Sabtu, 26 Mei 2012

Agus Sunyoto: Ada Usaha Sistematis Untuk Menghilangkkan Walisongo



Jumat, 17/02/2012 13:36

Perjuangan Walisongo merupakan fakta sejarah dalam penyebaran Islam di Nusantara, khususnya pulau Jawa. Keberhasilannya yang gemilang tak lepas dari strategi mereka melalui jalur kultural. Tak ada pertumpahan darah dan inkuisisi.

Karena itulah perjuangannya selalu dikenang. Makamnya selalu diziarahi oleh segenap muslim. Tapi perjuangan sembilan ulama tersebut, dianggap sepi oleh sekelompok orang. Hal itu terbukti dengan absennya Walisongo dari Ensiklopedi Islam terbitan PT Ichtiar Baru Van Hoeve.

Agus Sunyoto sebagai salah seorang sejarawan Nusantara merasa kuatir dengan kondisi ini. Menurutnya, lambat-laun sejarah Walisongo bisa hilang dari ingatan orang, atau bisa jadi dianggap dongeng belaka.

Kekuatiran Wakil Ketua Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi-NU) ini membuahkan buku berjudul “Walisongo Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan” setebal 282 halaman.

Ketika Agus Sunyoto berkunjung ke kantor PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Rabu, (15/2)  Abdullah Alawi dari NU Online berhasil mewawancarainya seputar penulisan buku itu. Berikut petikannya.

Belum lama ini mas Agus menulis buku Wali Songo, Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan. Apa tujuan menulis buku itu?

Awalnya ketika saya membaca buku Ensiklopedi Islam terbitan Van Hoeve itu. Ternyata entri Walisongo tidak ada. Demak itu hanya disinggung dua. Kesultanan Demak dan masjid Demak. Itu pun singkat sekali. Yang muncul malah tiga serangkai Wahabi yang membawa faham Wahabi ke Indonesia. Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piabang sebagai pembawa ajaran Islam.

Reputasi orang itu dalam sejarah perjuangan menyebarkan Islam itu bagaimana?

Yang menimbulkan pecahnya Perang Paderi. Reputasi apa? Orang yang berbeda pandangan dipateni (dibunuh, red).

Kalau kita baca Ensiklopedi Islam itu, secara tidak langsung, kita diarahkan untuk menganggap bahwa Islam yang disebarkan Nusantara itu oleh Wahabi. Begitu, ya?

Iya. Dan itu yang dimasukkan. Itu kan golongan Sumatera Tawalib. Orang sana itu, madrasah-madrasah Wahabi itu, Persis itu masuk, al-Irsyad itu masuk. Resulusi Jihad itu nggak ada. Komite Hijaznya NU itu nggak ada.

Efeknya bagi masyarakat itu apa, Pak?

Ya lambat-laun Walisongo dianggap nggak pernah ada. Islam yang ada sekarang itu dianggap ahistori.

Indikasi apa itu mas?

Kita tinggal menunggu dua puluh tahun lagi. Kalau Walisongo itu sudah tidak ditulis di ensiklopedi, dua puluh tahun lagi, sudah jelas dianggap dongeng. Tidak ada kenyataannya. Tidak diakui. Eksistensinya tidak diakui.

Itu memang sistematis?

Iya sistematis. Ada usaha sistematis untuk menghilangkkan Walisongo.

Tujuan mereka itu apa?

Ya, mereka kan menganggap Walisongo itu tidak sefaham dengan mereka dan mereka membikin seolah-olah yang membawa (Islam) ke sini adalah Wahabi. Tapi itu artinya Islam baru berkembang 1803. Sebelum itu, nggak ada Islam berarti. Itu pemalsuan sejarah. Pemalsuan sejarah yang tidak cerdas!

Apa karena tipikal Walisongo yang menyebarkan Islam melalui pendekatan budaya? Dan itu bersebrangan dengan faham mereka?

Iya. Mereka kan kalau perlu, semua yang bersebrangan faham dengan mereka kan dibunuh saja. Bahwa faham merekalah yang benar. Karena mereka menghalalkan segala cara. Kalau bukan golongan mereka, ya disingkirkan. Sayangnya mereka minoritas.

Dalam sejarah, Islam yang diterima di masyarakat itu selalu pendekatan budaya. Tidak cuma Walisongo. Di Sumatera ada tokoh Aria Damar. Dia kan asalnya penganut Shiwa Budha. Dakwah Islam di Palembang dan sekitarnya itu, ketika yang dakwah itu orang yang dari Arab Said Syarif Hidayatullah itu, itu nggak ada orang yang mau menerima.

Said Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati?

Bukan, mertuanya Ario Damar. Nah, ketika Ario Damar yang mengajak kepada orang-orang yang menganut Budha, baru mereka berkenan mengikuti Islam.

Strateginya bagaimana? Seperti Walisongo juga?

Iya.

Pendekatan budaya juga?

Iya. Begini, semua orang nggak mau ketika yang menyebarkan Islam itu Syarif Hidayatullah. Kenapa? Palembang itu pusatnya Sriwijaya beratus-ratus tahun. Di situ Budha. Bagaimana caranya bisa Islam? Baru bisa setelah Ario Damar yang menganut Shwa Budha itu memeluk Islam dan mengajak orang. Tetap dengan pendekatan kultural. Apa dengan mengajarkan ilmu, pertanian, kesenia. Banyak. Ario Damar itu kan raja muda di sana. Mesti lewat budaya, macam-macam.

Di daerah lain juga mesti yang diterima itu dengan pendekatan budaya? Sulawesi, Kalimantan juga?

Iya. Contohnya di Jawa. Sunan Ampel itu datang dari Campa, Vietnam. Dia nggak begitu paham budaya Jawa. Menikah dengan orang Jawa, melahirkan anak: Sunan Bonang, misalnya. Dia dididik sebagai keluarga bangsawan Jawa. Dari keluarga ibunya kan. Karena itu dia bisa menulis tembang macam-macam. Sunan Ampel nggak bisa. Nggak ada warisannya karena memang bukan orang Jawa.

Jadi, orang pribumi yang berkreasi?

Iya. Orang pribumi.

Mas, Kelebihan buku ini, menurut mas Agus sendiri dibanding dengan buku-buku lain yang menulis Walisongo.

Buku-buku Walisongo itu kan ditulis dalam bentuk dongeng, cerita-cerita, legenda. Nah, saya masukkan inskripsi-inskripsi yang ada di makam-makam, misalnya makam Malik Ibrahim, ada. Atau prasatinya. Kapan tokoh itu, siapa tokoh itu? Bukan berdasarkan dongeng.

Setiap makam itu ada inskripsinya ya?

Nggak. Nggak setiap makam ada. Tapi beberapa makam ada inskripsinya.

Itu kan ensiklopedi yang terbit tahun 1995, kenapa baru direspon sekarang?

Karena ngak tahu. Belum pernah baca itu. Baru tahun tahun 2010.

Bagaiamana ketemunya Van Hoeve  sama Wahabi? Persinggungannya itu?

Mungkin aja Van Hoeve nggak paham. Karena dia cuma penerbit. Orang-orang yang menulisnya. (Agus Sunyoto menyebutkan para penulisnya).

Sumber: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,5-id,36425-lang,id-c,halaqoh-t,Agus+Sunyoto++Ada+Usaha+Sistematis+Untuk+Menghilangkkan+Walisongo-.phpx

Tidak ada komentar:

Posting Komentar