صَ.
     وَالآخَرُ عَنْ نََفْسِهِ فَقِيْلَ لَهُ فَقَالَ اَمَرَنِي ِبهِ يَعْنِى النَّبِى صَ فَلآ اَدَعُهُ اَبَدًا.                         

                                                                                                                   
    Artinya: “Dari Anas bahwasanya Ali kw. berkorban dengan dua ekor kambing kibas. Yang satu (pahalanya) untuk Nabi Muhammad saw.dan yang kedua (pahalanya) untuk beliau sendiri. Maka ditanyakanlah hal itu kepadanya (Ali kw.) dan beliau menjawab : ‘Nabi saw.memerintahkan saya untuk melakukan hal demikian maka saya selalu memperbuat dan tidak meninggalkannya‘ ”.  (HR Turmudzi).

    – Aisyah ra mengatakan bahwasanya Rasulallah saw. menyuruh didatangkan seekor kibas untuk dikorbankan. Setelah didatangkan beliau saw. berdo’a :

    بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ اُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ         
           
    Artinya: “Dengan nama Allah ! Ya, Allah terimalah (pahala korban ini) dari Muhamad, keluarga Muhamad dan dari ummat Muhammad ! Kemudian Nabi menyembelihnya”.  (HR. Muslim)

    – Begitu juga hadits yang senada diatas dari Jabir ra yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi yang menerangkan bahwa ia pernah shalat 'Iedul Adha bersama Rasulallah saw., setelah selesai shalat beliau diberikan seekor domba lalu beliau menyembelihnya seraya mengucapkan: 
    Dengan nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah, kurban ini untukku dan untuk umatku yang belum melakukan qurban”.
               
    Tiga hadits diatas ini menunjukkan hadiah pahala korban dari Sayyidina Ali kw untuk dirinya dan untuk Nabi saw., begitu juga pahala korban dari Nabi saw. untuk diri beliau saw., para keluarganya dan bahkan untuk segenap ummatnya. Hadits-hadits ini malah membolehkan hadiah pahala amalan yang ditujukan kepada orang yang masih hidup yang belum sempat berqurban, padahal orang yang hidup itu masih bisa beramal sendiri didunia ini.  

    Imam Nawawi dalam syarah Muslim jilid 8/187 mengomentari hadits diatas ini dengan katanya: Diperoleh dalil dari hadits ini bahwa seseorang boleh berkorban untuk dirinya dan untuk segenap keluarganya, serta menyatukan mereka bersama dirinya dalam hal pahala. Inilah madzhab kita dan madzhab jumhur’. 

    Juga pengarang kitab Bariqatul Muhammadiyah mengkomentari hadits diatas tersebut dengan katanya; “Do’a Nabi saw. itu menunjukkan bahwa Nabi menghadiahkan pahala korbannya kepada ummatnya dan ini merupakan pengajaran dari beliau bahwa seseorang itu bisa memperoleh manfaat dari amalan orang lain. Dan mengikuti petunjuk beliau saw. tersebut berarti berpegang dengan tali yang teguh”. 

    Juga sepakat kaum muslimin bahwa membayarkan hutang dapat menggugurkan tanggungan mayyit walaupun pembayaran tersebut dilakukan oleh orang yang lain yang bukan dari keluarga mayyit. Hal yang demikian ini ditunjukkan oleh Abi Qatadah dimana beliau menanggung hutang seorang mayyit sebesar dua dinar. Tatkala beliau telah membayarkan yang dua dinar itu Nabi saw. bersabda: ‘Sekarang bisalah dingin kulitnya’. (HR. Imam Ahmad).
               
    Walaupun cukup banyak hadits yang membolehkan amalan orang yang hidup (hadiah pahala dan lain-lain) yang berguna untuk si mayit tanpa menyebutkan syarat-syarat tertentu, tapi ada golongan yang berbeda pendapat mengenai hukumnya penghadiahan pahala ini. Ada golongan yang membedakan antara ibadah badaniyah (jasmani) dan ibadah maliyah (harta).  
    Sebagian dari mereka berkata; pahala ibadah maliyah seperti sedekah dan haji sampai kepada mayit, sedangkan ibadah badaniyah seperti shalat dan bacaan Alqur'an tidak sampai. Mereka ini juga berpendapat bahwa ibadah badaniyah adalah termasuk kategori ibadah yang tidak bisa digantikan orang lain, sebagaimana sewaktu hidup seseorang tidak boleh menyertakan ibadah tersebut untuk menggantikan orang lain. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulallah saw.: Seseorang tidak boleh melakukan shalat untuk menggantikan orang lain, dan seseorang tidak boleh melakukan shaum (puasa) untuk menggantikan orang lain, tetapi ia memberikan makanan untuk satu hari sebanyak satu mud gandum?’ (HR An-Nasa'i).
               
    Sebenarnya yang dimaksud hadits terakhir ini ialah: Misalnya si A malas untuk sholat Ashar maka si A minta pada Si B untuk menggantikannya, inilah yang dilarang oleh agama. Karena orang yang masih hidup harus menunaikan sholat sendiri-sendiri tidak boleh diwakilkan pada orang lain.
    Begitu juga bila orang yang masih hidup tidak mampu puasa lagi karena alasan-alasan tertentu yang dibolehkan agama umpama sudah tua sekali atau mempunyai penyakit chronis dan lain sebagainya tidak boleh digantikan oleh orang lain, tetapi yang bersangkutan setiap harinya harus mengeluarkan sedekah (fidyah) untuk memberi makan orang miskin satu mud ( ± 800 gram).  
    Dengan demikian hadits terakhir diatas ini tidak tepat sekali untuk digunakan sebagai dalil melarang amalan ibadah badaniyah yang pahala amalannya dihadiahkan kepada orang yang telah wafat. Karena cukup banyak hadits Rasulallah saw. ,baik secara langsung maupun tidak langsung, yang membolehkan penghadiahan pahala amalan untuk orang yang telah wafat baik yang berupa ibadah badaniyah maupun ibadah maliyah.(baca haditsnya pada halaman berikut)

    Sedangkan golongan ulama yang berpendapat bahwa penghadiahan pahala ,baik itu ibadah badaniyah maupun ibadah maliyah, akan sampai kepada simayyit umpama pembacaan Al-Qur’an, puasa, haji, pelunasan hutang setelah wafat, sedekah dan lain-lainnya, dengan mengqiyaskan hal ini pada hadits-hadits Nabi saw mengenai sampai nya pahala ibadah puasa, haji, sholat, pelunasan hutang setelah wafat, do’a kaum muslimin untuk muslimin yang telah wafat dan sebagainya.
    Golongan ini berkata: "Pahala adalah hak orang yang beramal, jika ia menghadiahkan kepada sesama muslim maka hal itu mustahab/ baik, sebagaimana tidak adanya larangan menghadiahkan harta untuk orang lain diwaktu hidupnya atau membebaskan hutang setelah wafatnya".   
             
    Begitupun juga tidak ada dalil jelas yang mengatakan pembacaan Al-Qur’an tidak akan sampai pada si mayit. Jadi dengan banyaknya  hadits dari  Nabi saw. mengenai sampainya pahala amalan atau manfaat do’a  untuk si mayit bisa dipakai sebagai dalil sampainya juga pahala pembacaan Al-Qur’an pada si mayit. Sayang sekali kalau hal ini kita remehkan dan tinggalkan, karena Rahmat dan Karunia Ilahi tidak ada batasnya.

    2. Golongan pengingkar menyebutkan beberapa dalil lagi untuk menolak hadiah pahala untuk si mayit diantaranya, firman Allah dalam surat an-Najm ayat 39: ‘Tidaklah ada bagi seseorang itu kecuali apa yang dia usahakan’.  
    Mereka berkata: Bukankah ini menunjukkan bahwa amal orang lain tidak akan bermanfaat bagi orang yang sudah mati karena itu bukan usahanya? Dengan demikian dalam Islam tidak ada yang dinamakan hadiah pahala !

    Ayat tersebut dijadikan oleh mereka sebagai dalil untuk menolak adanya hadiah pahala untuk si mayit, ini juga tidak tepat sekali. Banyak sekali jawaban para pakar islam terhadap dimajukannya ayat tersebut sebagai dalil untuk menolak adanya hadiah pahala. Dalam ayat ini Allah swt. tidak mengatakan  bahwa si mayit tidak dapat mengambil manfa’at kecuali dari usahanya sendiri. Untuk menafsirkan Al-Qur’an orang tidak boleh berpikir seenaknya sendiri dan menyimpang dari pengertian-pengertian yang ada didalam Al-Qur’an secara keseluruhan. Agar kita tidak terperosok kedalam penafsiran yang salah tentang ayat An-Najm:39 itu, baiklah kita ketengahkan saja pendapat beberapa ulama mengenai persoalan yang ada kaitannya dengan pengertian ayat tersebut.

    A.  Dalam kitab Syarah Thahawiyah hal. 455 diterangkan dua jawaban untuk ayat tersebut, garis besarnya antara lain:
    1. Manusia dengan usaha dan pergaulannya yang santun akan memperoleh banyak kawan dan sahabat, menikahi istri dan melahirkan anak, melakukan hal-hal yang baik untuk masyarakat dan menyebabkan orang-orang cinta serta suka padanya.. Manusia yang banyak sahabat dan kawan yang cinta padanya itu bila wafat akan memperoleh manfaat dari doa para sahabat dan kawan-kawannya tersebut (umpama pada waktu sholat jenazah, ziarah kuburnya dan sebagainya—pen). Dalam satu penjelasan Allah swt juga menjadikan iman sebagai sebab untuk memperoleh kemanfaatan dengan doa serta usaha dari kaum mukminin yang lain. Maka jika seseorang sudah berada dalam iman, maka dia sudah berusaha mencari sebab yang akan menyampaikannya kepada yang demikian itu. (Dengan demikian pahala ketaatan yang dihadiahkan kepadanya oleh kaum mukiminin adalah sebenarnya bagian dari usahanya sendiri).

    2. Ayat Al-Qur’an tidak menafikan adanya kemanfaatan untuk seseorang dengan sebab usaha orang lain. Ayat Al-Qur’an hanya menafi kan kepemilikan seseorang terhadap usaha orang lain. Dua perkara ini jelas berbeda. Allah swt hanya menfirmankan bahwa 'orang itu tidak akan memiliki kecuali apa yang dia usahakan sendiri'. Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang mengusahakannya. Jika dia mau, dia boleh memberikannya kepada orang lain atau boleh menetapkannya untuk dirinya sendiri.(jadi pada kata kata lil-insan pada ayat itu adalah lil-istihqaq yakni menunjukkan arti ‘milik‘). Beginilah dua jawaban yang dipilih oleh pengarang kitab Syarah Thahawiyah.

    B. Pengarang tafsir Khazin berkata: 'Yang demikian itu adalah untuk kaum Ibrahim dan Musa. Adapun umat Islam, maka mereka bisa mendapat pahala dari usahanya dan juga dari usaha orang lain'.
    Jadi ayat An-Najm:39 menerangkan hukum yang terjadi pada syariat Nabi Ibrahim dan Nabi Musa, bukan hukum dalam syariat Nabi Muhammada saw. Hal ini dikarenakan pangkal ayat tersebut berbunyi, yang artinya: 'Atau belumkah dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab-kitab Musa dan Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain yang diusahakannya'.

    C.  Menurut ahli tafsir Ibnu Abbas ra dalam menafsirkan ayat An-Najm : 39 mengatakan : 

                                             اَلْحَقُنَابِهِم               هَذَا مَنْسُوْخُ الحُكْمِ فِي هَذِهِ الشََّرِيْعَةِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى
        
                                         ذُرِّيَّتَهُمْ فَاُدْخِل الأَبْنَاءُ الجَنَّةَ بِصَلاَحِ الآبَاءِ                                                              

    Artinya: “Ini (ayat) telah dinaskh (dikesampingkan) hukumnya dalam syari’at kita dengan firman Allah Ta’ala; ‘Kami hubungkan dengan mereka anak-anak mereka’, maka dimasukkanlah anak (yang beriman) kedalam surga berkat kebaikan yang diperbuat oleh bapaknya”.(Tafsir Khazin jilid 4/223).  
             
    Firman Allah swt yang dimaksud oleh Ibnu Abbas sebagai pengenyampingan surat An-Najm: 39 adalah surat At-Thur ayat 21 yang artinya sebagai berikut: 
    “Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dengan iman, maka Kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka dan Kami tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya”.  (At-Thur ayat 21) .

    Dengan demikian menurut Ibnu Abbas surat An-Najm; 39 itu sudah dikesampingkan hukumnya, berarti sudah tidak bisa dimajukan sebagai dalil.

    Kalau kita baca ayat At-Thur ini menunjukkan bahwa amalan-amalan datuk-datuk kita yang beriman, yang telah wafat bisa memberi syafa’at bagi kerabatnya yang beriman, yang masih hidup. Nah, bukan hanya amalan-amalan orang yang hidup saja yang bisa bermanfaat bagi si mayyit, tetapi orang yang beriman yang telah wafatpun bisa memberi syafa’at.Tidak lain ini semua menunjukkan Rahmat dan Karunia Ilahi yang sangat luas sekali. 

    D. Dalam Nailul Authar jilid 4/102 disebutkan: Bahwa kata-kata 'Tidak ada bagi seseorang itu....' maksudnyailah 'tidak ada dari segi keadilan (min thariqil adli), adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka ada bagi seseorang itu apa yang tidak dia usahakan.

    Al-Jalalain (yaitu Jalaluddin Al-Hamali dan Jalaluddin As-Sayuthi) dalam tafsirnya mengenai ayat An-Najm:39 antara lain mengatakan: “Yang dimaksud dengan kalimat ‘apa yang telah diusahakan’ (maa sa’aa) pada ayat tersebut ialah; hal-hal yang berupa kebajikan. (dengan demikian) Manusia tidak memperoleh suatu apa dari hal-hal yang bukan kebajikan”.

    Sebagai uraian terhadap tafsir Al-Jalalain itu, Syeikh Sulaiman bin Umar Al-Ajili terkenal dengan nama Al-Jamal  menerangkan bahwa ayat tersebut merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya, yaitu ayat An-Najm:38 yang menegaskan; ‘Seseorang yang berdosa tidak memikul dosa orang lain’ . Al-Jamal mengatakan, karena dosa orang lain tidak menjadi beban orang yang tidak melakukan perbuatan salah.

    Lebih jauh Al-Jamal menerangkan penafsiran ayat An-Najm:39 itu harus dikaitkan dengan ayat At-Thur:21, yaitu firman Allah: ‘Dan orang-orang  yang beriman, yang anak cucu keturunannya mengikuti mereka dalam keimanan, mereka ini (anak cucunya) akan Kami susulkan/kumpulkan kepada mereka (orang-orang yang beriman). sedikit pun Kami tidak mengurangi pahala amal perbuatan mereka’. Selain itu, penafsiran ayat An-Najm:39 harus dihubungkan pula dengan hadits-hadits nabi saw, antara lain hadits yang mengatakan: ‘Apabila seorang anak Adam wafat, putuslah semua amalnya kecuali tiga perkara; Ilmu bermanfaat (yang ditinggalkan), shadaqah jariyah dan anak sholeh yang berdoa untuknya (orang tuanya)’. Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat tersebut dinaskh (mansukh, terkesampingkan) oleh ayat At-thur:21. 
    Sebagai dalil/hujjah ia mengemukakan ayat At-Thur:21 itu bersifat pemberitaan dari Allah swt. Semua ayat yang bersifat pemberitaan tidak terkena naskh (tidak mansukh). Ibnu Abbas mengatakan juga bahwa ayat An-najm:39 itu pada hakikatnya semakna dengan hadits terakhir tersebut diatas. Sebab jika dipikirkan secara mendalam apa sebab anak yang sholeh berdoa untuk orang tuanya, sesungguh- nya itu merupakan hasil amal kebajikan orang tua yang mengasuhnya dengan baik sejak kecil. Jadi berarti orangtua memetik hasil usahanya sendiri. Selanjutnya ia mengatakan bahwa kebajikan atau amal sholeh yang dilakukan oleh seseorang dapat mendatangkan manfaat atau pahala bagi orang lain. Hal ini dibenarkan oleh hadits-hadits shohih yang menerangkan bahwa para Nabi dan orang-orang sholeh atas izin Allah swt. dapat memberi pertolongan (syafaat) kepada orang lain. Barangsiapa yang memikirkan dan merenungkan nash-nash Al-Qur’an dan hadits mengenai persoalan itu, ia akan menemukan banyak pengertian tentang kenyataan itu. Karenanya, tidaklah semestinya kalau ayat An-Najm:39 itu ditafsirkan terlepas dari kaitan ayat-ayat lain dan hadits-hadits Nabi saw. Sesuatu yang kelihatannya bersifat umum ternyata mengandung banyak kekhususan.


    Didalam tafsir Khazin dan hadits-hadits Ibnu Abbas ra, terdapat dalil-dalil madzhab Syafi’i, Maliki, Hanbali dan lain-lain yang mengatakan; bahwa ibadah haji yang dilakukan oleh anak kecil (sebelum akil-baligh) adalah sah, dan anak itu mendapat pahala, walau pun ibadah haji baginya belum merupakan ibadah wajib, tetapi hanya bersifat tathawwu’ (mustahab). Imam Abu Hanifah mengenai soal itu berpendapat, bahwa ibadah haji yang dilakukan oleh anak kecil tidak dapat dipandang sah sebagai penunaian rukun Islam, tetapi hanya sekedar latihan ibadah saja. Demikian pula mengenai shodaqah yang dilakukan seseorang atas nama orang lain yang telah wafat.

    Mengenai soal itu para ulama bersepakat bulat bahwa pahala shodaqah itu diterima oleh orang yang telah wafat. Begitu juga soal doa, pelunasan hutang, ibadah haji dan puasa yang diperuntukkan/diniatkan (pahalanya) untuk orang yang telah wafat.

    Akan tetapi mengenai soal puasa bagi orang yang telah wafat, para ulama berbeda pendapat. Sebagian memandang sah puasa yang dilakukan secara tathawwu’ bagi orang lain yang kedahuluan wafat sebelum sempat memenuhi kewajiban puasa yang tertinggal. Sebagian yang lainnya memandang puasa seperti itu tidak sah. Imam Syafi’i berpendapat bahwa membaca Al-Qur’an pahalanya tidak dapat sampai kepada orang yang telah wafat (baca uraian sebelumnya mengenai pendapat imam syafi' i yang ditahqiq oleh para ulama syafi'iyah). Akan tetapi para ulama sahabat Imam Syafi’i berpendapat, bahwa pembacaan Al-Qur’an pahalanya dapat sampai kepada orang yang telah wafat. Dalam hal itu Imam Ahmad bin Hanbal sependapat dengan para sahabat Imam Syafi’i. Begitu juga mengenai sholat sunnah yang diperuntukkan bagi orang yang telah wafat, Imam Syafi’i dan para ulama lainnya sependapat, bahwa pahalanya tidak dapat diterima oleh orang yang telah wafat. Akan tetapi Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, semua ibadah sunnah yang di peruntukkan bagi orang yang telah wafat, pahalanya dapat sampai kepadanya. 



    Mari kita rujuk pendapat Ibnu Taimiyah ulama yang diandalkan oleh golongan pengingkardalam tafsir Jamal jilid 4 bahwa beliau berkata : “Barangsiapa meyakini bahwa seseorang tidak dapat mengambil manfaat kecuali dengan amalnya sendiri, maka sungguh dia telah melanggar ijma’ dan yang demikian itu adalah batil ”. 

    Sebagai dalil/hujjah Ibnu Taimiyah menguraikan keterangan-keterangan secara rinci masalah ini (antara lain yang tertulis dalam kitab Al-Futuhatul Ilahiyyah hal.235 sampai hal. 237) mengatakan:
    a. Kisah dua anak yatim dari orangtua yang sholeh, sebagaimana termaktub surat Al-Kahfi:82. Itu pun sepenuhnya merupakan manfaat yang diperoleh dari orang lain, bukan dari amal kebajikan dua anak yatim itu sendiri.

    b. Rasulallah saw menangguhkan sholat mayyit bagi orang yang wafat dalam keadaan berhutang hingga hutangnya dilunasi oleh orang lain, seperti yang dilakukan oleh Qatadah ra dan Imam Ali bin Abi Thalib ra. Itupun merupakan kenyataan bahwa manfaat dapat di peroleh dari amal kebajikan orang lain.


    c.Zakat fitrah diwajibkan atas anak kecil ( yang belum baligh) yang menjadi tanggungan orangtua atau walinya. Hal ini merupakan ketentuan syara’ yang mengandung pengertian, bahwa manfaat pahala yang diperoleh anak itu datang dari amal kebajikan orang lain yang menginfakkan zakat tersebut, bukan dari amal dan usaha anak itu sendiri.--Wajib zakat yang dikenakan atas harta kekayaan anak yang masih kecil (harta waris peninggalan orangtuanya), atau yang dikenakan atas harta kekayaan orang yang sakit ingatan ini semua merupakan petunjuk bahwa mereka itu dapat memperoleh pahala dari zakat yang dikeluarkan dari hartanya. Sekalipun mereka itu tidak mempunyai kesanggupan berpikir dan beramal, tetapai dengan hartanya yang diatur dan dilakukan orang lain mereka memperoleh pahalanya

    d.Nabi saw. akan memberi syafa’at terhadap orang-orang dipadang mahsyar dalam hal hisab dan terhadap calon-calon penghuni surga dalam hal masuk kedalamnya. Dan nabi saw. akan memberi syafa’at terhadap para pelaku dosa besar dalam hal keluar dari neraka. Ini semua berarti seseorang mengambil manfaat dengan usaha orang lain.

    e.Anak-anak orang mukmin (yang wafat dalam keimanan) akan masuk surga dengan amal bapak mereka (yang mukmin) dan ini juga berarti mengambil manfaat semata-mata amal orang lain. (QS at-Thur : 21--pen.).

    f.Orang yang duduk dengan ahli dzikir akan diberi rahmat (ampunan) dengan berkah ahli dzikir itu sedangkan dia bukanlah diantara mereka dan duduknya itupun bukan untuk dzikir melainkan untuk keperluan tertentu, maka nyatalah bahwa orang itu telah mengambil manfaat dengan amalan orang lain. (HR Bukhori, Muslim dari Abu Hurairah, baca haditsnya pada bab Faedah majlis dzikir di buku ini--pen).

    g. Shalat untuk mayyit (baca: sholat jenazah) dan berdo’a untuk si mayyit didalam shalat ini, adalah pemberian syafa'at untuk mayyit dengan shalatnya itu, ini juga pengambilan manfaat dengan amalan orang lain yang masih hidup.

    h. Alllah swt berfirman pada Rasulallah saw : ‘Tidaklah Allah akan mengadzab/menyiksa  mereka sedangkan engkau masih ada diantara mereka’. ‘Kalaulah bukan karena laki-laki yang mukmin dan wanita-wanita yang mukmin..’  (Al Fath: 25). ‘ Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia terhadap sebagian yang lain niscaya rusaklah bumi ini’. (Al Baqarah :25). Dalam ayat-ayat ini Allah swt mengangkat adzab/siksa (adzab umum—pen.) terhadap sebagian manusia dengan sebab sebagian yang lain dan ini juga termasuk pengambilan manfaat dengan amalan orang lain.

    Jelaslah bahwa pahala bukan dari amal atau usaha mereka sendiri, melainkan berkat amal dan bantuan orang lain.Tidak diragukan lagi, barangsiapa yang mau berpikir mendalami persoalan seperti sampai sekecil-kecilnya, ia pasti akan menemukan banyak kenyataan yang menunjukkan bahwa manfaat dapat diperoleh dari kebajikan, amal dan usaha orang lain. Setelah kesemuanya ini terang dan jelas, lantas bagaimanakah kita hendak menafsirkan ayat suci itu (An-Najm:39) dengan pengertian yang berlainan dari makna seluruh Al-qur’an dan sunnah Rasulallah saw, serta ijma’ umat nabi Muhamad saw? 
    Demikianlah sebagian alasan-alasan yang diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah mengenai pengambilan manfaat dari amalan-amalan orang lain untuk si mayit. Sebenarnya masih banyak lagi alasan Ibnu Taimiyah mengenai ini tapi kami tidak cantumkan semua disini.

    Juga kesimpulan Ibnul Qayyim dalam kitab Al-Ulama wa aqwaaluhum fii sya’nil amwat wa ahwaalihim hal.36-37 :   

    “Nash-nash ini jelas menerangkan sampainya pahala amalan untuk mayyit apabila dikerjakan oleh orang yang hidup untuknya karena pahala itu adalah hak bagi yang mengamalkan, maka apabila dia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim tidaklah tercegah yang demikian itu sebagaimana tidak tercegah orang yang menghadiahkan hartanya dimasa hidupnya dan membebaskan piutangnya untuk seseorang sesudah matinya. Rasulallah saw. menegaskan sampainya pahala puasa yang hanya terdiri dari niat dan tidak makan minum yang semua itu hanya diketahui oleh Allah, maka sampainya pahala bacaan yang merupakan amalan lisan yang didengar oleh telinga dan disaksikan oleh mata adalah lebih utama”. 

    Banyaknya penafsiran ini adalah demi untuk tidak terjebak kepada pengamalan dengan dhohir ayat semata-mata karena kalau itu dilakukan, maka akan banyak sekali dalil baik dari Al-Qur'an maupun hadits shohih yang akan ditentang oleh ayat tersebut, sehingga akan menjadi gugur dan tidak terpakai lagi. Wallahua'lam. 


    3.  Dalil lainnya dari golongan pengingkar yaitu firman Allah swt. dalam surat Al-Baqarah ayat 286, yang artinya:



    “Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kesanggupannya. Baginya apa yang dia usahakan (daripada kebaikan) dan akan menimpanya apa yang dia usahakan (daripada kejahatan)”.

    Mereka ini berkata : Bukankah ayat ini menunjukkan bahwa usaha orang lain tidak akan didapatkan pahalanya dan kejahatan orang lain tidak akan dipikulkan dosanya.

    Pengertian yang seperti itu adalah tidak benar sekali ! Karena dalam ayat itu juga tidak menafikan seseorang akan mendapatkan manfaat dari usaha orang lain. Hal ini sama dengan ucapan: Seorang akan memperoleh harta dari usahanya sendiri. Ucapan ini bukan berarti dia tidak bisa memperoleh harta yang bukan dari usahanya sendiri, karena bisa saja dia memperoleh harta dari warisan orang tuanya, pemberian hadiah dari orang lain. Lain halnya kalau ayat diatas mengandung pembatasan (hasr) umpama bunyi- nya sebagai berikut :         

     اِلاَّ مَاكَسَبَتْ                                     لَيْسَ لَهَا    
    "Tidak ada baginya kecuali apa yang dia usahakan atau seseorang hanya bisa mendapat apa yang dia usahakan”.

    Sebagai tambahan jawaban silahkan rujuk kembali kolom nr. 2 diatas . 

    4.  Mereka juga berdalil pada firman Allah swt. dalam surat Yaasin ayat 54, yang artinya :

    “ Tidaklah mereka diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”.


    Dengan berdalil dengan ayat ini mereka meniadakan pahala dari orang lain, pikiran seperti ini juga tidak tepat sekali karena dalam ayat ini jelas Allah swt juga tidak menafi- kan hadiah pahala terhadap orang lain karena pangkal ayat tersebut adalah :



    “Pada hari dimana seseorang tidak akan didzalimi sedikitpun dan seseorang tidak akan diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”.

    Dengan memperhatikan konteks ayat tersebut dapatlah dipahami bahwa seseorang tidak akan disiksa sebab kejahatan orang lain, jadi bukan berarti seseorang tidak bisa memperoleh pahala sebab amal kebaikan orang lain (baca Syarah Thahawiyah hal. 456).

    Sebagai tambahan jawaban silahkan rujuk keterangan jawaban kolom nr. 2 diatas .  

    5.  Golongan pengingkar ini juga berkata bahwa membaca Al-Qur’an untuk mayit tidak dikenal dan tidak diamalkan oleh para salaf dan juga tidak ada petunjuk dari Nabi saw. lalu mengapa hal itu dilakukan oleh orang-orang sekarang ? Juga kata mereka:  Yang sudah nyata-nyata disyariatkan adalah berdo’a untuk mayit. Mengapa tidak itu saja yang dilakukan tanpa harus capek-capek membaca Al-Qur’an, tahlil dan dzikir terlebih dahulu…”.

    Sebagaimana telah dikemukakan pada bab Bid'ah diwebsite ini bahwa Nabi saw. sendiri meridhoi amalan bacaan para sahabatnya tambahan bacaan dalam sholat yang diamalkan oleh sahabat beliau saw, yang mana amalan bacaan tersebut tidak pernah adanya petunjuk sebelumnya dari Nabi saw.serta tidak pernah sesudahnya di perintahkan oleh beliau saw.!
    Tidak ada petunjuk Nabi saw. atau tidak diamalkan oleh para salaf bukanlah sebagai satu dalil atau hujjah untuk melarang dan mengharamkan hal tersebut, apalagi mereka  memutuskan bahwa pahala bacaan tersebut tidak akan sampai pada si mayyit!!
      
    Pikiran dan pertanyaan semacam diatas ini juga bukan sebagai dalil atau hujjah untuk tidak sampainya pahala bacaan. Kalau mereka mengakui hadits shohih mengenai sampainya pahala haji, puasa dan do’a, maka apakah perbedaan yang demikian itu dengan sampainya pahala membaca Al-Qur’an? Janganlah kita membatasi sendiri Rahmat Ilahi, karena Rahmat-Nya sangat luas sekali !!

    “Rasulallah saw. waktu itu ditanya mengenai haji untuk orang yang sudah wafat, puasa untuk orang yang sudah wafat dan sedekah untuk orang yang sudah wafat, beliau mengizinkan semuanya ini dan amalan-amalan tersebut akan sampai pada si mayit serta beliau saw. tidak melarang untuk selain yang demikian. Lalu apakah perbedaan sampainya pahala puasa yang semata-mata niat dan imsak dengan sampainya pahala bacaan dan dzikir (yang di-iringi dengan niat juga)?” ( Syarah  Aqidah Thahawiyah hal.457).

    Orang yang membaca Al-Qur’an, tahlil dan dzikir, sudah tentu akan mendapat pahala, karena banyak sekali hadits yang meriwayatkan pahala bacaan Al-Qur’an dan dzikir. Pahala itu adalah hak milik orang yang berdzikir, kemudian dia berdo’a kepada Allah swt agar pahala yang dimiliki itu disampaikan kepada orang yang sudah wafat baik itu orang tuanya, sanak kerabatnya atau orang lain. Dalam hal ini apanya yang dilarang…?

    Imam Syaukani dalam Nailul Authar jilid 4/101 bersabda:

          فَإِذَاجَازَ الدُّعَاءُ لِلْمَيِّتِ بِمَا لَيْسَ لِلدَّاعِي فَلأنْ يَجُوْزَ بِمَاهُوَا لَهُ أوْلَى                      


    Artinya: “Kalau boleh berdo’a untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh sipendo’a, maka tentu kebolehan berdo’a untuk mayyit dengan sesuatu yang dimiliki oleh sipendo’a (yaitu pahala)adalah terlebih utama”.

    Jadi kita dibolehkan do’a apa saja kepada Allah swt. walaupun isi do’a itu belum kita miliki sendiri umpamanya ‘Ya Allah berikanlah pada dia seorang keturunan yang sholeh, rizki yang makmur dan kesuksesan’ . Do’a seperti ini tidak ada yang membantah apalagi melarang bahkan sangat dianjurkan. Jadi mengapa orang yang berdo’a untuk menghadiahkan sesuatu yang telah dimiliki yaitu pahala, malah justru dilarang ?

    Hadits dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulallah saw. bersabda –yakni ketika menyalatkan jenazah– : ‘Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka’. (HR Muslim).

    Diterima dari Waila bin Asqa’ katanya; Nabi saw. menyalatkan seorang lelaki Islam bersama kami, maka saya dengar beliau mengucapkan : “Ya Allah, sesungguhnya si Anu anak si Anu adalah dalam tanggungan dan ikatan perlindungan-Mu, maka lindungilah ia dari bencana kubur dan siksa neraka, sungguh Engkau Penepat janji dan Penegak kebenaran. Ya Allah, ampunilah dia dan kasihanilah dia, karena sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Penyayang”. (HR.Ahmad dan Abu Daud)

    Rasulallah saw. yang mengajarkan pada kita bacaan do’a dalam sholat jenazah diatas ini untuk si mayat yang mana isi do'a tersebut belum semuanya dimiliki oleh si pendo’a sendiri dan do’a ini toh akan bermanfaat pada si mayyit. Apa gunanya atau keistemewaannya Rasulallah saw. mengajarkan dan menganjurkan agar muslimin membaca do'a-do'a tersebut pada sholat jenazah kalau semuanya tidak ada manfa'at/syafa'at untuk mayyit ? Wallahu a'lam.

    Mari kita rujuk dalil-dalil hadiah pahala amalan yang bisa sampai kepada mayyit, diantaranya adalah :   


    Pahala sedekah untuk orang yang sudah wafat.

    Hadits dari Abu Hurairah :




    عَنْ أبِيْ هُرَيْرَة(ر) أنَّ رَ جُلاً قَالَ لِلنَّبِي.صَ. : أنَّ أبِي مَاتَ وَتَرَكَ مَالاً وَلَمْ يُوْصى فَهَلْ يكفرعَنْهُ أنْ أتَصَدَّقَ عَنْهُ ؟ قَال َنَعَمْ  



    “Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulallah  saw.: ‘Ayah saya meninggal dunia, dan ada meninggalkan harta serta tidak memberi wasiat. Apakah dapat menghapus dosanya bila saya sedekahkan ?’ Nabi saw. menjawab : Dapat!”  (HR Ahmad, Muslim dan lain-lain)


    Hadits dari Aisyah r.a.berkata:



    عَنِ عَائَشَة رَضِيَ الله عَنْهَا أنَّ رَجُلاً أتَى النَّبِى.صَ.  وَقَالَ: إنَّ أمِّى افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا وَلَم تُو ص

     وَأظُنُّهَا لَو تَكَلَّمت تَصَدَّقَتْ اَفَلهَا اَجْر إنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا ؟ قَالَ : نَعَمْ                            

      

    ‘Seorang lelaki datang kepada Nabi saw. dan berkata: Ibuku telah mati mendadak, dan tidak berwasiat dan saya kira sekiranya ia sempat bicara, pasti akan bersedekah, apakah ada pahala baginya jika Aku bersedekah untuknya? Jawab Nabi saw: Ya.’  (HR.Bukhori, Muslim dan Nasa’i)



    Artinya: Hadits dari Sa’ad ibnu Ubadah ra. bahwa ia pernah berkata : “Wahai Rasulallah, sesungguhnya Ummu Sa’ad telah meninggal dunia, kiranya sedekah apa yang lebih utama untuknya?” Sabda beliau saw.: ‘Air ‘. Maka Sa’ad menggali sebuah sumur, kemudian ia berkata: “Sumur ini aku sedekahkan untuk Ummu Sa’ad”. (HR Abu Dawud, Ahmad dan Nasa’i)


    Dari Ibnu Abbas (rah). dia berkata :



    عَنْ ابْنِ عَبَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: تُوُفِّيَتْ أمُّ سَعْدِ ابْنِ عُبَدََةَ وَهُوَغَائِبُ عَنْهَا       

     فـَقَالَ يَا رَشُول الله إنَّ أمِّى تُوُفِّيَتْ وَاَنَاغَائِبٌ عَنْهَا أيَنفَعُهَا شَيْئٌ إنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنـْهَا؟
     قـَالَ نَعَمْ, قَالَ فَإنِّي أشْهِدُكَ أنْ حَائِطي المِخْرَافُ صَدَقَةٌ عَنْهَا.                           



    Artinya: “Ibu Saad bin Ubadah meninggal dunia disaat dia (Saad bin Ubadah) sedang tidak ada ditempat. Maka berkatalah ia : ‘Wahai Rasulallah! Sesungguhnya ibuku telah wafat disaat aku sedang tidak ada disisinya, apakah ada sesuatu yang bermanfaat untuknya jika aku sedekahkan ? Nabi menjawab; Ya ! Berkata Sa’ad bin Ubadah : Saya persaksikan kepadamu (wahai Rasulallah) bahwa kebun kurma saya yang sedang berbuah itu sebagai sedekah untuknya’.”  (HR Bukhori, Turmudzi dan Nasa’i) 

                                                        

    Hadits-hadits dan wejangan para ulama yang tercantum dalam buku ini  jelas menunjukkan bahwa amalan-amalan sedekah orang yang masih hidup dan diniatkan pahalanya untuk orang yang sudah wafat akan dapat membawa manfaat dan sampai pahalanya baginya.


    Pahala Puasa dan Sholat.

    Hadits dari Aisyah ra. Rasulallah saw. bersabda:


    عَنِ عَائَشَة رَضِيَ الله عَنْهَا عَنِ النَّبِى قَالَ: مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَام, صَامَ عَنْهُ وَلِيُّـهُ.

                                                                                                   

    ‘Barang siapa yang wafat  dengan mempunyai kewajiban shaum (puasa) maka walinya berpuasa untuknya’. (Yang dimaksud wali disini yaitu kerabat- nya walaupun bukan termasuk ahli waris).   (HR.Bukhari dan Muslim, Abu Daud dan Nasa’i )


    Hadits dari Ibnu Abbas :



    جَاءَ رَجُلٌ إلَى النَّبِى.صَ. فَقَالَ: يَا رَسُول الله انَّ أمِّي مَا تَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمَ شَهْر فَأقـْضِيهِ عَنْهَا ؟

     قَالَ لَوْ كَانَ عَلَى أمِّكَ دَيْن أكَنْتَ قَاضِيَهُ عَنْهَا ؟ قَالَ: نَعَم, قَالَ: فَدَيْنُ الله أحَقُّ أنْ يُقْضَى.       

      

    “Seorang lelaki datang menemui Rasulallah saw. ia berkata : ‘Ya Rasulallah, ibuku meninggal dunia, sedang ia mempunyai kewajiban berpuasa selama sebulan. Apakah saya wajib kadha atas namanya?’  Nabi saw. berkata;  Bagaimana jika ibumu mempunyai hutang, apakah akan kamu bayarkan untuknya? ‘Benar’ jawabnya. Nabi berkata, maka hutang kepada Allah lebih layak untuk dibayar!” (HR.Bukhori dan Muslim)


    Hadits riwayat Daruquthni



    أنَّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُول الله انَّهُ كَانَ لِى أبَوَان أبِرُّهُمَا فِي حَيَاتِهِمَا فَكَيْفَ لِي بِبِرّهِمَا بَعْدَ مَوتِهَِا ؟ 

     فَقَـالَ  : انَّ مِنَ البِرِّ بَعْدَ المَوْتِ أنْ تُصَلّيَ لَهُمَا مَعَ صَلاَتِـكَ, وَأنْ تَصُومُ لَهُمَا مَعَ صيَاْمِكَ                                                                           
                                                                            

    “Bahwa seorang laki-laki berkata : ‘Ya Rasulallah, saya mempunyai ibu dan bapak yang selagi mereka hidup saya berbakti kepadanya. Maka bagaimana caranya saya berbakti kepada mereka, setelah mereka meninggal dunia?’ Jawab Nabi saw : Berbakti setelah mereka wafat ! , caranya adalah dengan melakukan sholat untuk mereka disamping shalatmu, dan berpuasa untuk mereka disamping puasamu !”.



    Pahala Haji.  



    عَنْ ابْنِ عَبَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُـمَا انَّ امْرَأةَ مِنْ جُهَيْنـَةِ جَائَتْ الَى النَّبِى .صَ.   فَقَالَتْ: انَّ أمّي نَذَرَتْ

     انْ تُحِجَّ فَلَـمْ تَحِجْ حَتَّى مَاتَتْ أفَأحِجَّ عَنْهَا؟ قَالَ  : حجِّي عَنْهَا, لَوْ كَانَ عَلَى أمّـِك دَيْن أكَنْت قَاضِيـتَهُ ؟
     اُقْضـُوا فَالله اَحَقُّ بِالقَضَاءِ. وَفِى روايَةِ : فَالله اَحَـقُّ بِالوَفَـاءِ                                               

                                                                                              

    Artinya: Dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi saw. dan bertanya: ‘Sesungguhnya ibuku nadzar untuk haji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukan haji untuknya? Rasulallah saw. menjawab: Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya?, bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar’.  (HR Bukhari)  



    Pada hadits ini Nabi saw. memberi perintah agar membayar haji ibunya yang sudah wafat. Namun bila si mayyit tidak memiliki harta, maka disunnahkan bagi ahli warisnya untuk menghajikannya. Apabila alasan sesuatu atau lain- nya sehingga hal ini tidak bisa dihajikan oleh ahli warisnya, maka penggantian hajinya itu boleh dilimpahkan kepada orang lain, dengan syarat orang ini sendiri harus sudah menunaikan haji, bila belum maka haji yang dikerjakan tersebut berlaku untuk dirinya. Cara seperti ini biasa disebut dengan badal haji 
    Dalilnya ialah hadits dari Ibnu Abbas : 
    “Bahwa Nabi saw.pernah mendengar seorang laki-laki berkata: Labbaik an Syubrumah (Ya Allah, saya perkenankan perintahMu untuk si Syubrumah). Nabi bertanya: Siapa Syubrumah itu ? Dia menjawab : Saudara saya atau teman dekat saya. Nabi bertanya: Apakah engkau sudah berhaji untuk dirimu? Dia menjawab: belum!  Nabi bersabda: Berhajilah untuk dirimu kemudian berhajilah untuk Syubrumah ! ”.   (HR.Abu Daud)

    Ditinjau dari dalil Ijma’ (sepakat) ulama dan Qiyas bahwa do’a dalam sholat jenazah akan bermanfaat bagi mayit, bebasnya hutang mayit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga (HR.Ahmad dari Abi Qatadah) dan lain sebagainya, semuanya ini bisa bermanfaat bagi mayit. Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ada halangan sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta atau membebaskan hutang untuk orang lain diwaktu hidupnya dan setelah wafatnya.  
    Demikian juga Rasulallah saw. menganjurkan puasa untuk menggantikan puasa orang yang telah meninggal. Rasulallah saw. menghadiahkan pahala qurban untuk keluarga dan ummatnya yang tidak mampu berqurban, padahal qurban adalah melalui menumpahkan darah.

    Ibadah haji merupakan ibadah badaniyah (bagi yang dekat). Harta bukan merupakan rukun dalam haji tetapi sarana. Hal itu karena seorang penduduk Makkah wajib melaku kan ibadah haji apabila ia mampu berjalan ke Arafah tanpa disyaratkan harus memiliki harta. Jadi ibadah haji bukan ibadah yang terdiri dari harta dan badan, namun ibadah badan saja (bagi yang mampu berjalan). Begitu juga kita perhatikan arti fardhu kifayah, dimana sebagian orang bisa mewakili sebagian yang lain. Persoalan menghadiah- kan pahala itu mustahab/boleh, jadi bukan menggantikan pahala, sebagaimana seorang buruh tidak boleh digantikan orang lain, tapi gajiannya/upahnya boleh diberi- kan kepada orang lain jika ia mau.

    Islam telah memberikan penjelasan sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca Al-Qur'an dan lainnya diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa adalah menahan diri dari yang membatalkan disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayit. Jika demikian bagaimana mungkin tidak sampainya pahala membaca Alqur'an yang berupa perbuatan dan niat juga?  
    Hubungan melalui agama merupakan sebab yang paling besar bagi sampainya manfaat orang Islam kepada saudaranya dikala hidup dan sesudah wafatnya. Bahkan do'a orang Islam dapat bermanfa’at untuk orang Islam lain. Al-Qur'an tidak menafikan seseorang mengambil manfaat dari usaha orang lain. Adapun amal orang lain adalah milik nya, jika orang lain tersebut menghadiahkan amalnya untuk dia, maka pahalanya akan sampai kepadanya bukan pahala amalnya, sebagaimana dalam pembebasan utang.

    Allah swt. menjelaskan bahwa Dia tidak menyiksa seseorang karena kesalahan orang lain, dan seseorang tidak mendapatkan kebahagiaan kecuali dengan usahanya sendiri. Dan dalam firman-Nya itu, Allah swt. tidak menyatakan bahwa orang tidak dapat mengambil manfaat kecuali dari usahanya sendiri. Ini tidak lain menunjukkan keadilan Allah swt..

    Menurut madzhab Hanafi, setiap orang yang melakukan ibadah baik berupa do’a, istiqhfar, shadaqah, tilawatul Qur’an, dzikir, shalat, puasa, thawaf, haji, ‘umrah maupun bentuk-bentuk ibadah lainnya yang bersifat ketaatan dan kebaktian dan ia berniat menghadiahkan pahalanya kepada orang lain, baik yang masih hidup atau yang telah wafat, pahala ibadah yang dilakukannya itu akan sampai kepada mereka dan juga akan diperolehnya sendiri. Demikianlah sebagaimana disebut dalam Al-Hidayah, Al-Bahr dan kitab-kitab lainnya. Didalam kitab Al-Kamal terdapat penjelasan panjang lebar mengenai itu.

    Didalam sebuah hadits shahih yang keshahihannya setaraf dengan hadits mutawatir menuturkan, bahwa barangsiapa meniatkan amal kebajikan bagi orang lain, dengan amal kebajikannya itu Allah swt. berkenan memberikan manfaat kepada orang lain yang diniatinya. Hal ini sama dengan hadits mengenai shalat dan puasanya seorang anak untuk kedua orang tuanya, yang dilakukan bersama shalat dan puasanya sendiri. Begitu juga masih banyak hadits shahih dan mutawatir yang berasal dari Rasulallah saw., berita-berita riwayat terpercaya, pendapat-pendapat para ulama baik dari kalangan kaum Salaf dan Khalaf yang menerangkan dan membenarkan bahwa pahala membaca Al-Qur’an, do’a dan istiqhfar yang diniatkan pahalanya untuk orang yang telah wafatbenar-benar akan sampai kepada orang yang telah wafat itu.

    Ibnu Taimiyyah didalam Fatawa-nya mengatakan: Adalah benar bahwa orang yang telah wafat beroleh manfaat dari semua ibadah jasmaniah seperti shalat, puasa, membaca Al-Qur’an dan lain-lain yang dilakukan orang yang masih hidup baginya. Ia (si mayyit) pun beroleh manfaat juga dari ibadah maliyah seperti shadaqah dan sebagainya. Semua ini sama halnya jika orang yang masih hidup berdo’a dan beristiqhfar baginya. Mengenai ini para Imam madzhab sepakat.

    Dengan adanya hadits-hadits dan wejangan para pakar baik dalam Ijma’ maupun Qiyas yang cukup banyak pada buku ini, insya Allah jelas bagi kita bahwa penghadiahan pahala baik itu membaca Al-Quran, tahlilan, do’a maupun amalan-amalan sedekah yang ditujukan atau dihadiahkan untuk si mayit, semuanya akan sampai pahalanya. Ingat jangan lupa Rahmat dan Karunia Ilahi sangat luas sekali jangan kita sendiri yang membatasinya!
    Setelah membaca keterangan-keterangan dan  dalil-dalil yang telah di kemukakan, insya Allah  saudara-saudara kita yang menerima kesalahan informasi tersebut bisa menjawab dan meneliti sendiri masalah-masalah yang masih diragukan !

    Keterangan singkat mengenai Sholat jenazah yang Ghaib
    Sholat ghaib ialah sholat untuk mayit yang tidak hadir (ghaib) disitu yakni yang berada diluar kota atau negeri lain. Biasanya di Indonesia dikerjakan seusai sholat Jum’at pada masjid-masjid Syafi’iyyah. Cara melakukan sholat ghaib ini sama seperti apa yang dilakukan dalam sholat jenazah hanya diniatkan untuk mayit yang ghaib. Sholat ini pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw yaitu pada waktu wafatnya Najasyi Raja Habsyi.
    Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari Jabir ra: “Bahwa Nabi saw menyalatkan Najasi (Raja Habsyi), maka beliau membaca takbir empat kali”. Dan hadits Rasulallah saw dari Abu Hurairah ra: “Bahwa Nabi saw mengumumkan wafatnya Najasi kepada khalayak ramai pada hari ia wafat, dan pergi bersama mereka (para sahabat) menuju kelapangan. Maka dibariskannya para sahabatnya, dan disholatkannya dengan empat kali takbir”. 

    Ibnu Hazm berkata: “Mayat ghaib itu dishalatkan secara berjama’ah dengan memakai imam. Rasulallah saw telah menyalatkan Najasyi ra yang wafat di Habsyi bersama para sahabat yang berdiri bershaf-shaf. Ini merupakan ijma/yang tidak dapat dipungkiri”.Ini sudah cukup sebagai dalil bahwa sholat ghaib pernah diamalkan oleh Rasulallah saw dan tidak ada satu haditspun yang melarang orang sholat Ghaib, dengan demikian bahwa sholat ghaib adalah termasuk sunnah Rasulallah sawoleh

    Dalam kitab fiqih lima madzhab oleh Jawad Mughniyah, disitu ditulis bahwa Imam Syafi'í dan Imam Ahmad membolehkan sholat ghaib dengan dalil hadits diatas ini, tetapi Imam Malik, Imam Hanafi tidak membolehkan sholat ghaib dengan alasan; Bahwa sholat gaib waktu itu khusus untuk Rasulallah saw atau khusus untuk Najasi, dan setelah itu beliau saw tidak pernah sholat ghaib terhadap kematian para sahabat walaupun mereka jauh dari Nabi saw.
    Dengan demikian orang yang mengamalkan sholat ghaib adalah mengikuti hadits Rasulallah saw dan wejangan para imam diantaranya Imam Syafi'í, para ulama madzhab Syafi'i dan Imam Ahmad -radhiyallahu'anhuma-. Wallahua'lam

    Membangun masjid disisi kuburan 
    Salah satu keyakinan Ahlusunah yang mempunyai dasar dalil al-Qur’an, as-Sunnah dan prilaku Salaf Sholeh –yang dituduhkan sebagai perilaku syirik oleh kelompok Wahabi– adalah tentang diperbolehkannya membangun masjid disisi kuburan para Rasul, nabi dan waliyullah. Golongan pengingkar melarang hal ini, sebagaimana yang di nyatakan (fatwa) oleh Ibnu Taimiyah –yang kemudian di-ikuti (secara taklid buta) oleh segenap kelompok Wahabi– yang tercantum dalam kitab al-Qaidah al-Jalilah hal. 22.   

    Ibn Taimiyah mengatakan: “Nabi melarang menjadikan kuburannya sebagai masjid, yaitu tidak memperbolehkan seseorang pada waktu-waktu shalat untuk mendatangi, shalat dan berdo’a di sisi kuburannya, walaupun dengan maksud beribadah untuk Allah sekalipun. Hal itu dikarenakan tempat-tempat semacam itu menjadi sarana untuk perbuatan syirik. Yaitu boleh jadi nanti mengakibatkan seseorang melakukan do’a dan shalat untuk ahli kubur dengan mengagungkan dan menghormatinya. Atas dasar itu maka membangun masjid di sisi kuburan para waliyullah merupakan perbuatan haram. Oleh karenanya walaupun pembangunan masjid itu sendiri merupakan sesuatu yang ditekankan namun dikarenakan perbuatan seperti tadi dapat menjerumuskan seseorang kedalam prilaku syirik maka hukumnya secara mutlak haram”.   

    Apa dalil dari ungkapan Ibnu Taimiyah diatas? Memang Ibnu Taimiyah menyandarkan fatwanya tadi dengan hadits-hadits yang diriwayatkan dalam beberapa kitab Ahlus- sunah. Namun sayangnya beliau tidak memiliki analisa dan penerapan yang tepat dan bagus dalam memahami hadits-hadits tadi sehingga menyebabkannya terjerumus kedalam kejumudan (kekakuan) dalam menerapkannya. Selain pemahaman Ibnu Taimiyah terhadap hadits-hadits tadi terlampau kaku, juga tidak sesuai dengan ayat al-Qur’an, as-Sunnah dan perilaku Salaf Sholeh.  

    Ibnu Taimiyah menyandarkan fatwanya tersebut dengan hadits-hadits sebagai berikut :  
    Pertama:
    Rasulallah bersabda: “Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani dikarenakan mereka telah menjadikan kubur para nabinya sebagai tempat ibadah”. (lihat kitab Shahih Bukhari jilid 2 halaman 111 dalam kitab al-Jana’iz (jenazah-jenazah), hadits serupa juga dapat ditemukan dalam kitab Sunan an-Nasa’i jilid 2 halaman 871 kitab al-Jana’iz) .
    Kedua:
    Sewaktu Ummu Habibah dan Ummu Salamah menemui Rasulallah dan berbincang-bincang tentang tempat ibadah (gereja) yang pernah dilihatnya di Habasyah, lantas Rasulallah bersabda: “Mereka adalah kaum yang setiap ada orang sholeh dari mereka yang meninggal niscaya mereka akan membangun tempat ibadah diatasnya dan mereka pun menghadapkan mukanya ke situ. Mereka di akhirat kelak tergolong makhluk yang buruk di sisi Allah”. ( Shahih Muslim jilid 2 halaman 66 kitab al-Masajid) 
    Ketiga:
    Dari Jundab bin Abdullah al-Bajli yang mengatakan; aku mendengar lima hari sebelum Rasulallah meninggal, beliau bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya sebelum kalian terdapat kaum yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat ibadah. Namun janganlah kalian melakukan semacam itu. Aku ingatkan hal tersebut pada kalian”. (lihat kitab Shahih Muslim jilid 1 halaman 378)  
    Keempat:
    Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau pernah bermunajat kepada Allah swt dengan mengatakan: “Ya Allah, jangan Kau jadikan kuburku sebagai tempat penyembahan berhala. Allah melaknat kaum yang menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat ibadah”. (lihat kitab Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 2 halaman 246)  

    Ini adalah riwayat-riwayat yang dijadikan dalil para pengikut Wahabi/Salafi untuk mengatakan syirik terhadap kaum Ahlusunah –termasuk di Indonesia– yang ingin membangun masjid disisi kubur para kekasih Allah (waliyullah). Di Indonesia para sekte Wahabi tadi mengejek dan menghinakan kuburan para sunan (dari Wali Songo) yang rata-rata disisi makam mereka terdapat bangunan yang disebut masjid. Lantas apakah benar bahwa hadits-hadits itu mengandung larangan pembuatan masjid disisi kubur para waliyullah secara mutlak? Disini kita akan telaah dan kritisi cara berdalil kaum Wahabi dalam menggunakan hadits-hadits shohih tadi sebagai sandarannya. 

    Ada beberapa poin yang harus diperhatikan dalam mengkritisi dalil kaum Wahabi yang menjadikan hadits-hadits diatas sebagai pelarangan pembangunan masjid disisi makam waliyullah secara mutlak: 

    a. Untuk memahami hadits-hadits tadi maka kita harus memahami terlebih dahulu tujuan/niat kaum Yahudi dan Nasrani dari pembikinan tempat ibadah di sisi para manusia sholeh mereka tadi. Dikarenakan melihat “tujuan buruk” kaum Yahudi dan Nasrani dalam membangun tempat ibadah di sisi kuburan itu maka keluarlah larangan Rasulallah. Dari hadits-hadits tadi dapat diambil suatu pelajaran bahwa kaum Yahudi dan Nasrani telah menjadikan kuburan para nabi dan manusia sholeh dari mereka bukan hanya sebagai tempat ibadah melainkan sekaligus sebagai kiblat (arah ibadah). Kepada kuburan itulah mereka menghadapkan muka mereka sewaktu bersujud (sebagai kiblat dan beribadah yang ditujukan pada penghuni kubur itu --pen.). Hakekat perilaku inilah yang meniscayakan sama hukumnya dengan menyembah kuburan-kuburan itu. Inilah yang dilarang dengan tegas oleh Rasulallah Muhammad saw.  

    Jadi jika seorang muslim membangun masjid disisi kuburan seorang waliyullah sekedar untuk mengambil berkah (baca bab Tabarruk—pen.) dari tempat tersebut dan sewaktu ia melakukan shalat tidak ada niatan sedikit pun untuk menyembah kubur tadi maka hal ini tidak bertentangan dengan hadits-hadits di atas tadi, terkhusus hadits dari Ummu Salamah dan Ummu Habibah yang menjelaskan kekhususan kaum Yahudi dan Nasrani dalam menjadikan kubur manusia sholeh dari mereka sebagai tempat ibadah. 

    Al-Baidhawi dalam mensyarahi hadits tadi menyatakan: “Hal itu dikarenakan kaum Yahudi dan Nasrani selalu mengagungkan kubur para nabi dengan melakukan sujud dan menjadikannya sebagai kiblat (arah ibadah). Atas dasar inilah akhirnya kaum muslimin dilarang untuk melakukan hal yang sama dikarenakan perbuatan ini merupakan perbuatan syirik yang nyata. Namun jika masjid dibangun di sisi kuburan seorang hamba sholeh dengan niatan ber-tabarruk (mencari berkah) maka pelarangan hadits tadi tidak dapat diterapkan padanya”.  
    Hal serupa juga dinyatakan oleh As-Sanadi dalam mensyarahi kitab Sunan an-Nasa’i jilid 2 halaman 41 dimana ia menyatakan: “Nabi melarang umatnya untuk melakukan perbuatan yang mirip prilaku Yahudi dan Nasrani dalam memperlakukan kuburan para nabi mereka, baik dengan menjadikannya sebagai tempat sujud dan tempat pengagungan (pada kuburnya) maupun arah kiblat dimana mereka akan menghadapkan wajahnya ke arahnya (kubur) sewaktu ibadah”. 

    b. Sebagian hadits di atas menyatakan akan pelarangan membangun masjid diatas kuburan, bukan disisi (disamping) kuburan. Letak perbedaan redaksi inilah yang kurang diperhatikan oleh kaum Wahabi dalam berdalil. 

    c.  Begitu juga tidak jelas apakah pelarangan (tempat ibadah dan arah kiblat) dalam hadits itu menjurus kepada hukum haram ataupun hanya sekedar makruh (tidak sampai pada derajat haram) saja. Hal itu dikarenakan Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya (lihat kitab Shahih al-Bukhari jilid 2 halaman 111) dimana beliau mengumpulkan hadits-hadits itu ke dalam topik “Bab apa yang dimakruhkan dari menjadikan masjid di atas kuburan” (Bab maa yukrahu min ittikhodz al-Masajid ‘alal Qubur) dimana ini meniscayakan bahwa hal itu sekedar pelarangan yang bersifat makruh saja yang selayaknya dihindari, bukan mutlak haram.  

    Atas dasar itu, dalam kitab al-Maqolaat as-Saniyah halaman 427 disebutkan bahwa Syeikh Abdullah Harawi dalam menjelaskan hadits diatas tadi mengatakan: “Hadits tadi diperuntukkan bagi orang yang hendak melakukan ibadah diatas kuburan para nabi dengan niat untuk mengagungkan (menyembah) kubur mereka. Ini terjadi jika posisi kuburan itu nampak (menonjol .red) dan terbuka. Jika tidak maka melaksanakan shalat di situ tidak haram hukumnya”. 

    Begitu pula apa yang dinyatakan oleh salah seorang ulama Ahlusunah lain yang bermadzhab Hanafi yang bernama Abdul Ghani an-Nablusi dalam kitab al-Hadiqoh ast-Tsaniyah jilid 2 halaman 631. Ia menyatakan:   
    “Jika sebuah masjid dibangun di sisi kuburan (makam) orang sholeh ataupun di samping kuburannya yang hanya berfungsi untuk mengambil berkahnya saja, tanpa ada niatan untuk mengagungkannya (maksud: menyembahnya) maka hal itu tidak mengapa. Sebagaimana kuburan Ismail as terletak di Hathim di dalam Masjidil Haram dimana tempat itu adalah sebaik-baik tempat untuk melaksanakan shalat”. 

    Allamah Badruddin al-Hautsi pun menyatakan hal serupa dalam kitab Ziarah al-Qubur halaman 28: “Arti dari mejadikan kuburan sebuah masjid adalah seseorang menjadikan kuburan sebagai kiblat (arah ibadah) dan untuknya dilaksanakan peribadatan”. 

    d. Bahkan terbukti bahwa at-Tabrani dalam kitab al-Mu'jam al-Kabir jilid 3 halaman 204 menyatakan bahwa di dalam masjid Khaif (di Mina dekat Makkah .red) terdapat delapan puluh makam para nabi, padahal masjid itu telah ada semenjak zaman Salaf Sholeh. Lantas kenapa para Salaf Sholeh tetap mempertahankan berdiri tegaknya masjid tersebut. Jika itu merupakan perbuatan syirik (haram) maka selayaknya sejak dari dulu telah dihancurkan oleh Rasulallah besrta para sahabat mulai beliau.  

    Dalil lain yang dijadikan oleh kaum Wahabi/Salafi –terkhusus Ibnu Qoyyim al-Jauziyah–  adalah kaidah Sadd adz-Dzarayi’ dimana kaidah itu menyatakan:
    “Jika sebuah perbuatan secara dzatnya (esensial) dihukumi boleh ataupun sunah, namun dengan melalui perbuatan itu menjadikan seseorang mungkin akan terjerumus kedalam perbuatan haram maka untuk menghindari hal buruk tersebut agar orang tadi tidak terjerumus ke dalam jurang tersebutperbuatan itupun lantas dihukumi haram”. (lihat kembali kitab A’lam al-Muwaqi’in jilid 3 halaman 148).  
    Dalil diatas itu secara ringkas dapat kita jawab bahwa; Dalam pembahasan Ushul Fikih disebutkan “Hanya mukadimah untuk pelaksanaan perbuatan wajib yang menjurus secara langsung kepada kewajiban itu saja yang juga dihukumi wajib” seperti kita tahu kewajiban wudu' karena ia merupakan mukadimah langsung dari shalat yang wajib. Begitu juga dengan “mukadimah yang menjurus langsung kepada hal haram, hukumnya pun haram”, jadi tidak mutlak berlaku untu semua mukadimah.
    Atas dasar ini maka membangun masjid disisi kuburan manusia mulia (para nabi atau waliyullah) jika tidak untuk tujuan syirik, maka tidak menjadi apa-apa (boleh). Dan terbukti mutlak bahwa mayoritas mutlak masyarakat muslim disaat melakukan hal tersebut dengan niatan penghambaan terhadap Allah (tidak untuk menyekutukan Allah/Syirik). Kalaupun ada seorang muslim yang berniat melakukan syirik, itu merupakan hal yang sangat jarang (minim) sekali (dan dosanya ditanggung orang ini karena kita tidak bisa mengharam kan pembangunan masjid disisi kuburan disebabkan perbuatan perorangan/ individu ini--pen). 

    Dalil inti yang dapat dijadikan argument diskusi dengan pengikut Wahabi dalam masalah pelarangan membangun masjid di sisi makam para manusia Sholeh adalah ayat dan perilaku Salaf Sholeh. Berikut ini akan kami sebutkan beberapa dalil saja untuk meringkas pembahasan.  

    Dalam ayat 21 dari surat al-Kahfi disebutkan: “Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: “dirikanlah sebuah bangunan diatas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka”. orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan diatasnya”. 
    Jelas sekali bahwa mayoritas masyarakat ahli tauhid (monoteis) kala itu sepakat untuk membangun masjid disisi makam para penghuni gua (Ashabul-Kahfi). Tentu kaum Wahabi pun sepakat dengan kaum muslimin lainnya bahwa al-Qur’an bukan hanya sekedar kitab cerita yang hanya begitu saja menceritakan peristiwa-peristiwa menarik zaman dahulu tanpa memuat ajaran untuk dijadikan pedoman hidup kaum muslimin. Jika kisah pembuatan masjid di sisi makam Ashabul-Kahfi merupakan perbuatan syirik maka pasti Allah swt menyindir dan mencela hal itu dalam lanjutan kisah al-Qur’an tadi, karena syirik adalah perbuatan yang paling dibenci oleh Allah swt. Namun terbukti Allah swt tidak melakukan peneguran baik secara langsung maupun secara tidak langsung (sindiran). 

    Atas dasar itu pula terbukti para ulama tafsir Ahlusunah menyatakan, bahwa para penguasa kala itu adalah orang-orang yang bertauhid kepada Allah swt., bukan kaum musyrik penyembah kuburan (Quburiyuun). Hal ini seperti yang dikemukakan oleh az-Zamakhsari dalam kitab Tafsir al-Kassyaf jilid 2 hal. 245, Fakhrurrazi dalam kitab Mafatihul Ghaib jilid 21 hal. 105, Abu Hayyan al-Andalusy dalam kitab al-Bahrul Muhith dalam menjelaskan ayat 21 dari surat al-Kahfi tadi dan Abu Sa’ud dalam kitab Tafsir Abi Sa’ud jilid 5 hal. 215.  

    Sebagai penutup akan kita lihat perilaku Salaf Sholeh yang dalam hal ini diwakili oleh Abu Jundal salah seorang sahabat mulia Rasulallah. Para Ahli sejarah menjelaskan peristiwa yang dialami oleh Abu Jundal dengan menyatakan:
    “Suatu saat, sepucuk surat Rasulallah sampai ke tangan Abu Jundal. Kala surat itu sampai, Abu Bashir (juga sahabat mulia Rasulallah yang menemani Abu Jundal .red) tengah mengalami sakaratul-maut (naza’). Beliau meninggal dengan posisi menggenggam surat Rasulallah. Kemudian Abu Jundal mengebumikan beliau (Abu Bashir .red) di tempat itu dan membangun masjid diatasnya”.
    Kisah ini dapat dilihat dalam karya Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh Ibnu Asakir jilid 8 hal.334 dan atau kitab al-Isti’ab jilid 4 hal. 21-23 karya Ibnu Hajar.  

    Apakah mungkin seorang sahabat Rasulallah seperti Abu Jundal melakukan perbuatan syirik? Jika itu syirik, mengapa Rasulallah saw. sendiri atau para sahabatnya tidak menegurnya? Apakah Rasulallah dan sahabat-sahabat lain nya tidak tahu akan peristiwa itu? Jika mereka tahu, kenapa mereka tetap membiarkannya melakukan kesyirikkan? Jelas bahwa membangun masjid di sisi kuburan merupakan hal yang diperbolehkan oleh Islam sesuai dengan dalil ayat al-Qur’an dan prilaku Salaf Sholeh, hukumnya tidak seperti yang diklaimkan oleh kelompok Wahabi yang berkedok Salafi itu. Wallahua’lam.

    Dengan demikian golongan Wahabi/Salafi –sebagaimana yang telah kami kemukakan– tidak bisa membedakan antara ibadah dan ta’dzim (penghormatan tinggi), antara ibadah dan tabarruk pada Rasulallah dan pada orang sholeh atau antara ibadah dan tawassul pada Rasulallah, pada orang sholeh dan lain sebagainya. Golongan Wahabi ini tidak bisa memahami tolok ukur Tauhid dan Syirik serta memahami ayat-ayat ilahi dan sunnah Rasulallah secara tekstual dan literal saja tanpa melihat motif dan makna yang dimaksudkan dalam ayat Ilahi atau Sunnah Rasulallah saw. tersebut. 

    Telah kami kemukakan juga bahwa didalam masjid Nabawi Madinah ada kuburan manusia yang termulia yaitu Rasulallah saw. dan kuburan Sayidina Abubakar dan Sayidina Umar bin Khattab [ra], yang mana kaum muslimin sholat disamping, dibelakang, dimuka kuburan yang mulia ini. Kuburan ini –walaupun sekarang sekelilingnya diberi pagar besi– letaknya malah bukan disisi masjid tetapi didalam masjid Nabawi. Begitu juga kuburan (ibu) Nabi Ismail a.s di Hathim didalam Masjidil Haram Makkah.
    Jutaan muslimin setiap tahunnya berebutan untuk bisa sholat disamping kiri dan kanan atau dimuka makam Nabi saw  dan di Hathim didalam Masjidil Haram Makkah. Kalau memang ini perbuatan syirik dan haram, tidak mungkin dilaksanakan oleh jutaan muslimin yang sholat di tempat-tempat ini –baik dari kalangan ulama maupun kalangan awam. Tidak lain semuanya bukan termasuk beribadah kepada kuburan (yakni tidak ada keniatan untuk beribadah kepada kuburan melainkan hanya pengambilan barokah/tabarruk pada tempat yang mulia itu—pen.) dan bukan perbuatan haram. Wallahu a'lam.  

    Memberi Penerangan terhadap kuburan
    Salah satu hal yang sangat dibenci dan diharamkan oleh kaum Wahabi/ Salafi adalah memberi penerangan terhadap kuburan. Lepas dari apakah fungsi dari pemberian penerangan tersebut, namun ketika mereka ditanya tentang boleh atau tidaknya memberikan penerangan tersebut niscaya mereka akan menjawab secara mutlak Haram. Apalagi selain memberi penerangan atas kuburan juga ditambah dengan memberikan hiasan-hiasan pada makam para wali (kekasih) Allah maka menurut mereka adalah haram di atas haram. 

    Golongan pengingkar ini menyandarkan pendapatnya dengan riwayat yang dinukil oleh an-Nasa’i dalam kitab Sunan-nya jilid 4 halaman 95 atau kitab Mustadrak ala Shahihain jilid 1 halaman 530 hadits ke-1384 yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasulallah saw. bersabda: “Allah melaknat perempuan yang datang guna menziarahi kubur dan orang yang menjadikan kubur sebagai masjid, juga buat orang yang meneranginya (kuburan) dengan penerang”.

    Padahal jika kita melihat pendapat para ulama Ahlusunah lainnya, maka akan kita dapati bahwa mereka membolehkannya, bahkan dalam beberapa hal justru sangat menganjurkannya. Lantas apakah ulama Ahlusunah ini lupa atau lalai terhadap hadits terakhir diatas itu, sehingga mereka menfatwakan yang bertentangan dengan hadits tersebut, bahkan dengan tegas mereka menyatakan “boleh” untuk memberi penerangan dikuburan ?

    Kami telah kemukakan sebelumnya mengenai argumentasi hadits diatas itu, umpamanya pengakuan seorang ulama yang sangat diandalkan oleh kelompok Wahabi sendiri
    ,Nashiruddin al-Albani, dalam kitabnya yang berjudul Tahdzirul Masajid min it-Tikhodzil Qubur Masajid halaman 43-44 dimana ia mengatakan: “Hadits ini telah dinukil oleh Abu Dawud dan selainnya. Namun dari sisi sanad (urutan perawi) ternyata Hadits ini dihukumi lemah (Dha’if)”. )”.  Al-Albani kembali mengatakan: “Kelemahan hadits ini telah saya tetapkan dalam kitab al-Ahadits adh-Dho’ifah wal Maudhu’ah wa Atsaruha as-Sayi’ fi al-Ummah”.
    Tetapi nyatanya banyak dari kelompok Salafi/Wahabi sendiri tidak mengikuti wejangan ulamanya ini dan mengharamkan menerangi kuburan dengan berdalil pada hadits diatas itu.

    Diantara yang menyatakan bahwa hadits itu lemah adalah al-Muslim (pemilik kitab shahih). Beliau dalam karyanya yang berjudul at-Tafshil mengatakan: “Hadits ini tidak jelas. Masyarakat tidak berpegangan terhadap hadits yang diriwayatkan oleh Abu Shaleh Badzam. Orang itulah yang meriwayatkan hadits tadi dari Ibnu Abbas. Tidak jelas apakah benar bahwa ia telah mendengarkan hadits tersebut darinya (Ibnu Abbas)”.

    Taruhlah bahwa analisa Nashiruddin al-Albani (ahli hadits Wahabi) tadi tidak dapat kita terima, namun kembali harus kita lihat argumentasi (dilalah) yang dapat kita lihat dari hadits tersebut. Jika kita melihat kandungan haditsnya niscaya akan semakin terlihat kelemahan hadits diatas tadi yang dijadikan landasan berpikir dan bertindak kaum Wahabi/Salafi dan pengikutnya. 
    Pertama:
    Tentu hadits itu tidak dapat diterapkan secara mutlak pada semua kuburan, umpamanya;. kuburan para nabi, Rasulallah, waliyullah, imam dan para ulama sholeh. Dimana mengagungkan kuburan mereka ini merupakan perwujudan dari “Ta’dhim Sya’airallah” (pengagungan syiar-syiar Allah) yang tercantum dalam ayat 32 surat al-Hajj dimana Allah swt berfirman: “Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”.  
    Bagaimana tidak, Shofa dan Marwah yang hanya dikarenakan larian-larian kecil Siti Hajar (ibu nabi Ismail as.) yang bukan nabi saja tergolong syiar Allah sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya Shafa dan Marwah merupakan sebagian dari syiar Allah” (QS al-Baqarah: 158), apalagi jika itu adalah bekas-bekas penghulu para nabi dan Rasul yang bernama Muhammad saw. Ataupun bekas-bekas para ulama dan kekasih Allah (Waliyullah) dari umat Muhammad yang dinyatakan sebagai pewaris para nabi dan ummat yang terbaik.
    Kedua:
    Hadits tadi hanya dapat diterapkan pada hal-hal yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Terkhusus kuburan orang biasa yang jarang diziarahi oleh keluarga dan sanak familinya. Dengan memberi penerangan kuburan semacam itu niscaya akan menyebabkan membuang-buang harta bukan pada tempatnya (Israf /Mubadzir) yang tidak di anjurkan oleh Islam. Jadi pengharaman pada hadits tadi lebih dikarenakan sesuatu yang lain, membuang-buang harta tanpa tujuan (Mubadzir), bukan masalah pemberian penerangan itu sendiri secara mutlak.
    Namun jika penerangan kuburan tersebut dipakai untuk menerangi kuburan orang-orang mulia –seperti contoh di atas tadi–, dimana kuburan tersebut sering dipakai orang untuk berziarah, membaca al-Qur’an, membaca do’a, melaksanakan shalat dan kegiatan-kegiatan berfaedah lain yang dihalalkan oleh Allah, maka dalam kondisi semacam ini bukan hanya tidak dapat divonis haram atau makruh melainkan sangat dianjurkan. Karena hal ini menjadi perwujudan dari ungkapan Ta’awun ‘alal Birri wat Taqwa (tolong menolong dalam kebaikan dan takwa) sebagaimana yang diperintahkan dan dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 2 dimana Allah berfirman: “Dan tolong menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran”.

    Jelas hal itu bukan termasuk kategori dosa dan pelanggaran, karena jika itu kenyataannya maka mungkinkah Rasulallah yang kemudian diikuti oleh para Salaf Sholeh melakukan dosa dan pelanggaran, sebagaimana nanti yang akan kita singgung ? Atas dasar itu pula akhirnya para ulama Ahlusunah menyatakan “boleh” memberikan penerangan terhadap kuburan para nabi, para Rasul dan para kekasih Ilahi (Waliyullah) lainnya.

    Azizi dalam kitab Syarh Jami’ as-Shaghir jilid tiga halaman 198 dalam rangka mensyarahi/menjelaskan makna hadits tadi mengatakan: “Hadits tadi menjelaskan tentang ketidakperluan orang-orang yang masih hidup akan penerang. Namun jika hal tadi menyebabkan manfaat (buat yang masih hidup) maka tidak menjadi masalah”.

    Sanadi dalam mensyarahi kitab Sunan an-Nasa’i jilid keempat halaman 95 mengatakan: “Larangan memberikan penerangan tersebut dikarenakan penggunaan lampu untuk hal tersebut merupakan membuang-buang harta tanpa ada manfaat yang berarti. Hal ini meniscayakan bahwa jika terdapat manfaat di balik itu semua maka hal itu telah mengeluarkannya dari pelarangan”.
    Hal serupa juga dikemukakan oleh Syeikh Ali Nashif dalam kitab at-Tajul Jami’ lil Ushul jilid pertama halaman 381: “Memberi penerangan pada kubur merupakan perbuatan yang dilarang. Hal itu dikarenakan membuang-buang harta. Kecuali jika disisi kuburan tersebut terdapat seorang yang masih hidup (yang memerlukan penerangan) maka hukumnya tidak apa-apa”.

      Dan terbukti bahwa penerangan terhadap kuburan merupakan hal lumrah yang telah dilakukan oleh para Salaf Sholeh semenjak dahulu. Khatib al-Baghdadi dalam kitab Tarikh al-Baghdadi jilid 1 halaman 154 yang pengisahannya disandarkan kepada seorang syeikh penduduk Palestina, dimana ia menyatakan: “Kulihat terdapat bangunan yang terang yang terletak di bawah tembok Kostantiniyah. Lantas kutanyakan perihal bangunan tersebut. Mereka menjawab: “Ini adalah makam Abu Ayyub al-Anshari seorang sahabat Rasulallah”. Kudatang mendekati makam tersebut. Kulihat makam beliau terletak di dalam bangunan tersebut dimana terdapat lampu yang tergantung dengan rantai dari arah atas atap”.

      Ibnu Jauzi dalam kitab al-Muntadham jilid 14 halaman 383 menyatakan: “Salah satu kejadian tahun 386 Hijriyah adalah para penghuni kota Basrah mengaku bahwa mereka telah berhasil menemukan kuburan tua yang ternyata kuburan Zubair bin Awam. Setelah itu berbagai peralatan penerangan dan penghias diletakkan (dalam pemakaman) dan lantas ditunjuk seseorang yang bertugas sebagai penjaga. Dan tanah yang berada di sekitarnya pun diwakafkan”.

    Minimalnya, semua argument diatas merupakan bukti bahwa pelarangan tersebut tidak sampai pada derajad haram, paling maksimal hanyalah dapat divonis sebagai makruh (kurang disenangi) saja, dan (makruh) inipun tidak mutlak. Terbukti ada beberapa hal yang menyebabkan pemberian penerangan itu dihukumi boleh (Ja’iz). Malah jika itu termasuk kategori Ta’dhim Sya’airallah atau Ta’awun ‘alal Birri wat Takwa –sebagaimana yang telah kita singgung di atas tadi– maka tergolong sesuatu yang sangat ditekankan/ dianjurkan. 
    Begitu juga hadits di atas tadi –larangan pemberian lampu penerang– yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bertentangan dengan hadits lainnya yang diriwayatkan juga oleh Ibnu Abbas yang pernah dinukil oleh at-Turmudzi dalam kitab al-Jami’ as-Shahih jilid 3 halaman 372 bab ke-62 dimana Ibnu Abbas berkata: “Suatu malam Rasulallah memasuki areal pemakaman (untuk berziarah). Saat itu ada seseorang yang menyiapkan penerang buat beliau”. Ini membuktikan bahwa menerangi pemakaman dengan lampu penerang tidak dapat dihukumi haram secara mutlak, namun sangat bergantung terhadap tujuan dan faedah di balik hal tersebut. Wallahua'lam.

    Membuat bangunan (kubbah) diatas kuburan  
    Kami tambahkan sedikit keterangan pendapat para ulama pakar mengenai pembangunan kubbah dan memberi penerangan diatas kuburan. Membuat bangunan diatas kuburan para sahabat Nabi, Ahlul-Bait, para waliyullah dan para ulama dibolehkan (ja’iz), bahkan dipasang penutup (kain dan sebagainya) pun dibolehkan.
    Mengenai pemasangan kubbah diatasnya, para ulama berbeda pendapat, jika kuburan itu terletak pada tanah wakaf atau diwakafkan fi sabilillah. Lain halnya jika kuburan itu terletak pada tanah hak milik, dalam hal ini tidak dilarang dan para ulama pun sepakat atas kebolehannya. Menyalakan lampu diatas kuburan pun dibolehkan apabila bangun annya digunakan sebagai musholla, atau sebagai tempat belajar ilmu, atau tempat orang tidur didalam bangunan, membaca al-Qur’an atau untuk menerangi lalu lintas sekitarnya. Semuanya ini dibolehkan.  

    Banyak riwayat diketengahkan oleh para ulama ahli hadits dan para ulama ahli Fiqih mengenai ja’iznya (dibolehkannya) hal-hal diatas itu. Bahkan diantara mereka ada yang berpendapat : ‘Meskipun dengan maksud kemegahan’. Hal ini disebut dalam kitab Ad-Durr Al-Mukhtar. Ada pula yang menegaskan ja’iznya pembuatan bangunan diatas kuburan, walau berupa rumah. Demikian itulah yang dikatakan para ulama muhaqqiqun (para ulama yang tidak diragukan kebenaran fatwa-fatwanya) dari empat madzhab  dan lain-lain. 

    Ibnu Hazm didalam Al-Muhalla mengatakan: “Jika diatas kuburan itu dibangun sebuah rumah atau tempat persinggahan pun tidak dimakruhkan (yakni boleh-boleh saja)”. Demikian juga yang dikatakan oleh Ibnu Muflih didalam Al-Furu’, bagian dari Fiqh madzhab Hanbali.
    Penulis Al-Mustau’ab dan Al-Muharrir mengatakan: “Pembuatan kubbah (di kuburan), rumah dan tempat untuk berkumpul diatas tanah milik sendiri tidak ada salahnya, karena penguburan jenazah didalamnya dibolehkan”. 
    Demikian juga yang dikatakan oleh Ibnul-Qashshar dan jama’ah madzhab Maliki, yaitu sebagaimana dikatakan oleh Al-Khattab didalam Syarhul-Mukhtashar. Itu mengenai kuburan orang awam. Mengenai kuburan orang-orang Sholeh, Ar-Rahmani mengatakan: “Diatas kuburan orang-orang sholeh boleh didirikan bangunan, sekalipun berupa kubbah, guna menghidupkan ziarah dan tabarruk”. 
    Murid Ibnu Taimiyyah yaitu Imam Ibnu Muflih dari madzhab Hanbali menyatakan pendapatnya didalam Al-Fushul: ‘Mendirikan bangunan berupa Kubbah, atau Hadhirah (tempat untuk berkumpul jama’ah) diatas kuburan, boleh dilakukan asal saja kuburan itu berada ditanah milik sendiri. Akan tetapi jika tanah itu telah diwakafkan di jalan Allah (musbalah), hal itu makruh (tidak disukai), karena mengurangi luas tanah tanpa guna’.  

    Mengenai Ibnu Muflih itu, Ibnul Qayyim yang juga murid Ibnu Taimiyyah dari madzhab Hanbali, mengatakan : “Dibawah kolong langit ini saya tidak melihat seorang ahli Fiqih (pada zamannya) madzhab Ahmad bin Hanbal yang ilmunya melebihi dia (Ibnu Muflih)”. Wallahu a'lam. 

    Insya Allah semua keterangan dibab ini dan bab-bab lainnya diwebsite ini, bisa memberi manfaat bagi kami sekeluarga khususnya dan semua kaum muslimin, khususnya bagi orang yang mendapati kesalahan informasi mengenai ziarah kubur dan lain-lain yang telah dikemukakan tadi. Semoga hidayah dan ampunan Ilahi selalu mengiringi kaum muslimin semuanya. Amin


    Sebagai manusia yang penuh kekurangan, kami mengharap masukan dan saran dari segenap para pembaca budiman silahkan
    kirim via email syafii_ali55@yahoo.com.
    Sumber:http://www.everyoneweb.com/tabarruk/



    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar